Kamis, 21 Mei 2009

Pendidikan dasar untuk semua

ARTIKEL 1:
REDIP sebagai Model untuk Meningkatkan Pendidikan Menengah Pertama
Jakarta, Selasa (8 Juli 2008) — Program Pengembangan dan Peningkatan Pendidikan Daerah atau Regional Education Development and Improvement Program (REDIP) dapat dijadikan model untuk meningkatkan pendidikan menengah pertama. REDIP adalah program sederhana, tetapi komprehensif yang memungkinkan sekolah dan kecamatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri sesuai dengan aspirasi dan prioritas mereka sendiri. Meskipun sederhana, program ini dapat meningkatkan akses, mutu, dan manajemen secara bersamaan.
Program REDIP ini memberikan dana bantuan kepada sekolah dan tim pengembangan pendidikan kecamatan (TPK) sesuai proposal yang diajukan. Sekolah dan TPK bebas mengusulkan kegiatan apa saja sesuai kebutuhan dan prioritas mereka sendiri. Dengan menggunakan dana bantuan, sekolah dan TPK melaksanakan
kegiatan yang diusulkan.
Sesudah menyelesaikan kegiatan, sekolah menyusun laporan keuangan dan laporan kegiatan lalu menyerahkannya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk diperiksa. REDIP mendorong mengambil inisiatif dan mempertanggungjawabkan usaha sekolah sendiri dalam meningkatkan pendidikan dan berfungsi sebagai pengamat pasif.
Kepala Sub Direktorat Kelembagaan Sekolah Direktorat Pembinaan SMP Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Kasubdit Kelembagaan Sekolah Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen) Depdiknas Yenni Rusnayani mengatakan, sejak 2005 Depdiknas telah mengadopsi program ini dengan bantuan teknis dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Program ini sampai 2008 telah dikembangkan di Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bekasi mencakup 32 kecamatan dari sebanyak 391 SMP negeri dan swasta.
Yenni mengatakan, program REDIP, yang kemudian diubah menjadi program pengembangan SMP berbasis masyarakat (PSBM) sangat cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang menghendaki penyelenggaraan pendidikan melalui prinsip bottom-up, desentralisasi penyelenggaraan, dan partisipasi masyarakat. “Program PSBM memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh kepala sekolah dan juga memberikan dampak untuk peningkatan mutu pembelajaran,” katanya pada REDIP Workshop dan Expo di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (8/07/2008).
Kepala Seksi Perencanaan Subdit Program Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen Depdiknas Supriano mengatakan, hasil yang dicapai melalui program ini adalah terjadinya perubahan pada sekolah, kecamatan, dan masyarakat. Dia mencontohkan, manajemen di sekolah menjadi demokratis dan transparan, pihak kecamatan yang semakin proaktif kepada pendidikan, dan masyarakat lebih peduli terhadap pendidikan. “Orang tua mendukung apa yang dikembangkan oleh sekolah. Semua kegiatan di sekolah selalu dikomunikasikan dan pengembangan sekolah dibicarakan dengan orang tua murid,” katanya.
Dia menyebutkan, program REDIP Government (REDIP G) yang didanai 100 persen APBN sampai 2008 sudah mengalokasikan anggaran hampir Rp.45 milyar untuk tiga kabupaten yakni Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Selain REDIP G, kata dia, juga ada program REDIP Mandiri yang didanai oleh APBD, REDIP Pengembangan, dan REDIP Perluasan Pelaksanaan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah Munthoha Nasuha mengatakan, implementasi program REDIP sejak 1999 dimulai dari dua kecamatan, kemudian berkembang menjadi sepuluh kecamatan, dan seluruhnya sebanyak 17 kecamatan. “Awalnya program difokuskan pada bidang manajemen sekolah dengan pola transparansi, sehingga semua rencana anggaran dipaparkan di papan dan di pintu masuk sekolah,” katanya.
Konsultan Nasional REDIP Winarno Surachmad, mengatakan, karakteristik Program REDIP adalah mudah, murah, tanpa resiko, dan low tech. “REDIP menjawab pertanyaan bagaimana mengembangkan pendidikan di daerah berdasarkan kekuatan dari bawah, tanpa duit, dan tanpa ahli,” katanya.
Ketua Tim REDIP-JICA Norimichi Toyomane mengatakan, indikator yang memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil yakni, meningkatnya nilai Ujian Nasional, meningkatnya motivasi siswa untuk sekolah, meningkatnya motivasi guru dalam proses belajar mengajar dan juga motivasi dari kepala sekolah dalam memanajemen sekolahnya.
Sumber : Pers Depdiknas

Artikel 2 :
Hasil Inovasi Harus Bisa Diaplikasikan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan seluruh hasil inovasi dan penelitian harus dapat diaplikasikan bagi kebutuhan masyarakat.
Riset harus bisa digunakan untuk kebaikan dan berguna bagi masyarakat luas. Tantangan kita adalah bagaimana inovasi dan penelitian bisa diaplikasikan untuk kebutuhan masyarakat, kata Presiden dalam acara peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional XIII di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/8).
Menurut Presiden, di tengah mahalnya harga tepung terigu dan kedelai karena masih impor, inovasi bahan makanan pengganti gandum dan kedelai dapat dikembangkan. Sebagai contoh perlu 15 tahun untuk membiasakan masyarakat dengan mi instan sebagai salah satu pengganti nasi. Hasil riset itu juga harus dikemas dan diperkenalkan pada masyarakat, katanya.
Kepala Negara mengatakan, dari waktu ke waktu jumlah penduduk dunia semakin bertambah, hal itu memberikan konsekuensi peningkatan kebutuhan pangan dan energi.Karena itu solusinya hanya ada dua yaitu kita harus memiliki gaya hidup yang baru dengan hemat energi dan yang kedua adalah melalui intervensi teknologi melalui inovasi dan penelitian, kata Yudhoyono.
Untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi di dalam negeri, pemerintah telah menetapkan enam prioritas riset nasional yaitu ketahanan pangan, pengembangan sumber energi terbarukan, teknologi dan manajemen transportasi, teknologi pertahanan, teknologi kesehatan dan yang terakhir teknologi informasi.
Ada beberapa hal yang saya minta perhatian, untuk pangan, lanjutkan pengembangan varietas unggul selain padi dan kedelai juga tebu dan daging sapi, kata Presiden.
Presiden Yudhoyono juga memberikan perhatian khusus pada pengembangan teknologi kendaraan yang hemat energi, sedangkan untuk kebutuhan pertahanan Presiden meminta dikembangkan persenjataan yang mampu memenuhi kebutuhan prajurit saat melaksanakan tugas di daerah pegunungan dan hutan.
Untuk bidang kesehatan saya minta agar lebih dikembangkan penelitian vaksin bagi malaria, demam berdarah, flu burung serta HIV/AIDS, katanya.
Sementara itu untuk teknologi informasi dan komunikasi, Presiden
menekankan perlunya penelitian dengan prioritas untuk bidang pendidikan, usaha, dan pemenuhan good governance.
Bagi teknologi early warning system khususnya untuk tsunami. Kembangkan, uji coba dan latihkan pada masyarakat, kata Presiden Yudhoyono.
Pada akhir sambutannya Kepala Negara meminta semua pihak merespon dengan baik ide-ide yang inovatif dan tidak ragu untuk mengembangkannya. Imajinasi konon merupakan embrio dari sebuah penemuan besar. Kita harus menjadi bangsa yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, kata Kepala Negara.
Presiden yang didampingi oleh Ibu Negara Ani Yudhoyono dalam kesempatan itu juga meresmikan pameran riset dan teknologi di MGK Kemayoran Jakarta Pusat. Hadir pula dalam acara itu Menristek Kusmayanto Kadiman, Mensesneg Hatta Radjasa, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Menhan Juwono Sudarsono dan sejumlah menteri kabinet Indonesia Bersatu lainnya. (Ant/OL-01)
Sumber: Media Indonesia Online

Artikel 3:
Program Keahlian yang Dikembangkan di SMK
Beberapa kelompok bidang atau program keahlian baru yang dikembangkan pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang sudah ada dan unit pelaksana teknis (UPT). Berdasarkan urutan terbanyak, meliputi:
Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Teknologi Industri, khususnya program analisis kimai, geologi, pertambangan, teknik bangunan, teknik otomotif, pemesinan kapal, dan teknologi kapal niaga.
Perikanan dan Kelautan, khususnya nautika, perikanan laut, aqua cultur, dan tekologi hasil perikanan.
Pertanian, khususnya untuk program budi daya kelapa sawit.
Pariwisata, khususnya untuk program akomodasi perhotelan, tata busana, dan tata kecantikan.
Kelompok Program Bisnis dan Manajemen, diprioritaskan untuk program penjualan, akutansi perbankan, dan kewirausahaan.
Bidang keahlian untuk program SMK PPKT dan commuity college:
Kelompok Teknologi Industri meliputi teknik las, teknik komputer, otomotif, disain grafis periklanan, dan teknik konstruksi kayu.
Kelompok Teknologi Komunikasi dan Informasi meliputi, teknologi informatika, teknik informatika komputer, dan teknik audio video.
kelompok Pariwisata meliputi tata busana, bahasa Mandarin, bahasa Jepang, akomodasi perhotelan, usaha jasa pariwisata, dan tata boga.
Kelompok Pertanian meliputi, pembenihan udang windu dan budi daya tanaman.
Kelompok Bisnis dan Manajemen meliputi, akuntansi perpajakan, akuntansi jasa, akuntansi keuangan, dan marketing.
Kelompok Seni dan Kerajinan meliputi kria tekstil.
Sumber : dikdasmen.depdiknas.go.id/

Artikel 4:
Tips Menaikkan Kemampuan Siswa SMP dan SMU
5 tips ini dapat membantu Anda dengan cepat untuk menaikkan kemampuan siswa dan sekolah Anda.
Naikan range nilai yang diharapkan. Jika Anda memiliki range penilaian seperti ini:
range nilai: A (93-100), A- (90-92), B+ (87-89), B (83-86), B- (80-82), C+ (77-79), C (73-76), C- (70-72), D+ (67-69), D (63-66), D- (60-62), F (0-59) larilah, namun jangan berjalan ke tempat sampah terdekat lalu membuang hasil ujian itu. Naikkan rangenya. Jika range nilai yang diharapkan rendah maka hasil yang didapat akan selalu mengarah ke nilai yang rendah. Harapkan lebih dari siswa Anda dan ikat harapan itu menjadi sesuatu yang dapat diukur. Petunjuk: jika Anda menggunakannya untuk siswa Anda, apakah Anda juga menggunakannya untuk guru-guru? Lihat tips 2.
Konsistenlah terhadap respon yang diberikan terhadap semua prilaku baik berupa penghargaan maupun hukuman. Juga konsistenlah terhadap nilai yang telah Anda tetapkan dan prilaku Anda. Jagalah konsistensi Anda bahkan disaat kita sedih. Model konsistensi untuk menjaga kelangsungan kemampuan staff Anda ataupun siswa Anda.
Jelaskan secara rinci harapan Anda. Jangan menganggap seorang staff ataupun siswa mengetahui sesuatu. Komunikasikan dan jelaskan harapan tersebut. Ingatlah, pengkondisian dari pengalaman pekerjaan lampau, pengalaman sekolah, dan pengalaman rumah merupakan hal yang selalu ada dan mayoritas dari pengkondisian ini adalah negatif.
Berikan nilai lebih untuk keberhasilan akademik dan kepemimpinan siswa dibanding keberhasilan dalam bidang olahraga. Keberhasilan akademiklah yang akan membawa 99% siswa Anda kedalam dunia nyata, bukan kemampuan atletik mereka. Kembali kepada 3 tips awal.
Buanglah sampah dengan mengevaluasi strategi belajar Anda. Sebagai contoh, jika Anda menggunakan cooperative learning, tekankan hanya pada keterampilan yang diperlukan untuk menjadi berhasil.
Apakah nilainya bagi Anda, jika semua orang di sekolah Anda semua berbaris dengan arah yang sama dengan penuh energy dan antusias?
Sumber: www.ezinearticles.com

Artikel 5:

SISWA SMK PUTRA BANGSA BONTANG ISI LIBURAN AKHIR TAHUN DENGAN IT GUARD

Ditulis oleh wiksbtg
Liburan akhir tahun sangat ditunggu-tunggu setiap orang. Mulai darti kalangan anak-anak hingga orang dewasa. Ketika saatnya tiba, semua memilih tempat vaforit untuk menikmati suasana santai yang jauh dari hiruk-pikuk kegiatan sehari-hari. Tapi hal itu tidak berlaku bagi beberapa siswa SMK Putra Bangsa Bontang. Saat orang-orang sedang menikmati pakansinya, justru sekelompok siswa asyik bercengkerama di sekolah. Mereka mengisi waktu libur dengan belajar computer. Mereka tergabung dalam sebuah ekstrakurikuler yang mereka namakan IT GUARD.

Pagi kemarin , Rabu 31 desember, belasan siswa tampak antusias mengikuti praktek perakitan komputer yang dipandu oleh ahli komputer SMK Putra Bangsa Ketut Nobel budy Satrya. Kegiatan luar jam sekolah ini sudah berlangsung sejak awal November lalu. Namun karena mumpung hari libur, kegiatan ini diintensifkan. Menurut Nobel, kegiatan ini sengaja dilakukan untuk meningkatkan skill siswa. “mereka sudah belajar di kelas. Namun agar pengetahuan computer mereka lebih maju, siswa diberikan peluang dengan mengikuti ekstrakurikuler IT GUAR. Pelaksanaannya sengaja kami lakukan saat liburan akhir tahun agar waktu luang mereka tidak terbuang sia-sia. Ini juga untuk mengurangi aktifitas siswa di luar sekolah yang kurang fositif. Kalau mereka tidak diberi kesibukan, paling hari-hari liburnya dihabiskan di Bontang Kuala”.

Menurut Eldyla salah seorang anggota IT GUARD SMK PB, program yang dilakukan oleh jurusan teknik computer dan jaringan ini sangat positif. Eldyla mengaku sangat terbantu dengan adanya ekstrakurikuler tersebut karena mereka bisa belajar banyak tentang komputer. “kami belajar banyak di sini mulai dari perawatan computer, perbaikan, pengembangan hingga perakitannya. Saya sendiri baru sekitar sebulan bergabung. Tapi karena jadwalnya yang padat, sekarang lumayan banyak yang saya ketahui. Di kelas juga kami belajar tentang computer tapi jumlah siswanya kan banyak, jadi terkadang saya lambat memahami pelajaran. Tapi kalau di IT GUARD ini saya cepat mengerti karena jumlah siswanya dibatasi” terang Nobel yang dihubungi di sela-sela kesibukannya di LAB IT Putra Bangsa kemarin.

Direktur Institut Pendidikan Putra Bangsa Bontang Rediyono, SH, M.M. yang dihubungi terpisah mendukung penuh program tersebut. Menurut Rediyono, pengembangtan skill siswa memang harus digenjot baik di dalam maupun di luar jam pelajaran. Biaya pendidikan teknologi dan informatika memang sangat mahal, tapi saya akan memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan, terutama pasilitas laboratoriumnya. Saat ini kami baru biasa menyiapkan pasilitas untuk siswa SMK Putra bangsa, tapi nantinya kami akan memberikan ruang juga buat warga bontang secara umum – terutama pelajar – untuk belajar IT. sekarang ini eranya teknologi kalau kita tidak bergerak maju, kereta globalisasi akan semakin jauh ke depan meninggalkan kita semua, pungkasnya dengan penuh semangat


Artikel 6 :

Layanan BK Belum Merata di Sekolah
BANDUNG, (PR).- Pemerintah kabupaten/kota melalui dinas pendidikan masing-masing, diminta lebih peduli terhadap pemerataan layanan bimbingan dan konseling (BK), khususnya di sekolah menengah kejuruan (SMK). Pemetaan yang akurat menjadi syarat mutlak pembuatan berbagai program peningkatan kualitas.

Persoalannya, hingga saat ini, seolah tidak ada koordinasi pendataan antara disdik kab./kota dan Disdik Jabar, sehingga data lengkap tentang layanaan BK sulit didapatkan.

"Jika dinas tidak memiliki data, bagaimana program peningkatan kualitas layanan BK bisa dijalankan? Yang terjadi, banyak kegiatan menjadi sporadis dan asal ada, tanpa menyentuh kebutuhan yang sebenarnya," kata Ketua Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (Abkin) Jabar Uman Suherman di Bandung, Kamis (29/1).

Selain persoalan utama tidak adanya guru BK di mayoritas SMK, kompetensi guru di kebanyakan sekolah juga dipertanyakan. Banyak guru mengambil peran BK semata untuk memenuhi tuntutan banyaknya jam mengajar, tanpa ada pembekalan yang mendalam. Akibatnya, layanan BK menjadi tidak maksimal.

"Sudah saatnya disdik memiliki pemetaan yang rapi dan akurat. Antara kab./kota dan provinsi, mestinya ada garis koordinasi yang terjalin baik. Kepala sekolah bisa menjadi ujung tombak," ujarnya yang juga Sekretaris Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Sulit

Ditemui terpisah, Kepala Subdinas Pendidikan Menengah-Tinggi (Dikmenti) Disdik Jabar Otji mengungkapkan, guru BK memegang peran besar dalam proses pendampingan siswa, baik di SMA maupun SMK. Pemerataan guru di setiap sekolah dia rasa sebagai sesuatu yang penting. Persoalannya, sangat sulit membuat pemetaan layanan BK secara menyeluruh di Jabar.

"Sejak otonomi daerah, kita tidak memiliki wewenang lagi. Semua dikelola kab./kota. Mungkin itu yang membuat mereka enggan melaporkan perkembangan secara rutin tiap tahun. Kita tidak memiliki data," ucap Otji. (A-165)
umber : http://www.maarif-nu.or.id

Artikel 7 :

Pandangan Awam mengenai Anak Berkebutuhan Khusus
Tidak ada satu anak manusia yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sama antara yang satu dengan lainnya. Tidak ada satu anak manusia yang tidak memiliki kekurangan. Tidak ada satu anak manusia yang ingin dilahirkan ke dunia ini dengan menyandang kelainan atau memiliki kecacatan. Demikian juga tidak akan ada seorang ibu yang menghendaki kelahiran anaknya menyandang kecacatan. Oleh sebab itu, sejak kelahirannya ke dunia, anak cacat atau dikenal dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) sudah tidak dikehendaki oleh kedua orang tuanya. Konsekuensi logis bila ABK akan menghadapi banyak tantangan dari lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pendidikan.

Kelahiran seorang ABK tidak mengenal apakah mereka dari keluarga kaya, keluarga berpendidikan, keluarga miskin, keluarga yang taat beragama atau tidak. Bila Tuhan menghendaki keluarga itu dititipi seorang ABK maka kemungkinan semua itu bisa terjadi. Akan tetapi Tuhan melihat dan menghargai manusia tidak dari kecacatannya secara fisik, mental atau sosial. Tuhan melihat manusia dari ketakwaan kepada-Nya.

Dititipkannya ABK pada satu keluarga bukan berarti keluarga tersebut mendapat kutukan, tetapi dititipkannya ABK pada satu keluarga karena Tuhan menguji atau memberi kesempatan pada keluarga tersebut untuk berbuat yang terbaik pada anaknya. Sebagai manusia, ABK memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga, masyarakat, dan bangsa. ABK memilki hak untuk sekolah sama seperti saudara lainnya yang tidak memiliki kelainan atau normal.

Tidak ada satu alasan bagi Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar (SD) umum dimanapun adanya, melarang ABK untuk masuk ke sekolah tersebut. Bersama Guru Pembimbing Khusus yang telah memiliki pengetahuan dan keterampilan PLB, sekolah dapat merancang pelayanan PLB bagi anak tersebut yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak. Apakah anak tersebut membutuhkan kelas khusus, program khusus dan/atau layanan khusus tergantung dari tingkat kemampuan dan kondisi kecacatan anak.

Semakin dini ABK diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan anak seusianya, semakin kuat mental ABK menghadapi tantangan yang ada di lingkungan tempatnya berada. Ia juga akan jauh lebih berkembang bila dibandingkan dengan mereka yang diasingkan dan tidak disekolahkan. Semakin dini mendapatkan layanan pendidikan, semakin baik hasil yang diperoleh. Sesuai dengan pengalaman, keuntungan PLB di lingkungan sekolah biasa ini tidak hanya diperoleh ABK saja melainkan akan dialami oleh anak-anak normal lainnya.

Banyak orang awam berpandangan yang salah tentang pendidikan bagi ABK. Seolah-olah PLB hanya ada di SLB. Kencenderungan orang-orang yang pengetahuan mengenai ABKnya masih kurang bila menemukan anak yang menyandang kelainan atau ABK, mereka langsung menyuruh untuk masuk ke Sekolah Luar Biasa (SLB). Hal ini tidaklah benar, sebab SLB bukan habitatnya. Habitat ABK sama dengan habitat anak pada umumnya yang normal. Ia berada di lingkungan SLB bila di Sekolah Biasa sudah tidak dapat menangani pendidikannya atau memang kehendak dan hak dari anak itu sendiri.

Pandangan lain yang salah dari sebagian besar orang umum yaitu seolah-olah PLB hanya bisa diberikan di SLB atau seolah-olah PLB itu sama dan identik dengan SLB. Hal tersebut tentu saja tidak benar, sebab pelayanan PLB bisa diberikan di sekolah biasa dengan pembelajaran yang di adaptifkan pada anak berdasarkan kelainan dan karakteristiknya oleh guru biasa. Karena itu, informasi tentang Pembelajaran adaptif bagi ABK perlu juga bagi Guru biasa, sehingga bila ABK datang ke sekolah biasa dapat diberikan pelayanan PLB.

Mengacu pada perkembangan Paradigma baru tentang PLB dan hak asasi anak, maka PLB bergerak dari pendidikan yang bersifat terpisah atau segregasi ke arah pendidikan bersifat integrasi (terpadu). Kenyataan di Indonesia yang tidak bisa disangkal, SLB masih dominan sebagai tempat pendidikan formal anak berkebutuhan khusus. Dimanapun ABK bersekolah pembelajaran adaptif tetap dibutuhkan.

http://bintangbangsaku.com

Artikel 8 :

Pendidikan untuk Anak Pemulung
Lokasi pembuangan akhir sampah (LPA) Bantar Gebang merupakan pusat penampungan seluruh sampah dari wilayah bekasi dan DKI jakarta, lokasi beroperasi sejak tahun 1989 dengan luas areal 23 ribu m3/hari dari berbagai jenis sampah yang berasal dari pasar umum, swalayan, restoran, hotel dan rumah tangga.

Pemulung anak merupakan komunitas yang selayaknya memperoleh hak-hak dasarnya dengan baik. Mereka dapat bermain dan belajar sebagaimana layaknya anak-anak yang lain bisa menikmati masa kanak-kanak dan terlindung dari bahaya kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi.

Dari tahun ke tahun jumlah pemulung senantiasa berubah dan bertamabah, demikian juga dengan pemulung anak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh situasi krisis ekonomi yang sampai saat ini belum terselesaikan dimana terjadi penyempitan lapangan pekerjaan, pendidikan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Dan meningkatnya harga kebutuhan pokok sehingga mendorong pelibatan seluruh anggota keluarga untuk ikut bekerja

Lokasi pembuangan akhir sampah (LPA) Bantar Gebang merupakan pusat penampungan seluruh sampah dari wilayah bekasi dan DKI jakarta, lokasi beroperasi sejak tahun 1989 dengan luas areal 23 ribu m3/hari dari berbagai jenis sampah yang berasal dari pasar umum, swalayan, restoran, hotel dan rumah tangga.

Kehadiran LPA Bantar gebang telah memunculkan komunitas baru dimana mereka merupakan kelompok migran dari jawa barat, jawa tengah, dan madura yang bekerja sebagai pengais sampah. Lokasi ini merupakan ladang pekerjaan dan tempat bergantung dalam memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bahkan komunitas tersebut sudah menganggap bahwa LPA Bantar Gebang sebagai tambang emas terbuka.

Dimana mereka memperoleh pekerjaan dengan mudah dan memberikan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun pekerjaan resiko kecelakaan dan ancaman bahaya dari buruknya lingkungan kerja begitu pula lingkungan tempat tinggal yang tidak kondusif untuk perkembangan fisik, kesehatan moral dan moral bagi anak.

Hambatan yang dirasakan oleh anak dalam mendapatkan hak-haknya dikarenakan (1) Kondisi keluarga yang migran dan miskin menyebabkan anak-anak hidup tanpa identitas kewarganegaraan, (2) tempat tinggal yang tidak memadai dan lingkungan tak bersanitasi berdampak pada buruknya status kesehatan pemulung anak, (3) komunitas illegal berdampak pada kesulitan memperoleh akses pelayanan publik, seperti PENDIDIKAN dan kesehatan. Kondisi ini tentunya tidak bisa dibiarkan karena akan berdampak pada situasi yang lebih buruk bagi anak Indonesia.

Yayasan Dinamika Indonesia yang didirikan tahun 1989 bersama Portalinfaq melakukan kegiatan kerjasama yang difokuskan kepada bidang pendidikan dan Sosial. Kerjasama yang berlangsung ini merupakan kerjasama yang ketiga dalam program pendidikan khususnya bagi anak-anak pemulung yang bersekolah di dalam LPA Bantar Gebang.

Sampai saat ini jumlah murid yang telah bersekolah di Sekolah formal di bawah bimbingan Yayasan Dinamika Indonesia sebanyak 210 siswa baik ditingat SD maupun SLTP, sedangkan ruangan sekolah yang dimiliki hanya mempunyai 4 kelas dan ini untuk bagi siswa-siswi kelas 1 sampai dengan kelas 5, sedangkan untuk mereka yang akan ke kelas 6 direkomendasikan oleh pihak sekolah untuk melanjutkan ke sekolah-sekolah negeri dan swasta yang telah bekerjasama dengan Yayasan dinamika Indonesia.

Begitu pula bagi mereka yang telah tamat SD juga diusahakan untuk tetap melanjutkan kejenjang SLTP disekitarnya agar kesinambungan pendidikan yang mereka dapati akan menjadi bekal untuk kehidupan yang lebih baik. Dukungan bagi Anak untuk belajar ini dimaksudkan agar anak-anak pemulung dapat menggunakan hak-hak dasarnya dan mengurangi jam kerja anak dalam membantu orang tua mereka sebagai pemulung.

Sasaran lain yang hendak dicapai dari proses pembelajaran ini secara tidak langsung adalah kelompok-kelompok dalam komunitas dalam situasi khusus yaitu : (1) Keluarga pekerja anak, (2) Tokoh komunitas pemulung, (3) Pemerintah daerah dimana komunitas pemulung berasal dan pihak-pihak yang mengelola LPA BantarGebang.

Kesadaran akan perhatian kepada pekerja anak dan pendidikan anak membutuhkan waktu dan pemahaman tentang kewajiban anakpun belum sepenuhnya diketahui oleh para komunitas pemulung bahkan secara legalitaspun Undang-Undang tentang Pekerja Anak belum dilaksanakan secara baik dan konsisten. Untuk itulah peran LSM dan masyarakat dalam membangun kesadaran pendidikan bagi pekerja anak sangat dibutuhkan dalam bentuk kepedulian sosial membantu mereka untuk tetap bersekolah.

http://pendidikanlayanankhusus.wordpress.com

Artikel 9 :

Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus (KLK)
Dinas Pendidikan Kota Semarang merupakan salah satu dari 35 kota/kabupaten penyelenggara Kelas Layanan Khusus (KLK) di Indonesia. Program Kelas Layanan Khusus adalah program layanan pendidikan bagi anak usia SD yang putus sekolah atau sama sekali belum bersekolah pada usia 7 - 14 tahun. Tujuannya agar anak-anak usia tersebut yang putus sekolah atau belum pernah bersekolah dapat memperoleh layanan pendidikan di SD sampai tamat.

Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus di suatu sekolah bersifat tidak permanen. Tugas sekolah sebagai Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus akan berakhir ketika di sekitar sekolah sudah tidak ada lagi anak-anak usia SD yang putus sekolah atau belum bersekolah. Oleh karena itu setiap tahun pelajaran baru diadakan verifikasi terhadap kelayakan SD penyelenggara KLK. SD. Badarharjo 02 Kecamatan Semarang Utara pada tahun pelajaran 2008/2009 masih termasuk salah satu SD yang berhak menyelenggarakan KLK sesuai dengan verifikasi Dir. Pembinaan TK/SD.

http://www.disdik-kotasmg.org/v8/index.php?


Artikel 10 :

Mencari Keberadaan Anak Cacat untuk Memfasilitasi Pendidikannya
Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7 % dari jumlah penduduk 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa.

Dari jumlah tersebut 21,42 % diantaranya anak cacat usia sekolah (5-18 tahun) atau 317.016 anak. Dengan menggunakan data dasar tahun 2003, kemudian diproyeksikan secara proporsional, maka jumlah anak cacat usia sekolah pada tahun 2007 menjadi 321.000 anak.

Angka dimaksud tentunya cukup signifikan menjadi sasaran perluasan dan pemerataan pendidikan bagi anak berkelainan/cacat guna menyumbang APM SD/MI/Paket A yang saat ini telah mencapai 94,90 % dan APM SMP/MTs/Paket B mencapai 92,52% (sumber: naskah sambutan Mendiknas pada upacara bendera peringatan Harkitnas Mei 2008) menuju penuntasan wajib belajar tahun 2008.

Kebijakan pemerataan pendidikan bagi seluruh anak bangsa merupakan realisasi terhadap amanat UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat (2) yang menyatakan bahwa ”setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya”.

Kemudian ditindaklajuti dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat (2) bahwa ”warga negara yang berkelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”, dan pasal 7 ayat (2) bahwa ”Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya”.

Atas dasar ketentuan di atas, maka dalam rangka menyukseskan program wajib belajar dan merealisasikan hak azasi manusia, layanan pendidikan bagi anak berkelainan/cacat perlu ditingkatkan. Kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar juga disemangati oleh seruan international Education Far All (EFA) dan dikumandangkan oleh UNESCO, sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di DAKAR, Senegal tahun 2000.

Oleh karena itu pemerintah memberi peluang kepada anak berkelainan/cacat melalui pendidikan secara segregasi di SDLB, SMPLB, SMALB dan melakukan terobosan dengan memberi kesempatan memperoleh pendidikan di sekolah reguler (SD/MI,SMP/MTs/SMA/MA dan SMK/MAK) yang disebut "Pendidikan Inklusif (inclusive education)”.

Namun di luar dugaan keberadaan anak cacat tersebut masih harus terus dicari di bumi pertiwi ini. Menurut Statistik Sekolah Luar Biasa tahun 2006/2007 jumlah peserta didik penyandang cacat yang telah mengenyam pendidikan baru mencapai 87.801 anak (27,35%), dimana 72.620 anak mengikuti pendidikan segregasi di SDLB, SMPLB, SMALB atau SLB dan 15.181 anak cacat lainnya mengikuti pendidikan inklusif (sumber data: Direktorat PSLB).

Dengan demikian masih terdapat 233.199 (72,65%) anak cacat yang tinggal di desa, kecamatan dan kabupaten/kota belum mengenyam pendidikan. Oleh karena itu upaya pemerataan pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Banyak penyebab mengapa jumlah anak cacat yang belum tersentuh pendidikan masih tinggi, antara lain:

1. Orang tua cenderung menyem-bunyikan keberadaan anaknya yang cacat di rumah, sehingga tidak mempedulikan lagi pendidikan anaknya. Hal ini dilakukan karena keluarganya malu jika terbuka aibnya, kendati mampu membiayai sekolah. Perilaku tersebut tentunya bertentangan dengan UUD 1945 (amande-men) pasal 31 ayat (1),(2) dan UU Sisdiknas pasal 5 ayat (1), (2), pasal 7 ayat (2), pasa 32 ayat (1).

2. Orang tua masih menerapkan paradigma lama bahwa menyekolahkan anak cacat kurang menguntungkan dipandang dari aspek ekonomi. Pada hal pendidikan merupakan investasi untuk masa depan anak, melalui proses pengajaran, penyebarluasan dan penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olah raga, serta penanaman nilai-nilai luhur untuk meningkatkan taraf hidupnya.

3. Kondisi ekonomi orang tuanya memang benar-benar miskin, sehingga tidak mampu lagi membiayai sekolah anaknya. Akibatnya keluarga mengambil keputusan hanya memprioritaskan untuk membiayai kelangsungan hidupnya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat keberadaan anak cacat tersebar di desa dan kecamatan yang kemungkinan termasuk kategori daerah miskin yang dapat memicu bertambahnya penderita gizi buruk, yang disinyalir sebagai salah satu penyebab kecacatan anak dalam kandungan ibunya. Berdasarkan data BPS tahun 2005 jumlah penduduk penderita gizi buruk mencapai 4,42 juta jiwa.

4. Belum tersedianya SLB di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, di sisi lain anak cacat tertentu memerlukan pendampingan orang tuanya ke sekolah. Hal ini menimbulkan problema baru yakni biaya transportasi menuju sekolah sangat tinggi yang memberatkan beban orang tuanya.

5. Keberadaan anak cacat belum dapat diterima sepenuhnya belajar bersama dengan anak biasa, karena anak biasa takut tertular perilaku atau terganggu oleh faktor higiennitas kehidupan seharí-hari di kelas maupun dalam bermain.

6. Upaya pemenuhan hak azasi anak cacat untuk mengenyam pendidikan oleh berbagai pihak belum dilakukan secara maksimal, termasuk belum optimalnya sosialisasi pentingnya pendidikan bagi anak berkelainan di seluruh pelosok desa dan kecamatan di Tanah Air.

7. Biaya satuan pendidikan bagi siswa anak berkelainan/cacat relatif lebih tinggi dibanding dengan biaya satuan pendidikan untuk siswa biasa. Menurut hasil riset hal tersebut karena disamping anak cacat perlu fasilitas pendidikan pada umumnya, masih memerlukan pula alat pendidikan khusus, alat bantu khusus dan lainnya.

Beberapa permasa-lahan di atas secara bertahap dan berkelanjutan sebenarnya telah, sedang dan akan terus dicari dan diberikan solusinya. Pemerintah dalam hal ini Direktorat PSLB, Ditjen Manajemen Dikdasmen telah menyiapkan berbagai kebijakan dan/atau program, antara lain :

Pertama, penjaringan data anak cacat yang melibatkan berbagai unsur, antara lain: Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota/ Provinsi, Peme-rintah Daerah Kabupaten/ Kota/ Provinsi, BPS Kabupaten/ Kota/ Provinsi, Kantor Wilayah Departemen Sosial, Kantor Wilayah Departemen Agama, Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Provinsi, Forum Komunikasi dan Asosiasi Peduli PLB serta LSM lainnya.

Kedua, pengembangan Sistem Informasi Manajemen Direktorat PSLB yang memiliki jaringan kerja dengan Sentra Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di seluruh provinsi. Melalui SIM ini diharapkan masing-masing dapat mengakses data dan informasi PLB secara timbal balik untuk kepentingan pembinaan sekolah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

Ketiga, pembangunan unit sekolah baru (USB) di kabupaten-kabupaten yang belum tersedia faslitas SLB, utamanya kabupaten yang telah menyiapkan lahan kosong yang memadai. Hal ini dipastikan dapat menampung anak cacat di desa dan kecamatan pada kabupaten yang bersangkutan. Jumlah SLB pada tahun 2006/2007 mencapai 1.569 sekolah, dimana 80,75% diantaranya SLB swasta (sumber data: Direktorat PSLB).

Keempat, memperluas implementasi program penyelenggaraan pendidikan inklusif (inclusive education), sehingga anak cacat yang tinggal di desa,kecamatan, kabupaten/kota memiliki peluang atas haknya untuk belajar bersama dengan siswa lain di sekolah reguler terdekat. Jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Negeri ini pada tahun 2006/2007 mencapai 814 sekolah (TK,SD, SMP,SMA,SMK) yang berhasil menampung 15.181 anak cacat (sumber data: Direktorat PSLB).

Kelima, mensosialisasikan pentingnya pendidikan segregasi dan pendidikan Inklusif kepada masyarakat pengguna jasa pendidikan, yang diharapkan dapat mengubah paradigma orang tua untuk segera memberikan peluang pemenuhan dan penyamaan hak azasi anak cacat mengenyam pendidikan, sehingga anak cacat dapat mengaktualisasikan potensi kecerdasan dan bakatnya demi masa depan.

Keenam, pembangunan ruang kelas baru (RKB), pembangunan aksessibilitas anak cacat menuju sekolah inklusif dan sekolah segregasi, subsidi beasiswa cacat yang miskin, biaya operasional sekolah (BOS), melengkapi alat pendidikan khusus, alat bantu khusus, menyediakan ruang sumber, bengkel, alat keterampilan, alat olah raga, perpustakaan, mengalokasikan dana riset terkait dengan penelitian PLB dan lainnya.

Ketujuh, bekerjasama dengan Ditjen PMPTK membahas, mengusulkan untuk menyiapkan tenaga pendidik sebagai guru khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dan sekolah segregasi. Guru khusus sangat berperan untuk mengajar, membimbing, menilai dan mengevaluasi kegiatan belajar di sekolah, sehingga kemandirian sekolah dapat dijamin. Jumlah kepala sekolah dan guru di SLB sampai dengan tahun 2006/2007 mencapai 16.961 orang (data: Direktorat PSLB)

sumber : http://mandikdasmen.aptisi3.org/

Artikel 11 :
Ketua MA: Lembaga Pendidikan Khusus Pemerintahan Tak Diperlukan
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menyatakan, Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sudah cukup sebagai penyedia tenaga kerja yang duduk di pemerintahan.

Menurut Bagir, ketika ditemui di Gedung MA, Jakarta, Jumat, sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi lembaga pendidikan tinggi yang khusus menyediakan tenaga kerja administrasi untuk pemerintahan.

Namun, Bagir mengatakan, sikapnya itu bukan untuk membicarakan apakah Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) perlu dibubarkan atau tidak.

"Kita bicara kontekstual saja, bukan bubarkan atau tidak bubarkan," ujarnya.

IPDN, lanjut dia, adalah lembaga tinggi akademi yang ditujukan untuk menghasilkan orang-orang yang akan mengisi jabatan administrasi pemerintahan.

Sebenarnya, kata Bagir, sudah ada dua lembaga pendidikan tinggi yang merupakan penyedia tenaga kerja pemerintahan, yaitu Fakultas Hukum dan FISIP.

"Kalau ini sudah dirasa cukup, kita tidak perlu lagi lembaga khusus. Ambil saja dari situ," ujarnya.

Fakultas hukum dan FISIP, menurut Bagir, sudah cukup memadai sebagai penyedia tenaga kerja pemerintahan sesuai dengan fungsi pemerintahan tersebut.

Fakultas hukum, lanjut dia, menyediakan tenaga kerja untuk penegakan dan pelayanan hukum, sedangkan FISIP untuk tenaga penyelenggara manajemen dan administrasi pemerintahan.

http://bintangbangsaku.com/artikel/2009/02/pandangan-awam-mengenai-an

Artikel 12 :
Pendidikan Bagi Anak Di lokalisasi Prostitusi
Salah satu program teranyar Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) adalah membangun Pendidikan Layanan Khusus (PLK) bagi anak-anak di bawah usia 18 tahun sekitar lokalisasi prostitusi Kelurahan Putat Jaya, Surabaya.

Di kawasan ini orang biasa mengenal Gang Doli dan Jalan Jarak. Pembangunan PLK di sana selain meningkatkan mutu pendidikan bagi anak didik di sekitar lokalisasi, yang terpenting melalui pendidikan ini diharapkan dapat memajukan pola pikirnya penduduk setempat bagi kelangsungan pendidikan anak-anaknya dilokasi tersebut.
”Jadi itu yang diharapkan dengan pendidikan di sana dapat menjadi alat kendali bahwa bisnis lokalisasi tidak akan berkembang ke generasi berikutnya,” tambahnya.

Bisnis lokalisasi yang notabena adalah bisnis tidak halal ini sulit diberantas namun hanya dapat dikendalikan agar gaungnya tidak sampai meluas. Informasi yang dihimpun SPIRIT karena warga setempat merasa terbantu perekonomiannya dengan adanya lokalisasi tersebut. Misalnya penduduk setempat adanya yang menjadi tukang cuci, tukang parkir, keamanan, bergadang kelontong dan sebagainya. Karena memang pekerja seks komersial ini bukan dari penduduk setempat melainkan 100 persen adalah dari pendatang di sekitar Jawa Timur.

Anak-anak usia sekolah disekitar lokalisasi --khususnya di RW III, VI, dan XI-- banyak yang putus sekolah. Hal tersebut disebabkan kurangnya dorongan untuk menempuh pendidikan dari orang tua. Mainset warga yang terbentuk adalah dengan adanya lokalisasi, mereka dapat bekerja dengan berdagang dan dapat menghidupi keluarga.

Ketika pendidikan yang rendah saja dapat menghasilkan uang, maka pendidikan tinggi sudah menjadi hal yang sekunder. Mainset seperti inilah yang menghambat pendidikan bagi anak-anak sekitar daerah lokalisasi. Program yang dirancang bagi PLK untuk gang doli ini adalah baca, tulis, dan hitung (Calistung) dan program registrasi kelahiran anak. ”Hal ini untuk kelegalan surat-surat seperti akte lahir,” ucap Dewi Mende selaku ketua PLK.

Peserta program calistung tersebut dipilih dari anak-anak yang putus sekolah dan bermasalah seperti slow lerner atau lambat dalam belajar. Masalah slow lerner tersebut yang menjadi dorongan orang tua untuk memberhentikan sekolah anaknya. ”Jadi bukan karena tidak mampu saja tapi karena orang tua malu anaknya tidak pernah naik kelas,” ungkap Dewi. Selain anak putus sekolah, beberapa diantaranya terdapat anak pendatang yang cacat.

Program registarasi kelahiran anakyang juga diterapkan berguna bagi wanita tuna susila yang melahirkan anak tanpa suami. Sehingga anak-anak yang lahir diserahkan begitu saja atau diadopsi dibwah tangan oleh orang lain. ”Karena diadosi bawah tangan jadi status hukum anak itu tidak jelas,” seru Dewi. Hal ini banyak dialami oleh wanita tuna susila yang baru dan belum tahu cara penggunaan kontrasepsi sehingga mengakibatkan kehamilan.

Anak-anak disekitar lokalisasi tersebut belum teridentifikasi seluruhnya. ”Tapi yang jelas tingkat kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya sangat rendah,” papar Dewi. Penyebabnya dapat diasumsikan menjadi dua bagian yaitu karena mereka dapat hidup dengan kehidupan malam dilingkungan tersebut.

Dapat dikatakan karena latar belakang yang kurang memadai sehingga pemikirannya sederhana, yaitu pengaruh lingkungan yang tidak mementingkan pendidikan menjadi hal yang prioritas. ”Ada kasus, orang tuanya kurang kuat untuk memberi dorongan sang anak dalam menuntut ilmu jadi anaknya malas belajar dan tidak naik kelas kemudian sekolahnya diberentikan oleh orang tuanya,” ungkap Dewi.

Diharapkan para siswa PLK mendapat dua ijasah yang dapat ia gunakan, yaitu ijasah akademis dan kompetensi. Hingga tahap sosialisasi ini, belum ditentukan keterampilan apa yang akan diajarkan karena menurut Dewi keterampilan tersebut akan disesuaikan dengan permintaan siswa PLK. Sedangkan untuk tempat pendidikan juga belum ditentukan. ”Kalau saja ada yang bersedia tempatnya dipakai untuk belajar tapi nantinya dia tidak bisa menjalankan usahanya,” tutur Dewi.

Kebanyakan tempat mucikasi di gang doli ini terselubung dengan bisnis restaurant dan hiburan. ”Izinnya bisnis tempat hiburan tapi didalamnya ada kamar, dengan izin itu mereka bisa jalan dibawah departemen pariwisata,” jelas Dewi. Hal ini pernah Dewi tanyakan kepada pihak kepolisian namun karena surat izin yang dimiliki oleh pebisnis tersebut adalah legal jadi pihak kepolisian tidak dapat berkutik untuk menutup tempat mucikari tersebut.

Diharapkan dengan dibukanya PLK dilingkungan lokalisasi, sehingga anak-anak dapat bersekolah kembali. ”Pernah saya mendapat satu wejangan dari ustadz, pekerjaan paling tua adalah prostitusi jadi sampai seumur dunia tidak akan hilang. Yang dapat dilakukan hanyalah mengendalikan. Kendalinya dari tolak ukur pendidikan.

http://www.ditplb.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar