Kamis, 21 Mei 2009

Pendidikan Usia Dini

Artikel 1:

Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu: Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa. Tujuan penyerta yaitu untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Bentuk Satuan Pendidikan Anak Usia Dini
Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk satuan pendidikan anak usia dini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
Jalur Pendidikan Formal
Terdiri atas Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Atfal. Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Atfal dapat diikuti anak usia lima tahun keatas. Termasuk disini adalah Bustanul Atfal.
Jalur Pendidikan Nonformal
Terdiri atas Penitipan Anak, Kelompok Bermain dan Satuan PAUD Sejenis. Kelompok Bermain dapat diikuti anak usia dua tahun keatas, sedangkan Penitipan Anak dan Satuan PAUD Sejenis diikuti anak sejak lahir, atau usia tiga bulan.
Jalur Pendidikan Informal
Terdiri atas pendidikan yang diselenggarakan di keluarga dan di lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melindungi hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan, meskipun mereka tidak masuk ke lembaga pendidikan anak usia dini, baik formal maupun nonformal.

Artikel 2 :

Standar Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal
Sebagai upaya memberikan layanan pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyusun draf Standar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nonformal. Standar ini mencakup seluruh pelayanan anak usia dini sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, khusus untuk layanan PAUD Nonformal lebih memprioritaskan anak usia 0-4 tahun.
Direktur PAUD Depdiknas Gutama mengemukakan, sejak lama pemerintah dituntut oleh masyarakat untuk menyusun standar yang jelas. Selama ini, kata dia, kurikulum PAUD Nonformal pun belum ada, yang ada adalah acuan resmi dari Depdiknas, tetapi belum ada khusus yang dibuat karena standar nasionalnya belum ada. "Standar ini akan menjadi acuan kita,bukan standar yang maksimal tapi yang minimal," katanya pada Uji Publik Draf Standar PAUD Nonformal di Graha Depdiknas, Jakarta, Senin (24/03/2008) .
Hadir dalam acara Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK) Baedhowi, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Ace Suryadi, Ketua BSNP Yunan Yusuf, dan para pengelola PAUD. Gutama mengatakan, standar ini disusun bukan untukmenghambat potensi PAUD di masyarakat yang sedang tumbuh dan berkembang, tetapi justru memberikan peluang agar mereka bisa tumbuh berkembang dan akhirnya mencapai standar minimal yang diharapkan. "Jangan sampai ada anak yang tidak mendapatkan sentuhan pendidikan sejak anak usia dini," ujarnya.
Anggani Sudono, Koordinator Penyusunan Standar PAUD Nonformal menyampaikan, tujuan diselenggarakan uji publik Standar PAUD Nonformal adalah untuk memperoleh masukan yang sebanyak-banyaknya agar standar ini sesuai dengan kehendak semua. "Sekaligus menjadi payung semua kegiatan anak usia dini yang dilakukan oleh seluruh masyarakat di Indonesia," katanya.
Anggani mengatakan, anak usia dini apabila mendapatkan penanganan, pengasuhan, dan pendidikan sedini mungkin maka akan memberi dasar yang kuat untuk pendidikan selanjutnya. "Ini (PAUD) merupakan investasi dalam kehidupan selanjutnya. Standar PAUD akan diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia," katanya. Anggani menyebutkan, komponen standar pendidikan usia dini terdiri atas tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini; pendidik dan tenaga kependidikan PAUD; program, isi, proses, dan penilaian PAUD; infrastruktur pendukung, sarana, dan prasarana, serta pengelolaan dan pembiayaan.
Endang Ekowarni, Ketua Tim Ad hoc Penyusunan Standar PAUD mengatakan, pada komponen pertama standar yang disusun yakni bukan standar kelulusan, tetapi menggunakan istilah tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini dengan target setiap tahap harus dicapai anak dengan sehat, cerdas, dan ceria. "Jadi sehat dan cerdas menurut tahap perkembangannya, dan ceria juga sesuai dengan usianya. Pada akhirnya mereka akan siap untuk mengikuti pendidikan formal."
Sumber: Pers Depdiknas

Artikel 3 :

Pendidikan Lalu Lintas Dini
Makin rawannya tingkat keselamatan di jalan raya yang ditunjukkan oleh terus meningkatnya angka kecelakaan yang terjadi dari tahun ke tahun menyebabkan perlunya digalakkan kembali pendidikan dan etika berlalu lintas sejak usia dini.
Untuk itu, Shell Indonesia meluncurkan program Road Safety: Think Safety, Act Safely yang akan melibatkan sekitar 1.200 siswa-siswi kelas 4 dan 5 dari sepuluh sekolah dasar di Jakarta hingga akhir tahun 2008. "Program perubahan seperti ini, perlu early wins yaitu kemenangan-kemenagan untuk ke depannya," ujar Presiden Direktur PT Shell Indonesia Darwin Silalahi dalam acara peluncuran program ini di Jakarta, Rabu (28/5).
Darwin mencontohkan anaknya yang merengek minta dibelikan handphone padahal umurnya baru lima tahun. Meski kurang setuju, Darwin akhirnya membelikan juga karena sebagian besar teman anaknya ternyata memiliki handphone. Dalam dua hari anaknya sudah mampu menghapal banyak nomor telepon orang-orang terdekatnya.
"Kemampuan menghapal dan meniru sesuatu itu sangat tinggi di tingkat SD. Nanti kami akan kembangkan lagi tapi kami mulai dari SD untuk memasyarakatkan perilaku sopan di jalanan, meski mulai dengan jumlah sangat kecil," tandasnya.
Menurut Social Investment Manager PT Shell Indonesia Sri Endah program yang akan dikemas dalam roleplay dan simulasi ini nantinya akan diselenggarakan langsung di Taman Lalu Lintas (Traffic Park) Cibubur. "Kami akan ajarkan basic skill saja misalnya menyeberang jalan, atau pakai seat belt, paling tidak mereka nanti bisa ingatkan ayah ibunya ketika hendak mengendarai mobil untuk memakai seat belt," tukas Endah.
Program ini akan dimulai pada 5 Juni mendatang dimulai untuk SDN 01 Menteng Atas dan disusul sembilan SD lainnya hingga akhir 2008, seperti SDN Klender 12, SDN Duren Sawit, SDN 02 Menteng Atas, SDN 04 Menteng Atas, SDN 19 Menteng Atas, SDN Gondangdia 03 Pagi, SDN Gondangdia 05 Pagi, SDN Cikini 02 pagi, dan SDN Cikini 04 pagi.
Nantinya, pendidikan yang akan diadakan satu hari penuh untuk setiap SD akan memuat pengetahuan dasar tentang lalu lintas yang dikemas dengan interaktif dan fun serta memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk berkendaraan langsung dengan menggunakan alat-alat peraga, seperti kendaraan-kendaraan kecil dan perlengkapannya serta rambu-rambu lalu lintas.
Shell melalui program CSR-nya ini berharap program ini menjadi investasi jangka panjang terhadap mental generasi muda di jalanan.Menurut catatan Direktorat Lalu Lintas Polri, angka kecelakaan di Jakarta pada tahun 2007 tercatat 5.154 kejadian yang menyebabkan 999 orang meninggal dunia. Angka ini terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.

Artikel 4:

Kurikulum untuk anak usia dini, perlukah?
Anak-anak usia dini hidup dalam dunia bermain. Meskipun demikian,tak ada salahnya jika orang tua memiliki rancangan bahan atau materi untuk mengisi hari-hari mereka. Hal yang pasti, kurikulum untuk anak usia dini haruslah sangat fleksibel, sesuai dengan kemampuan dan minat anak.
Kelas-kelas pra-sekolah seperti Play Group (PG) atau Taman Kanak-Kanak (TK) pasti memiliki kurikulum dan target-target, namun karena tuntutan aturan formal, mau tidak mau guru akan menilai perkembangan anak secara kasar, berdasarkan akumulasi kemampuan yang dikuasai anak selama kurun waktu tertentu. Jelas penilaian itu tidak valid, karena ketika guru memasuki kurikulum mewarnai misalnya, beberapa anak mungkin belum siap dengan fase itu. Mereka mungkin menolak untuk melakukannya atau hanya membubuhkan satu coretan pendek di kertasnya, karena dia memang belum berminat.
Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. Tak peduli apakah anak-anak masuk TK ataupun tidak, tugas orang tua-lah untuk memahami anak-anaknya dengan baik, sehingga tahu kapan harus memperkenalkan sebuah keterampilan, kapan harus menundanya, kapan harus memacunya lebih kencang, dan bagaimana membuat anak menjadi tertarik untuk mempelajari sesuatu tanpa harus dipaksa oleh waktu dan penilaian pihak lain.
Pendidikan sungguh jauh melampaui batas-batas nilai kuantitatif seperti diterapkan di sekolah. Pendidikan adalah rangkaian proses belajar untuk menjadi manusia yang terus tumbuh, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.
Menyusun kurikulum untuk anak usia dini berarti siap mengikuti irama mereka dan siap untuk melangkah lebih jauh saat mereka berminat untuk tahu lebih banyak. Ketika anak-anak diperkenalkan tentang kuda misalnya, bisa jadi rasa ingin tahu mereka berkembang, ingin tahu tentang makanannya, di mana tidurnya, dan mungkin ingin mencoba menaikinya dan mengoleksi gambar-gambarnya.
Adapun secara terstruktur, ada banyak model kurikulum anak usia dini yang telah dikembangkan di dunia. Kurikulum Montessori adalah salah satu di antaranya. Model ini cocok bagi mereka yang senang dengan keteraturan dan mengharapkan anak-anak juga bersikap teratur dan runut. Sebuah buku berjudul Montessori untuk Prasekolah yang disusun oleh seorang praktisi kurikulum Montessori bernama Elizabeth G. Hainstock dan diterbitkan edisi terjemahannya oleh penerbit Delapratasa Publishing, bisa menjadi pilihan untuk mengetahui lebih detail kegiatan-kegiatan ala Montessori.
Melalui buku tersebut akan kita temukan bahwa model Montessori lebih banyak mempergunakan perabotan rumah tangga sebagai media dan mempergunakan kegiatan rutin sehari-hari di rumah sebagai aktivitas belajar.
Temuan tentang multi kecerdasan oleh Howard Gardner juga bisa menginspirasi kita untuk menyusun kurikulum. Delapan bahkan sembilan jenis kecerdasan versi Gardner, yaitu: kecerdasan bahasa, logika-matematika, visual-spasial, fisik, interpersonal, intrapersonal, musikal, natural, dan spiritual bisa dijadikan acuan untuk memilih ragam kegiatan belajar-bermain di rumah.
Buku yang ditulis Thomas Amstrong berjudul Sekolah Para Juara mencoba menjabarkan konsep multi kecerdasan tersebut dalam konteks sekolah formal untuk anak-anak yang lebih besar. Namun bukan tidak mungkin hal itu bisa menginspirasi para orang tua yang memiliki anak usia dini untuk menerapkan jalan pikiran Amstrong ke dalam konteks belajar anak usia dini di rumah.
Kurikulum berdasarkan Perkembangan Anak
Perkembangan anak secara umum ternyata bisa diukur dengan beberapa ukuran berikut: perkembangan fisik motorik, perkembangan kognitif, perkembangan moral & sosial, emosional, dan komunikasi (Slamet Suyanto, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini:192. Penerbit: Hikayat Publishing. Yogyakarta)
Kita bisa menciptakan kurikulum dengan mengacu pada teori tersebut. Berikut gambaran kasar kurikulum yang mungkin diterapkan:
Perkembangan fisik motorik
 Motorik Kasar : Berlari, memanjat, menendang bola, menangkap bola, bermain lompat tali, berjalan pada titian keseimbangan, dll.
 Motorik Halus : Mewarnai pola, makan dengan sendok, mengancingkan baju, menarik resluiting, menggunting pola,menyisir rambut, mengikat tali sepatu, menjahit dengan alat jahit tiruan, dll.
 Organ Sensoris : Membedakan berbagai macam rasa, mengenali berbagai macam bau, mengenali berbagai macam warna benda, mengenali berbagai benda dari ciri-ciri fisiknya, mampu membedakan berbagai macam bentuk, dll.
Perkembangan Kognitif
Misalnya: mengenal nama-nama warna,mengenal nama bagian-bagian tubuh, mengenal nama anggota keluarga,mampu membandingkan dua objek atau lebih, menghitung, menata, mengurutkan; mengetahui nama-nama hari dan bulan; mengetahui perbedaan waktu pagi, siang, atau malam; mengetahui perbedaan kecepatan (lambat dan cepat); mengetahui perbedaan tinggi dan rendah, besar dan kecil, panjang dan pendek; mengenal nama-nama huruf alfabet atau membaca kata; memahami kuantitas benda, dll.
Perkembangan Moral dan sosial
Misalnya: Mengetahui sopan santun, mengetahui aturan-aturan dalam keluarga atau sekolah jika ia bersekolah, mampu bermain dan berkomunikasi bersama teman-teman, mampu bergantian atau antre, dll.
Perkembangan Emosional
Misalnya: Menunjukkan rasa sayang pada teman, orang tua, dan saudaranya; menunjukkan rasa empati; mengetahui simbol-simbol emosi: sedih, gembira, atau marah dan mampu mengontrol emosinya sesuai kondisi yang tepat.
Perkembangan Komunikasi (Berbahasa)
Misalnya: Mampu mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata,mampu melafalkan kata-kata dengan jelas (bisa dimengerti oleh orang lain).
Begitu beragam model kurikulum yang ada. Mau pilih yang mana? Mengumpulkan sebanyak mungkin sumber dan memilahnya sesuai kekhasan keluarga masing-masing adalah cara paling baik agar kita memiliki bahan yang lebih kaya untuk anak-anak kita.
Salam Pendidikan!
Penulis : Maya A Pujiati

Artikel 5 :

Senin, 2009 Mei 25
Pemerintah Diminta Perhatikan Lembaga Pendidikan
Peraturan Pemerintah tentang pendidikan agama dan keagamaan, memang mendapat sambutan positif dari kalangan Ormas Islam. Namun dari kalangan lain mengharapkan agar pemerintah lebih memperhatikan lembaga pendidikan keagamaan yang dikelola swasta, yang juga telah berperan bagi pencerdasan bangsa.Seperti yang dikatakan ang-gota presidium Masyarakat Pen-didikan Sulut (MPS), Febry Dien ST dan HA Assa SPd, Sabtu (17/11), pemerintah sekiranya lebih memperhatikan Lembaga Pen-didikan Keagamaan (LPK) swasta.

Di samping itu juga memperhatikan lembaga pendidikan umat minoritas.Menurut keduanya, peme-rintah sekiranya dalam mem-perhatikan masalah pendidikan agama dan keagamaan tidak pilih kasih dan mengenyam-pingkan LPK swasta. Perlu diketahui Peraturan Peme-rintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Aga-ma dan Keagamaan yang belum lama ini ditetapkan Presiden Su-silo Bambang Yudhoyono.Terwujudnya PP Nomor 55 Ta-hun 2007 ini merupakan tuntu-tan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyatakan bahwa pen-didikan agama dan keagamaan perlu diatur dengan peraturan pemerintah.

Pemerintah harus mengimple-mentasikannya sehingga mem-beri pencerahan bagi lembaga pendidikan keagamaan khusus-nya yang dikelola swasta. Se-perti tercantum pada Pasal 12 PP, pemerintah atau pemerintah daerah memberi bantuan sum-ber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan. Juga pemerintah melindungi keman-dirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak ber-tentangan dengan tujuan pen-didikan nasional. Pada penjelasan Pasal 12, menyebutkan pemberian ban-tuan sumber daya pendidikan meliputi pendidik, tenaga ke-pendidikan, dana, serta sa-rana dan prasarana pendi-dikan lainnya. Pemberian bantuan disalurkan secara adil kepada seluruh pendi-dikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendi-dikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyara-kat. Dan bantuan dana pen-didikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendi-dikan lain sesuai peraturan perundang-undangan.

http://www.hariankomentar.com


Artikel 6 :

Membangun Sinergisme dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Ahli psikologi perkembangan, Bredekamp, et all (1997:97) mengungkapkan bahwa pemberian pendidikan pada anak usia dini diakui sebagai periode yang sangat penting dalam membangun sumber daya manusia dan periode ini hanya datang sekali serta tidak dapat diulang lagi, sehingga stimulasi dini yang salah satunya adalah pendidikan mutlak diperlukan.

Lalu, pendidikan yang bagaimanakah yang diperlukan? Tentu saja pendidikan yang tidak sekedar mengejar target kurikulum, atau untuk mengejar keinginan masyarakat/orang tua, seperti kemampuan anak membaca, menulis dan berhitung secara maksimal, tetapi pendidikan yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.

Pendidikan bagi anak usia dini telah berkembang luas, baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Berbagai macam program pendidikan anak usia dini ini dikembangkan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat. Minat mengembangkan pendidikan anak usia dini sebenarnya bersumber dari lima macam pemikiran yaitu:

1. Meningkatkan tuntutan terhadap pengasuhan anak dari para ibu yang bekerja, yang berasal dari berbagai tingkatan sosial ekonomi
2. Adanya perhatian yang dikaitkan dengan produktivitas, persaingan yang bersifat internasional, permintaan tenaga kerja yang bersifat global, kesempatan kerja yang luas baik bagi wanita maupun bangsa manapun
3. Pandangan bahwa pengasuhan anak sebagai sesuatu kekuatan utama guna membantu para ibu untuk meningkatkan kualitasnya baik sebagai ibu maupun sebagai sumber daya manusia pada umumnya, sehingga dapat bersaing dalam pasar tenaga kerja
4. Adanya hasrat untuk meningkatkan kualitas anak sejak usia dini terutama bagi mereka yang orang tuanya kurang beruntung, antara lain yang kurang mampu memasukkan anak ke taman kanak-kanak Program untuk anak usia dini mempunyai dampak positif yang panjang terhadap peningkatan kualitas perkembangan anak (Mitchell,1989).

Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan bagian integral dalam Sistem Pendidikan Nasional yang saat ini mendapat perhatian cukup besar dari pemerintah. Konsep PAUD merupakan adopsi dari konsep Early Child Care and Education (ECCE) yang juga merupakan bagian dari Early Child Development (ECD). Konsep ini membahas upaya peningkatan kualitas SDM dari sektor “hulu”, sejak anak usia 0 tahun bahkan sejak pra lahir hingga usia 8 tahun.

Teori lama yang merekomendasikan bahwa pendidikan baru dapat dimulai ketika anak telah berusia 7 tahun, kini terbantahkan. Hasil penelitian mutakhir dari para ahli neurologi, psikologi, dan paedagogi menganjurkan pentingnya pendidikan dilakukan sejak anak dilahirkan, bahkan sejak anak masih dalam kandungan ibunya. Justru pada masa-masa awal inilah yang merupakan masa emas (golden age) perkembangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50% kapabilitas kecerdasan manusia terjadi pada tingkat kanak-kanak pada kurun waktu 4 tahun pertama sejak kelahirannya. Oleh karena itu penanganan anak dengan stimulasi pendidikan pada masa-masa usia tersebut harus optimal. Kemudian, 80% kecerdasan itu terjadi saat anak usia 8 tahun, dan titik kulminasinya terjadi pada saat mereka berusia 18 tahun. Setelah melewati masa perkembangan tersebut, maka berapa pun kapabilitas kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing individu, tidak akan meningkat lagi.

Semua aspek perkembangan kecerdasan anak, baik motorik kasar, motorik halus, kemampuan non fisik, dan kemampuan spiritualnya dapat berkembang secara pesat apabila memperoleh stimulasi lingkungan secara cukup. Perkembangan yang terjadi pada masa ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya.

Pola belajar yang diterapkan pada anak dini usia tidaklah sama dengan pola belajar pada anak usia SD ke atas. Untuk itu perlu diperhatikan oleh penyelenggara program pendidikan pada anak usia dini terutama sumber belajar atau tenaga pendidik dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar haruslah mengetahui bagaimana pola belajar pada anak usia dini.

Pola belajar pada anak usia dini haruslah dibangun berdasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan anak secara tepat yang pelaksanaannya dikemas sesuai dengan dunia anak, yaitu bermain. yang merupakan kegiatan rutinitas yang sangat menyenangkan bagi anak, serta melalui bermainlah anak akan belajar.

Lebih lanjut, di dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan dalam tiga jalur, yaitu jalur formal, non formal dan informal.

Pendidikan anak usia dini pada jalur formal antara lain diselenggarakan dalam bentuk taman kanak-kanak, raudlatul athfal, dan sejenisnya, sedangkan pada jalur non formal antara lain taman penitipan anak, kelompok bermain, taman pendidikan Al Quran, sekolah minggu dan sebagainya. Pada jalur informal, pendidikan anak usia dini ditangani langsung oleh keluarga dan lingkungan.

Lembaga pendidikan anak usia dini kini harus mulai menyelaraskan langkah dan memfokuskan perhatian pada anak-anak, bukan sekedar tuntutan masyarakat atau orang tua. Kurikulum dan proses pembelajaran harus diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengah dunia anak-anak. Para pendidiknya harus memiliki mindset tentang anak-anak dan dunianya, yang bukan miniatur orang dewasa. Keistimewaan dan keunikan anak harus mulai dihargai.

Semua lembaga pendidikan anak usia dini mulai berjalan seirama dalam upaya perluasan akses dan peningkatan kualitas pendidikan. Sinergisme perlu dibangun bersama-sama, sehingga seluruh anak usia dini dapat tertangani. Dengan sinergisme ini permasalahan pendidikan anak usia dini akan terasa ringan, karena kita semua memahami bahwa permasalahan di bidang ini amatlah kompleks, mulai dari banyaknya anak-anak dari kelompok masyarakat marginal yang belum terlayani, sulitnya akses karena permasalahan geografis, keterbatasan tenaga dari segi kualitas dan kuantitas, kurangnya fasilitas, sarana, prasarana dan sebagainya.

Lalu, bagaimana cara membangun sinergisme? Semua pihak harus duduk bersama-sama dan membahas satu kepentingan, yaitu anak, bukan yang lainnya. Ego sektoral dan kepentingan harus dikesampingkan. Semua harus kembali pada anak-anak dan undang-undang yang telah mengaturnya. Sinergisme hanya dapat dibangun ketika semua pihak menyadari bahwa tidak mungkin permasalahan pendidikan anak usia dini dapat ditangani sendiri-sendiri.

Bentuk-bentuk sinergi yang dapat dilakukakan antara lain :

1. Sharing dalam sumber daya manusia
2. Sharing dalam konsep dan pemikiran, misalnya pengembangan model pembelajaran di PAUD, pengembangan APE, dan yang sejenisnya
3. Sharing pendanaan kegiatan
4. Sharing waktu dan tempat penyelenggaraan kegiatan, dan sebagainya

Bentuk-bentuk sinergi ini disesuaikan dengan kondisi masing-masing mitra yang saling bekerjasama.

http://www.bpplsp-reg4.go.id

Artikel 7 :

Departemen IKK - FEMA IPB Gelar SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Bogor, 12 November 2008. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB akan menyelenggarakan “SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN ANAK USIA DINI”. Seminar ini bertujuan:

1. Menelaah peran dan kontribusi Pendidikan Anak Usia Dini dalam peningkatan kualitas SDM dan pembangunan nasional.
2. Menganalisis efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
3. Merumuskan strategi dalam pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini secara holistikdan terpadu dalam era desentralisasi.

Tema dari Seminar Nasional PAUD tahun 2008 adalah “Pendidikan Anak Usia DIni: Investasi Strategis Pembangunan Sumberdaya Manusia dan Pembangunan Nasional di Masa Mendatang“.

Seminar akan dilaksanakan di Gedung IPB International Convention Center (IICC) (Sebelah Kampus IPB Baranangsiang Bogor); pada Rabu, 26 November 2008, pukul 08.00 s.d 17.30 WIB. Seminar ini akan menghadirkan pembicara antara lain:

1. Hamid Muhammad, Ph.D (Dirjen PNFI, Depdiknas RI), tentang “Kebijakan Pemerintah dalam Pembinaan PAUD di Indonesia”
2. Dra. Nina Sardjunani, MA (Deputi Bidang SDM dam Kebudayaan, Kementrian PPN/Bappenas RI), tentang “Rencana Strategis Nasional Pembangunan Sumberdaya Manusia: Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang Pendidikan Anak Usia Dini”
3. Prof. Fasli Jalal, Ph.D (Dirjen Dikti, Depdiknas RI); tentang “Peran Perguruan Tinggi dalam Penyiapan Pendidik dan Tenaga Kependidikan PAUD Berkualitas di Masa Mendatang”
4. Dr. Ir. Ratna Megawangi, MSc (Forum PAUD Indonesia), tentang “Pendidikan Karakter pada Anak Usia Dini sebagai Investasi Pembangunan Sumberdaya Manusia”.
5. Dr. Christine Chen (AECES Singapura), tentang “Policy & Experiences of Early Childhood Education in Singapore”
6. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MSc (FEMA IPB, Bogor); tentang “Pengaruh Gizi terhadap Kualitas Perkembangan Anak Usia Dini”
7. dr. Adre Mayza, Sp.S(K) (Ketua Limbang HIMPAUDI Pusat/Kepala Bidang Peningkatan Pemeliharaan Intelegensia Kesehatan, Depkes RI); tentang “Stimulasi Psikososial terhadap Perkembangan Kecerdasan Majemuk Anak Usia Dini”

Biaya dan Informasi Pendaftaran

1. Biaya investasi: Rp 150.000,- dengan fasilitas berupa seminar kit, coffee break, makan siang dan snack, makalah, jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, serta Sertifikat.
2. Pendaftaran sampai dengan tanggal 21 November 2008 hanya akan dikenakan biaya pendaftaran Rp 100.000,-. Gratis 1 (satu) peserta untuk setiap pendaftaran 10 (sepuluh) orang.
3. Pendaftaran dilakukan dengan cara: (a) Mengirim biaya pendaftaran melalui transfer ke rekening: BRI KCP IPB BOGOR an. DEPARTEMEN IKK FEMA-IPB ke nomor rekening 0595-01-006188-50-8
4. Mengisi formulir yang telah disediakan (terlampir) dan mengirimkannya serta melampirkan bukti transfer melalui fax ke (0251) 8627432 atau melalui attachment ke alamat email alfia81@gmail.com.

Sekretariat Panitia

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia - Institut Pertanian Bogor

Jl. Lingkar Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680

Telp: 0251 - 8628303, Fax: 0251 8627432

Kontak: Ir. Melly Latifah, MSi; Alfiasari, SP, MSi; dan Neti Hernawati, SP


Sumber: http://fema.ipb.ac.id

Artikel 8 :

Jumat, 2009 April 17
Ibu dan Pendidikan Usia Dini
Ibu dan Pendidikan Usia Dini”Hari Ibu”, begitu istimewanya sematan tersebut. Tak kita pungkiri bahwa posisi ibu sangat mulia hingga layak mendapat penghargaan khusus, yakni diperingati secara khusus tepatnya setiap tanggal 22 Desember tiba. Namun dibalik kemuliaan yang tersimpan dalam sosok seorang ibu, ada yang mesti kita renungkan saat ini. Pertanyaan besarnya adalah sudah sejauh mana kita memahami peran agung yang diemban seorang ibu hingga kita pun tak merasa malu untuk menyandang keagungan gelar tersebut. Ibu, Pendidik Pertama dan Utama Tugas utama seorang wanita adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (ummu a rabbatul bait). Tugas utama ini tidak bisa tergantikan, karena Allah SWT telah menetapkan bahwa wanitalah tempat ‘persemaian’generasi manusia dan tempat menghasilkan ASI (Air Susu Ibu) sebagai makanan terbaik di awal kehidupannya. Hal ini harus kita pahami sebagai fungsi utama wanita dalam kehidupan ini. Sebab hal yang demikian itu tidak bisa diperankan oleh laki-laki.Untuk menjamin kelangsungan hidup manusia, Allah SWT telah menetapkan beberapa hukum yang khusus buat wanita. Diantaranya hukum tentang kehamilan, kelahiran, penyusuan, pengasuhan anak dan masa iddah bagi wanita yang ditinggal suami (karena cerai/meninggal). Bahkan Allah SWT telah memberikan keringanan kepada wanita agar dirinya mampu menjalankan tugas-tugas tersebut dengan baik, seperti tidak wajib bekerja mencari nafkah bagi dirinya maupun keluarganya, boleh berbuka puasa pada bulan Ramadlan bagi wanita hamil dan menyusui. Semua hukum tersebut adalah untuk melindungi wanita agar tugas utamanya dapat terlaksana dengan baik.Islam telah menempatkan wanita pada posisi yang mulia dengan tugasnya sebagai ibu. Tanpa keikhlasan dan kerelaan seorang ibu memelihara janin yang dikandungnya selama 9 bulan, tidak akan lahir anak manusia ke bumi ini. Demikian pula dengan kerelaannya dan kesabarannya ketika menyusui dan mengasuh bayinya, hal itu akan berperan besar terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan anak. Posisi seorang wanita yang ridlo dengan kehamilannya sebanding (dari segi pahala) dengan seorang prajurit yang berperang di jalan Allah dan ia sedang berpuasa.Seorang ibu memiliki peran yang sangat vital dalam proses pendidikan anak sejak dini, sebab ibulah sosok yang pertama kali berinteraksi dengan anak, sosok pertama yang memberi rasa aman, dan sosok pertama yang dipercaya dan didengar omongannya. Karenanya ibu menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya. Peran itu sangat menentukan kualitas masyarakat dan negaranya. Sedemikian penting peran ibu dalam menentukan masa depan masyarakat dan negaranya, sampai kaum perempuan (ibu) tersebut diibaratkan tiang negara. Kedekatan fisik dan emosional ibu dengan anak sudah terjalin secara alamiah mulai masa mengandung, menyusui dan pengasuhan. Kasih sayang seorang ibu merupakan jaminan awal untuk tumbuh kembang anak dengan baik dan aman. Para ahli berpendapat bahwa kedekatan fisik dan emosional merupakan aspek penting keberhasilan pendidikan. Di sinilah arti penting peran ibu terhadap pendidikan anak usia dini.Untuk menjalani peran ini Allah SWT telah memberikan potensi pada ibu berupa kemampuan untuk hamil, menyusui serta naluri keibuan. Disamping itu, Allah SWT juga telah menetapkan serangkaian syariat yang memerintahkan ibu untuk menjalankan perannya sesuai dengan potensi yang telah Allah berikan. Seperti anjuran untuk menyusui anak selama 2 tahun, mewajibkan ibu untuk mengasuh anaknya selama masa pengasuhan (hadlonah), yakni sampai anak bisa mengurus dirinya sendiri. Hal ini akan mendorong ibu untuk melakukan semua tanggung jawabnya semata karena mematuhi perintah Allah SWT. Sesungguhnya anak bagaikan ‘radar’ yang dapat menangkap setiap obyek yang ada di sekitarnya. Perilaku ibu adalah kesan pertama yang ditangkap anak.Apabila seorang ibu memiliki kepribadian agung dan tingkat ketaqwaan yang tinggi, maka kesan pertama yang masuk ke dalam benak anak adalah kesan yang baik.Kesan yang baik ini akan menjadi landasan yang kokoh bagi perkembangan kepribadian anak ke arah ideal yang diinginkan. Disamping itu, anak sendiri membutuhkan figur contoh (qudwah) dalam mewujudkan nilai-nilai yang ditanamkan kepadanya selama proses belajar di masa kanak-kanak, sebab akal anak belum sempurna untuk melakukan proses berpikir. Ia belum mampu menterjemahkan sendiri wujud nilai-nilai kehidupan yang diajarkan kepadanya. Kekuatan figur ibu akan membuat anak mampu untuk menyaring apa-apa yang boleh dan tidak boleh diambil dari lingkungannya. Karena anak menjadikan apa yang diterima dari ibunya sebagai standar nilai.Para pakar pendidikan mengajarkan bahwa keteladanan adalah media pendidikan yang paling efektif dan berpengaruh dalam menyampaikan tata nilai kehidupan. Dalam hal ini ibulah orang yang paling tepat untuk berperan sebagai qudwah pertama bagi anak. Ibulah yang paling besar peranannya dalam memberi warna pada pembentukan kepribadian anak, sehingga dibutuhkan ibu yang berkualitas yang akan mampu mendidik anaknya dengan baik. Pembinaan kepribadian anak menjadi tanggung jawab orang tua terutama ibu. Keluarga berperan menjadi wadah pertama pembinaan agama dan sekaligus membentenginya dari pengaruh-pengaruh negatif yang berasal dari luar. Peran orang tua terutama ibu menjadi penting karena ibulah yang paling tahu bagaimana perkembangan dan kemajuan anak, baik fisik maupun mentalnya. Kehadiran orang tua (terutama ibu) dalam perkembangan jiwa anak amat penting. Bila anak kehilangan peran dan fungsi ibunya, sehingga dalam proses tumbuh kembangnya anak kehilangan pembinaan, bimbingan, kasih sayang, perhatian dan sebagainya, maka anak akan mengalami “deprivasi maternal”. Deprivasi maternal dengan segala dampaknya dalam perkembangan dapat terjadi tidak hanya jika anak semata-mata kehilangan figur ibu secara fisik (loss), tetapi juga bisa dikarenakan tidak adanya (lack) peran ibu yang amat penting dalam proses imitasi dan identifikasi anak terhadap ibunya. Deprivasi maternal pada anak usia dini jauh lebih besar pengaruhnya daripada anak pada usia yang lebih besar. Keadaan ini menyebabkan hubungan kasih sayang antara ibu dan anak terputus. Sering dijumpai pada anak-anak yang semacam ini suatu gangguan yang dinamakan “Attachment Disorder” atau “Failure to Thrive”. Pada kelainan kejiwaan semacam ini biasanya anak telah mengalami penyimpangan (distorsi).Pada awal perkembangan, anak memerlukan stimulasi dini yang diberikan oleh ibu melalui panca indra fungsi-fungsi mental emosional agar anak terpacudan berkembang. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami deprivasi maternal juga mempunyai resiko tinggi untuk menderita gangguan perkembangan kepribadiannya, yaitu perkembangan mental intelektual, mental emosional bahkan perkembangan psikososial dan spiritualnya. Tidak jarang dari mereka bila kelak telah dewasa akan memperlihatkan berbagai perilaku menyimpang, anti sosial, bahkan tindak kriminal.Kondisi inilah yang semestinya menyadarkan para ibu (atau calon ibu) akan pentingnya peran ibu dalam mencetak generasi unggul. Para ibu tak boleh terlena dengan julukan ”surga di bawah telapak kaki ibu”. Mestinya keagungan julukan itu mendorong para ibu untuk menjalankan peran terbaiknya, terutama pada masa-masa mendidik anak yang berada pada tahap usia dini.

sumber :http://baitijannati.wordpress.com

Artikel 9 :

Standar Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal
Standar Pendidikan Anak Usia Dini NonformalSebagai upaya memberikan layanan pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyusun draf Standar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nonformal. Standar ini mencakup seluruh pelayanan anak usia dini sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, khusus untuk layanan PAUD Nonformal lebih memprioritaskan anak usia 0-4 tahun.Direktur PAUD Depdiknas Gutama mengemukakan, sejak lama pemerintah dituntut oleh masyarakat untuk menyusun standar yang jelas. Selama ini, kata dia, kurikulum PAUD Nonformal pun belum ada, yang ada adalah acuan resmi dari Depdiknas, tetapi belum ada khusus yang dibuat karena standar nasionalnya belum ada. "Standar ini akan menjadi acuan kita,bukan standar yang maksimal tapi yang minimal," katanya pada Uji Publik Draf Standar PAUD Nonformal di Graha Depdiknas, Jakarta, Senin (24/03/2008) .Hadir dalam acara Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK) Baedhowi, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Ace Suryadi, Ketua BSNP Yunan Yusuf, dan para pengelola PAUD. Gutama mengatakan, standar ini disusun bukan untukmenghambat potensi PAUD di masyarakat yang sedang tumbuh dan berkembang, tetapi justru memberikan peluang agar mereka bisa tumbuh berkembang dan akhirnya mencapai standar minimal yang diharapkan. "Jangan sampai ada anak yang tidak mendapatkan sentuhan pendidikan sejak anak usia dini," ujarnya.Anggani Sudono, Koordinator Penyusunan Standar PAUD Nonformal menyampaikan, tujuan diselenggarakan uji publik Standar PAUD Nonformal adalah untuk memperoleh masukan yang sebanyak-banyaknya agar standar ini sesuai dengan kehendak semua. "Sekaligus menjadi payung semua kegiatan anak usia dini yang dilakukan oleh seluruh masyarakat di Indonesia," katanya.Anggani mengatakan, anak usia dini apabila mendapatkan penanganan, pengasuhan, dan pendidikan sedini mungkin maka akan memberi dasar yang kuat untuk pendidikan selanjutnya. "Ini (PAUD) merupakan investasi dalam kehidupan selanjutnya. Standar PAUD akan diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia," katanya. Anggani menyebutkan, komponen standar pendidikan usia dini terdiri atas tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini; pendidik dan tenaga kependidikan PAUD; program, isi, proses, dan penilaian PAUD; infrastruktur pendukung, sarana, dan prasarana, serta pengelolaan dan pembiayaan.Endang Ekowarni, Ketua Tim Ad hoc Penyusunan Standar PAUD mengatakan, pada komponen pertama standar yang disusun yakni bukan standar kelulusan, tetapi menggunakan istilah tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini dengan target setiap tahap harus dicapai anak dengan sehat, cerdas, dan ceria. "Jadi sehat dan cerdas menurut tahap perkembangannya, dan ceria juga sesuai dengan usianya. Pada akhirnya mereka akan siap untuk mengikuti pendidikan formal."

sumber: Pers Depdiknas

Artikel 10 :

Pendidikan Matematika pada Anak Usia Dini
Pendidikan Matematika pada Anak Usia DiniRendahnya mutu pendidikan masih disandang bangsa Indonesia. Hal ini dapat diminimalkan dengan mengoptimalkan pendidikan pada anak sejak dini, terutama pendidikan matematika. Mengingat image masyarakat terhadap matematika yang menganggap pelajaran yang menakutkan. Padahal, matematika dapat diberikan kepada anak sejak usia 0+ tahun.Anak pada usia 0-6 tahun perlu mendapat perhatian khusus karena pada usia inilah kesiapan mental dan emosional anak mulai dibentuk. Penelitian terhadap Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menunjukkan bahwa mutu pendidikan dan keberhasilan akademis secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas masukan pendidikan yaitu kesiapan mental dan emosional anak memasuki sekolah dasar.Anak mulai belajar dan beradaptasi dengan lingkungannya sejak bayi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan otak bayi dibentuk pada usia 0-6 tahun. Oleh sebab itu asupan nutrisi yang cukup juga harus diperhatikan. Para ahli neurologi meyakini sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia terjadi pada usia 4 tahun, 80% terjadi ketika usia 8 tahun, dan 100% ketika anak mencapai usia 8 - 18 tahun.Itulah sebabnya, mengapa masa anak-anak dinamakan masa keemasan. Sebab, setelah masa perkembangan ini lewat, berapapun kapabilitas kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing individu, tidak akan meningkat lagi.Bagi yang memiliki anak, tentu tidak ingin melewatkan masa keemasan ini. Berdasarkan kajian neurologi dan psikologi perkembangan, kualitas anak usia dini disamping dipengaruhi oleh faktor bawaan juga dipengaruhi faktor kesehatan, gizi dan psikososial yang diperoleh dari lingkungannya. Maka faktor lingkungan harus direkayasa dengan mengupayakan semaksimal mungkin agar kekurangan yang dipengaruhi faktor bawaan tersebut bisa diperbaiki.Dalam tahun-tahun pertama kehidupan, otak anak berkembang sangat pesat dan menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan yang memuat berbagai kemampuan dan potensi. Nutrisi bagi perkembangan anak merupakan benang merah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.Setidaknya terdapat 6 aspek yang harus diperhatikan terkait dengan perkembangan anak antara lain: pertama, perkembangan fisik: hal ini terkait dengan perkembangan motorik dan fisik anak seperti berjalan dan kemampuan mengontrol pergerakan tubuh.Kedua, perkembangan sensorik: berkaitan dengan kemampuan anak menggunakan panca indra dalam mengumpulkan informasi. Ketiga, perkembangan komunikasi dan bahasa: terkait dengan kemampuan menangkap rangsangan visual dan suara serta meresponnya, terutama berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan mengekspresikan pikiran dan perasaan. Keempat, perkembangan kognitif: berkaitan dengan bagaimana anak berpikir dan bertindak. Kelima, perkembangan emosional: berkaitan dengan kemampuan mengontrol perasaan dalam situasi dan kondisi tertentu. Keenam, perkembangan sosial: berkaitan dengan kemampuan memahami identitas pribadi, relasi dengan orang lain, dan status dalam lingkungan sosial.Para orang tua juga dituntut untuk memahami fase-fase pertumbuhan anak. Fase pertama, mulai pada usia 0-1 tahun. Pada permulaan hidupnya, anak diusia ini merupakan suatu mahkluk yang tertutup dan egosentris. Ia mempunyai dunia sendiri yang berpusat pada dirinya sendiri. Dalam fase ini, anak mengalami pertumbuhan pada semua bagian tubuhnya. Ia mulai terlatih mengenal dunia sekitarnya dengan berbagai macam gerakan. Anak mulai dapat memegang dan menjangkau benda-benda disekitarnya. Ini berarti sudah mulai ada hubungan antara dirinya dan dunia luar yang terjadi pada pertengahan tahun pertama (± 6 bulan). Pada akhir fase ini terdapat dua hal yang penting yaitu: anak belajar berjalan dan mulai belajar berbicara.Fase kedua, terjadi pada usia 2-4 tahun. Anak semakin tertarik kepada dunia luar terutama dengan berbagai macam permainan dan bahasa. Dunia sekitarnya dipandang dan diberi corak menurut keadaan dan sifat-sifat dirinya. Disinilah mulai timbul kesadaran akan "Akunya". Anak berubah menjadi pemberontak dan semua harus tunduk kepada keinginannya.Fase ketiga, terjadi pada usia 5-8 tahun. Pada fase pertama dan kedua, anak masih bersifat sangat subjektif namun pada fase ketiga ini anak mulai dapat melihat sekelilingnya dengan lebih objektif. Semangat bermain berkembang menjadi semangat bekerja. Timbul kesadaran kerja dan rasa tanggung jawab terhadap kewajibannya. Rasa sosial juga mulai tumbuh. Ini berarti dalam hubungan sosialnya anak sudah dapat tunduk pada ketentuan-ketentuan disekitarnya. Mereka mengingini ketentuan-ketentuan yang logis dan konkrit. Pandangan dan keinginan akan realitas mulai timbul.Pendidikan MatematikaUntuk pendidikan matematika dapat diberikan pada anak usia 0+ tahun sambil bermain, karena waktu bermain anak akan mendapat kesempatan bereksplorasi, bereksperimen dan dengan bebas mengekspresikan dirinya. Dengan bermain, tanpa sengaja anak akan memahami konsep-konsep matematika tertentu dan melihat adanya hubungan antara satu benda dan yang lainnya.Anak juga sering menggunakan benda sebagai simbul yang akan membantunya dalam memahami konsep-konsep matematika yang lebih abstrak. Ketika bermain, anak lebih terstimulasi untuk kreatif dan gigih dalam mencari solusi jika dihadapkan atau menemukan masalah.Pada pendidikan matematika dapat diberikan misalnya pada pengenalan bilangan, terlebih dahulu diperdengarkan angka dengan menyebutkan angka satu, dua, tiga dan seterusnya. Dan perlihatkan benda-benda berjumlah satu, dua, tiga dan seterusnya, bukan berarti materinya langsung mengenalkan lambang bilangan "dua" karena anak akan bingung. Dengan bertambahnya kecerdasan dan umur barulah diperkenalkan ke lambang bilangan.Pengenalan geometri, anak diberikan berbagai macam bentuk bangun misalnya bola, kotak, persegi, lingkaran dan sebagainya. Dengan memerintahkan anak mengambil bangun yang disebutkan nama dan ciri-cirinya.Pengenalan penjumlahan dan pengurangan, pakailah lima bola berdiameter sama yang dapat digenggam. Untuk pengurangan, sebanyak lima bola diambil satu, dua, ..., dan lima. Sebaliknya penjumlahan dengan menambahkan satu, dua, ..., sampai empat pada bola yang tergenggam. Mengingat ciri khas pada setiap jumlah bola yang sering dilihatnya, anak pun akan melihat kejanggalan ketika dikurangi atau ditambah. Peristiwa tersebut membuatnya semakin memahami hakikat "bertambah" dan "berkurang", yang ditandai perubahan jumlah bola yang digenggamnya. Apalagi pada peragaan bola yang diameter dan warnanya beragam, pemahamannya tidak lagi terikat dengan ukuran, tetapi pada jumlah bola yang tampak.Pengenalan hubungan atau pengasosiasian antara benda, misalnya berikan kotak dan dilanjutkan dengan memperlihatkan benda yang berbentuk kotak lain seperti kotak susu, bungkus sabun dan sebagainya. Dibenak anak dapat menghubungkan antar kotak yang satu dengan yang lainnya. Sehingga pendidikan matematika dapat diberikan kepada anak usia dini dimulai dari pendidikan keluarga, yang dilakukan oleh orang tua sebagai guru terdekat sang anak.Orang Tua "Guru" KreatifPeran penting yang dapat dilakukan orang tua yaitu sebagai: Pertama, pengamat. Orang tua mengamati apa yang dilakukan oleh anak sehingga dapat mengikuti proses yang berlangsung. Ketika dibutuhkan, orang tua dapat memberikan dukungan dengan mengacungkan jempol, mengangguk tanda setuju, menyatakan rasa sukanya, bahkan ikut bermain. Kedua, manajer. Orang tua memperkaya ide anak dengan ikut mempersiapkan peralatan sampat tempat bermain. Ketiga, teman bermain. Orang tua ikut bermain dengan kedudukan sejajar dengan anak. Keempat, pemimpin (play leader). Dalam hal ini orang tua berperan menjadi teman bermain, sekaligus memberikan pengayaan dengan memperkenalkan cara serta tema baru dalam bermain.Pengaruh orang tua sebagai "guru" pada anak memiliki porsi terbesar dilingkungannya, sehingga orang tua dalam mendidik dapat beracuan: pertama, berorientasi pada anak (pupil centered). Dalam mengajar anak tidak dengan komunikasi satu arah dengan kata lain orang tua dinyatakan orang yang paling tahu dan paling pandai.
Kedua, dinamis. Dalam mendidik anak bawalah mereka sambil bermain dan orang tua dapat memancing anak untuk memunculkan ide kreatif dan inovatifnya. Ketiga, demokratis. Ini berarti, memberikan kesempatan pada anak untuk menuangkan pikirannya dan bersikap tidak sok kuasa.

sumber : kompas

Artikel 11 :

Peran Ayah dalam Pendidikan Anak Usia Dini
Peran Ayah dalam Pendidikan Anak Usia DiniKabarIndonesia - Resolusi 47/237 Sidang Umum PBB pada tanggal 20 September 1993, memutuskan bahwa setiap tanggal 15 Mei tiap tahunnya akan diperingati sebagai Hari Keluarga Internasional. Setiap tahunnya, dipilih tema-tema yang menjadi fokus kampanye dan aksi pada tahun itu. Tema untuk tahun 2008 ini adalah ” Ayah dan Keluarga: Tanggung Jawab dan Tantangan”.Sebuah tema yang unik dan benar-benar menantang, karena biasanya pembahasan tentang keluarga lebih menitikberatkan pada ibu dan anak . Menurut Eric Olson dari Divisi Kebijakan dan Pembangunan Sosial, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB, tema ini dipilih dengan penekanan pada peran ayah dalam keluarga dan pentingnya tanggung jawab dan tantangan yang menyertainya.Ayah dan KeluargaSaat ini, keluarga-keluarga di dunia sedang mengalami banyak perubahan, mulai perubahan dari kehidupan berkeluarga besar menjadi keluarga inti, meningkatnya jumlah wanita (termasuk ibu) dalam dunia kerja, meningkatnya angka cerai-kawin, meningkatnya jumlah kelahiran tanpa pernikahan, meningkatnya jumlah wanita sebagai orang tua tunggal dan kepala rumah tangga, serta jumlah ayah yang tinggal jauh dari keluarga. Fenomena-fenomena tersebut, menurunkan peran ayah dalam keluarga sebagai pendidik, kepala rumah tangga, dan pencari nafkah dalam keluarga.Meningkatnya angka perceraian, membuat banyak wanita terpaksa mengambil peran ayah bagi anak-anaknya. Efek yang terjadi biasanya menyangkut lemahnya capaian kebutuhan finansial bagi keluarga, yang seringkali berpengaruh pada perkembangan anak bahkan tidak jarang berujung pada terlibatnya anak pada kriminalitas.Sisi lain adalah meningkatnya jumlah ayah yang menjadi pekerja migran, seperti yang dialami para TKI kita di Taiwan, Malaysia atau Saudi Arabia. Tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi membuat para ayah terpaksa bekerja jauh dari keluarga dalam waktu lama. Selain efek terhadap perkembangan jiwa anak, tidak jarang fenomena ini membuat banyak masalah dalam keluarga.Banyak diantara para ayah pekerja migran ini berperilaku seks bebas, sehingga ini juga meningkatkan risiko penularan HIV/AIDS. Hal ini menjadi hal yang juga dipikirkan oleh UNFPA (United Nations Population Fund) yang memilih tema “Ayah Pekerja” pada peringatan Hari Populasi Dunia tahun 2007 lalu, dengan mengkampanyekan tanggung jawab ayah selain bekerja bagi keluarga adalah antara lain mendukung istri hamil, merawat bayi-bayinya, mendidik anak termasuk anak perempuan dan berbagi untuk menjadi orang tua bagi anak-anaknya.Tidak bisa dipungkiri begitu besar peran ayah dalam keluarga. Oleh sebab itu, sangat penting untuk mengembalikan peran ayah dalam keluarga ini, dengan berbagai kebijakan yang mendukung hal tersebut. Pendidikan berkeluarga bagi pasangan pra nikah, pendidikan bagi orang tua sebagai guru bagi anak-anaknya (parents as a teacher/PAT), bahkan usaha untuk menciptakan peluang kerja yang kondusif di dalam negeri adalah hal-hal yang harus diperhatikan oleh negara.Ayah dan ASISalah satu hal sederhana yang sering terlupakan adalah penjagaan ayah terhadap istrinya yang berstatus sebagai ibu hamil (bumil) dan ibu menyusui (busui). Perawatan janin selama kehamilan bukan saja tanggung jawab istri, namun juga suami. Begitupun tanggung jawab untuk memberikan air susu ibu eksklusif (ASIX) bagi bayinya adalah juga tanggung jawab ayah. Mendapatkan ASIX adalah hak anak, dan dengan begitu besarnya manfaat ASIX, yang tidak bisa tergantikan oleh susu formula (sufor), maka penjagaan atas terpenuhinya kebutuhan tersebut menjadi penting.Komitmen ayah dan ibu menjadi penting untuk dibuat. Termasuk momen yang justru sering terlewatkan adalah pemberian ASIX yang sarat kolostrum pada bayi yang baru lahir (newborn baby). Masih terdapat fenomena pemberian sufor oleh dokter/bidan/perawat kepada bayi baru lahir, padahal sang ibu mampu untuk memberikan ASI-nya. Ketidakpahaman dan kadang juga karena motivasi bisnis praktisi kesehatan, sering memaksa bayi baru lahir mengkonsumsi sufor, padahal bisa jadi sang orang tua bayi sudah memiliki rencana untuk memberikan ASIX pada buah hatinya.Ketidakpahaman itu seringkali mendapatkan justifikasi ketika sang ibu memiliki masalah dengan belum keluarnya ASIX, padahal bayi baru lahir mampu menunggu disusui hingga lebih dari satu hari. Ketika sang ibu masih tergolek setelah melahirkan, disinilah peran ayah untuk menjaga agar bayinya mendapatkan hanya ASIX.Pengaturan peredaran sufor via peraturan pemerintah seperti yang dilakukan oleh Pemda Sulawesi Selatan dan Klaten adalah hal yang baik, termasuk dalam hal ini menyiapkan fasilitas nursery ditempat umum atau di tempat kerja, adalah kebijakan yang harus didukung dan dikembangkan. Di Taiwan, setiap tempat umum terdapat fasilitas nursery room yang bagus. Termasuk dalam hal ini adalah kebijakan cuti bagi ibu menyusui.Di Inggris, terdapat peraturan yang melarang penitipan bayi dibawah usia 9 bulan, dan pemberian cuti melahirkan bagi para wanita pekerja hingga 9 bulan. Swedia bahkan tidak hanya memberikan ibu, namun juga ayah pekerja yang memiliki bayi hingga 12 bulan dan masih memberikan 80 persen gaji. Singapura sejak zaman Lee Kwan Yew memberikan subsidi pada ibu-ibu hamil dan menyusui agar mendapatkan asupan yang cukup dan bergizi.Bagi para orang tua Indonesia, seraya menunggu lahirnya kebijakan yang berpihak pada investasi pembangunan SDM sejak dini ini, adalah tanggung jawab ayah untuk mengalihkan alokasi dana untuk pembelian susu formula dengan memberikan asupan gizi yang cukup pada ibu menyusui, sehingga ASIX bisa diberikan pada bayi baru lahirnya.Ayah dan PendidikanSetelah merawat bayinya, pada masa pertumbuhan sang anak, peran ayah untuk memberikan pendidikan secara berjenjang pada anak-anaknya adalah tanggung jawab yang mulia. Memberikan pendidikan agama dan budi pekerti, mengembangkan psikologi yang sehat bagi anak, pengembangan kognitif dan motorik anak usia dini, menyiapkan pendidikan dasar, menengah hingga tinggi harus disiapkan oleh

ayah dengan sebaik-baiknya.Tidak benar merasa cukup dengan menyekolahkan anak mulai TK hingga PT, dan melepaskan diri dari tanggung jawab pendidikan. Dari keluargalah anak dibentuk, digembleng dan diarahkan. Jika keluarga rusak, maka rusaklah anak, dan sebaliknya. Peran ayah sebagai kepala keluarga yang baik akan mengantarkan terbentuknya generasi penerus yang tidak saja kuat intelegensinya, namun juga terampil dan memiliki kemampuan afektif yang bagus. Selamat berjuang kepada para ayah untuk mewujudkannya.

http://www.kabarindonesia.com

Artikel 12 :

Kurikulum untuk anak usia dini, perlukah? Anak-anak usia dini hidup dalam dunia bermain. Meskipun demikian,tak ada salahnya jika orang tua memilik
Kurikulum untuk anak usia dini, perlukah? Anak-anak usia dini hidup dalam dunia bermain. Meskipun demikian,tak ada salahnya jika orang tua memiliki rancangan bahan atau materi untuk mengisi hari-hari mereka. Hal yang pasti, kurikulum untuk anak usia dini haruslah sangat fleksibel, sesuai dengan kemampuan dan minat anak. Kelas-kelas pra-sekolah seperti Play Group (PG) atau Taman Kanak-Kanak (TK) pasti memiliki kurikulum dan target-target, namun karena tuntutan aturan formal, mau tidak mau guru akan menilai perkembangan anak secara kasar, berdasarkan akumulasi kemampuan yang dikuasai anak selama kurun waktu tertentu. Jelas penilaian itu tidak valid, karena ketika guru memasuki kurikulum mewarnai misalnya, beberapa anak mungkin belum siap dengan fase itu. Mereka mungkin menolak untuk melakukannya atau hanya membubuhkan satu coretan pendek di kertasnya, karena dia memang belum berminat. Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. Tak peduli apakah anak-anak masuk TK ataupun tidak, tugas orang tua-lah untuk memahami anak-anaknya dengan baik, sehingga tahu kapan harus memperkenalkan sebuah keterampilan, kapan harus menundanya, kapan harus memacunya lebih kencang, dan bagaimana membuat anak menjadi tertarik untuk mempelajari sesuatu tanpa harus dipaksa oleh waktu dan penilaian pihak lain. Pendidikan sungguh jauh melampaui batas-batas nilai kuantitatif seperti diterapkan di sekolah. Pendidikan adalah rangkaian proses belajar untuk menjadi manusia yang terus tumbuh, baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Menyusun kurikulum untuk anak usia dini berarti siap mengikuti irama mereka dan siap untuk melangkah lebih jauh saat mereka berminat untuk tahu lebih banyak. Ketika anak-anak diperkenalkan tentang kuda misalnya, bisa jadi rasa ingin tahu mereka berkembang, ingin tahu tentang makanannya, di mana tidurnya, dan mungkin ingin mencoba menaikinya dan mengoleksi gambar-gambarnya. Adapun secara terstruktur, ada banyak model kurikulum anak usia dini yang telah dikembangkan di dunia. Kurikulum Montessori adalah salah satu di antaranya. Model ini cocok bagi mereka yang senang dengan keteraturan dan mengharapkan anak-anak juga bersikap teratur dan runut. Sebuah buku berjudul Montessori untuk Prasekolah yang disusun oleh seorang praktisi kurikulum Montessori bernama Elizabeth G. Hainstock dan diterbitkan edisi terjemahannya oleh penerbit Delapratasa Publishing, bisa menjadi pilihan untuk mengetahui lebih detail kegiatan-kegiatan ala Montessori. Melalui buku tersebut akan kita temukan bahwa model Montessori lebih banyak mempergunakan perabotan rumah tangga sebagai media dan mempergunakan kegiatan rutin sehari-hari di rumah sebagai aktivitas belajar. Temuan tentang multi kecerdasan oleh Howard Gardner juga bisa menginspirasi kita untuk menyusun kurikulum. Delapan bahkan sembilan jenis kecerdasan versi Gardner, yaitu: kecerdasan bahasa, logika-matematika, visual-spasial, fisik, interpersonal, intrapersonal, musikal, natural, dan spiritual bisa dijadikan acuan untuk memilih ragam kegiatan belajar-bermain di rumah. Buku yang ditulis Thomas Amstrong berjudul Sekolah Para Juara mencoba menjabarkan konsep multi kecerdasan tersebut dalam konteks sekolah formal untuk anak-anak yang lebih besar. Namun bukan tidak mungkin hal itu bisa menginspirasi para orang tua yang memiliki anak usia dini untuk menerapkan jalan pikiran Amstrong ke dalam konteks belajar anak usia dini di rumah. Kurikulum berdasarkan Perkembangan Anak Perkembangan anak secara umum ternyata bisa diukur dengan beberapa ukuran berikut: perkembangan fisik motorik, perkembangan kognitif, perkembangan moral & sosial, emosional, dan komunikasi (Slamet Suyanto, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini:192. Penerbit: Hikayat Publishing. Yogyakarta) Kita bisa menciptakan kurikulum dengan mengacu pada teori tersebut. Berikut gambaran kasar kurikulum yang mungkin diterapkan: Perkembangan fisik motorik Motorik Kasar : Berlari, memanjat, menendang bola, menangkap bola, bermain lompat tali, berjalan pada titian keseimbangan, dll. Motorik Halus : Mewarnai pola, makan dengan sendok, mengancingkan baju, menarik resluiting, menggunting pola,menyisir rambut, mengikat tali sepatu, menjahit dengan alat jahit tiruan, dll. Organ Sensoris : Membedakan berbagai macam rasa, mengenali berbagai macam bau, mengenali berbagai macam warna benda, mengenali berbagai benda dari ciri-ciri fisiknya, mampu membedakan berbagai macam bentuk, dll. Perkembangan Kognitif Misalnya: mengenal nama-nama warna,mengenal nama bagian-bagian tubuh, mengenal nama anggota keluarga,mampu membandingkan dua objek atau lebih, menghitung, menata, mengurutkan; mengetahui nama-nama hari dan bulan; mengetahui perbedaan waktu pagi, siang, atau malam; mengetahui perbedaan kecepatan (lambat dan cepat); mengetahui perbedaan tinggi dan rendah, besar dan kecil, panjang dan pendek; mengenal nama-nama huruf alfabet atau membaca kata; memahami kuantitas benda, dll. Perkembangan Moral dan sosial Misalnya: Mengetahui sopan santun, mengetahui aturan-aturan dalam keluarga atau sekolah jika ia bersekolah, mampu bermain dan berkomunikasi bersama teman-teman, mampu bergantian atau antre, dll. Perkembangan Emosional Misalnya: Menunjukkan rasa sayang pada teman, orang tua, dan saudaranya; menunjukkan rasa empati; mengetahui simbol-simbol emosi: sedih, gembira, atau marah dan mampu mengontrol emosinya sesuai kondisi yang tepat. Perkembangan Komunikasi (Berbahasa) Misalnya: Mampu mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata,mampu melafalkan kata-kata dengan jelas (bisa dimengerti oleh orang lain). Begitu beragam model kurikulum yang ada. Mau pilih yang mana? Mengumpulkan sebanyak mungkin sumber dan memilahnya sesuai kekhasan keluarga masing-masing adalah cara paling baik agar kita memiliki bahan yang lebih kaya untuk anak-anak kita. Salam Pendidikan!

sumber : http://www.e-smartschool.com

Artikel 12 :

Jumat, 2009 Maret 13
Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini
Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun (Direktorat PAUD, 2004). Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.


Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan panduan stimulasi dalam program Bina Keluarga Balita (BKB) sejak tahun 1980, namun implementasinya belum memasyarakat. Hasil penelitian Herawati (2002) di Bogor menemukan bahwa dari 265 keluarga yang diteliti, hanya terdapat 15% yang mengetahui program BKB. Faktor penentu lain dari kurang memasyarakatnya program BKB adalah rendahnya tingkat partisipasi orang tua. Kemudian pada tahun 2001, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda mengeluarkan program PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Namun keberadaan program tersebut sampai saat ini belum menjangkau tingkat pedesaan secara merata, sehingga belum dapat diakses langsung oleh masyarakat.
Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat mendasar dan strategis dalam pembangunan sumberdaya manusia. Tidak mengherankan apabila banyak negara menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Di Indonesia sesuai pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia telah ditempatkan sejajar dengan pendidikan lainnya. Bahkan pada puncak acara peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2003, Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan pelaksanaan pendidikan anak usia dini di seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak Indonesia (Direktorat PAUD, 2004).


sumber : http://eldiina.com

Artikel 13 :

MEMAHAMI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah salah satu upaya pembinaan yangditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Tujuan PAUD adalah membantu mengembangkan seluruh potensi dan kemampuan fisik, intelektual, emosional, moral dan agama secra optimal dlam lingkungan pendidikan yang kondusif, demokratis dan kompetitif.


LANDASAN YURIDIS
Pembukaan UUD 1945 ; ‘Salah satu tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.’
Amandemen UUD 1945 pasal 28 C
’Setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’
3. UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 9 ayat (1)
’Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minta dan bakat.’
4. UU No 20/2003 pasal 28
1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan/atau informal.
3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk kelompok bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
5) Pendidikan anak usia dini pada jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

sumber : http://qeeasyifa.multiply.com/journal/item/61/MEMAHAMI_PEND

Artikel 14 :

850 Guru Ikuti Senam Massal PAUD Ceria
Sekitar 850 ibu-ibu guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Kabupaten Lamongan, Kamis (23/4), memeragakan senam massal PAUD Ceria dan lomba senam PAUD Ceria.

Lomba Senam PAUD Ceria di Lamongan dinilai tiga juri pencipta Senam PAUD Ceria, yakni Putut Purnawirawan, Yuniar Ari Riswati, dan Tirta Buringsih. Lomba tersebut diikuti perwakilan guru PAUD dari 27 kecamatan di Kabupaten Lamongan, di mana setiap kecamatan mengirimkan enam perwakilan.

Senam PAUD Ceria secara spesifik diperuntukkan bagi anak usia dini. Kepala Seksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Lamongan Arif Supono menyatakan, gerakan senam dibuat sederhana secara teknik tetapi tetap menyehatkan. Gerakan senam disisipi gerakan unsur fun (menyenangkan) dengan gerakan seperti berenang. Dalam iringan musik untuk senam itu disertai lantunan syair sebagai petunjuk masing-masing gerakan.

Kepala Seksi PAUD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur Puji Astuti menyatakan, kegiatan senam massal PAUD Ceria yang digelar Dinas Pendidikan Lamongan akan dijadikan referensi karena berhasil mengumpulkan hampir 1.000 guru PAUD dalam senam massal.

"Ini sangat bagus sebagai pemicu semangat bagi para pendidik dalam menjalankan tugas mulianya. Senam massal sekaligus sebagai satu bentuk publikasi pada masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak usia dini," kata Puji.

Menurut Puji, di masa lalu ada banyak anggapan pendidikan anak usia dini tidak terlalu penting, tetapi sekarang pendidikan pada anak usia dini sudah tidak bisa lagi dikesampingkan. Pendidikan ketika anak berada di usia dini sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup anak, baik pendidikan maupun kesehatannya.

"Di usia dinilah masa-masa keemasan perkembangan anak. Saya percaya ibu-ibu guru PAUD mampu menjalankan amanat ini, karena guru PAUD adalah ibu bagi anak-anak masa depan Indonesia," tuturnya.

Kepala Dinas Pendidikan Lamongan Mustofa Nur menambahkan, suatu bangsa hanya bisa maju jika didukung sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Anak-anak yang berada di lembaga PAUD nanti akan menjadi SDM penentu kemajuan bangsa. "Di sinilah peran penting guru PAUD sebagai penentu kualitas SDM bangsa ini," ujarnya.

http://regional.kompas.com

Artikel 15 :

Investasi Pengembangan PAUD Ditingkatkan
Investasi pengembangan anak usia dini merupakan investasi penting untuk menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Untuk itu, pemerintah berkomitmen meningkatkan layanan pendidikan anak usia dini atau PAUD hingga ke seluruh pelosok Tanah Air.

"Pendidikan anak usia dini sekarang ini terus tumbuh karena masyarakat sudah sadar pentingnya PAUD. Perhatian dan dukungan dari pemerintah juga akan terus diperkuat hingga ke lembaga PAUD di tingkat desa," kata Sujarwo Singowidjojo, Direktur PAUD Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Selasa (25/11).

Guna menelaah peran dan kontribusi PAUD dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan nasional, penyelenggaraan PAUD, serta strategi pengembangan PAUD secara holistik dan terpadu, pemerintah bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) menggelar seminar dan lokakarya PAUD pada 26-27 November. Acara dihadiri sekitar 500 ornag dari pemerintah, dinas pendidikan, pemerhati PAUD, dan masyarakat.

Pendidikan anak usia 0-6 tahun ini dinilai sebagai strategi pembangunan sumber daya manusia yang fundamental dan strategis. Sebab, anak-anak ini berada dalam masa keemasan, sekaligus periode kritis dalam tahap perkembangan manusia.

Hasil penelitian mengungkapkan, anak hingga usia empat tahun tingkat kapabilitas kecerdasan anak telah mencapai 50 persen. Pada usia delapan tahun mencapai 80 persen, dan sisanya sekitar 20 persen diperoleh sat anak berusia delapan tahun ke atas.

Menurut Sujarwo, lembaga PAUD nonformal, terutama untuk melayani anak-anak tidak mampu dan di pedesaan, terus meningkat. Saat ini ada 48.132 lembaga PAUD nonformal dengan 188.834 tutor. Pada 2009, pemerintah mengajukan anggaran untuk insentif tutor PAUD senilai Rp 1,2 juta per tahun bagi sekitar 50.000 tutor.

Hartoyo, Ketua Departemen Fakultas Ekologi Manusia IPB, mengatakan penyelenggaraan PAUD bukan berfokus untuk mengasah kemampuan intelektual saja, tetapi yang penting pembentukan karakter. "Jika sejak dini anak diajarkan untuk punya karakter baik, ketika dewasa diharapkan karakter itu bisa melekat dan menghasilkan anak-anak yang punya kepribadian dan moral baik," kata Hartoyo.

http://regional.kompas.com

1 komentar: