Kamis, 21 Mei 2009

Pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun
Program wajib belajar pendidikan dasar dilakukan baik melalui jalur sekolah maupun jalur luar sekolah. Program jalur sekolah meliputi program 6 tahun di SD dan program 3 tahun di SLTP. Pola-pola yang diterapkan di tingkat SD antara lain SD Reguler, SD Kecil, SD Pamong, SD Terpadu, Madrasah lbtidaiyah, Pondok Pesantren, SDLB, dan Kelompok Belajar Paket A. Sedang pola-pola untuk tingkat SLTP adalah SLTP Reguler, SLTP Kecil, SLTP Terbuka, SLTP Terpadu, Madrasah Tsanawiyah, MTs Terbuka, Pondok Pesantren, SLTPLB, SLB, dan Kelompok Belajar Paket B.
Dari pola-pola tersebut, yang menjadi Pola andalan adalah SLTP Reguler, SLTP Kecil, dan SLTP Terbuka. SLTP Reguler dan SLTP Kecil dikembangkan melalui pembangunan unit sekolah baru (UGS) dan penambahan ruang kelas baru (RKB). Untuk meningkatkan daya tampung, di daerah-daerah tertentu masih diterapkan sistem double shift (murid masuk pagi dan siang/sore hari). SLTP Terbuka dikembangkan untuk menampung siswa yang tidak dapat belajar secara reguler pada waktu tertentu. Pola ini lebih menekankan agar siswa belajar mandiri dan berkelompok melalui buku modul dan bimbingan guru pamong dan guru bina. Pada 2001 telah dikembangkan sebanyak 3.485 SLTP Terbuka.
Hasil Pelaksanaan Wajib Belajar
Pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun selama empat tahun pertama sejak dicanangkan menunjukkan hasil cukup memuaskan. jumlah siswa pendidikan dasar pada tahun 1994 sebanyak 36,44 juta orang (siswa SD+MI 29,46 juta dan siswa SLTP+MTs 6,98 juta) Pada tahun 1997, jumlah siswa pendidikan dasar meningkat menjadi 39,01 juta orang (siswa SD+MI 29,27 juta dan siswa SLTP+MTs 9,73 juta). Terjadinya krisis ekonomi memberikan dampak terhadap jumlah siswa pendidikan dasar. Pada tahun 1998, jumlah siswa pendidikan dasar. berjumlah 38,63 juta orang (siswa SD+MI 29,10 jutaan siswa SLTP+MTs 9,54 juta). Dilihat dari indikator angka partisipasi, kecenderungan keberhasilan wajib belajar menunjukkan pola yang sama dengan kecenderungan perkembangan jumlah siswa. Angka partisipasi kasar (APK) SD meningkat dari 110% pada tahun 1994 menjadi 113,58% pada tahun 1997. Sedangkan angka partisipasi murni (APM) meningkat dari 93% menjadi 94,96%. Sedangkan untuk tingkat SLTP, APK meningkat dari 53% pada tahun 1994 menjadi 72,56% pada tahun 1997, dan APM meningkat dari 39,9% menjadi 55,92%.
Krisis ekonomi terlihat berpengaruh terhadap APK dan APM pendidikan dasar. Pada tahun 1998, APK dan APM SD+MI masing-masing sebesar 113,74% dan 93,74%, dan untuk SLTP+MTs sebesar 71,92% dan 55,05%. Pada tahun 2000 dengan intervensi program Jaring Pengaman Sosial (JPS) APK dan APM SD + MI menjadi 112,63 % dan 94,48 %. Sedangkan APK dan APM SLTP/MTs masing-masing mencapai 72,47 % dan 55,71 %. Indikator siswa putus sekolah menunjukkan kecenderungan menurun pada tahun-tahun pertama pencanangan. Pada tahun 1994, jumlah angka putus sekolah SD mencapai 1,2 juta pertahun dan sekitar 454 ribu untuk SLTP. Pada tahun 1997, angka ini menurun menjadi 833 ribu untuk SD dan 365 ribu untuk SLTP. Sejak terjadinya krisis ekonomi jumlah angka putus sekolah membengkak menjadi 919 ribu untak SD (meningkat 86 ribu siswa) dan 643 ribu untuk SLTP (meningkat sebesar 278 ribu siswa).
Dilihat dari skala lokal, tingkat pencapaian angka partisipasi tiap propinsi bervariasi. Pada tahun 1994, hanya dua propinsi yang mencapai APK SLTP + MTs lebih darl 80% (tuntas pratama), yaitu DI Yogyakarta dan DKI Jakarta. Pada tahun 1997, jumlah propinsi yang mencapai batas minimal tuntas tersebut menjadi lima, yaitu DI Yogyakarta (116,54%), DKI Jakarta (102,61%), Bali (89,52%), Sumatera Barat (83,99%), dan Sumatera Utara (83,36%). Dilihat dari sisi yang lain, pada tahun yang sama, terdapat enam propinsi yang mempunyai APK wajib belajar 9 tahun di bawah 60%, yaitu; propinsi Kalimantan Barat (57,10%), Kalimantan Tengah (59,45%), Sulawesi Tengah (56,54%), Nusa Tenggara Barat (58,65%), Nusa Tenggara Timur (55,24%), dan Irian Jaya (52,34%).
Pada tahun 1998, posisi tingkat pencapaian wajib belajar 9 tahun berdasarkan propinsi ini masih relatif sama. Namun hampir semua propinsi mengalami penurunan tingkat APK SLTP + MTs (maksimal 1,54%), kecuali 7 propinsi yang mengalami kenaikan APK tetapi sangat minimal, yaitu DI Yogyakarta, Jambi, Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Maluku, Bali, dan Irian Jaya. Terlepas dari angka prosentase siswa yang masuk sekolah (APK), terdapat tiga propinsi yang mempunyai angka penduduk absolut usia 13-15 tahun terbesar yang masih belum mendapatkan layanan pendidikan dasar, yaitu jawa Barat (I juta orang), Jawa Timur (600 ribu orang) dan jawa Tengah (525 ribu orang).
Masalah Pelaksanaan Wajib Belajar
Walaupun pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya pada empat tahun pertama sejak dicanangkan dapat dikatakan berhasil, namun terdapat sejumlah masalah, disamping masalah krisis ekonomi, yang harus mendapat perhatian di masa yang akan datang.
Masalah-masalah tersebut meliputi :
a. Kurangnya daya tampung siswa SLTP, khususnya di daerah pedesaan, terpencil, pedalaman, dan perbatasan.
b. Tingginya angka putus sekolah tingkat SD (919 ribu tahun 1998) dan tingkat SLTP (643 ribu).
c. Rendahnya mutu pendidikan dasar yang diukur berdasarkan Nilai Ebtanas Murni (NEM) sebagai salah satu indikator mutu pendidikan.
d. Rendahnya partisipasi sebagian kelompok masyarakat dalam mendukung wajib belajar, sebagai akibat adanya hambatan geografis, sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
e. Koordinasi wajib belajar khususnya di tingkat daerah (propinsi, kabupaten, dan kecamatan) belum berjalan dengan efektif
Oleh karena itu, kebijakan, strategi dan program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang akan datang hendaknya lebih memperhatikan ke empat faktor penghambat tersebut. Penuntasan Wajib Belajar Untuk menuntaskan wajar 9 tahun, sejumlah program esensial dan produktif perlu dilaksanakan, antara lain:
a. Melanjutkan pembangunan unit sekolah baru (USB) dan ruang kelas baru (RKB) bagi daerah yang membutuhkan, khususnya di daerah pedesaan. Dalam pembangunan USB, pemetaan sekolah (school mapping) hendaknya menjadi perhatian utama untuk menghindari penutupan sekolah swasta kelas menengah ke bawah. Pembangunan RKB hendaknya memperhatikan faktor yang sama dengan tetap memberi perhatian dan bantuan kepada sekolah-sekolah swasta yang membutahkan.
b. Memberdayakan dan meningkatkan mutu SLTP Terbuka yang telah dikembangkan pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dilakukan melalui konsolidasi dan perbaikan manajemen kelembagaan, peningkatan kualitas guru bina dan pamong, perbaikan mutu buku modul, perbaikan proses belajar mengajar, dan peningkatan dukungan dan kerjasama dengan masyarakat.
c. Melanjutkan pengadaan guru-guru kontrak untuk mengatasi kekurangan tenaga guru di daerah-daerah yang membutuhkan. Namun demikian pengadaan guru kontrak tetap
Dilihat dari skala lokal, tingkat pencapaian angka partisipasi tiap propinsi bervariasi. Pada tahun 1994, hanya dua propinsi yang mencapai APK SLTP + MTs lebih dari 80% (tuntas pratama), yaitu DI Yogyakarta dan DKI Jakarta. Pada tahun 1997, jumlah propinsi yang mencapai batas minimal tuntas tersebut menjadi lima, yaitu DI Yogyakarta (116,54%), DKI Jakarta (102,61 %), Bali (89,52%), Sumatera Barat (83,99%), dan Sumatera Utara (83,36%). Dilihat dari sisi yang lain, pada tahun yang sama, terdapat enam propinsi yang mempunyai APK wajib belajar 9 tahun di bawah 60%, yaitu: Kalimantan Barat (57,10%), Kalimantan Tengah (59,45%), Sulawesi Tengah (56,54%), Nusa Tenggara Barat (58,65%), Nusa Tenggara Timur (55,24%), dan Irian Jaya (52,34%).
Pada tahun 1998, posisi tingkat pencapaian wajib belajar 9 tahun berdasarkan propinsi ini masih relatif sama. Namun hampir semua propinsi mengalami penurunan tingkat APK SLTP + MTs (maksimal 1,54%), kecuali 7 propinsi yang mengalami kenaikan APK tetapi sangat minimal, yaitu DI Yogyakarta, Jambi, Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Maluku, Bali, dan Irian Jaya. Terlepas dari angka prosentase siswa yang masuk sekolah (APK), terdapat tiga propinsi yang mempunyai angka penduduk absolut usia 13-15 tahun terbesar yang masih belum mendapatkan layanan pendidikan dasar, yaitu Jawa Barat (I juta orang), Jawa Timur (600 ribu orang) dan jawa Tengah (525 ribu orang).
Masalah Pelaksanaan Wajib Belajar
Walaupun pelaksaaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya pada empat tahun pertama sejak dicanangkan dapat dikatakan berhasil, namun terdapat sejumlah masalah, di samping masalah krisis ekonomi, yang harus mendapat perhatian di masa yang akan datang. Masalah-masalah tersebut meliputi :
a. Kurangnya daya tampung siswa SLTP, khususnya di daerah pedesaan, terpencil, pedalaman, dan perbatasan.
b. Tingginya angka putus sekolah tingkat SD (919 ribu tahun 1998) dan tingkat SLTP (643 ribu).
c. Rendahnya mutu pendidikan dasar yang diukur berdasarkan Nilai Ebtanas Murni (NEM) sebagai salah satu indikator mum pendidikan.
d. Rendahnya partisipasi sebagian kelompok masyarakat dalam mendukung wajib belajar, sebagai akibat adanya hambatan geografis, sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
e. Koordinasi wajib belajar khususnya di tingkat daerah (propinsi, kabupaten, dan kecamatan) belum berjalan dengan efektif
Oleh karena itu, kebijakan, strategi dan program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang akan datang hendaknya lebih memperhatikan ke empat faktor penghambat tersebut. Penuntasan Wajib Belajar Untuk menuntaskan wajar 9 tahun, sejumlah program esensial dan produktif perlu dilaksanakan, antara lain:
a. Melanjutkan pembangunan unit sekolah baru (USB) dan ruang kelas baru (RKB) bagi daerah yang membutuhkan, khususnya di daerah pedesaan. Dalam pembangunan USB, pemetaan sekolah (school mapping) hendaknya menjadi perhatian utama untuk menghindari penumpan sekolah swasta kelas menengah ke bawah. Pembangunan RKB hendaknya memperhatikan faktor yang sama dengan tetap memberi perhatian dan bantuan kepada sekolah-sekolah swasta yang membutuhkan.
b. Memberdayakan dan meningkatkan mutu SLTP Terbuka yang telah dikembangkan pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dilakukan melalui konsolidasi dan perbaikan manajemen kelembagaan, peningkatan kualitas guru bina dan pamong, perbaikan mutu buku modul, perbaikan proses belajar mengajar, dan peningkatan dukungan dan kerjasama dengan masyarakat.
c. Melanjutkan pengadaan guru-guru kontrak untuk mengatasi kekurangan tenaga guru di daerah-daerah yang membutuhkan. Namun demikian pengadaan guru kontrak tetap difokuskan pada pemenuhan kualifikasi dan kompetensi yang telah ditetapkan.
d. Melanjutkan pengadaan buku mata pelajaran yang berkualitas sehingga rasio buku dan murid mencapai 1: 1 untuk setiap mata pelajaran. Oleh karena itu, berbagai kegiatan pokok perlu diperhatikan antara lain perbaikan/revisi buku teks, pengadaan buku berdasarkan analisis kebutuhan atau permintaan sekolah, dan pemberian grant untuk pembelian buku sehingga sekolah mendapatkannya secara tepat jumlah dan tepat waktu.
e. Melanjutkan upaya peningkatan kualifikasi guru SLTP, sehingga secara berangsur-angsur mereka dapat mencapai tingkat pendidikan SI. Peningkatan kualifikasi ini dilakukan melalui kerjasama pemerintah dengan perguruan tinggi lokal yang memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan atau melalui program jarak jauh.
f. Meningkatkan bantuan bagi sekolah swasta yang mempunyai status akreditasi diakui dan terdaftar dalam pengadaan ruang kelas baru (RKB), buku dan alat pelajaran, dan tenaga kependidikan serta bantuan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga pengajar dalam rangka peningkatan kompetensi mengajar di sekolah.
g. Melanjutkan program jaring pengaman sosial di bidang pendidikan melalui program pemberian beasiswa bagi siswa SD dan SLTP yang kurang mampu, serta pemberian dana bantuan operasional (DBO) bagi sekolah-sekolah yang berada di kantong-kantong masyarakat miskin.
h. Melakukan konsolidasi dan rekonseptualisasi SLTP Terpadu dan SLTP Kecil, agar kedua lembaga pendidikan ini lebih dapat meningkatkan kualitas pelayanan pendidikannya bagi warga masyarakat yang membutuhkan.
i. Memperhatikan secara lebih serius penanganan anak usia sekolah 7-15 tahun yang merupakan target-target khusus wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, seperti anak-anak yang berasal dari daerah terpencil, anak-anak daerah kumuh, anak-anak jalanan, dan kelompok anak-anak lain yang masih belum terjangkau pelayanan pendidikan dasar.
j. Meningkatkan koordinasi vertikal dan horisontal, khususnya antar unit terkait di daerah tingkat 11 dan di Kecamatan.
k. Melibatkan partisipasi semua kekuatan, seperti pamong desa, tokoh masyarakat, organisasi kepemudaan dan kewanitaan, cendekiawan, dan usahawan, sehingga pelaksanaan penuntasan wajib belajar 9 tahun betul-betul merupakan gerakan sosial
Disamping program-program reguler tersebut di atas, beberapa program inovatif perlu dikembangkan antara lain :
1. Penyediaan insentif bagi kelompok masyarakat yang mau mendirikan lembaga pendidikan dasar melalui bantuan bangunan, bantuan guru, dan bantuan buku dan alat pelajaran.
2. Menjajaki kemungkinan pendirian unit sekolah baru (USB) di lingkungan pesantren diniyah (pesantren yang hanya menyelenggarakan sekolah keagamaan) berdasarkan kerjasama kemitraan. Sebagai misal, pesantren menyediakan tanah untuk dibangun dan menangani program ekstrakurikuler, sedangkan pernerintah menyediakan bangunan sekolah, tenaga guru, buku dan alat pelajaran, serta. biaya operasional.
3. Pembukaan kelas-kelas jauh, khusus untuk daerah terpencil yang sulit dijangkau.
Sumber : Departemen Pendidikan Nasional


Majalah

Copyright © PT Bangun Satya
Pendidikan Alternatif untuk Anak
Ngutip sedikit dari Kak Seto: "Setiap anak pada dasarnya cerdas, setiap anak mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Dan, setiap anak sedapat mungkin memperoleh pendidikan yang layak bagi diri mereka. Namun dalam pengalaman dilapangan menunjukan bahwasannya banyak anak mendapatkan pengalaman kurang menyenangkan selama bersekolah. Sebut saja, kasus bullying, bentakan dan kekerasan dari guru bahkan pemasungan kreatifitas anak. Pengalaman-pengalaman yang kurang berkesan tersebut menimbulkan phobia terhadap sekolah (School Fobia) bagi anak dan orang tua.
Kemudian upaya penyeragaman kemampuan dan keterampilan semua anak untuk seluruh bidang turut mematikan minat dan bakat anak yang tentunya berbeda-beda, karena setiap anak adalah unik. Lebih jauh lagi, kurikulum yang terlalu padat dan tugas-tugas rumah yang menumpuk membuat kegiatan belajar menjadi suatu beban bagi sebagian anak. Melihat kondisi ini, maka perlu dicarikan solusi alternative bagi anak-anak yang kurang cocok dengan sistem pendidikan formal, salah satu bentuk kegiatannya yaitu HomeSchooling?...."
Akhir-akhir ini kita sering saksikan mulai banyak bermunculan sekolah-sekolah dengan alternatif pendekatan dan metodologi pengajaran “link & mach yang cenderung praktis dan katanya lebih efektif mengelaborasi esensi pendidikan dengan aplikasi skill peserta didik. Program pendidikan tersebut sering kita kenal dengan istilah home schooling. Diseluruh dunia terdapat kurang lebih 6 juta home schooling tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Walaupun bagi kalangan praktisi pendidikan sendiri substansi pendidikan home schooling secara simplistis inheren dengan SMP terbuka, SMA terbuka, Universitas terbuka atau yang sekarang sedang trend adalah e-learning, namun memang ada kecenderungan bahwa home schooling agak “berbeda” jika dilihat dari tingkat fleksibilitas dan metodologi pengajarannya. Fleksibilitas konsep pendidikan home schooling memang an-sich mengacu kepada kompetensi praktis hubungan antara ketertarikan/kemauan dan hoby individual (baca : siswa) dengan orientasi cita-citanya bekerja atau menguasai bidang-bidang tertentu yang menjadi harapannya dalam bekerja. Fleksibilitas tersebut juga diukur dari metode belajar-mengajar yang tidak “terbelenggu” oleh dimensi ruang dan waktu secara formal serta menjamin tingkat kompetensi terealisir dengan baik. Dengan kata lain konsepsi link & mach memang cenderung lebih efektif jika para siswa belajar dalam tataran konsep pendidikan model ini. Apalagi jika kalangan dunia industri sudah menjalin kerja sama dan membangun hubungan dengan lembaga pendidikan home schooling misalnya mengenai pola standard alternatif bagi kompetensi para lulusan (baca : dalam hal ijasah dan nilai) yang selama ini menjadi domainnya pemerintah.
Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di “hantui “oleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif “aman” buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal. Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha).
Memang selama ini bagi sebagian kalangan praktisi pendidikan, mereka menjustifikasi bahwa kebutuhan kompetensi tersebut tetap menjadi skala prioritas yang harus terus dikembangkan dalam setiap jenjang kurikulum. Melalui kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan sekarang berubah lagi menjadi kurikulum berbasis pengetahuan terpadu ditambah kurikulum lokal yang terus berganti. Konsep dan desain penerapan kurikulum tersebut dilakukan dengan pendekatan pemikiran dan teori tentang kecerdasan berganda, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional dengan asumsi bahwa mereka (baca : para pakar dan praktisi pendidikan) menganggap bahwa setiap insan haruslah perlu diakui dan dihargai modalitas belajarnya. Para praktisi pendidikan menerapkan desain konsep pendidikan dalam berbagai strata dengan berupaya mengelaborasi tingkat intelektualitas ide dan gagasan akademiknya dengan pendekatan teoritical education an sich. Kecenderungan teoritical yang intens tersebutlah yang pada akhirnya menimbulkan problematik teoritis dalam dunia pendidikan kita. Implikasinya bisa kita lihat dari terlalu seringnya kurikulum berganti tanpa visi baik content maupun format penerapannya di lapangan. Akibatnya pula bukan cuma para guru yang kesulitan mengintepretasikan dan mengimplementasikan program kurikulum yang dibuat pemerintah, para siswa pun akhirnya “terbelenggu”untuk menerima konsep dan program pendidikan tersebut tanpa reserve.
Kasus kontroversi output penerapan standard kelulusan untuk siswa yang baru-baru ini terjadi semakin menjadi salah satu pemicu kuat bagaimana persoalan standard dalam dunia pendidikan juga menjadi salah satu faktor penting mengapa masyarakat mulai beralih untuk lebih jauh melihat standard bukan secara lokal namun sudah jauh ke standard yang lebih bersifat mondial misalnya standard Amerika sampai standard ketaraf Internasional semisal lembaga pendidikan yang menerapkan sistem ISO dalam program pendidikannya. Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home schooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah.
Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the j ob method, garansi dan konsepsi link & mach dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah. Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistik.


Majalah


Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang
Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).
Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.
Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Nilai Balik Pendidikan
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).
Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.
Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Fungsi Non Ekonomi
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.
Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.
Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan bersama
Oleh : Nurkholis
Sumber : Pendidikan.net
Program Akselerasi Pendidikan Dasar
Wacana akselerasi pendidikan baik di tingkat pendidikan dasar maupun di tingkat menengah pernah menjadi wacana fenomenal dalam dunia pendidikan. Hampir berbagai media massa dari tingkat lokal sampai nasional pernah mempublikasikan tentang wacana tersebut. Berbagai argumentasi pro dan kontra seputar wacana akselerasi pendidikan pernah menghiasi hampir berbagai media baik cetak maupun elektronik.
Ada apa sebetulnya dengan akselerasi pendidikan? Akselerasi pendidikan baik di tingkat pendidikan dasar maupun menengah merupakan suatu kebijakan yang dikeluarkan Depdiknas, yang tertuang dalam Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP Nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Kepmendikbud nomor 0487/U/1992 untuk Sekolah Dasar.
Esensi dari program akselerasi pendidikan adalah memberikan pelayanan kepada siswa yang mempunyai bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa untuk mengikuti percepatan dalam menempuh pendidikannya. Untuk tingkat pendidikan dasar, siswa yang mempunyai bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa dapat menempuh pendidikannya selama 5 tahun, sedangkan untuk tingkat menengah SLTP dan SLTU siswa dapat menempuh pendidikannya selama 2 tahun.
Secara konseptual, program akselerasi ini cukup bagus relevansinya dalam pengembangan bakat dan kecerdasan anak, yaitu memberikan perhatian yang lebih kepada anak didik yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan yang luar biasa, sehingga mereka bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya secara luas. Tetapi secara praksis, program akselerasi memiliki kelemahan yang sangat signifikan. Pada tataran praksisnya, akselerasi cenderung berorientasi pada tingkatan kognisi saja.
Untuk di tingkat pendidikan menengah, implementasi program akselerasi ini mungkin tidak begitu bermasalah, karena sudah sesuai dengan tingkat perkembangan inteligensi anak. Tetapi sebaliknya, untuk di tingkat pendidikan dasar, implementasi program akselerasi masih perlu dipertanyakan. Mengapa demikian? Anak-anak yang berada di tingkat pendidikan dasar masih identik dengan dunianya, yaitu dunia bermain. Dus, belum saatnya anak dipaksakan untuk berpikir seperti halnya orang dewasa.
Bloom mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembang-kan tiga kemampuan dasar, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga aspek tersebut merupakan sebuah entitas integral yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan berdiri sendiri. Antara aspek yang satu dengan aspek lainnya saling berkaitan. Dengan demikian, keberhasilan pendidikan hanya akan dapat tercapai manakala ketiga aspek tersebut dapat diaplikasikan oleh guru secara seimbang dalam proses belajar mengajar.
Berkaitan dengan program akselerasi, mau tidak mau anak didik kita dipacu untuk terus mengejar "nilai". Agar anak didik dapat mendapatkan nilai yang "baik", guru dituntut untuk dapat menyampaikan materinya pada anak didik dengan metode yang tepat dan singkat. Itupun ditambah dengan adanya pelajaran tambahan yang diharapkan dapat membantu anak didik agar nilainya tetap stabil di samping dapat mengejar materi pelajaran agar tidak tertinggal.
Realitas ini mengindikasikan bahwa akselerasi hanya berkutat pada tataran kognisi. Sehingga dalam konteks ini, anak didik yang tingkat kognisinya lemah akan tertinggal, sebaliknya anak didik yang tingkat kognisinya kuat akan melaju terus. Akselerasi tidak bisa melihat "prestasi" anak didik yang sebenarnya, karena prestasi yang sudah ada didapat melalui suatu "perampasan" terhadap hak-hak anak didik.
Fenomena sosial yang muncul di dalam sekolah penyelenggara program akselerasi adalah padatnya jam belajar anak didik dan banyaknya muatan pelajaran yang harus dipelajari. Semua itu bermuara pada "perampasan" hak-hak anak didik dalam kehidupannya. Anak didik kehilangan waktu untuk bermain maupun berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini pada akhirnya berakibat pada teralienasinya dan termarjinalkannya anak didik dari lingkungannya.
Anak didik tidak memiliki kesempatan untuk belajar dengan dunianya atau dengan lingkungannya tentang, bagaimana menghargai orang lain, berempati terhadap orang lain, mengendalikan nafsu dan lain sebagainya, yang semuanya berkaitan dengan masalah emosionalnya. Padahal semua yang berkaitan dengan masalah emosional sangat penting sekali bagi seseorang apabila ia ingin berhasil. Aspek kemampuan kognisi saja tidak cukup bagi seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya.
Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence mengatakan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh aspek kecerdasan kognisi saja, tetapi aspek kecerdasan emosional memegang peranan yang sangat penting. Menurutnya intelektualitas tidak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa disertai dengan kecerdasan emosional.
Antara kecerdasan kognisi dan kecerdasan emosional merupakan satu kesatuan yang saling mengisi dalam membentuk keberhasilan seseorang. Akan tetapi, ketika aspek kognisi lebih dominan dalam praksisnya, maka pertanyaan yang muncul dalam pikiran kita relevansinya dengan program akselerasi adalah mau dibawa kemana anak-anak kita yang berada di tingkat pendidikan dasar?
Pertanyaan ini patut kita cermati dan renungi, bagaimanapun juga akselerasi tidak membuat anak didik memiliki prestasi yang matang sesuai dengan tingkat perkembangan inteligensi anak, sebaliknya akselerasi telah melahirkan sebuah fenomena baru dalam dunia pendidikan kita, yaitu lahirnya prematurisme pendidikan. Lebih tragis lagi, ungkap Suyanto, model pendidikan "karbitan" seperti akselerasi sebenarnya akan menuai limbah pendidikan yang pada hakikatnya sungguh amat kontraproduktif dan bahkan juga kontraedukasi.
Sumber : pendidikan.net



Majalah


Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu: Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa. Tujuan penyerta yaitu untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Bentuk Satuan Pendidikan Anak Usia Dini
Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk satuan pendidikan anak usia dini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
Jalur Pendidikan Formal
Terdiri atas Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Atfal. Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Atfal dapat diikuti anak usia lima tahun keatas. Termasuk disini adalah Bustanul Atfal.
Jalur Pendidikan Nonformal
Terdiri atas Penitipan Anak, Kelompok Bermain dan Satuan PAUD Sejenis. Kelompok Bermain dapat diikuti anak usia dua tahun keatas, sedangkan Penitipan Anak dan Satuan PAUD Sejenis diikuti anak sejak lahir, atau usia tiga bulan.
Jalur Pendidikan Informal
Terdiri atas pendidikan yang diselenggarakan di keluarga dan di lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melindungi hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan, meskipun mereka tidak masuk ke lembaga pendidikan anak usia dini, baik formal maupun nonformal.

Quantum Teaching
Konsep Quantum Teaching
Bobbi DePorter sebagai “president of Learning” dan president sekaligus pendiri “the Accelerated Learning Association”, Mark Reardon sebagai guru pembentuk dan kepala sekolah yang memimpin fasilitator dari program tersebut, dan Sarah Singer-Nourie sebagai guru bahasa Inggris SMA dan Quantum Learning K-12. mereka berbagi strategi yang kaya, dihadirkan secara langsung, dengan gaya dinamis, untuk memotivasi dan meningkatkan pengajaran dan pembelajaran di s eluruh level. Hal ini berupa Quantum teaching.
Quantum adalah interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Quantum teaching yaitu orkestrasi bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar situasi belajar. Interaksi ini mencakup unsure-unsur untuk belajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa, mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain.
Quantum Teaching menguraikan cara-cara baru yang memudahkan proses belajar guru lewat pemaduan seni dan pencapaian-pencapaianyang terarah, apa pun mata pelajaran yang diajarkan. Dengan mengguakan metode Quantum Teaching, guru akan menggabungkan keistimewaan belajar menuju bentuk perencanaan pengajaran yang akan melejitkan prestasi siswa.
Quantum Teaching adalah penggubahan belajar yang meriah, dengan segala nuansanya. Quantum Teaching menyertakan segala kaitan, interaksi, dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Quantum Teaching berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas, interaksi yang mendirikan landasan dan kerangka belajar.
Quantum Teaching merangkaikan yang paling baik dari yang terbaik menjadi sebuah paket multisensori, multi kecerdasan, dan kompatibel dengan otak, yang pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan guru untuk dapat merangsang anak untuk berprestasi. Cara ini dapat memaksimalkan usaha pengajaran guru melalui perkembangan hubungan, penggubahan belajar, dan penyampaian kurikulum serta menciptakan lingkungan belajar yang efektif, merancang kurikulum, menyampaikan isi, dan memudahkan proses belajar.
Quantum Teaching adalah sebuah program yang mengizinkan pendidik untuk memahami perbedaan gaya pembelajran para siswa di dalam kelas. Tujuannya adalah untuk mengajari pendidik bagaimana orang belajar dan mengapa siswa bertindak dan bereaksi terhadap sesuatu sebagaimana yang terlah terjadi selama ini. Quantum teaching menunjukkan pada guru bagaimana caranya untuk mengarang kesuksesan siswa mereka dengan mencatat “apa saja” di dalam kelas yang berkaitan dengan lingkungan, desain kurikulum dan bagaimana cara mempresentasikannya. Hasilnya adalah Quantum teaching merupakan cara yang efektif dalam mengajar siapa saja. Quantum teaching menawarkan ide baru tentang bagaimana menciptakan lingkungan yang baik yang menjanjikan bagi pelajar dan mendukung mereka dalam proses pembelajaran.
Asas Quantum Teaching
Asas dari Quantum Teaching adalah Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka. Asas ini mengingatkan kita untuk pentingnya memasuki dunia murid sebagai langkah pertamanya. Untuk mendapatkan hak mengajar, pertama-tama guru harus membangun jembatan autentik memasuki kehidupan murid. Mengajar adalah hak yang harus diraih dan diberikan kepada siswa. Belajar dari segala definisinya adalah kegiatan full-contact yang melibatkan semua aspek kepribadian manusia (pikiran, perasaan, bahasa tubuh pengetahuan, sikap, keyakinan dan persepsi masa datang).
Maka dari itu, hal yang pertama dilakukan oleh guru adalah memasuki dunia muridnya. Tindakan ini akan memberi guru izin untuk memimpin, menuntun, dan memudahkan perjalanan mereka menuju kesadaran ilmu pengetahuan yang lebih luas. Caranya adalah dengan mengaitkan apa yang guru ajarkan dengan sebuah peristiwa, pikiran atau perasaan yang diperoleh dari kehidupan rumah, social, atletik, musik, seni, rekreasi, atau akademis. Setelah kaitan itu terbentuk, guru dapat membawa muridnya ke dalam dunia guru, dan memberi mereka pemahaman guru mengenai isi dunia itu, maka kosa kata baru, model mental, rumus dan lain-lain dapat dibeberkan. Dengan pengertian dan pemahaman yang lebih luas, siswa dapat membawa apa yang mereka (murid) pelajari ke dalam dunia mereka dan menerapkannya pada situasi baru.
Prinsip-Prinsip Quantum Teaching
1. Segalanya berbicara
Maksudnya dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh guru, dari kertas yang guru bagikan hingga rancangan pelajaran guru, keseluruhannya mengirim pesan tentang belajar
2. Memiliki tujuan
Semua yang terjadi karena guru mempunyai tujuan seperti seorang guru yang harus secara hati-hati menyusun pelajaran.
3. Pengalaman sebelum pemberian nama
Otak kita berkembang pesat dengan adanya rangsangan kompleks, yang akan menggerakkan rasa ingin tahu. Oleh karena itu, proses belajar paling baik terjadi ketika siswa mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari. Pembelajaran berjalan sukses ketika murid mengalami informasi pada awal pembelajaran.
4. Mengakui setiap usaha
Dalam belajar mengandung resiko dan keluar dari rasa nyaman. Pada langkah ini, murid berhak atas pengakuan dari kecakapan dan rasa percaya diri mereka. Murid mengambil resiko dan membangun kompetensi dan kepercayaan diri mereka.
5. Layak dipelajari maka layak dirayakan (diberi reward)
Perayaan atau memberikan sesuatu sebagai reward adalah suatu umpan balik mengenai kemajuan murid dan meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar.
Model Quantum Teaching
"Quantum Teaching" shows teachers how to orchestrate their students' success by taking into account "everything" in the classroom along with the environment, the design of the curriculum, and how it's presented. The result: a highly-effective way to teach anything to anybody
Model ini hampir sama dengan sebuah simfoni. Jika kita menonton sebuah simfoni, ada banyak unsur yang menjadi faktor pengalaman musik kita. Unsur tersebut terbagi menjadi dua kategori, yaitu:
1. Konteks
Konteks yaitu latar belakang pengalaman guru. Jika dalam sebuah orkestra musik, konteks merupakan keakraban ruang orkestra (lingkungan), semangat konduktor dan para pemain musiknya (suasana), keseimbangan instrument dan musisi dalam bekerja sama (landasan), dan interpretasi dari maestro terhadap lembaran musik (rancangan). Unsur-unsur ini berpadu dan menciptakan pengalaman bermusik secara menyeluruh
2. Isi
Salah satu unsur isi adalah bagaimana tiap frase musik dimainkan (penyajian). Isi juga meliputi fasilitasi ahli sang maestro terhadap orkestra, memanfaatkan bakat setiap pemain musik dan potensi setiap instrumen.
Jika dikaitkan dengan situasi belajar-mengajar sekolah, unsur-unsur yang sama tersusun dengan baik yaitu suasana, lingkungan, landasan, rancangan, penyajian, dan fasilitas. Dalam pelaksanaannya Quantum Teaching melakukan langkah-langkah pengajaran dengan enam langkah yang tercermin dalam istilah tandur, yaitu :
1. Tumbuhkan minat dengan memuaskan, yakni apakah manfaat pelajaran tersebut bagi guru dan murid.
2. Alami, yakni ciptakan dan datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua pelajar.
3. Namai, untuk ini harus disediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi : yang kemudian menjadi sebuah masukan bagi si anak
4. Demonstrasikan, yakni sediakan kesempatan bagi pelajar untuk menunjukkan bahwa mereka tahu.
5. Ulangi, yakni tunjukkan kepada para pelajar tentang cara-cara mengulang materi dan menegaskan “Aku tahu bahwa aku memang tahu ini”
6. Rayakan, yakni pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan perolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan
Dari kerangka konseptual tentang langkah-langkah pengajaran dalam Quantum Teaching tersebut terlihat adanya empat ciri sebagai berikut :
1. adanya unsur demokrasi dalam pengajaran. Hal ini terlihat bahwadalam Quantum Teaching terdapat unsur kesempatan yang luas kepadas eluruh para siswa untuk terlibat aktif dan partisipasi dalam tahapan-tahapan kajian terhadap suatu mata pelajaran
2. sebagai akibat dari ciri yang pertama, maka memungkinkan tergali dan terekspresikannya seluruh potensi dan bakat yang terdapat pada diri si anak
3. adanya kepuasan pada diri si anak. Hal ini terlihat dari adanya pengakuan terhadap temuan dan kemampuan yang ditunjukkan oleh si anak, sehingga secara proporsional
4. adanya unsur pemantapan dalam menguasai materi atau suatu keterampilan yang diajarkan. Hal initerlihat dari adanya pengulangan terhadap sesuatu yang sudah dikuasai si anak
5. adanya unsur kemampuan pada seorang guru dalam merumuskan temuan yang dihasilkan si anak, dalam bentuk konsep, teori, model dan sebagainya.

Standar Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal
Sebagai upaya memberikan layanan pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyusun draf Standar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nonformal. Standar ini mencakup seluruh pelayanan anak usia dini sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, khusus untuk layanan PAUD Nonformal lebih memprioritaskan anak usia 0-4 tahun.
Direktur PAUD Depdiknas Gutama mengemukakan, sejak lama pemerintah dituntut oleh masyarakat untuk menyusun standar yang jelas. Selama ini, kata dia, kurikulum PAUD Nonformal pun belum ada, yang ada adalah acuan resmi dari Depdiknas, tetapi belum ada khusus yang dibuat karena standar nasionalnya belum ada. "Standar ini akan menjadi acuan kita,bukan standar yang maksimal tapi yang minimal," katanya pada Uji Publik Draf Standar PAUD Nonformal di Graha Depdiknas, Jakarta, Senin (24/03/2008) .
Hadir dalam acara Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK) Baedhowi, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Ace Suryadi, Ketua BSNP Yunan Yusuf, dan para pengelola PAUD. Gutama mengatakan, standar ini disusun bukan untukmenghambat potensi PAUD di masyarakat yang sedang tumbuh dan berkembang, tetapi justru memberikan peluang agar mereka bisa tumbuh berkembang dan akhirnya mencapai standar minimal yang diharapkan. "Jangan sampai ada anak yang tidak mendapatkan sentuhan pendidikan sejak anak usia dini," ujarnya.
Anggani Sudono, Koordinator Penyusunan Standar PAUD Nonformal menyampaikan, tujuan diselenggarakan uji publik Standar PAUD Nonformal adalah untuk memperoleh masukan yang sebanyak-banyaknya agar standar ini sesuai dengan kehendak semua. "Sekaligus menjadi payung semua kegiatan anak usia dini yang dilakukan oleh seluruh masyarakat di Indonesia," katanya.
Anggani mengatakan, anak usia dini apabila mendapatkan penanganan, pengasuhan, dan pendidikan sedini mungkin maka akan memberi dasar yang kuat untuk pendidikan selanjutnya. "Ini (PAUD) merupakan investasi dalam kehidupan selanjutnya. Standar PAUD akan diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia," katanya. Anggani menyebutkan, komponen standar pendidikan usia dini terdiri atas tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini; pendidik dan tenaga kependidikan PAUD; program, isi, proses, dan penilaian PAUD; infrastruktur pendukung, sarana, dan prasarana, serta pengelolaan dan pembiayaan.
Endang Ekowarni, Ketua Tim Ad hoc Penyusunan Standar PAUD mengatakan, pada komponen pertama standar yang disusun yakni bukan standar kelulusan, tetapi menggunakan istilah tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini dengan target setiap tahap harus dicapai anak dengan sehat, cerdas, dan ceria. "Jadi sehat dan cerdas menurut tahap perkembangannya, dan ceria juga sesuai dengan usianya. Pada akhirnya mereka akan siap untuk mengikuti pendidikan formal."
Sumber: Pers Depdiknas

Pendidikan Lalu Lintas Dini
Makin rawannya tingkat keselamatan di jalan raya yang ditunjukkan oleh terus meningkatnya angka kecelakaan yang terjadi dari tahun ke tahun menyebabkan perlunya digalakkan kembali pendidikan dan etika berlalu lintas sejak usia dini.
Untuk itu, Shell Indonesia meluncurkan program Road Safety: Think Safety, Act Safely yang akan melibatkan sekitar 1.200 siswa-siswi kelas 4 dan 5 dari sepuluh sekolah dasar di Jakarta hingga akhir tahun 2008. "Program perubahan seperti ini, perlu early wins yaitu kemenangan-kemenagan untuk ke depannya," ujar Presiden Direktur PT Shell Indonesia Darwin Silalahi dalam acara peluncuran program ini di Jakarta, Rabu (28/5).
Darwin mencontohkan anaknya yang merengek minta dibelikan handphone padahal umurnya baru lima tahun. Meski kurang setuju, Darwin akhirnya membelikan juga karena sebagian besar teman anaknya ternyata memiliki handphone. Dalam dua hari anaknya sudah mampu menghapal banyak nomor telepon orang-orang terdekatnya.
"Kemampuan menghapal dan meniru sesuatu itu sangat tinggi di tingkat SD. Nanti kami akan kembangkan lagi tapi kami mulai dari SD untuk memasyarakatkan perilaku sopan di jalanan, meski mulai dengan jumlah sangat kecil," tandasnya.
Menurut Social Investment Manager PT Shell Indonesia Sri Endah program yang akan dikemas dalam roleplay dan simulasi ini nantinya akan diselenggarakan langsung di Taman Lalu Lintas (Traffic Park) Cibubur. "Kami akan ajarkan basic skill saja misalnya menyeberang jalan, atau pakai seat belt, paling tidak mereka nanti bisa ingatkan ayah ibunya ketika hendak mengendarai mobil untuk memakai seat belt," tukas Endah.
Program ini akan dimulai pada 5 Juni mendatang dimulai untuk SDN 01 Menteng Atas dan disusul sembilan SD lainnya hingga akhir 2008, seperti SDN Klender 12, SDN Duren Sawit, SDN 02 Menteng Atas, SDN 04 Menteng Atas, SDN 19 Menteng Atas, SDN Gondangdia 03 Pagi, SDN Gondangdia 05 Pagi, SDN Cikini 02 pagi, dan SDN Cikini 04 pagi.
Nantinya, pendidikan yang akan diadakan satu hari penuh untuk setiap SD akan memuat pengetahuan dasar tentang lalu lintas yang dikemas dengan interaktif dan fun serta memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk berkendaraan langsung dengan menggunakan alat-alat peraga, seperti kendaraan-kendaraan kecil dan perlengkapannya serta rambu-rambu lalu lintas.
Shell melalui program CSR-nya ini berharap program ini menjadi investasi jangka panjang terhadap mental generasi muda di jalanan.Menurut catatan Direktorat Lalu Lintas Polri, angka kecelakaan di Jakarta pada tahun 2007 tercatat 5.154 kejadian yang menyebabkan 999 orang meninggal dunia. Angka ini terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.
Pendidikan Dasar Tidak Boleh Dipungut Biaya
Pembiayaan investasi, personalia, dan operasional di sekolah tingkat wajib belajar pendidikan dasar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Dilarang ada pungutan di jenjang sekolah dasar dan menegah pertama yang diselenggarakan pemerintah.
Hal ini diatur tegas di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan yang dikeluarkan pertengahan bulan lalu. PP yang menjadi bagian dari upaya standardisasi pendidikan nasional ini mengatur rinci tentang mekanisme biaya pendidikan, pengelolaan dan tanggung jawabnya.
Menurut Ketua I Forum Aspirasi Guru Independen Indonesia Ahmad Taufan, PP ini memberi konsekuensi ke depan, yaitu tidak adanya lagi kewajiban masyarakat untuk ikut menanggung biaya pendidikan di tingkat wajar dikdas.
"Kalau di Bandung, ya yang dibebaskan itu tingkat SD-SMP karena masih memakai wajar dikdas 9 tahun. Di Jakarta, bisa sampai 12 tahun," tuturnya. Pengecualiannya, jika sekolah itu merupakan bagian dari program rintisan sekolah bertaraf internasional (SBI). Di sekolah-sekolah negeri bestatus Rancangan SBI ini masih dimungkinkan memungut biaya dari masyarakat untuk mendorong kualitas sekolah. "Ke depan, tidak ada lagi istilah iuran SPP di sekolah dasar dan SMP," ucapnya.
Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 49 PP 48/2008, masyarakat tidaklah dilarang memberikan sumbangan yang tidak mengikat kepada sekolah. Namun, syaratnya, sekolah diwajibkan mempertanggungjawabkan dana secara transaparan dan diaudit oleh akuntan publik. Lalu, wajib diumumkan ke media cetak berskala nasional.
Pungutan itu, ucapnya, terutama untuk alokasi peningkatan kesejehtaraan guru di sekolah. Sebanyak 70 persen dana masyarakat terserap untuk ini (kesejahtaraan guru), tutur guru SDN Merdeka V Kota Bandung ini. Jika pemerintah tidaklah meningkatkan kesejehteraan guru secara bertahap, ia pesimis, pungutan masih akan berlangsung. Kita ketahui, tunjangan profesi itu kan tidak diterima setiap guru. "Tunjangan fungsional yang jelas-jelas diterima seluruh guru, masih suka telat diterima. Sudah setahun ini telat," ujar Taufan.
Menurut Koordinator Koalisi Pendidikan Kota Bandung Iwan Hermawan, dua PP yang baru saja keluar, yaitu PP 48/2008 ditambah PP 47/2008 tentang Wajib Belajar itu sedikit banyak bakal makin menyulitkan praktik pungutan biaya sekolah dari masyarakat. Rapat penentuan APBS yang berlangung di SD-SMP di minggu-minggu ini bakal alot, prediksinya.
Diturunkan ke Perda
Di Kota Bandung, setidaknya dimulai tahun 2009, kedua PP ini akan diterapkan secara konsekuen. Sebab, kedua PP ini ikut dijadikan referensi aturan dalam penggarapan draf Rancangan Peraturan Daerah Pendidikan di Kota Bandung. Menurut Arif Ramdhani, Sekretaris Pansus Draf Raperda Pendidikan di DPRD Kota Bandung, molornya rencana jadwal pengesahan Raperda Pendidikan ini salah satunya akibat meny esuaikan kedua PP ini.
Ke depan, sesuai PP ini, sekolah di tingkat wajib belajar dikdas tidak boleh lagi dipungut biaya, tuturnya. Ketentuan ini akan menyempurnakan program sekolah gratis yang dijalankan Pemerintah Kota Bandung. Termasuk, mendorong pemen uhan anggaran 20 persen pendidikan, khususnya dari APBD Kota Bandung. Ini sesuai ketentuan Pasal 81 PP 48/2008. Nota APBD dianggap inkonstitusional jika tidak memenuhinya.
SUmber : kompas.co.id
Pendidikan dasar untuk semua
Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak.
Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia dini terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan.
Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik sering harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih berorientasi pada guru dan anak tidak diberi kesempatan memahami sendiri. Metode ini masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia.
Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi lemah tidak termotivasi dari pengalaman belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan sudah relatif tak terjangkau bagi mereka.
http://www.unicef.org/indonesia/id/education.html

Sumber Belajar Anak
Kita wajib membantu kelancaran proses pembelajaran anak di "sekolah"nya. Apalagi, begitu banyak sumber belajar di sekeliling kita yang bisa dimanfaatkan.
Yang dimaksud sumber belajar adalah segala macam sarana dan prasarana yang bisa didapatkan di lingkungan dan memberikan pengetahuan/informasi/konsep pada anak. "Jadi, sumber belajar itu luas sekali. Bisa berarti situasi dari keadaan, benda, gambar alat mainan, serta semua peralatan yang bisa didapat di segala tempat, baik pantai, gunung, toko, dan lainnya," terang Anggani Soedono, MA, pakar pendidikan dan penulis buku Sumber Belajar dan Alat Permainan untuk Pendidikan Usia Dini.
Kenali Ciri Khas Anak
Namun, sebelum memanfaatkan sumber belajar, kita perlu mengenali dulu ciri-ciri khas anak usia 4-5 tahun. Ketika bermain, misal, mereka sebenarnya tak mempersoalkan jenis mainannya. Ambil contoh kotak mi instan, bisa ditarik-tarik dengan tali menjadi sebuah "mobil". "Itu sudah merupakan sebuah kegiatan yang menyenangkan baginya," ujar Anggani.
Sayang, sering kita tak menyadari hal ini hingga "mainan" kesayangan si kecil dibuang karena dianggap sampah. "Ini pandangan keliru, lo, karena pada umur-umur ini, anak suka sekali 'menyampah', entah berupa tali-tali, gelang karet atau kertas bekas, semuanya dikumpulkan." Meski, kegemarannya mengumpulkan suatu barang karena sebelumnya ia pernah melihat model. Mungkin si ayah atau ibu pernah membuat sesuatu dengan barang-barang itu, misal, karet, hingga anak merasa, "Aku juga mau main dengan karet, jadi aku simpan, ah."
Dari segi bahasa, lanjut Anggani, anak prasekolah juga punya ciri, yaitu butuh bahasa yang utuh disertai fungsinya. Misal, "O, Kakak sedang minum susu di gelas, ya?" Jadi, jangan hanya mengatakan, "Kak, itu namanya gelas," tapi terangkan lebih lanjut, "Kak, lihat, tuh, di atas meja Bunda ada gelas. Eh, ada buku juga, tas Kakak juga ada di meja!" Dengan demikian anak tahu, di atas meja bukan hanya bisa ditaruh gelas, tapi juga benda lain.
Namun, dalam memberikan informasi harus secara fun artinya tanpa paksaan dan kita pun harus menunjukkan antusiasme, hingga menular pada anak dan tercipta proses pembelajaran yang menyenangkan. "Bila orang tua tak menunjukkan antusiasme, anak pun akan cuek. Ia akan menganggap, tak ada sesuatu yang menarik dari tepung terigu, misal. Namun bila kita katakan 'Wah, tepung ini bisa Bunda buat pie. Kakak ingat enggak ketika makan pie. Enak, ya?', misal."
Dapur dan Ruang Keluarga
Soal tempat yang bisa dijadikan sumber belajar, lanjut Anggani, tak perlu jauh-jauh. Dapur pun bisa. Misal, kita mengenalkan nama-nama bumbu-bumbu dapur sambil mengatakan, kebanyakan tanaman bumbu dapur dapat juga digunakan sebagai apotik hidup, lalu biarkan anak mencium lengkuas, kunyit, kunci, jahe, daun jeruk purut, daun salam, sereh, dan sebagainya. Dengan begitu ia menyadari, di sekelilingnya banyak aneka tanaman yang sangat bermanfaat. Seluruh pancaindranya pun bekerja aktif kala ia mengamati aneka bumbu dapur itu.
Ruang keluarga pun bisa dijadikan tempat sumber belajar. Misal, "Ini, lo, Kak, yang namanya komputer. Yang kayak TV ini namanya monitor. Nah,yang banyak tombolnya ini namanya keyboard." Jangan anggap istilah-istilah tersebut masih terlalu tinggi untuk anak karena di usia 4-5 tahun harus sudah dikenalkan dengan itu semua. Jadi, jangan menunda-nunda untuk mengenalkan kosa kata semisal, "Ah, itu, kan masih susah dimengerti, nanti saja kalau dia sudah masuk SD." Justru akan lebih baik bila tak dibatasi.
Menurut Wakil Koordinator Badan Pembina Akademik Perguruan Islam Al-Izhar ini, salah besar bila menganggap anak TK belum waktunya diajarkan macam-macam. Justru anggapan ini hanya membuat pengetahuan anak jadi serba terbatas. Misal, "Bunda, ini... ini..., kok, lampunya hidup terus?" Padahal, yang ia maksud, "Kok, layar monitor komputernya hidup terus," tapi ia tak bisa mengutarakannya dengan kata-kata yang tepat.
Di luar rumah
Bila di dalam rumah saja sudah kaya akan sumber belajar, apalagi di luar rumah. Pendek kata, di setiap tempat dengan kegiatan apa pun, bisa digunakan sebagai sumber belajar. Tetangga sebelah rumah atau si bapak RT, juga bisa digunakan sebagai sumber belajar. Begitu pun ibu penjual sayur, mbok pemilik warung, atau tante dokter.
Akan lebih baik bila kita juga bertindak sebagai fasilitator. Misal, "Kak, kasihan, ya, Mbok itu dengan 3 orang anaknya hanya tinggal di warung yang sebesar kamar Kakak. Bagaimana, ya, rasanya menurut Kakak?" Dengan begitu ia juga belajar memikirkan masyarakat lain yang berbeda dengannya.
Manfaatkan pula kegiatan yang sering dilakukan. Kala berlibur ke pantai, misal, bukankah kita bersama si kecil bisa mencari berbagai jenis binatang yang hidup di sekitar situ? "Kak, ini binatang yang hidup di pasir. Yang ini binatang yang hidupnya selalu di air, dan yang itu bisa hidup di darat maupun di air," misal. Atau, kita bisa mengumpulkan kerang atau batu-batuan yang ada di sana.
Jika ayah sedang ke bengkel pun, si kecil juga bisa ikut, lo. Di sana pasti ia menemukan banyak pertanyaan yang menggugah rasa ingin tahunya. "Apa saja, sih, yang dikerjakan montir di bengkel?" atau "Ayah, kenapa, sih, orang itu tiduran di kolong mobil, terus ngapain dia, kok, keluar-masuk?" Dengan begitu, ia tahu apa saja yang bisa dikerjakan montir. Malah, mungkin ia juga mengerti istilah-istilah yang biasa digunakan di bengkel seperti spooring atau balancing. Jadi, anak sudah knowledgeable. Mungkin saja dari situ, ia lantas senang utak-atik mobil, hingga setelah besar jadi montir kenamaan atau pembalap mobil. Bisa juga, ia jadi seorang ahli hukum yang sekaligus memiliki auto shop. Ini, kan, merupakan nilai lebihnya. "Mungkin awalnya, ketika melihat anak bermain, kita tak menyangka 'Ah, mana bisa dia mengerti mesin, wong, dia masih kecil'. Tapi jangan lupa, semua itu memerlukan waktu. Kalau minat dan model yang diberikan baik, tak menutup kemungkinan pengetahuan si kecil pun akan berkembang menjadi baik."
Tempat lain yang baik sebagai sumber belajar adalah pasar swalayan. Di sini anak dapat belajar klasifikasi berbagai jenis makanan dan benda-benda lain, misal, sayuran, buah, daging hingga bumbu dapur. Ia pun bisa belajar tentang matematika. "Kak, besok Rara dan Adit mau datang ke rumah, jadi kita perlu cokelat berapa buah, ya?", misal. Jadi, gunakan dengan baik kesempatan setiap pergi ke swalayan untuk pembelajaran ini. Manfaat lainnya, menjaga agar anak tak lari kemana-mana. Tentunya, ciptakan kondisi hingga anak tertarik, misal, anak didorong dalam kereta, "Pelan-pelan saja, ya, Kak, soalnya Bunda mau melihat sayuran apa saja yang bisa dibeli. Kakak bantu, ya, dengan menyebut nama sayuran yang Kakak lihat. Nah, kalau Kakak enggak tahu namanya, bilang ke Bunda, nanti kita cari tahu bersama namanya."
Tentu kita tak harus terus-menerus memberi informasi jika si kecil sudah tahu nama sayuran, cukup yang kita pikir ia belum mengetahui. "Kak, ini sayur juga, lo, walaupun warnanya ungu kayak buah. Namanya terong. Nah, sayur yang ini namanya apa, ya? Mama juga enggak tahu, coba kita baca, oh ternyata squash, agak susah, ya, ngomongnya?" Agar bahasa yang kita gunakan lebih bermakna, kita pun bisa mengaitkan sayuran tadi dengan hal lain, misal, "Kak, kalau kita buat sayur terong, pasti Nenek senang banget, karena sayur terong, kan, kesenangan Nenek."
Ternyata, kita tak perlu repot-repot untuk menyediakan sumber belajar buat si kecil, ya, Bu-Pak? Karena semua yang ada di sekitar kita bisa dimanfaatkan.
Sumber : Tabloid-nakita.com

Kurikulum untuk anak usia dini, perlukah?
Anak-anak usia dini hidup dalam dunia bermain. Meskipun demikian,tak ada salahnya jika orang tua memiliki rancangan bahan atau materi untuk mengisi hari-hari mereka. Hal yang pasti, kurikulum untuk anak usia dini haruslah sangat fleksibel, sesuai dengan kemampuan dan minat anak.
Kelas-kelas pra-sekolah seperti Play Group (PG) atau Taman Kanak-Kanak (TK) pasti memiliki kurikulum dan target-target, namun karena tuntutan aturan formal, mau tidak mau guru akan menilai perkembangan anak secara kasar, berdasarkan akumulasi kemampuan yang dikuasai anak selama kurun waktu tertentu. Jelas penilaian itu tidak valid, karena ketika guru memasuki kurikulum mewarnai misalnya, beberapa anak mungkin belum siap dengan fase itu. Mereka mungkin menolak untuk melakukannya atau hanya membubuhkan satu coretan pendek di kertasnya, karena dia memang belum berminat.
Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. Tak peduli apakah anak-anak masuk TK ataupun tidak, tugas orang tua-lah untuk memahami anak-anaknya dengan baik, sehingga tahu kapan harus memperkenalkan sebuah keterampilan, kapan harus menundanya, kapan harus memacunya lebih kencang, dan bagaimana membuat anak menjadi tertarik untuk mempelajari sesuatu tanpa harus dipaksa oleh waktu dan penilaian pihak lain.
Pendidikan sungguh jauh melampaui batas-batas nilai kuantitatif seperti diterapkan di sekolah. Pendidikan adalah rangkaian proses belajar untuk menjadi manusia yang terus tumbuh, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.
Menyusun kurikulum untuk anak usia dini berarti siap mengikuti irama mereka dan siap untuk melangkah lebih jauh saat mereka berminat untuk tahu lebih banyak. Ketika anak-anak diperkenalkan tentang kuda misalnya, bisa jadi rasa ingin tahu mereka berkembang, ingin tahu tentang makanannya, di mana tidurnya, dan mungkin ingin mencoba menaikinya dan mengoleksi gambar-gambarnya.
Adapun secara terstruktur, ada banyak model kurikulum anak usia dini yang telah dikembangkan di dunia. Kurikulum Montessori adalah salah satu di antaranya. Model ini cocok bagi mereka yang senang dengan keteraturan dan mengharapkan anak-anak juga bersikap teratur dan runut. Sebuah buku berjudul Montessori untuk Prasekolah yang disusun oleh seorang praktisi kurikulum Montessori bernama Elizabeth G. Hainstock dan diterbitkan edisi terjemahannya oleh penerbit Delapratasa Publishing, bisa menjadi pilihan untuk mengetahui lebih detail kegiatan-kegiatan ala Montessori.
Melalui buku tersebut akan kita temukan bahwa model Montessori lebih banyak mempergunakan perabotan rumah tangga sebagai media dan mempergunakan kegiatan rutin sehari-hari di rumah sebagai aktivitas belajar.
Temuan tentang multi kecerdasan oleh Howard Gardner juga bisa menginspirasi kita untuk menyusun kurikulum. Delapan bahkan sembilan jenis kecerdasan versi Gardner, yaitu: kecerdasan bahasa, logika-matematika, visual-spasial, fisik, interpersonal, intrapersonal, musikal, natural, dan spiritual bisa dijadikan acuan untuk memilih ragam kegiatan belajar-bermain di rumah.
Buku yang ditulis Thomas Amstrong berjudul Sekolah Para Juara mencoba menjabarkan konsep multi kecerdasan tersebut dalam konteks sekolah formal untuk anak-anak yang lebih besar. Namun bukan tidak mungkin hal itu bisa menginspirasi para orang tua yang memiliki anak usia dini untuk menerapkan jalan pikiran Amstrong ke dalam konteks belajar anak usia dini di rumah.
Kurikulum berdasarkan Perkembangan Anak
Perkembangan anak secara umum ternyata bisa diukur dengan beberapa ukuran berikut: perkembangan fisik motorik, perkembangan kognitif, perkembangan moral & sosial, emosional, dan komunikasi (Slamet Suyanto, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini:192. Penerbit: Hikayat Publishing. Yogyakarta)
Kita bisa menciptakan kurikulum dengan mengacu pada teori tersebut. Berikut gambaran kasar kurikulum yang mungkin diterapkan:
Perkembangan fisik motorik
 Motorik Kasar : Berlari, memanjat, menendang bola, menangkap bola, bermain lompat tali, berjalan pada titian keseimbangan, dll.
 Motorik Halus : Mewarnai pola, makan dengan sendok, mengancingkan baju, menarik resluiting, menggunting pola,menyisir rambut, mengikat tali sepatu, menjahit dengan alat jahit tiruan, dll.
 Organ Sensoris : Membedakan berbagai macam rasa, mengenali berbagai macam bau, mengenali berbagai macam warna benda, mengenali berbagai benda dari ciri-ciri fisiknya, mampu membedakan berbagai macam bentuk, dll.
Perkembangan Kognitif
Misalnya: mengenal nama-nama warna,mengenal nama bagian-bagian tubuh, mengenal nama anggota keluarga,mampu membandingkan dua objek atau lebih, menghitung, menata, mengurutkan; mengetahui nama-nama hari dan bulan; mengetahui perbedaan waktu pagi, siang, atau malam; mengetahui perbedaan kecepatan (lambat dan cepat); mengetahui perbedaan tinggi dan rendah, besar dan kecil, panjang dan pendek; mengenal nama-nama huruf alfabet atau membaca kata; memahami kuantitas benda, dll.
Perkembangan Moral dan sosial
Misalnya: Mengetahui sopan santun, mengetahui aturan-aturan dalam keluarga atau sekolah jika ia bersekolah, mampu bermain dan berkomunikasi bersama teman-teman, mampu bergantian atau antre, dll.
Perkembangan Emosional
Misalnya: Menunjukkan rasa sayang pada teman, orang tua, dan saudaranya; menunjukkan rasa empati; mengetahui simbol-simbol emosi: sedih, gembira, atau marah dan mampu mengontrol emosinya sesuai kondisi yang tepat.
Perkembangan Komunikasi (Berbahasa)
Misalnya: Mampu mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata,mampu melafalkan kata-kata dengan jelas (bisa dimengerti oleh orang lain).
Begitu beragam model kurikulum yang ada. Mau pilih yang mana? Mengumpulkan sebanyak mungkin sumber dan memilahnya sesuai kekhasan keluarga masing-masing adalah cara paling baik agar kita memiliki bahan yang lebih kaya untuk anak-anak kita.
Salam Pendidikan!
Penulis : Maya A Pujiati
Sumber : Pustaka Nilna






Majalah









Rumah Pintar
Rumah Pintar diharapkan Kurangi Buta Aksara
Pendirian sejumlah rumah pintar di beberapa daerah di Indonesia yang sudah mencapai 185 unit diharapkan dapat mengurangi jumlah buta aksara di Tanah Air.
"Program rumah pintar beserta mobil pintar, motor pintar, dan perahu pintar mendapat sambutan baik dari berbagai pihak. Tentunya kami berharap program dalam payung Indonesia Pintar ini bisa mengurangi jumlah buta aksara di masyarakat," kata Ibu Ani Yudhoyono saat meresmikan rumah pintar Bhara Cendekia I di Kompleks Markas Komando Brimob Polri Kelapa II Depok, Senin (21/7).
Menurut Ibu Negara, sampai saat ini jumlah penyandang buta aksara di Indonesia mencapai 8,7% dari jumlah penduduk yang 45% di antaranya adalah kaum wanita.
Dijelaskannya, program Indonesia Pintar yang diluncurkan 18 Mei 2005 berawal dari keprihatinan atas terbatasnya jumlah buku dan perpustakaan yang berada di sekitar anak - anak sehingga dengan program ini diharapkan ribuan buku bisa dikumpulkan untuk diberikan dan dipinjamkan kepada anak - anak.
"Kami sudah berhasil mengumpulkan sekitar 3.500 - 4.000 buku sehingga diharapkan bisa membantu upaya pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa," katanya.
Menurut Ani Yudhoyono, hingga saat ini sudah dibagikan 50 unit mobil pintar, 185 rumah pintar, 350 motor pintar, dan tiga perahu pintar. Ibu Negara mengajak semua pihak untuk membantu program ini bukan saja dengan memberikan dana tapi juga menyumbangkan buku.
Dalam kesempatan itu Kapolri Jenderal Polisi Sutanto mengatakan rumah pintar di lingkungan markas Brimob ini diharapkan dapat menjadi daya pikat anak - anak untuk belajar dan mengubah perilaku dalam kebiasaan belajar, yang biasanya menjemukan menjadi menyenangkan.
"Pendirian rumah pintar ini juga sesuai dengan tugas Polri untuk mengurangi sumber - sumber kerawanan sosial di masyarakat seperti ketidakmampuan untuk membiayai sekolah," katanya.
Menurut Kapolri, rumah pintar merupakan proyek contoh yang akan dikembangkan di semua polda.
Dalam kesempatan itu Ibu Negara secara simbolis membagikan satu unit mobil pintar dan 125 motor pintar kepada kapolda dari seluruh Tanah Air . (Ant/OL-01)
Sumber: Media Indonesia Online
Hasil Inovasi Harus Bisa Diaplikasikan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan seluruh hasil inovasi dan penelitian harus dapat diaplikasikan bagi kebutuhan masyarakat.
Riset harus bisa digunakan untuk kebaikan dan berguna bagi masyarakat luas. Tantangan kita adalah bagaimana inovasi dan penelitian bisa diaplikasikan untuk kebutuhan masyarakat, kata Presiden dalam acara peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional XIII di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/8).
Menurut Presiden, di tengah mahalnya harga tepung terigu dan kedelai karena masih impor, inovasi bahan makanan pengganti gandum dan kedelai dapat dikembangkan. Sebagai contoh perlu 15 tahun untuk membiasakan masyarakat dengan mi instan sebagai salah satu pengganti nasi. Hasil riset itu juga harus dikemas dan diperkenalkan pada masyarakat, katanya.
Kepala Negara mengatakan, dari waktu ke waktu jumlah penduduk dunia semakin bertambah, hal itu memberikan konsekuensi peningkatan kebutuhan pangan dan energi.Karena itu solusinya hanya ada dua yaitu kita harus memiliki gaya hidup yang baru dengan hemat energi dan yang kedua adalah melalui intervensi teknologi melalui inovasi dan penelitian, kata Yudhoyono.
Untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi di dalam negeri, pemerintah telah menetapkan enam prioritas riset nasional yaitu ketahanan pangan, pengembangan sumber energi terbarukan, teknologi dan manajemen transportasi, teknologi pertahanan, teknologi kesehatan dan yang terakhir teknologi informasi.
Ada beberapa hal yang saya minta perhatian, untuk pangan, lanjutkan pengembangan varietas unggul selain padi dan kedelai juga tebu dan daging sapi, kata Presiden.
Presiden Yudhoyono juga memberikan perhatian khusus pada pengembangan teknologi kendaraan yang hemat energi, sedangkan untuk kebutuhan pertahanan Presiden meminta dikembangkan persenjataan yang mampu memenuhi kebutuhan prajurit saat melaksanakan tugas di daerah pegunungan dan hutan.
Untuk bidang kesehatan saya minta agar lebih dikembangkan penelitian vaksin bagi malaria, demam berdarah, flu burung serta HIV/AIDS, katanya.
Sementara itu untuk teknologi informasi dan komunikasi, Presiden menekankan perlunya penelitian dengan prioritas untuk bidang pendidikan, usaha, dan pemenuhan good governance.
Bagi teknologi early warning system khususnya untuk tsunami. Kembangkan, uji coba dan latihkan pada masyarakat, kata Presiden Yudhoyono.
Pada akhir sambutannya Kepala Negara meminta semua pihak merespon dengan baik ide-ide yang inovatif dan tidak ragu untuk mengembangkannya. Imajinasi konon merupakan embrio dari sebuah penemuan besar. Kita harus menjadi bangsa yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, kata Kepala Negara.
Presiden yang didampingi oleh Ibu Negara Ani Yudhoyono dalam kesempatan itu juga meresmikan pameran riset dan teknologi di MGK Kemayoran Jakarta Pusat. Hadir pula dalam acara itu Menristek Kusmayanto Kadiman, Mensesneg Hatta Radjasa, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Menhan Juwono Sudarsono dan sejumlah menteri kabinet Indonesia Bersatu lainnya. (Ant/OL-01)
Sumber: Media Indonesia Online


Majalah


REDIP sebagai Model untuk Meningkatkan Pendidikan Menengah Pertama
Jakarta, Selasa (8 Juli 2008) — Program Pengembangan dan Peningkatan Pendidikan Daerah atau Regional Education Development and Improvement Program (REDIP) dapat dijadikan model untuk meningkatkan pendidikan menengah pertama. REDIP adalah program sederhana, tetapi komprehensif yang memungkinkan sekolah dan kecamatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri sesuai dengan aspirasi dan prioritas mereka sendiri. Meskipun sederhana, program ini dapat meningkatkan akses, mutu, dan manajemen secara bersamaan.
Program REDIP ini memberikan dana bantuan kepada sekolah dan tim pengembangan pendidikan kecamatan (TPK) sesuai proposal yang diajukan. Sekolah dan TPK bebas mengusulkan kegiatan apa saja sesuai kebutuhan dan prioritas mereka sendiri. Dengan menggunakan dana bantuan, sekolah dan TPK melaksanakan kegiatan yang diusulkan.
Sesudah menyelesaikan kegiatan, sekolah menyusun laporan keuangan dan laporan kegiatan lalu menyerahkannya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk diperiksa. REDIP mendorong mengambil inisiatif dan mempertanggungjawabkan usaha sekolah sendiri dalam meningkatkan pendidikan dan berfungsi sebagai pengamat pasif.
Kepala Sub Direktorat Kelembagaan Sekolah Direktorat Pembinaan SMP Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Kasubdit Kelembagaan Sekolah Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen) Depdiknas Yenni Rusnayani mengatakan, sejak 2005 Depdiknas telah mengadopsi program ini dengan bantuan teknis dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Program ini sampai 2008 telah dikembangkan di Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bekasi mencakup 32 kecamatan dari sebanyak 391 SMP negeri dan swasta.
Yenni mengatakan, program REDIP, yang kemudian diubah menjadi program pengembangan SMP berbasis masyarakat (PSBM) sangat cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang menghendaki penyelenggaraan pendidikan melalui prinsip bottom-up, desentralisasi penyelenggaraan, dan partisipasi masyarakat. “Program PSBM memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh kepala sekolah dan juga memberikan dampak untuk peningkatan mutu pembelajaran,” katanya pada REDIP Workshop dan Expo di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (8/07/2008).
Kepala Seksi Perencanaan Subdit Program Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen Depdiknas Supriano mengatakan, hasil yang dicapai melalui program ini adalah terjadinya perubahan pada sekolah, kecamatan, dan masyarakat. Dia mencontohkan, manajemen di sekolah menjadi demokratis dan transparan, pihak kecamatan yang semakin proaktif kepada pendidikan, dan masyarakat lebih peduli terhadap pendidikan. “Orang tua mendukung apa yang dikembangkan oleh sekolah. Semua kegiatan di sekolah selalu dikomunikasikan dan pengembangan sekolah dibicarakan dengan orang tua murid,” katanya.
Dia menyebutkan, program REDIP Government (REDIP G) yang didanai 100 persen APBN sampai 2008 sudah mengalokasikan anggaran hampir Rp.45 milyar untuk tiga kabupaten yakni Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Selain REDIP G, kata dia, juga ada program REDIP Mandiri yang didanai oleh APBD, REDIP Pengembangan, dan REDIP Perluasan Pelaksanaan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah Munthoha Nasuha mengatakan, implementasi program REDIP sejak 1999 dimulai dari dua kecamatan, kemudian berkembang menjadi sepuluh kecamatan, dan seluruhnya sebanyak 17 kecamatan. “Awalnya program difokuskan pada bidang manajemen sekolah dengan pola transparansi, sehingga semua rencana anggaran dipaparkan di papan dan di pintu masuk sekolah,” katanya.
Konsultan Nasional REDIP Winarno Surachmad, mengatakan, karakteristik Program REDIP adalah mudah, murah, tanpa resiko, dan low tech. “REDIP menjawab pertanyaan bagaimana mengembangkan pendidikan di daerah berdasarkan kekuatan dari bawah, tanpa duit, dan tanpa ahli,” katanya.
Ketua Tim REDIP-JICA Norimichi Toyomane mengatakan, indikator yang memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil yakni, meningkatnya nilai Ujian Nasional, meningkatnya motivasi siswa untuk sekolah, meningkatnya motivasi guru dalam proses belajar mengajar dan juga motivasi dari kepala sekolah dalam memanajemen sekolahnya.
Sumber : Pers Depdiknas



Majalah

Program Keahlian yang Dikembangkan di SMK
Beberapa kelompok bidang atau program keahlian baru yang dikembangkan pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang sudah ada dan unit pelaksana teknis (UPT). Berdasarkan urutan terbanyak, meliputi:
1. Teknologi Informasi dan Komunikasi.
2. Teknologi Industri, khususnya program analisis kimai, geologi, pertambangan, teknik bangunan, teknik otomotif, pemesinan kapal, dan teknologi kapal niaga.
3. Perikanan dan Kelautan, khususnya nautika, perikanan laut, aqua cultur, dan tekologi hasil perikanan.
4. Pertanian, khususnya untuk program budi daya kelapa sawit.
5. Pariwisata, khususnya untuk program akomodasi perhotelan, tata busana, dan tata kecantikan.
6. Kelompok Program Bisnis dan Manajemen, diprioritaskan untuk program penjualan, akutansi perbankan, dan kewirausahaan.
Bidang keahlian untuk program SMK PPKT dan commuity college:
1. Kelompok Teknologi Industri meliputi teknik las, teknik komputer, otomotif, disain grafis periklanan, dan teknik konstruksi kayu.
2. Kelompok Teknologi Komunikasi dan Informasi meliputi, teknologi informatika, teknik informatika komputer, dan teknik audio video.
3. kelompok Pariwisata meliputi tata busana, bahasa Mandarin, bahasa Jepang, akomodasi perhotelan, usaha jasa pariwisata, dan tata boga.
4. Kelompok Pertanian meliputi, pembenihan udang windu dan budi daya tanaman.
5. Kelompok Bisnis dan Manajemen meliputi, akuntansi perpajakan, akuntansi jasa, akuntansi keuangan, dan marketing.
6. Kelompok Seni dan Kerajinan meliputi kria tekstil.
Sumber : dikdasmen.depdiknas.go.id/


Majalah


JENIS PENDIDIKAN TINGGI
"Mau nerusin ke mana setelah SMU ?" Mungkin itu yang ada di benak siswa-siswi yang udah kelas tiga SMU. Pertanyaan klasik yang susah untuk dijawab. Karena saat ini sudah banyak sekali perguruan tinggi baik swasta maupun negeri yang ada di Indonesia.
Struktur pendidikan tinggi di Indonesia terdiri dari dua jalur pendidikan, yaitu pendidikan akademik dan pendidikan profesional. Ada baiknya kita mengetahui masing-masing jenis institusi pendidikan tinggi yang ada sebelum mendaftarkan diri.
Pendidikan akademik menghasilkan lulusan dengan gelar S1, S2 dan S3. Pendidikan jalur profesional menghasilkan lulusan yang memperoleh sebutan profesional melalui program diploma (D1, D2, D3, D4) atau Spesialis (Sp1, Sp2).
1. Universitas : perguruan tinggi yang mempunyai program studi beragam dan dikelompokkan dalam fakultas-fakultas. Fakultas-fakultas yang ada itu dibagi lagi ke dalam beragam jurusan dan Akutansi, Manajemen dan Studi Pembangunan.
2. Institut : perguruan tinggi yang mempunyai program studi dengan ilmu yang sejenis. Misalnya institut pertanian memiliki program studi pertanian, peternakan dan kehutanan, atau institut teknologi mengajarkan beragam ilmu yang berhubungan dengan teknik.
3. Sekolah Tinggi : perguruan tinggi yang hanya menyelenggarakan satu program profesi sesuai dengan spesialisasinya. Misalnya Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi memiliki program profesi spesialis ekonomi, atau Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia memiliki jurusan Seni Lukis, Seni Patung dll.
4. Akademi dan Politeknik : institusi pendidikan tinggi yang hanya menyelenggarakan satu program studi dan lebih menekankan pada keterampilan praktek kerja dan kemampuan untuk mandiri. Lama pendidikan tiga tahun dan tidak memberikan gelar. Hanya saja, di politeknik porsi praktek lebih besar.
- Dirangkum dari berbagai sumber
Tentang Kurikulum Anti Korupsi
Memerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, dari sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan. Mati satu tumbuh seribu, kata pepatah.
Salah satu kekeliruan upaya pemberantasan korupsi selama ini adalah terlalu fokus pada upaya menindak para koruptor. Sedikit sekali perhatian pada upaya pencegahan korupsi. Salah satunya lewat upaya pendidikan antikorupsi. Terakhir, era reformasi melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selain diserahi tugas penindakan, juga tugas pencegahan tindak pidana korupsi, seperti pendidikan antikorupsi kepada masyarakat.
Menyadari hal ini, tersembul gagasan memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum pendidikan tingkat SD hingga SMU, sebagai bentuk nyata pendidikan antikorupsi. Tujuan pendidikan antikorupsi adalah menanamkan pemahaman dan perilaku antikorupsi.
Ide memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum mendapat respons positif masyarakat. Hasil jajak pendapat harian Seputar Indonesia terhadap 400 responden (27/5), sebanyak 87% menyatakan perlunya memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum. Keyakinan masyarakat juga relatif besar. Hampir 200 responden menyatakan keyakinannya bahwa pendidikan antikorupsi bisa berjalan efektif membendung perilaku korupsi di Indonesia.
Jajak pendapat itu menjaring pula pendapat masyarakat seputar pentingnya pendidikan antikorupsi. Masyarakat berharap pendidikan antikorupsi memberikan pengetahuan seputar korupsi dan bahayanya, mencetak daya manusia yang berkesadaran tinggi terhadap hukum, serta memutus mata rantai korupsi.
Lebih dari itu, masyarakat berkeinginan agar upaya pendidikan antikorupsi berjalan paralel dengan upaya lainnya, yakni maksimalisasi penegakan hukum, fungsi pengawasan yang ketat, sosialiasi dan kampanye gerakan antikorupsi secara berkala dan berkesinambungan, dan menghilangkan praktik korupsi dalam birokrasi.
Pokok Bahasan dalam Mata Ajaran
Pertanyaan muncul, haruskah pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran tersendiri? Mestinya tidak, sebab hal ini malah akan menyusahkan anak didik. Saat ini peserta didik sudah demikian sesak dengan melimpahnya mata pelajaran yang harus dipelajari dan diujikan. Dikhawatirkan anak didik akan terjebak dalam kewajiban mempelajari materi kurikulum antikorupsi. Bisa jadi yang akan muncul adalah kebencian dan antipati pada mata pelajaran antikorupsi. Bukannya pemahaman dan kesadaran antikorupsi.
Pakar pendidikan Arief Rachman menyatakan tidak tepat bila pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran khusus. Alasannya, karena siswa sekolah mulai SD, SMP, hingga SMU sudah terbebani sekian banyak mata pelajaran. Dari segi pemerintah, menurut Arief Rachman, akan berbuntut pada kesulitan-kesulitan, seperti pengadaan buku-buku antikorupsi dan repotnya mencari guru antikorupsi.
Menyikapi kesulitan tadi, pendidikan antikorupsi, menurut Arief Rachman, lebih tepat dijadikan pokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu. Sebuah usulan yang mesti dicermati. Materi pendidikan antikorupsi nantinya bisa saja diselipkan dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), Matematika, Bimbingan Karir, Bahasa. Pokok bahasan mencakup kejujuran, kedisiplinan, kesederhanaan, dan daya juang. Selain itu, juga nilai-nilai yang mengajarkan kebersamaan, menjunjung tinggi norma yang ada, dan kesadaran hukum yang tinggi.
Pendidikan Nilai
Pendidikan antikorupsi bagi siswa SD, SMP, dan SMU akhirnya memang mengarah pada pendidikan nilai. Pendidikan antikorupsi yang mendukung nilai-nilai kebaikan. Pendidikan yang mendukung orientasi nilai, mengutip Franz Magnis Suseno, adalah pendidikan yang membuat orang merasa malu apabila tergoda untuk melakukan korupsi, dan marah bila ia menyaksikannya.
Menurut Franz Magnis Suseno, ada tiga sikap moral fundamental yang akan membikin orang menjadi kebal terhadap godaan korupsi: kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab.
Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi. Menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Siswa perlu belajar bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk.
Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Magnis mengatakan, bersikap baik tetapi melanggar keadilan, tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju kebaikan.
Tanggung jawab berarti teguh hingga terlaksananya tugas. Tekun melaksanakan kewajiban sampai tuntas. Misalnya, siswa diberi tanggung jawab mengelola dana kegiatan olahraga di sekolahnya. Rasa tanggung jawab siswa terlihat ketika dana dipakai seoptimal mungkin menyukseskan kegiatan olahraga. Menurut Magnis, pengembangan rasa tanggung jawab adalah bagian terpenting dalam pendidikan anak menuju kedewasaan. Menjadi orang yang bermutu sebagai manusia.
Warung Kejujuran
Materi antikorupsi memang bisa kita selipkan sebagai pokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu. Tetapi, pertanyaan lain muncul: apakah pendidikan antikorupsi hanya sekadar pemberian wawasan di ranah kognitif? Pendidikan antikorupsi jelas bukan cuma berkutat pada pemberian wawasan dan pemahaman. Tidak sekadar menghapal. Pendidikan antikorupsi tidak berhenti pada penanaman nilai-nilai. Lebih dari itu, pendidikan antikorupsi menyentuh pula ranah afektif dan psikomotorik. Membentuk sikap dan perilaku antikorupsi pada siswa. Menuju penghayatan dan pengamalan nilai-nilai antikorupsi.
Mencermati hal tersebut, KPK gencar mempromosikan dibentuknya warung kejujuran di setiap sekolah. Warung kejujuran adalah warung yang menjual makanan kecil dan minuman. Warung kejujuran tidak memiliki penjual. Warung yang tidak dijaga. Makanan atau minuman dipajang dalam warung. Dalam warung tersedia kotak uang, yang berguna menampung pembayaran dari siswa yang membeli makanan atau minuman. Bila ada kembalian, siswa mengambil dan menghitung sendiri uang kembalian dari dalam kotak tersebut.
Melalui warung kejujuran siswa belajar berperilaku jujur. Siswa belajar bersikap taat dan patuh, ketika tidak ada orang yang mengawasi. Belajar jujur pada diri sendiri. Intinya, inilah sebuah pendidikan antikorupsi yang langsung menyentuh domain afektif dan psikomotorik.
Kemudian, dalam konteks pendidikan antikorupsi, tatacara pengajaran tradisional mestinya dihilangkan. Siswa bukan obyek. Siswa bukan kertas putih yang bisa ditulis apa saja. Siswa bukan botol kosong, di mana siswa diisi dengan segala macam informasi dan nasihat, dan setelah itu dituntut mengeluarkannya kembali.
Bukan pendekatan seperti itu yang dibutuhkan. Pendekatannya berwujud penghargaan atas pendapat siswa guna merangsang kemampuan intelektual anak: keingintahuan, sikap kritis, berani berpendapat. Karena itu, pola pendidikan antikorupsi seyogianya bersifat terbuka, dialogis, dan diskursif.
Oleh : Faisal Djabbar
Fungsional Direktorat Pendidikan & Pelayanan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Majalah


Tips Menaikkan Kemampuan Siswa SMP dan SMU
5 tips ini dapat membantu Anda dengan cepat untuk menaikkan kemampuan siswa dan sekolah Anda.
1. Naikan range nilai yang diharapkan. Jika Anda memiliki range penilaian seperti ini:
range nilai: A (93-100), A- (90-92), B+ (87-89), B (83-86), B- (80-82), C+ (77-79), C (73-76), C- (70-72), D+ (67-69), D (63-66), D- (60-62), F (0-59) larilah, namun jangan berjalan ke tempat sampah terdekat lalu membuang hasil ujian itu. Naikkan rangenya. Jika range nilai yang diharapkan rendah maka hasil yang didapat akan selalu mengarah ke nilai yang rendah. Harapkan lebih dari siswa Anda dan ikat harapan itu menjadi sesuatu yang dapat diukur. Petunjuk: jika Anda menggunakannya untuk siswa Anda, apakah Anda juga menggunakannya untuk guru-guru? Lihat tips 2.
2. Konsistenlah terhadap respon yang diberikan terhadap semua prilaku baik berupa penghargaan maupun hukuman. Juga konsistenlah terhadap nilai yang telah Anda tetapkan dan prilaku Anda. Jagalah konsistensi Anda bahkan disaat kita sedih. Model konsistensi untuk menjaga kelangsungan kemampuan staff Anda ataupun siswa Anda.
3. Jelaskan secara rinci harapan Anda. Jangan menganggap seorang staff ataupun siswa mengetahui sesuatu. Komunikasikan dan jelaskan harapan tersebut. Ingatlah, pengkondisian dari pengalaman pekerjaan lampau, pengalaman sekolah, dan pengalaman rumah merupakan hal yang selalu ada dan mayoritas dari pengkondisian ini adalah negatif.
4. Berikan nilai lebih untuk keberhasilan akademik dan kepemimpinan siswa dibanding keberhasilan dalam bidang olahraga. Keberhasilan akademiklah yang akan membawa 99% siswa Anda kedalam dunia nyata, bukan kemampuan atletik mereka. Kembali kepada 3 tips awal.
5. Buanglah sampah dengan mengevaluasi strategi belajar Anda. Sebagai contoh, jika Anda menggunakan cooperative learning, tekankan hanya pada keterampilan yang diperlukan untuk menjadi berhasil.
Apakah nilainya bagi Anda, jika semua orang di sekolah Anda semua berbaris dengan arah yang sama dengan penuh energy dan antusias?
Sumber: www.ezinearticles.com

Majalah


Copyright © PT Bangun Satya Wacana 2008
Jl. Palmerah Barat No 29-31 Jakarta 10270 Indonesia telp.: (62-21) 5494333, 5301991 Ext: 3807 Web Master

Pendidikan IPTEK : Peran Science Writer Untuk Kemajuan Bangsa
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kemajuan sains dan teknologinya. Buktinya dapat kita lihat, dimana negara-negara yang dikatakan maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara di Eropa adalah negara-negara yang maju sains dan teknologinya. Di negara-negara maju tersebut, sains dan teknologi benar-benar masuk ke dalam kehidupan masyarakat dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Begitu juga dengan pemahaman sainsnya yang tinggi.
Pemahaman sains yang tinggi ini tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal mereka. Di Jepang misalnya, kalau kita bicara enzim (bahasa Jepangnya kousou), orang yang hanya lulusan SMU-pun bisa mengerti. Begitu juga kalau kita bicara "virus" dan "bakteri", mereka juga memahami dan mengetahui perbedaannya, sehingga mereka bisa membedakan antara vaksin dan obat antibiotik. Mereka juga mengerti apa itu "DNA" dan apa itu "gen".
Hal yang sama juga dapat dilihat pada petani-petani mereka. Mereka benar-benar memahami apa itu pupuk kimia ada apa itu kompos, termasuk kebaikan dan keburukannya. Mereka juga memahami siklus hidup tanaman serta ancaman-ancaman yang akan terjadi, sehingga mereka bisa mengantisipasi. Pendek kata, tingkat pengetahuan masyarakat di negara maju termasuk Jepang adalah tinggi.
Sebaliknya, di negara-negara berkembang, tidak terkecuali dengan Indonesia, tidak demikian halnya. Sains dan teknologi hanya dimiliki dan dirasakan oleh sebagian kecil masyarakat. Apalagi kalau kita spesifikasi lagi masalah sains, keadaannya akan lebih parah. Sains hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki pendidikan tinggi, yang jumlahnya sangat sedikit sekali.
Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa hal. Salah satu diantaranya adalah perbedaan minat dan perhatian masyarakat terhadap sains. Kurangnya minat masyarakat di negara berkembang terhadap sains sangat dipengaruhi oleh kurangnya tulisan sains yang disampaikan secara popular, yang mudah dimengerti masyarakat banyak. Ini dapat kita lihat seberapa banyak tulisan sains popular yang bisa kita temukan baik di buku maupun di media masa. Tentu saja permasalahannya bukan pada media masa-nya, akan tetapi adalah pada penulis sains (science writer) yang jumlahnya masih sangat terbatas.
Karena itu , dalam rangka meningkatkan tingkat pengetahuan masyarakat Indonesia, khususnya tentang sains, diperlukan science writer (penulis ilmiah) yang bisa menterjemahkan bahasa sains ke dalam bahasa masyarakat. Science writer tersebut, bisa dari kalangan ilmuan (saintis) itu sendiri maupun dari kalangan non-ilmuan.
Belajar dari Jepang
Jepang, sebagai negara maju, memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena minat baca dan rasa ingin tahu masyarakatnya yang tinggi, dan didukung oleh banyaknya bahan bacaan mengenai sains yang dapat dibeli dengan harga yang murah. Buku-buku ini daintaranya ada yang ditulis oleh ilmuwan (saintis) Jepang dan ada yang merupakan terjemahan. Buku-buku ini tidak hanya merupakan "text book" yang digunakan oleh mahasiswa dan pelajar, tetapi juga ada buku sains yang ditulis secara populer, yang ditujukan untuk masyarakat luas.
Selain itu, media masa, baik media cetak maupun media elektronik, juga memberikan kontribusi yang banyak dalam peningkatan pengetahuan masyarakat di Jepang, melalui pemberian informasi di bidang sains. The Asahi Shimbun misalnya, merupakan salah satu koran yang selalu memberikan informasi tentang perkembangan sains yang disampaikan secara popular. Begitu juga koran-koran lainnya.
Media elektronik juga memiliki program-program yang berisikan informasi tentang sains. NHK Education TV (Nippon Housou Kyoku Kyouiku Terebi), adalah stasiun TV milik pemerintah khusus untuk bidang pendidikan. Tujuan pendirian TV ini adalah untuk meningkatkan pendidikan dan pengetahuan masyarakat Jepang. Hampir setiap hari ada program pengenalan sains, mulai dari tingkat dasar sampai pada tingkat sains yang mutakhir (advanced). Selain itu, TV swasta lainnya juga menyiarkan program-program yang bersifat saintifik. Semua program ini disajikan sedemikian rupa sehingga orang awampun mudah mengerti.
Dalam penyebaran luasan informasi tentang sains ini, science writer memegang peranan yang penting. Banyaknya buku atau tulisan mengenai sains berbanding lurus dengan jumlah science writer. Karenanya, banyaknya buku sains yang beredar di Jepang menunjukan banyaknya science writer yang ada di Jepang. Walaupun demikian, ternyata pemerintah Jepang masih belum puas dengan kondisi tersebut. Mereka menginginkan jumlah science writer bertambah lagi, terutama dari kalangan saintis itu sendiri.
Untuk tujuan tersebut, baru-baru ini pemerintah Jepang, khususnya Kementrian Pendidikan, memutuskan untuk mendidik calon science writer. Hal ini ditetapkan dengan pertimbangan sains yang semakin lama semakin dalam dan rinci akan sulit dimengerti dan dipahami oleh masyarakat jika tidak diterjemahkan ke dalam bahasa yang merakyat. Science writer ini diharapkan dari kalangan peneliti dan saintis. Mereka diharapkan tidak hanya mempublikasikan hasil penelitiannya pada jurnal ilmiah/sains, tetapi juga pada media lain yang mudah didapatkan masyarakat banyak. Dengan demikian, penelitian yang dibiayai oleh rakyat dengan jumlah dana yang besar (\ 180 miliar/tahun = Rp. 14,4 triliun/tahun) dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Harapan kepada pemerintah
Bagaimana dengan Indonesia? Kita harus mengakui bahwa tingkat pengatahuan bangsa Indonesia masih rendah. Salah satu diantara penyebabnya adalah kurangnya informasi mengenai sains yang mudah didapatkan, baik berupa buku, majalah, media masa cetak ataupun informasi yang disajikan oleh media elektronik seperti TV. Kekurangan ini bisa jadi disebabkan oleh kurangnya science writer yang bisa menyajikan informasi tersebut dalam bentuk popular sehingga mudah dimengerti orang banyak.
Akibatnya tidak heran jika masyarakat lebih senang menonton KDI, Indonesian Idol, AFI, dan dan bahkan acara penampakan yang sama sekali tidak ilmiah ketimbang menonton uraian ilmiah dari pakar yang disiarkan di TV. Kurangnya minat masyarakat terhadap sains juga mengakibatkan jarangnya tayangan dan siaran TV yang berisikan sains. Ini merupakan "lingkaran setan" yang akan menurunkan tingkat pengetahuan bangsa Indonesia di bidang sains.
Karena itu sudah saatnya kita menyadari kekurangan ini. Dalam rangka peningkatan tingkat pengetahuan bangsa Indonesia, sewajarnya pemerintah melakukan usaha-usaha konkrit untuk meningkatkan pengetahuan bangsa Indonesia. Hal ini penting karena peningkatan tingkat pengetahuan ini akan meningkatkan kualitas bangsa Indonesia itu sendiri. Diantara usaha-usaha konkrit yang bisa dilakukan adalah; 1) membuat stasiun TV khusus menyiarkan masalah sains, 2) meningkatkan mutu peneliti/saintis melalui peningkatan dana penelitian, 3) memperbanyak jumlah dan melakukan trening terhadap science writer, baik dari kalangan saintis/peneliti maupun dari kalangan non-saintis seperti wartawan, 4) memperkenalkan sains mulai dari tingkat SD. Semoga pemerintah yang baru saja berjalan memperhatikan hal ini.
Penulis : Dr. Andi Utama, peneliti pada Puslit Bioteknologi-LIPI

Pendidikan menengah
Pendidikan dasar dan pendidikan menengah
In Manajemen Sekolah, Pendidikan Indonesia, Penelitian Pendidikan on Juni 23, 2008 at 10:25 am
Saya tengah menulis disertasi tentang pendidikan menengah di Indonesia. Pada bab 2 saya mencoba membuat studi komparasi antara pengertian, perkembangan/perubahan pendidikan menengah selama masa penjajahan Belanda, Jepang, masa kemerdekaan, Repelita, dan reformasi. Objek kebijakan yang saya kaji adalah UU Sisdiknas dari tahun 1950, 1989 dan 2003, beserta PP, Permen, Kepmen lain yang terkait.
Untuk menganalisa topik itu saya secara umum menggunakan referensi dari dua buku utama yaitu 50 tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995 karangan Bapak H.A. R Tilaar (1995) dan buku 50 tahun Pendidikan di Indonesia yang dibuat pada jaman Mendikbud Wardiman Djoyodiningrat (1996). Selain itu beberapa literatur supplement dari jurnal.
Kedua buku menguraikan secara rinci sejarah pendidikan di Indonesia. Definisi tentang pendidikan dasar dan pendidikan menengah juga disebutkan dengan jelas dalam UU no 4 tahun 50, tetapi wording menjadi unclear dalam UU no 2 tahun 1989 dan UU no 20 tahun 2003.
Sayangnya saya tidak bisa mengakses online karya-karya di IKIP/UP di Indonesia, sehingga saya tidak mendapatkan apakah sudah ada yang menganalisa perubahan ini dengan detil. Saya minta tolong kepada Pak Dedi Dwitagama, karena saya tahu beliau punya relasi yang luas di dunia pendidikan.
Untuk membandingkan ketiga UU secara komprehensive, saya menggunakan metode/aspek/dimensi yang digunakan R Murray Thomas dalam sebuah papernya ketika menganalisa maturity UU no 20/1989.
Jika menyoroti pengertian pendidikan dasar dalam UU 50 yang disebut dengan pendidikan rendah, definisinya sangat jelas, bahwa level ini adalah level untuk menumbuhkan minat, mengasah kemampuan pikir, olah tubuh dan naluri. Sedangkan pendidikan menengah adalah pendidikan yang lebih mengarah kepada persiapan kerja dan lanjut ke PT. Berikut ini uraiannya,
Pendidikan dan pengadjaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani kanak-kanak, memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat dan kesukaannya masing-masing, dan memberikan dasar-dasar pengetahuannnya, kecakapan dan ketangkasan, baik lahir maupun bathin.
Pendidikan dan pengadjaran menengah (umum dan vak) bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengajaran jang diberikan di sekolah rendah untuk mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing kesanggupan murid sebagai anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat dan/atau mempersiapkannya bagi pendidikan dan pengadjaran tinggi.
Definisi ini menjadi disederhanakan dalam UU no 2/1989.
SISWA SMK PUTRA BANGSA BONTANG ISI LIBURAN AKHIR TAHUN DENGAN IT GUARD

Ditulis oleh wiksbtg

Liburan akhir tahun sangat ditunggu-tunggu setiap orang. Mulai darti kalangan anak-anak hingga orang dewasa. Ketika saatnya tiba, semua memilih tempat vaforit untuk menikmati suasana santai yang jauh dari hiruk-pikuk kegiatan sehari-hari. Tapi hal itu tidak berlaku bagi beberapa siswa SMK Putra Bangsa Bontang. Saat orang-orang sedang menikmati pakansinya, justru sekelompok siswa asyik bercengkerama di sekolah. Mereka mengisi waktu libur dengan belajar computer. Mereka tergabung dalam sebuah ekstrakurikuler yang mereka namakan IT GUARD.

Pagi kemarin , Rabu 31 desember, belasan siswa tampak antusias mengikuti praktek perakitan komputer yang dipandu oleh ahli komputer SMK Putra Bangsa Ketut Nobel budy Satrya. Kegiatan luar jam sekolah ini sudah berlangsung sejak awal November lalu. Namun karena mumpung hari libur, kegiatan ini diintensifkan. Menurut Nobel, kegiatan ini sengaja dilakukan untuk meningkatkan skill siswa. “mereka sudah belajar di kelas. Namun agar pengetahuan computer mereka lebih maju, siswa diberikan peluang dengan mengikuti ekstrakurikuler IT GUAR. Pelaksanaannya sengaja kami lakukan saat liburan akhir tahun agar waktu luang mereka tidak terbuang sia-sia. Ini juga untuk mengurangi aktifitas siswa di luar sekolah yang kurang fositif. Kalau mereka tidak diberi kesibukan, paling hari-hari liburnya dihabiskan di Bontang Kuala”.

Menurut Eldyla salah seorang anggota IT GUARD SMK PB, program yang dilakukan oleh jurusan teknik computer dan jaringan ini sangat positif. Eldyla mengaku sangat terbantu dengan adanya ekstrakurikuler tersebut karena mereka bisa belajar banyak tentang komputer. “kami belajar banyak di sini mulai dari perawatan computer, perbaikan, pengembangan hingga perakitannya. Saya sendiri baru sekitar sebulan bergabung. Tapi karena jadwalnya yang padat, sekarang lumayan banyak yang saya ketahui. Di kelas juga kami belajar tentang computer tapi jumlah siswanya kan banyak, jadi terkadang saya lambat memahami pelajaran. Tapi kalau di IT GUARD ini saya cepat mengerti karena jumlah siswanya dibatasi” terang Nobel yang dihubungi di sela-sela kesibukannya di LAB IT Putra Bangsa kemarin.

Direktur Institut Pendidikan Putra Bangsa Bontang Rediyono, SH, M.M. yang dihubungi terpisah mendukung penuh program tersebut. Menurut Rediyono, pengembangtan skill siswa memang harus digenjot baik di dalam maupun di luar jam pelajaran. Biaya pendidikan teknologi dan informatika memang sangat mahal, tapi saya akan memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan, terutama pasilitas laboratoriumnya. Saat ini kami baru biasa menyiapkan pasilitas untuk siswa SMK Putra bangsa, tapi nantinya kami akan memberikan ruang juga buat warga bontang secara umum – terutama pelajar – untuk belajar IT. sekarang ini eranya teknologi kalau kita tidak bergerak maju, kereta globalisasi akan semakin jauh ke depan meninggalkan kita semua, pungkasnya dengan penuh semangat
2009-02-26 19:45:16 [ hits 436 ]


Bandung (Mandikdasmen): Beberapa Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Perencanaan dan Pengendalian Dikdasmen Dinas Pendidikan Provinsi acapkali mengalami kesulitan saat meminta legislasi (pengesahan) RPDP kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Hal itu dikeluhkan Ridwan Rauf, Kasubag Penyusunan Program Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tenggara pada Rapat Koordinasi Perencanaan dan Pengendalian (Rakor Rendal) Dikdasmen di Hotel Topas Galeria, Jl Dr. Djundjunan, No 153, Bandung, Jumat 13 Maret 2009. Ridwan hadir atas nama Kasubag Penyusunan Program Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tenggara, karena di Provinsi Sulawesi Tenggara hingga saat ini belum diberlakukan PP No 41.

Menurut Ridwan, anggota DPRD sangat sulit ditemui. “Mereka mau hadir dalam pertemuan dinas pendidikan saja, itu merupakan hal yang luar biasa,” kata Ridwan setelah menyampaikan hasil penyusunan Program Kerja Tahunan Perencanaan dan Pengendalian Dikdasmen Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009 di hadapan peserta Rakor Rendal Dikdasmen.

Senada dengan Ridwan, Abdul Kholik, BPP Perencanaan dan Pengendalian Dikdasmen Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur juga mengalami hal serupa. “Ini merupakan kesulitan yang dihadapi hampir semua dinas pendidikan provinsi.”

Menjawab persoalan tersebut, Supriyatno, Staf Sub Bagian Rencana dan Program Setditjen Mandikdasmen, mengatakan bahwa legislasi RPDK dan RPDP kepada DPRD tidak mutlak. “Pengesahan dokumen kepada DPRD memang bertujuan agar mereka juga sama-sama memiliki sense of responsibility terhadap pendidikan di wilayahnya, namun ini tidak mutlak bila anggota dewan susah sekali dijumpai.”

Status tandatangan dokumen RPDK atau RPDP kepada DPRD, lanjut Supriyatno, barangkali cukup mengetahui saja. Bila masih sulit karena berbagai alasan, maka cukup ditandatangani oleh kepala dinas, dan sekaligus ada stake holder lain yang merekomendasikan seperti kepada daerah, ketua dewan pendidikan atau tokoh masyarakat.

“Sebenarnya kita tidak terlalu mempermasalahkan persoalan formal itu, karena yang paling subtansi adalah perencanaannya. Jadi jangan karena kesulitan memperoleh tanda tangan DPRD, kemudian dijadikan alasan untuk tidak membuat perencanaan pendidikan di daerahnya,” jelas Supriyatno.*
empererat Silaturahmi Fungsional
Ditulis oleh Adib Minnanurrachim, tanggal 15-03-2009

Bandung (Mandikdasmen): Desentralisasi menjadikan pemerintah daerah (Pemda) tidak menjadi bawahan pemerintah pusat. Secara peraturan perundang-undangan antara pemerintah pusat dengan daerah tidak mempunyai ikatan struktural, tapi secara manajerial keterkaitan itu masih ada.

Demikian salah satu poin sambutan Sekretaris Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Sekditjen Mandikdasmen) Dr. Bambang Indriyanto, sebelum menutup acara Rapat Koordinasi Perencanaan dan Pengendalian (Rakor Rendal) Dikdasmen di Hotel Topas Galeria, Jl Dr. Djundjunan, No 153, Bandung, Jumat 13 Maret 2009.

“Ini yang menjadikan kita harus senantiasa menjalin silaturahmi. Tidak sekedar silaturahmi emosiaonal yang bertujuan mempererat persaudaraan, tapi juga silaturahmi fungsional yang bertujuan mensinergikan kinerja kita sesuai tupoksi masing-masing,” kata Bambang.

Kalau pemerintah pusat cq Ditjen Mandikdasmen Depdiknas punya target tertentu, lanjut Bambang, maka dinas pendidikan daerah perlu membantu untuk mencapainya, baik berupa dana maupun kinerja.

Selain itu, Bambang juga menyampaikan tentang mekanisme kerja terkait era desentralisasi yang ternyata terdapat perbedaan sudut pandang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Pemda). Dari sudut pandang Pemda, desentralisasi bisa jadi “sangat efektif”, karena sebagian kepala daerah berhasil mengendalikan siapa yang menjadi kepala dinas dan siapa tidak.

“Ketika itu terjadi pemeritah pusat kelabakan, karena sudah terlanjur mengambil kesepakatan dengan kepala dinas tersebut, sementara kepala dinasnya dalam tempo tidak lama sudah dipindahtugaskan ke tempat lainnya,” kata Bambang.

Sebelum menutup acara, Sekditjen Mandikdasmen memberikan arahan tentang perbedaan orientasi antara organisasi pemerintah dan non pemerintah. Menurutnya pemerintah memiliki orientasi pada benefit oriented, bukan profit oriented sebagaimana diterapkan dalam perusahaan di mana keuntungannya selalu dihitung dengan uang.

“Kalau benefit itu dihitung lewat aspek politik dan stabilitas seperti upaya pemerintah mereda konflik di Palu Sulawesi Tengah. Jadi benefit itu sederhananya adalah aspek manfaat. Nah ini juga berlaku di dunia pendidikan, seperi kalau kita mengalokasikan dana untuk anak di Paket B, kita tidak bisa mengharap bahwa anak itu dapat mengembalikan uangnya,” jelas Bambang.

Terhadap harapan dan arahan Sekditjen tersebut, Syafiun Rajulan BPP Perencanaan dan Pengendalian Dikdasmen Dinas Pendidikan Provinsi Maluku Utara mengatakan bahwa ia akan senantiasa menjalin silaturahmi fungsional dengan pemerintah pusat.

Senada dengan Syafiun, Ridwan Rauf, Kasubag Penyusunan Program Provinsi Sulawesi Tenggara, yang datang mewakili BPP Perencanaan dan Pengendalian Dikdasmen Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tenggara mengatakan hal yang sama. “Dalam tempo tidak lama saya akan melakukan koordinasi dengan pusat untuk bimbingan tekhnis dalam penyusunan RPDK. Bila ini lancar, target RPDK bisa kami selesaikan pada Bulan Oktober 2009 setelah penerimaan siswa baru. Dan RPDP bulan Nopember 2009,” kata Ridwan bersemangat.*

Dunia Pendidikan Menengah Nasional Mensikapi Tantangan Jaman
Posted by pataka on May 2nd, 2005
(Berbagai Paradigma Serta Perubahan Budaya Menyongsong Era Informasi, Globalisasi dan Otonomi Pendidikan)
Pengantar
Proses demokratisasi di Indonesia telah menimbulkan keterkejutan budaya (cultural shock). Secara alamiah, manusia cenderung mencari kemapanan sehingga tidak menyukai perubahan, apalagi yang berlangsung sangat cepat. Sedangkan Indonesia selama tiga dasa warsa didominasi iklim kekuasaan otoritarian, sentralistik dan status quo. Sehingga masa reformasi adalah periode yang dipenuhi kontradiksi di semua bidang kehidupan.
Namun, manusia dikaruniai kemampuan beradaptasi, sehingga reformasi merupakan tempat untuk melakukan dan menerima perubahan. Dan ini merupakan esensi upaya untuk tetap bertahan hidup, naluri survival.
Keterkejutan ini menciptakan kesadaran baru, selama ini kita ternyata hidup di alam mimpi indah namun realitanya tertinggal dari bangsa lain. Bangsa kita ibarat baru saja lahir kembali, belajar mandiri secara instan sembari saling cakar. Di sisi lain SDA yang dibanggakan dan diandalkan ternyata telah dikuras untuk kemakmuran sebagian orang saja, praktis tidak ada lagi potensi tersisa selain tumpukan hutang, bom politik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, keamanan dan berbagai masalah yang tanpa ujung pangkal.
Hanya sedikit anak muda bangsa yang mampu bertahan dalam perubahan ini, sebagian besar menyerah karena tidak memiliki daya. PHK dan pengangguran, kemiskinan terjadi di seluruh negeri. Fakta menunjukkan SDM Indonesia ternyata sangat lemah. Padahal di era globalisasi dan abad informasi yang penuh dengan ketidakpastian dan persaingan, hanya SDM berkualitas yang bisa diandalkan untuk tetap survive. Bahkan bangsa ini telah mengalami krisis moral, kepercayaan dan identitas.
Maka kita harus berupaya bangkit dengan segala keterbatasan. Untuk itu kita harus memiliki semangat dan wawasan luas, yang sedini mungkin harus ditanamkan melalui mekanisme pendidikan untuk seluruh bangsa, terutama generasi muda. Terlepas apakah kita terlambat atau tidak, upaya memperbaiki budaya dan SDM harus menjadi prioritas, karena itulah potensi / modal terbesar kita saat ini. Dan ini hanya bisa dilakukan melalui pendidikan
Untuk menghadapi era informasi dan globalisasi dimana terjadi perubahan radikal dalam peradaban manusia, diperlukan pensikapan dan pemahaman terhadap perubahan. Artinya dunia pendidikan, sebagai tulang punggung pengelolaan dan pengembangan SDM, harus mau meninggalkan status quo dan belajar mengadopsi berbagai paradigma baru.
Proses Ini harus disadari sebagai suatu proses revolusi budaya dan cara berpikir yang membutuhkan keyakinan kuat, keteguhan hati, kejujuran, kreatifitas dan optimisme serta keberanian. Terutama untuk mengakui kelemahan dan kesalahan serta tentu saja pikiran dan hati yang terbuka terhadap semua masukan dari siapapun. Dan yang lebih penting lagi, adalah komitmen untuk bekerja keras menjadikan porses ini suatu kenyataan.
Bila kita ingin bangsa ini survive, maka semua ini bukanlah suatu pilihan, melainkan justru harus disadari bahwa hanya inilah satu-satunya jalan yang harus ditempuh.
Paradigma Perubahan Budaya, Penddikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Iptek adalah produk budaya, sehingga iklim kultural dan pola pikir suatu bangsa sangat menentukan perkembangan Iptek. Negara maju adalah contoh, dimana budaya yang demokratis berpengaruh kuat terhadap kemajuan Iptek. Indonesia punya kultur yang luhur yang seharusnya mampu mendorong suatu kemajuan.
Selama ini budaya justru disalahgunakan sebagai alat untuk menguasai dan membatasi. Untuk itu diperlukan reformasi dunia pendidikan untuk merubah budaya yang salah arah tersebut. Mengapa dunia pendidikan ? Karena melalui dunia pendidikan proses penyadaran dapat dilakukan secara sistemik. Kedua menyangkut sebagian besar generasi muda bangsa yang bakal menjadi jaminan bangsa ini di masa depan. Ketiga dengan pendidikanlah generasi muda dan masyarakat akan memahami pentingnya Iptek.
Semula dunia pendidikan kita dikooptasi kekuasaan sebagai alat indoktrinasi bangsa maka di masa sekarang dunia pendidikan harus ditempatkan pada posisi yang proporsional sesuai amanat pembukaan konstitusi kita. Yaitu mengemban misi mencerdaskan kehidupan bangsa untuk memberi kesejahteraan lahir dan batin. Slogannya adalah mencetak SDM yang berkualitas sekaligus memiliki imtaq.
Tahun 2003 pasar bebas ASEAN dimulai dan akan diikuti masuknya SDM asing dengan kualifikasi internasional untuk mengisi pasar profesional di negeri kita. Inilah tantangan yang nyata. Akibatnya pasar dunia kerja yang sudah sempit akan makin ketat persaingannya. Padahal angkatan kerja yang dihasilkan oleh dunia pendidikan kita saat ini boleh dibilang tidak memiliki keunggulan yang dapat diandalkan, apalagi pengalaman.
Perubahan budaya dengan pendekatan top down melalui kebijakan pemerintah memerlukan proses panjang dan tidak terjamin keberhasilannya. Sedang waktu kita sangat terbatas. Oleh karena itu masyarakat harus proaktif melakukan stimulasi langsung di lingkungan pendidikan. Dengan cara demikian perubahan budaya untuk menciptakan iklim kondusif bagi bangkitnya kembali dunia pendidikan nasional dapat dipercepat.
Langkah konkretnya adalah dengan mewujudkan semangat otonomi pendidikan seluas-luasnya. Dalam proses ini diperlukan keberanian para pelaku di jajaran struktural, peserta didik, keluarga dan masyarakat luas untuk melakukan inovasi dan improvisasi. Pemerintah tidak lagi menempatkan diri sebagai otorita melainkan sebagai fasilitator dan pengayom sekaligus penjamin kontinuitas proses demokratisasi ini. Sinergi diantara komponen ini diharapkan akan cepat menciptakan demokratisasi kependidikan yang kita harapkan.
Sekolah, Lembaga Pendidikan Utama
Sebagaimana kita melihat piramida masyarakat modern, dalam proses menuju kemajuan itu diperlukan kelas menengah yang mature. Paradigma inipun boleh kita aplikasikan ke dalam dunia pendidikan. Lapis tengah itu seharusnya dipegang bukan oleh institusi pendidikan tinggi melainkan sekolah menengah.
PT seharusnya menjadi tempat bagi proses pendidikan yang terfokus pada satu bidang, atau spesialisasi, sedangkan sekolah menengah yang bersifat umum lebih tepat sebagai tempat pendewasaan, mengolah semua potensi dan menemukan jati diri. Namun selama ini tidak demikian, proses pematangan pendidikan baru terjadi di tingkat PT. Padahal mereka justru telah dituntut oleh masyarakat untuk bersikap dewasa dan profesional. Oleh karena itu saat ini kita harus mulai melakukan proses pendewasaan sejak di tingkat sekolah menengah.
Di masa lalu sekolah dijadikan lembaga pengajaran dan indoktrinasi, sedang kepentingan masyarakat dikesampingkan. Ini terjadi akibat penguasa yang berkarakter militeristik dan otoritarian yang mempertahankan kekuasaannya melalui penciptaan struktur masyarakat mono loyalitas. Sekolah sebagai lembaga ilmiah tidak memiliki kebebasan menentukan identitas dan jati dirinya. Justru sekolah dimanfaatkan untuk indoktrinasi, bahkan program wajib belajar di tingkat dasar pun menjadi media intelektual brainwashing secara struktural. Pendeknya, dunia pendidikan adalah mesin cetak karakter sesuai kehendak penguasa.
Pemerintah secara sepihak telah menentukan suatu ‘blue print’ identitas yang seragam tidak hanya bagi siswa namun juga menyangkut seluruh institusi pendidikan bahkan seluruh masyarakat. Mereka harus menerima dan patuh tidak peduli apakah itu sesuai dengan kesadaran budaya masyarakat lokal. Indoktrinasi itu sendiri sebenarnya justru menimbulkan kontradiksi dalam masyarakat Akhir-akhir ini kita ketahui dampaknya setelah muncul konflik vertikal dan horizontal dalam masyarakat. Dan sebenarnya hal tersebut (penyeragaman identitas) tidak hanya terjadi di lingkungan pendidikan saja namun hampir pada semua sendi peri kehidupan bangsa, politik, sosial, ekonomi dan tentu saja budaya.
Karena itu problema psikologis menyangkut eksistensi (self esteem) yang sangat penting bagi remaja dalam membangun identitasnya menjadi hal klasik. Padahal siswa dan remaja bukanlah tentara yang dapat dipaksa menerima satu doktrin. Remaja pelajar adalah individu yang bebas dan memiliki ciri khas sesuai potensi yang dimilikinya. Potensi yang harus digali, dibina, dikembangkan serta diekspresikan sesuai cara mereka sendiri. Namun karena sistem yang otoriter justru tidak ada tempat bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya.
Mereka terbelenggu dan yang tak mampu mengikuti mainstream akhirnya, alih2 dilindungi dan diberdayakan, justru terpinggirkan. Dampaknya bisa kita lihat dari berbagai kenakalan remaja yang terus marak dari hari ke hari. Sedangkan sistem pendidikan saat ini pun salah dalam mensikapi kenakalan tersebut, bukannya dibina sesuai dengan filosofi pendidikan (fisik, psikis, nalar) justru ditinggalkan. Bahkan tidak jarang digolongkan ke dalam kriminalisme, padahal mereka itulah yang justru paling membutuhkan pendidikan.
Kenakalan remaja adalah salah satu bukti terjadinya proses pelarian akibat saluran internal dalam sekolah yang tersumbat. Padahal sekolah seharusnya menjadi akomodator. Selain tentunya faktor pengaruh lingkungan masyarakat yang menjadi pendorong. Ini adalah masalah pokok dan kesalahan manajemen pendidikan yang tanpa disadari justru menjadi pemicu paling menonjol dan berperan besar dalam kasus kenakalan remaja.
Kita ambil contoh tawuran. Pemerintah menyebut penyebabnya adalah faktor ekternal seperti kekerasan di media ataupun masyarakat yang cenderung individualistik. Namun kenyataannya di daerah atau desa yang relatif pengaruh ekternal tidak terlalu besar, bahkan nuansa religius dan budaya lokalnya sangat kuat, tawuran tetap terjadi.
Sejumlah pakar psikologi remaja mendefinisikan faktor pemicu tawuran, yaitu apa yang disebut sebagai false indentity atau identitas palsu. Yang mengejutkan identitas palsu ini bukan diciptakan oleh masyarakat (bila kita mengacu pada teori kekerasan di media), melainkan justru diciptakan oleh dunia pendidikan itu sendiri melalui simbol dan mekanisme kependidikan yang tidak akomodatif. Dunia pendidikan kita memang gagal menyerap aspirasi dan menyalurkan energi kreatif yang dimiliki civitasnya, semata hanya karena sistem yang stagnan dan kaku serta cenderung enggan menerima perubahan (status quo).
Sebagai bukti kita bisa contohkan tawuran pelajar antara SMU dengan STM. Pemicunya sangat sepele, karena seragam. Mereka memandang seragam adalah simbol identitas. Loyalitas korps terakumulasi dan diekspresikan dalam bentuk kebanggaan yang berlebihan. Ini bisa terjadi karena mereka memang oleh dunia pendidikan kita selama ini diindoktrinasi seperti tentara. Mereka secara sistemik diberikan identitas palsu tersebut, bahwa mereka memiliki korps dan dibedakan secara tidak adil dengan stigma, STM lebih rendah dari SMU. Akibatnya muncul sakit hati dan dendam yang tentu saja tidak dapat tersalurkan.
Dalam realitas sosial masyarakat kita pun memang STM dipandang sebagai sekolah ‘kelas dua’ yang dianggap hanya menghasilkan kelas pekerja rendahan. Padahal stigma semacam ini jelas kontradiktif dengan kondisi dunia kerja kita, justru sektor yang diisi oleh tenaga terampil dari sekolah kejuruan sangat dibutuhkan sebagai SDM penggerak pembangunan yang tetap dapat bertahan dalam kondisi krisis. Sedangkan para tenaga kerja ‘berdasi’ yang dalam strata sosial masyarakat digolongkan sebagai pegawai kelas ‘priyayi’ justru tumbang diterpa badai krisis ekonomi. Lulusan non kejuruan yang selama ini dielus-elus oleh masyarakat dan pemerintah ternyata sangat rapuh.
Di era yang sangat plural sekarang ini, seragam bukanlah hal yang pokok dalam dunia pendidikan. Pendapat yang menyatakan bahwa seragam untuk menetralisir gap, mendidik disiplin dan loyalitas justru mengakibatkan euphoria korps yang tidak pada tempatnya. Gap dan kasta dalam masyarakat ada karena proses sosial yang tidak seimbang, tentu tidak akan hilang atau ditutupi (cover up) oleh selembar seragam. Bahkan kehadiran seragam justru semakin memisahkan siswa yang memakainya dari realita, karena mereka menjumpai warna seragam yang sama tapi harganya bisa sangat jauh berbeda. Faktanya fungsi seragam dari hari ke hari semakin tidak memiliki makna selain untuk media coretan di akhir masa sekolah.
Seragam bahkan justru menimbulkan berbagai persoalan sejak dari awal dia harus dikenakan. Siswa secara rasional tidak bisa memahami dan menerima alasan ‘mengapa mereka harus memakai seragam’ sehingga yang tersisa hanyalah perasaan terpaksa dan frustasi yang tidak terungkapkan dan lambat laun menjadi dendam. Sehingga tidaklah heran bila kemudian muncul berbagai ‘kreatifitas’ yang mereka lakukan terhadap seragamnya. Termasuk pelampiasan ‘coretan kelulusan’. Karena hanya dengan cara demikian mereka dapat ‘membalas dendam’ terhadap seragam yang telah memasung jati diri dan kreatifitas mereka selama bertahun-tahun. Apalagi ternyata yang namanya seragam tidak hanya satu macam saja. Contohnya seragam Pramuka, untuk apa mereka membeli dan dipaksa memakai sedangkan mereka sama sekali tidak berminat dengan kegiatan kepanduan ?
Pendapat yang militer sentris warisan kolonial dan masa penjajahan Jepang itu dengan sendirinya tidak relevan dengan masyarakat sipil modern yang plural dan demokratis ini. Masyarakat memahami bahwa disiplin dan kebanggaan memang penting, bahkan mungkin kita akan bicara nasionalisme di sini, namun semua itu tidak akan lahir hanya karena seragam atau upacara setiap Senin pagi yang hanya mengakibatkan sinisme, sehingga bahkan untuk menertibkannya para guru terpaksa harus rela kejar-kejaran dengan siswanya. Bagi siswa upacara Senin pagi yang monoton itu lebih dipandang sebagai rutinisme penyiksaan fisik dan pemasungan ekspresi ketimbang refleksi nasionalisme. Disiplin muncul karena proses pendidikan yang elegan, keteladanan dan adanya rasa tanggung jawab. Sedangkan kebanggaan serta loyalitas itu akan tumbuh dengan sendirinya sejalan dengan tumbuh kembangnya prestasi.
Dijaman sekarang siswa tidak akan bisa memahami makna nasionalisme, cinta tanah air dan penghormatan terhadap para pahlawan serta pendahulu jika dilakukan dengan ritual ‘penjemuran dibawah terik matahari’ sambil menyanyikan Indonesia Raya, lagu nasional ditambah lagi dengan pelototan angker dan petatah petitih yang menjemukan dari Bapak Ibu guru. Mengapa ? Karena mereka memang adalah generasi terkemudian yang sama sekali tidak bersentuhan dengan hiruk pikuk perang kemerdekaan, revolusi bahkan reformasi.
Mereka, siswa, hanya mungkin ‘merasakan sentuhan nasionalisme’ itu melalui cara yang lain. Melalui pengajaran sejarah yang mengajarkan dan menanamkan makna perjuangan, mengapa itu harus dan dapat terjadi, bukan pelajaran sejarah yang memaksaan hafalan nama, tempat dan tanggal peristiwa. Mereka perlu ditunjukkan bagaimana wujud penindasan secara konkrit, bagaimana rasa persaudaraan kebangsaan dibentuk dan seterusnya. Ini semua ada dalam kehidupan keseharian, misalnya bagaimana kita bisa menanamkan rasa kebangsaan bila setiap hari mereka melihat diskriminasi etnik terjadi di sekolah ?
Maka cara yang paling tepat untuk ‘belajar’ adalah membiarkan mereka aktif dan terjun serta merasakan langsung sensasi dan pengalaman di tengah masyarakat. Kekayaan budaya itu yang akan tertanam dan memupuk rasa nasionalisme, patriotisme, persatuan, persaudaraan dan seterusnya. Semua ini tidak mungkin di dapat dari pengajaran akademik dengan hanya duduk manis di bangku sekolah, melalui kegiatan ekstra kurikuler, wadah organisasi ekspresi seperti pramuka, kepecintaalaman, palang merah, bela diri nasional dan sebagainya.
Pendidikan, Keteladanan dan Pengajaran
Hal penting lainnya menyangkut kualitas dunia pendidikan adalah kesejahteraan para pelaksana. Kurangnya jaminan kesejahteraan menyebabkan pekerja di sektor pendidikan hanya mampu menjadi pengajar saja ketimbang pendidik. Waktu, tenaga dan pikiran mereka akan lebih banyak tercurah untuk urusan tuntutan ekonomis. Untuk menjadi pendidik yang menjadi ujung tombak pelayanan pendidikan seharus mereka harus mampu berkonsentrasi penuh dan melakukan proses reengineering pengetahuan dan penalaran. Suatu proses perubahan paradigma pembelajaran dari periodic learn menuju continous learn.
Karena situasi yang serba terbatas, pengajar hanya mampu melakukan orientasi sebatas prestasi akademik, suatu target yang berbentuk indeks prestasi fisik. Kreatifitas dan inovasi dengan sendirinya terpasung, siswa hanya difokuskan pada penerimaan materi baku dan tidak ada yang peduli dengan perkembangan kepribadiannya. Akibatnya produk pendidikan menengah hanya mampu memahami hal-hal yang baku dan bersifat umum / normatif / tekstual. Mereka tidak dapat memahami substansi dan korelasi serta tidak mampu mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya ke dunia nyata.
Itu baru aspek kognitif, intelektual, (IQ) bagaimana pula dengan pembinaan psikologis dan sosialnya atau yang populer disebut sebagai Emotional Quality (EQ) ? Padahal kedua hal tersebut harus berjalan seimbang bahkan EQ lebih berperan dalam pembentukan pribadi yang utuh. Jika IQ bisa ditingkatkan setiap saat dengan cara belajar berkelanjutan maka sangat berbeda dengan EQ yang perkembangannya dimulai sejak usia dini dan sangat menentukan pada masa pertumbuhan (remaja) dan justru akan berhenti pada saat manusia mencapai usia dewasa. Justru dunia pendidikan kita hanya berorientasi pada IQ sedangkan EQ yang seharusnya menjadi prioritas malah diabaikan. Tidak heran bila generasi muda kita selalu mengalami masalah dalam pembentukan pribadi, selalu mencari jati diri dan kesulitan dalam mengekspresikan dirinya secara bebas.
Di sisi lain sistem pendidikan nasional yang hanya berorientasi pada prestasi akademik justru menjadi kontra produktif karena menimbulkan rasa frustasi bagi peserta didik. Tekanan prikologis diberikan oleh sekolah, lingkungan dan keluarga untuk mendorong siswa memenuhi target akademis dan hal itu dianggap sebagai satu-satunya ukuran prestasi dan stempel identitas. Tidak ada ruang bagi peserta didik untuk menggali potensi non akademik yang sesungguhnya berperan lebih besar terhadap pembentukan karakter sebagai manusia yang utuh. Nilai kemanusiaan siswa saat ini hanya dihargai oleh selembar NEM atau Rapor.
Dalam banyak kasus kita jumpai betapa orang tua memaksakan anaknya mengikuti berbagai kegiatan (kursus) yang lebih banyak berorientasi akademis dan membatasi semua hal yang tidak berhubungan dengan kegiatan akademis. Termasuk semua kegiatan ekstra kurikuler yang menjadi tempat bagi individu siswa, sebagai manusia, untuk bersosialisasi secara sehat (psikologis) dengan sebaya, alam, lingkungan dan masyarakat. Suatu media bagi pembelajaran nilai moral dan kemanusiaan dimana siswa akan dapat menemukan jati diri dan membentuk karakter sesungguhnya. Inilah ruangan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi dan ekspresi seluruh potensi dirinya dengan kehendak bebas. Tidak ada yang lain selain dirinya sendiri, suatu kesadaran yang mahal dan sulit diperoleh di masa sekarang.
Stempel identitas dapat digambarkan : nilai baik identik dengan anak manis sedangkan nilai buruk diberi stigma ‘berandal’. Tidak heran bila sampai saat ini masih kental terjadi horor ‘penjurusan’, IPS lebih tidak mengharapkan dibandingkan IPA. Para orang tua begitu ketakutan ketika menyadari bahwa anaknya terancam masuk jurusan IPS. Karena mereka terbelenggu paradigma : para berandal sudah seharusnya menghuni jurusan non eksak dan sebaliknya anak manis dan kutu buku harus berada di lingkungan eksakta. Padahal Ilmu Pengetahuan sendiri tidak mengenal ‘kasta’ ! Dan dikedua kubu lahir prestasi brilian yang mengangkat derajad peradaban umat manusia.
Ini terjadi karena sistem penjurusan sendiri sebenarnya melulu hanya melakukan ‘parsing nilai akademik’ dan sedikit sekali mempertimbangkan faktor minat akademik peserta didik sesungguhnya. Asalkan nilainya dibawah standar tertentu maka jurusannya sudah pasti IPS, atau bila kelakuannya bikin dahi para guru mengkerut, langsung saja divonis jurusan IPS.
Demikian pula dengan mekanisme Ebtanas, DANEM dan UMPTN, satu dua hari yang menentukan tiga tahun kerja keras siswa, tanpa pernah diperhitungkan ‘kesialan di waktu ujian’, kegugupan, sakit atau hal lain yang sangat manusiawi dan bisa menimpa siapa saja. Siswa dituntut untuk menjadi Superman, pintar berstrategi menghadapi soal ujian dan mensiasati waktu, sebagaimana yang diajarkan berbagai kursus, tanpa memahami apa substansi pengetahuan yang dipelajarinya. Sehingga tentu saja tidak ada penghargaan terhadap kemampuan siswa sesungguhnya. Dan kesalahan ‘penjurusan’ ini akan berlanjut pada tingkatan berikutnya yang pada akhirnya akan menghancurkan potensi SDM bangsa dimasa depan, karena banyaknya orang ‘kesasar’.
Yang ada hanya upaya berebut posisi, suatu pengajaran moral yang sangat buruk. Orang akan menjadi bersifat pragmatis dan tidak mampu menghargai proses, tidak mengenal makna kerja keras dan perjuangan, orientasinya hanyalah hasil instan, tidak peduli dengan cara bagaimana mereka memperolehnya. Sekarang kita menemukan bahwa manusia Indonesia, untuk mencapai sesuatu hasil atau prestasi cenderung melakukan dengan menghalalkan berbagai cara, serba memilih jalan pintas. Bahkan menyuap, memanipulasi dan intimidasi adalah perilaku yang sangat jamak. Dan masyarakat pun menjadi permisif terhadap semua penyimpangan ini.
Ini berbeda dengan pola seorang pendidik yang tidak hanya berorientasi secara fisik namun juga mental psikologis. Seorang pendidik tidak hanya fokus pada masalah akademik namun juga pengembangan pribadi dan penggalian potensi siswa. Seorang pendidik harus punya perhatian yang cukup, keahlian dan wawasan yang luas sehingga pantas dijadikan panutan. Kesejahteraan seorang pendidik adalah masalah kunci yang harus diselesaikan agar pendidik dapat berkonsentrasi pada bidangnya dan memiliki kemampuan untuk terus mengembangkan dirinya. Seorang pendidik memiliki sifat sebagai profesional, pengayom sekaligus pembimbing. Dalam paradigma pendidikan, tidak ada lagi batasan antara guru dan murid, dimana guru serba benar dan otoriter sedang murid ‘nrimo’ tanpa boleh berbeda pandangan atau pendapat.
Otonomi dunia pendidikan mungkin adalah suatu solusi untuk memperbaiki dunia pendidikan terutama di tingkat dasar dan menengah. Dengan otonomi, sekolah dapat menolak campur tangan pihak lain. Peningkatan kesejahteraan pekerja kependidikan dapat dikelola secara lebih profesional karena masyarakat dapat langsung berperan aktif. Sekolah pun bebas mandiri menentukan identitas yang diwujudkan dalam kurikulum yang mampu menjawab kebutuhan lokal. Bahkan seharusnya dunia pendidikan diberi kebebasan penuh untuk bekerjasama dengan wali siswa dan sektor swasta. Dengan otonomi kreativitas dunia pendidikan diharapkan lahir kembali.
Di negara maju, publik dan dunia usaha sangat menyadari betapa pentingnya support bagi dunia pendidikan, sehingga mereka tidak segan melakukan kerjasama untuk mendonasi dan mendukung peningkatan kualitas pendidikan. Bahkan hal tersebut merupakan kewajiban sosial (moral) yang nyata, bukan hanya sekedar normatif, sloganis seperti yang terjadi saat ini, asalkan sekolah dijauhkan dari aktifitas bisnis dan hiburan sementara di sisi marketing mereka justru menjadikan lingkungan sekolah sebagai target pasar.
Yang terjadi sekarang baru sebatas pola kerjasama yang sifatnya melakukan eksploitasi potensi ekonomi siswa atau lebih tepatnya wali siswa. Tidaklah heran apabila setiap tahun ajaran baru identik dengan ‘ajang pemerasan’. Maka yang harus diubah terlebih dahulu adalah cara berpikir dengan ‘paradigma manfaat / investasi bukan biaya’, baik bagi pengelola sekolah maupun (terutama justru) wali siswa. Berikutnya perlu diperbaiki pola kerjasama dengan swasta, harus ada formula yang tidak melulu menonjolkan keuntungan materiil maupun ‘penodongan terhadap anggaran sekolah’.
Dalam banyak hal, orang tua / wali siswa cenderung memandang sekolah dan berbagai kegiatannya (terutama yang non akademik) sebagai biaya, bukan investasi. Mereka belum dapat menyadari bahwa kualitas pendidikan sangat memerlukan dukungan finansial. Bahwa pendidikan harus dipandang dengan paradigma cost benefit ratio. Bahwa rasio manfaat yang diperoleh dari proses pendidikan itu bersifat intangible (tidak terukur), jelas tidak dapat dihitung dan diperbandingkan dengan nilai uang berapapun jumlahnya.
Karena investasi ilmu itu bersifat ‘will last forever’, berlaku selamanya, abadi. Kita tidak mungkin menghargai kemampuan membaca dan menulis dengan sejumlah uang, namun kita dapat membayangkan bahwa manfaat biaya yang telah dikeluarkan agar anak kita bisa membaca dan menulis jauh lebih besar artinya dibanding nilai nominalnya. Selanjutnya kita dapat membayangkan bahwa berkat kemampuan membaca dan menulis maka anak kita sepanjang hidupnya akan mampu melakukan berbagai hal produktif yang kalau dianggap sebagai pengembalian investasi, tidak bisa dihitung lagi berapa ratus, ribu bahkan juta kali lipat dari nilai nominal biaya yang telah kita keluarkan sebelumnya (selama ia sekolah) untuk menjadikan anak tersebut mampu membaca dan menulis.
Oleh karena itu adalah suatu ironi ketika kita melihat betapa para orang tua / wali senantiasa mempermasalahkan berbagai biaya pendidikan baik akademik, apakah untuk keperluan buku, praktikum maupun ekstra kurikuler yang seringkali nilainya tidak lebih besar dari anggaran belanja ‘rokok’ seorang Bapak setiap bulan. Padahal kita sebagai manusia dewasa sangat memahami bahwa nilai ekonomis rokok bersifat ‘habis pakai’ dan malah cenderung bersifat negatif karena merugikan kesehatan. Tentu sangat tidak adil bila dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh apabila ‘uang rokok’ tersebut dipergunakan secara semestinya demi kepentingan investasi pendidikan putera puterinya.
Di sisi lain orang tua dan siswa banyak yang menerima begitu saja keharusan membeli kelengkapan sekolah seperti seragam dan atribut yang nilainya jauh lebih besar, karena memandangnya sebagai keharusan dan malah kebanggaan, puas bila melihat anaknya berseragam. Seolah dengan membelikan seragam, orang tua telah berhasil memberikan identitas dan menjadikan anaknya orang pintar yang terhormat. Mereka malu bila anaknya terpaksa harus memakai seragam bekas pakai entah beli di tukang loak atau milik saudara.
Sedangkan untuk buku pelajaran mereka cukup membelikan yang bekas, padahal kita tahu justru buku yang harus senantiasa diperbaharui karena dunia pengetahuan setiap hari selalu berubah, ada hal baru, bahkan sejarah pun berubah. Semua itu harus ditulis daram buku, harus ada penulis yang bersedia membuatnya dan penerbit yang memproduksinya secara massal. Dan itu hanya mungkin terjadi apabila masyarakat terutama dunia pendidikan mau membeli buku setiap saat. Artinya kegemaran dan minat baca itu harus ditumbuhkan dan hal yang sangat utama dalam dunia pendidikan, orang tua dan masyarakat sudah seharusnya mendukung dan memfasilitasi hal tersebut.
Jelas suatu egoisme apabila nilai fisik seperti seragam, tas dan sepatu baru dipandang lebih bermanfaat ketimbang buku berkualitas. Sama halnya dengan mengutamakan penampilan baju baru, belanja dan rekreasi ketimbang silaturahim di hari lebaran. Nilai spiritual telah jauh ditinggalkan dan cukup digantikan dengan simbol fisik, duniawi yang sifatnya kosmetik.
Di sisi lain paradigma ini tidak cukup hanya disampaikan sebagai wacana melainkan harus dipublikasikan secara luas sebagai upaya edukasi kepada publik serta dunia usaha, pendeknya seluruh masyarakat. Karena hanya dengan cara demikian masyarakat dapat memahami bahwa dunia pendidikan (terutama tingkat dasar dan menengah) sangat penting untuk didukung kemandirian dan perkembangannya. Karena disanalah tempat generasi muda membentuk karakter dirinya (character bulding) sebagai manusia Indonesia yang utuh.
Di masa mendatang berkat kemampuannya memposisikan diri secara tepat di tengah masyarakat maka sekolah akan menjadi sumber dan agen IPTEK. Orang akan datang ke sekolah untuk mencari dan mendapatkan segala ilmu pengetahuan yang diperlukannya. Sekolah dengan segala resource yang dimilikinya menjadi kontributor pengetahuan kepada masyarakat. Sekolah menjadi tulang punggung masyarakat yang berbasis pengetahuan.
Masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) inilah wujud paling ideal dari masyarakat madani. Dimana masyarakat sipil berperan dominan dengan tingkat spiritual dan penguasaan pengetahuan yang tinggi serta kepedulian sosial. Masyarakat yang berbasis pengetahuan akan memiliki ketahanan terhadap berbagai gangguan. Mereka mampu untuk bertindak dan bersikap secara elegan dan beradab karena mereka memiliki kemampuan sosial serta pengetahuan luas yang terus berkembang setiap saat.
Pada tingkat lanjut sekolah harus mampu menjadi produsen ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara melakukan kompilasi, yaitu mengumpulkan berbagai ilmu pengetahuan dan selanjutnya dirumuskan menjadi bentuk yang baru baik itu secara teoritis maupun praktis. Yang kedua sekolah mampu memproduksi, mengeksplorasi suatu pengetahuan baru. Untuk itu lembaga di dalam sekolah sendiri harus melakukan reposisi dan reorientasi fungsinya.
Sebagai contoh BP, lembaga yang selama ini menjadi eksekutor peraturan sekolah dan momok siswa, pada masa sekarang harus berubah. BP harus mampu menempatkan diri sebagai mediator dan katalisator antara sekolah dan siswa, BP harus memihak kepada kepentingan siswa dan profesional sebagai lembaga konselor bukan ‘provoost’. BP harus mampu memotivasi dan menggali potensi siswa semaksimal mungkin dan melakukan rehabilitasi bila diperlukan.
Dalam dunia yang penuh dengan kontradiksi nilai dan labilnya kejiwaan remaja maka BP harus berperan sebagai sahabat yang mampu mengarahkan ketimbang sebagai polisi. Hedonisme, permisifisme dan perubahan nilai sosial lain, kasus narkoba, pendidikan seks dan problematika lainnya termasuk nasionalisme (yang saat ini makin luntur dan menjadi penyebab utama perpecahan bangsa) harus secara proaktif disosialisikan kepada siswa. BP dapat berperan sebagai agen ilmu pengetahuan sosial kemasyarakatan bagi siswa.
Lembaga lain seperti guru wali juga harus mampu memposisikan diri sebagai orang tua kedua bagi siswa atau lebih tepatnya sahabat tua. Dan seorang sahabat akan berdiri dalam posisi sejajar bukan lebih tinggi, dia akan berperan sebagai pendengar bukan instruktor. Sebagian besar remaja menghabiskan waktunya di sekolah, interaksi dengan anggota keluarga dan orang tua yang sibuk bekerja menjadi sangat kurang sehingga hambatan komunikasi sangat mungkin terjadi. Untuk itu guru wali harus menjalankan peran mengganti yang mengakomodir permasalahan siswa selama berada di lingkungan sekolah.
Guru wali harus mampu melakukan pendekatan personal dengan memberikan penilaian serta pelaporan perkembangan individual dari aspek non akademis. Rapor misalnya, seharusnya tidak hanya berisi penilaian akademis namun juga hasil pengamatan psikologis individual, laporan prestasi non akademis (contoh : ekstra kurikuler), catatan reward and punishment berkaitan dengan peraturan sekolah bahkan bila perlu medical record dari UKS atau dokter sekolah termasuk resume perkembangan psikologis dari BP.
Sudah tidak jamannya lagi rapor yang hanya berisi penilaian akademik dan hasil pengamatan berbasis kelompok (misalnya rata-rata kelas) semata. Sebab apabila tidak dilaksanakan, bagaimana para orang tua dan wali siswa dapat mengamati perkembangan putra putrinya secara komprehensif ? Bagaimana kita semua dapat menilai dan memahami potensi setiap individu ? Apabila kita tidak dapat mendeteksi potensi dan gangguan dalam diri generasi muda / remaja, bagaimana pula kita dapat menyalurkan, mengembangkan, memfasilitasi, memberi solusi bahkan akhirnya menanggulangi segala permasalahan yang mereka hadapi ? Apabila seperti ini kondisinya mungkinkah kita memberdayakan potensi SDM bangsa ini secara maksimal agar akselerasi kesejahteraan banga bisa segera tercapai. Bagaimana pula dengan kesiapan bangsa ini menghadapi persaingan global dengan modal ‘generasi muda yang cacat’ ?
Apabila sekolah telah mampu menjadi lembaga pendidikan utama maka akan tumbuh kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Bila iklim ini dapat terbentuk maka tidak perlu lagi ada program wajib belajar yang cenderung bersifat memaksakan dan lebih mengejar target kuantitas ketimbang kualitas. Dengan sendirinya masyarakat menginginkan pendidikan, karena mereka tahu bahwa ada sekolah yang menjadi pusat pendidikan dan sumber Iptek yang dibutuhkan oleh masyarakat di lingkungannya. Di tempat inilah SDM bangsa ini dicetak untuk mengasah potensi sehingga unggul dan percaya diri karena memilki identitas pribadi sebagai individu yang diakui eksistensinya.
Sekolah, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Sekolah dituntut untuk mentransfer Iptek yang sesuai dengan harapan serta kebutuhan masyarakat di lingkungannya melalui anak didiknya. Link and match adalah konsep yang sangat bagus, jangan sampai peserta didik (siswa) tercerabut dari realitas sosial masyarakatnya karena adanya kontradiksi antara nilai-nilai yang dipelajari di sekolah dengan kenyataan di lingkungannya.
Proses link and match sudah harus berlangsung sejak sekolah menengah. Pola pendidikan normatif seharusnya sudah tidak diperlukan lagi di tingkat menengah, karena psikologis remaja berada dalam fase pengembangan dan pencarian identitas. Pendidikan normatif sudah tidak diperlukan dalam fase ini, cukup di tingkat dasar dimana secara psikologis nilai-nilai sosial dan moral dasar ditanamkan.
Dalam konsep ini pendidikan kejuruan seharusnya lebih berperan ketimbang sekolah menengah umum. Karena profil kebutuhan masyarakat kita saat ini, adalah mendapatkan pengetahuan praktis dari sekolah untuk bekal bekerja. Dari level inilah seharusnya kebutuhan dunia kerja terhadap kelas pekerja menengah dipenuhi. Selama ini, kebutuhan itu didapatkan dari sektor informal, tentu saja penghargaan terhadap kelas pekerja menengah menjadi sangat kurang karena tidak ada keterampilan formal.
Otomatis kesejahteraan masyarakat kelas menengah pun rendah. Padahal masyarakat kelas menengah yang mature jelas diperlukan bagi pembangunan masyarakat madani yang adil dan demokratis.
Sedangkan sekolah umum diperuntukkan bagi mereka yang memang menginginkan untuk berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi secara akademik, bukan praktis. Di tempat inilah kita akan menjumpai lahirnya para ilmuwan dan intelektual. Adalah salah bila mengharapkan mereka yang berada di jalur ini menjadi pekerja kelas menengah. Seharusnya mereka ini menjadi kelas pekerja profesional, suatu level yang akan diperebutkan ketika pasar bebas ASEAN mulai berlaku pada 2003 dan tahap selanjutnya.
Sekalipun ada dikotomi diantara keduanya namun secara substansial baik itu sekolah menengah umum maupun kejuruan, sama-sama mengemban amanat untuk mengkompilasi, mengembangkan dan merumuskan Iptek. Hanya secara praktis dalam hal aplikasi saja yang berbeda. Keduanya tetap berperan sebagai agen Iptek bagi masyarakat dan lingkungannya.
Dalam hal ini diperlukan suatu kurikulum yang progresif dan responsif dalam menanggapi dan menjawab berbagai tantangan dan perubahan yang demikian pesat dalam masyarakat. Maka sesuai dengan semangat otonomi daerah, seharusnya memang permasalahan yang menyangkut perencanaan, susunan, strategi dan penerapan kurikulum dilakukan di tingkat lokal. Dengan demikian kebutuhan lokal lebih terakomodasi dan kurikulum setiap daerah akan lebih fokus kepada tantangan dan potensi yang ada.
Indonesia terlalu luas dan kaya, tingkat keragamannya barangkali yang tertinggi di dunia dalam berbagai aspek, maka sangat naif apabila kebijakan pendidikan termasuk kurikulum harus ditentukan terpusat dan berlaku sama secara nasional. Pemerintah tidak akan pernah mampu untuk melakukan akselerasi dunia pendidikan karena skalanya akan menjadi terlalu luas, berat, kompleks dan membutuhkan pendanaan luar biasa besar. Di sisi lain daerah tidak memiliki kesempatan untuk mengaktulisasikan potensinya, bila ini terus beralngsung akibatnya tentu mereka akan kehilangan kepercayaan diri dan pada akhirnya tidak mampu eksis dalam persaingan global pada saatnya nanti.
Padahal ini baru soal kurikulum saja, belum masalah pendidikan lainnya, ketersediaan SDM misalnya.
Maka tidak ada jalan lain, untuk menjadikan sekolah sebagai lembaga ilmu pengetahuan maka daerah harus diberi kebebasan yang luas untuk mengatur dan melakukan improvisasi. Dengan cara demikian mereka tidak akan ragu untuk mencoba berbagai pola pendidikan yang dianggap paling sesuai dan berbagai kerjasama yang bisa mendukung proses tersebut. Termasuk membangun kolaborasi dengan pihak swasta (investasi, bantuan, bea siswa, asistensi, magang, penelitian dsb.) dan masyarakat pada umumnya.
Peran Lembaga Siswa
Tidak kalah pentingnya dalam membangun wawasan Iptek dan reorientasi dunia pendidikan adalah peran lembaga siswa. Di masa lalu lembaga siswa itu dikoordinasikan atau lebih tepatnya dikendalikan oleh sekolah. Di era reformasi ini lembaga siswa harus dibebaskan dari kontrol sekolah. Sekolah harus membiarkan organisasi siswa tumbuh dari bawah dan mengikuti siklus hukum alam. Artinya akan ada jika diperlukan dan tidak usah dipaksakan untuk ada apabila memang tidak dikehendaki siswa. Sehingga sekolah hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator.
OSIS misalnya, lembaga ini ada karena campur tangan sekolah yang berlebihan terhadap kebebasan berorganisasi siswa. OSIS sebagai kepanjangan tangan indoktrinasi penguasa dengan konsep ‘penyeragamannya’ (organisasi tunggal). OSIS selama ini hanya menjadi tempat sebagian elite siswa yang birokratif sehingga tidak dekat kepada komunitasnya sendiri. Lembaga OSIS menjadi tidak relevan dengan paradigma organisasi siswa saat ini.
Organisasi siswa harus muncul tanpa campur tangan sekolah. Suatu lembaga yang lahir secara alamiah dari tengah siswa dan dikelola sendiri berdasarkan inovasi, kreatifitas dan hasrat berorganisasinya. Lembaga ini tidak hanya menangani masalah ekstra kurikuler namun harus mampu menampung aspirasi siswa secara demokratis, sehingga tidak ada lagi kelompok yang terpinggirkan. Lembaga inilah yang akan menjalankan proses belajar berorganisasi dan berdemokrasi, mengajarkan kepemimpinan, menampung dan menyalurkan kreatifitas yang tujuan akhirnya adalah membentuk jati diri, identitas, kemandirian dan memahami dunia luar serta lingkungan sekitarnya dalam perspektif yang adil dan proporsional serta tidak terkontaminasi hal lain di luar kehendak siswa.
Secara ringkas lembaga siswa adalah tempat pendidikan mental dan spiritual yang sangat penting bagi pembentukan SDM bangsa di tingkat sekolah. Yang lebih penting lagi, sekolah, keluarga dan masyarakat harus mau memberikan tempat (ruang gerak) serta bersikap adil, bahwa prestasi di lembaga siswa ini SAMA PENTINGNYA dengan prestasi akademik. Karena disinilah siswa dapat mengekspresikan seluruh potensi yang dimiliki seluas-luasnya.
Lembaga siswa yang demokratis pada akhirnya akan mendorong siswa untuk menjadi masyarakat yang intelek dan ilmiah. Karena kegiatan lembaga siswa adalah sumber Iptek informal yang sangat luas cakrawalanya. Kehidupan lembaga siswa bukanlah sekedar wadah ekspresi, rekreasi dan hura-hura. Lebih dari itu, lembaga siswa dapat menjadi pusat pengembangan intelektual dan ilmu pengetahuan tersendiri. Suatu peran yang sama pentingnya dengan sekolah sebagai lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan formal.
Kegiatan kepecintaalaman misalnya, sejak awal dikenal sebagai lembaga yang mampu memberi ruang penyaluran bagi energi kreatif ‘yang tidak diakui’. Biasanya mereka ini adalah para siswa marginal yang ‘bermasalah’. Mereka cenderung punya hasrat berpetualang dan berani menghadapi berbagai tantangan, dimana sebenarnya ini adalah cara mereka untuk melakukan eksplorasi diri. Mereka mencoba mencari jati diri dengan cara eksploitasi semua potensi fisik dan mental. Ekspresi yang salah karena tidak adanya akomodasi, baik di sekolah maupun di masyarakat, misalnya dengan kebut-kebutan, terlibat narkoba dan perkelahian.
Kepecintaalaman menyediakan media yang bersifat substitusi untuk menyalurkan hasrat eksploratif negatif tersebut ke dalam bidang yang lebih bermanfaat. Di tempat ini mereka akan merasakan sensasi yang sama, baik itu tantangan, resiko termasuk ‘kegagahan’ sama seperti yang diperoleh dari melakukan kegiatan negatif. Dalam jangka pendek ini dapat bermanfaat sebagai oleh raga rekreatif dan tempat menimba pengalaman. Namun dalam jangka panjang apabila dibina dengan cara yang benar, akan menemukan kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan dan penghargaan terhadap nilai kehidupan manusia serta tentu saja pengakuan terhadap kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Pada akhirnya mereka akan mampu memahami potensi yang dimilikinya, tahu bagaimana cara terbaik untuk mengembangkannya serta mengekspresikannya dan kemudian berdamai dengan diri sendiri.
Pengalaman semacam ini jelas tidak mungkin didapatkan dari bangku pendidikan formal. Maka sangat jelas bahwa peran lembaga siswa tidak dapat diremehken. Bahkan dalam banyak hal posisi lembaga siswa tidak dapat tergantikan oleh institusi lain, karena peran dalam proses ini lebih banyak dilakukan oleh teman, sesama mereka (lingkungan sosial sebaya). Lembaga siswa lebih dipercaya berkat kedekatan emosional ini, karena mereka mengalami masalah dan pengalaman yang sama sehingga lebih mudah saling memahami dan akhirnya saling memotivasi.
Peran Keluarga
Keluarga selama ini beranggapan bahwa sekolah adalah satu-satunya tempat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Remaja tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya semaksimal mungkin melalui jalur informal. Padahal ilmu pengetahuan yang berbasiskan pengalaman adalah bekal praktis yang paling berguna untuk menjamin sukses tidaknya seseorang di dalam dunia persaingan bebas dalam masyarakat global.
Orientasi keluarga dan orang tua khususnya masih menitikberatkan pada prestasi akademik sehingga prestasi di luar itu tidak mendapatkan penghargaan yang proporsional. Faktanya orang-orang sukses sangat jarang karena kemampuan formal, justru kemampuan informal lebih mengemuka selama ini. Yang ideal orang tua harus bersikap demokratis dan membebaskan pilihan sumber ilmu pengetahuan kepada putera puterinya. Keluarga dan orang tua hanya bersikap sebagai pembimbing, motivator dan memberikan support bilamana diperlukan.
Dalam banyak hal sebenarnya lingkungan keluarga adalah sentral pembentukan karakter sesorang bahkan merupakan benteng terakhir, tempat kembali dan berlindung dari segala macam ‘serangan’. Maka sangatlah penting menciptakan lingkungan keluarga yang kuat, dimana hal ini hanya bisa tercapai apabila ajaran moral dan suasana religius berhasil ditanamkan sebagai landasan. Setiap saat manusia menjumpai kesulitan dan kontradiksi maka dia dapat kembali ke rumah untuk mendapat dukungan dan bisa dengan mudah kembali menemukan jati dirinya. Setiap keluarga harus membina atmosfir lingkungannya.
Peran Masyarakat
Di masa depan masyarakat memandang seseorang berdasarkan kemampuan dalam suatu bidang dan spesialisasi bukan titel. Seseorang tidak lagi dilihat dari segi akademik namun lebih kepada kecakapan intelektual yang nyata dan kepribadian. Dunia saat ini dan di masa datang akan berorientasi pasar alias kebutuhan, siapapun yang fit dan proper untuk kebutuhan tersebut akan dipakai dengan sendirinya. Tidak ada lagi pandangan senioritas, prestasi akademik. Sangat mungkin terjadi generation lap, suatu kejadian dimana generasi yang lebih tua harus rela bersaing dan berebut kesempatan dengan generasi yang lebih muda karena prestasinya.
Sebagai contoh saat ini kita dapat melihat iklan lowongan pekerjaan, semakin jarang yang mencantumkan prasyarat akademik sebagai acuan dasar. Umumnya yang dituntut adalah keterampilan dan pengalaman. Memang demikianlah dunia praktis yang sangat berbeda percepatannya dengan dunia akademis. Di satu sisi mungkin saja teori akademik akan cepat menjadi usang karena perubahan di dunia praktis atau justru muncul teori baru yang berasal dari perkembangan itu. Sehingga ada teori market driven, community push, technology pull.
Kewajiban yang utama bagi masyarakat adalah senantiasa menempatkan upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai budaya dasar. Karena hanya dengan cara inilah suatu bangsa dapat hidup secara berkelanjutan. Iklim budaya yang dapat terus mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan akan menjadi kunci kemajuan, sebagaimana yang dijelaskan di awal tulisan ini.
Masyarakat juga harus merubah pandangannya terhadap ilmu pengetahuan yang selama ini bersifat tertutup dan individualistik. Seseorang yang telah menguasai suatu ilmu pengetahuan tidak dapat lagi bersikap jual mahal dan enggan menularkan pengetahuannya kepada orang lain. Ia harus bersikap terbuka dan menyebarluaskan apa yang diketahuinya kepada lingkungannnya sehingga masyarakat akan terus menerus terdidik dan berubah dari masyarakat yang konvensional menjadi knowledge based society. Bila ini tercapai maka gerakan masyarakat akan terjadi bukan hanya karena ada kebutuhan yang harus dipenuhi melainkan karena ia juga memiliki pengetahuan yang mendasari sikap dan tindakannya.
Akumulasinya tentu adalah terbentuknya suatu struktur masyarakat rasional.
Terhadap ilmu pengetahuan kita harus terbuka dalam dua sisi, pertama mau menerima ilmu pengetahuan baru dengan pikiran yang terbuka dan yang kedua mau mentransfernya kepada siapapun di lingkungan kita. Karena tidak ada ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, setiap ilmu pengetahuan yang telah dikuasai adalah untuk diamalkan dan disebarkan. Ilmu pengetahuan yang telah disebarkan justru tidak akan pernah berkurang namun akan terus berkembang dan menjadi pengetahuan baru dan dengan sendirinya akan membuat ilmu kita pun bertambah tanpa harus bersusah payah melakukan eksplorasi dan kompilasi sendiri.
Orang yang tidak mau menyebarkan ilmunya kepada masyarakat hanya akan terkucil dari pergaulan masyarakat dan menjadi katak dalam tempurung. Ia mengira dirinya paling berpengetahuan padahal dunia disekelilingnya telah berubah dan bergerak cepat sehingga dalam tempo singkat ia menjadi tertinggal tanpa disadarinya. Mengapa ? Karena ia tidak mendapatkan informasi dari lingkungannya, ia dengan sengaja menarik diri dari peradaban.
Kebiasaan Membaca dan Menulis
Masyarakat yang berpengetahuan mempunyai ciri senantiasa haus akan ilmu. Salah satu parameternya adalah kebiasaan dan kegemaran membaca. Kelemahan utama bangsa kita adalah tidak mampu membaca, dalam arti memahami substansinya dan tidak memahami bahwa kegiatan membaca adalah jendela ilmu.
Pakar pendidikan menyebut situasi yang dialami generasi muda kita saat ini sebagai efek dari komunikasi audio visual. Siswa cenderung menyerap informasi melalui televisi sedangkan kedalaman pengetahuan yang diperoleh dari media ini sebenarnya dangkal karena ia lebih banyak berfungsi sebagai hiburan. Siswa merasa telah belajar, karena mereka merasakan kemudahannya, padahal media tersebut hanyalah sebagai alat bantu.
Sumber pengetahuan sesungguhnya adalah buku, karena didalamnya tedapat alur pengetahuan yang sistematis dan tentu saja konsep pemikiran yang lengkap dari penulisnya. Oleh karena itu harus ditanamkan kesadaran membaca dikalangan siswa sekolah menengah bahkan seharusnya dimulai pada tingkat dasar.
Bahkan untuk mendorong minat membaca dalam setiap tahun ajaran seharusnya ada jenis penghargaan (mungkin dari perpustakaan sekolah) kepada para ‘kutu buku’. Bila perlu per kategori, karena sumber pengetahuan bukan hanya buku, majalah atau jurnal Iptek namun juga dari bidang seni, budaya dan sastra. Bila buku pengetahuan memberikan kecerdasan intelektual maka buku sastra memberi khazanah kekayaan emosional. Jadi, bukan hanya para juara kelas atau mereka yang berprestasi di ekstra kurikuler yang berhak atas penghargaan.
Kebiasaan membaca akan dapat membawa pengaruh yang lebih positif yaitu kemampuan untuk menulis. Menulis adalah keterampilan yang sangat penting karena tulisan adalah salah satu media ekpresi dan produksi ilmu pengetahuan. Melalui tulisan, ilmu pengetahuan dapat disebarkan kepada masyarakat. Tulisan adalah upaya lain untuk menciptakan masyarakat yang cerdas dan kritis. Dengan tulisan, audiens akan mengetahui apa yang kita pikirkan dan sebaliknya mereka menjadi punya kesempatan untuk melakukan kritik dan penyempurnaan serta menyampaikan pendapatnya. Demokrasi akan berjalan santun, rasional serta ilmu pengetahuan semakin banyak lahir dan kaya ide baru, kreatif.
Sinergi kegiatan membaca dan menulis ini bisa ditanamkan sedini mungkin hanya dengan metode yang sangat sederhana. Guru wali pada jam konsultasi akademik atau waktu luang lain bisa mengajak siswanya ke perpustakaan, memberikan tugas membaca dan membuat sinopsis / resensi atau bahkan resume. Di banyak tempat (perpustakaan) suatu sinopsis yang berkualitas dari para pembaca dibundel dengan rapi dan menjadi tambahan kekayaan tersendiri bagi perpustakaan. Dan ini seharusnya bisa jadi poin akademik yang menunjang nilai akademik lain secara formal.
Kebiasaan membaca akan membuat seseorang terbiasa menangkap dan mencerna persoalan serta pengalaman secara bijak. Apa yang sudah dibaca akan mengendap dalam ingatan dan suatu ketika akan bertemu dan berinteraksi dengan hal baru lainnya yang bersesuaian. Bila hal ini digabungkan dengan kegiatan berlatih menulis maka lambat laun kita akan mampu melakukan kompilasi terhadap berbagai pengetahuan dalam nalar kita sehingga tampil kembali dalam bentuk yang baru. Dan bagi pembaca atau orang lain itu adalah pengetahuan baru.
Pada akhirnya kebiasaan membaca dan menulis ini akan mendorong budaya masyarakat yang kondusif serta kritis terhadap rekonstruksi dan kompilasi ilmu pengetahuan. Sehingga sikap untuk melakukan belajar secara berkelanjutan akan menjadi suatu proses yang membudaya dalam masyarakat kita. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh bangsa ini akan terus mengalami pembaharuan, pengembangan dan pengujian. Akan lahir dengan deras ide, kreatifitas serta ekspresi baru di berbagai bidang.
Penguasaan Bahasa dan Budaya Asing
Salah satu hal yang harus menjadi prioritas di tengah kecenderungan global saat ini adalah kemampuan berkomunikasi. Secara mendasar wujud konkritnya adalah penguasaan bahasa asing. Minimal salah satu bahasa internasional yang paling sesuai dengan bidang yang sedang ditekuni. Perlu diperhatikan pula bahwa pemilihan penguasaan bahasa asing ditentukan oleh sasaran lingkungan pemakaian. Seorang TKW di wilayah timur tengah akan lebih bernilai bila menguasai bahasa arab, beragama Islam dan memahami budaya arab.
Pemahaman keterampilan SDM dipandang bukan saja dari segi kemampuan teknis melainkan juga memandang faktor kepribadian. Salah satu media untuk mengekspresikan kepribadian adalah kemampuan teknis berbahasa asing. Penguasaan ini akan sangat berguna untuk mempelajari dan memahami peradaban serta budaya bangsa lain di dunia. Sehingga tidak ada kecanggungan pada saatnya kita harus bergaul dengan manusia dari berbagai bangsa lain sebagai konsekuensi logis kecenderungan global.
Pengajaran bahasa asing seharusnya ditekankan kepada ‘bagaimana cara memfungsikan bahasa’ alias ‘bagaimana cara menggunakannya’, bukan mempertanyakan bagaimana kebenaran gramatikalnya. Hal ini hanya bisa dicapai dengan pola stimulasi interaktif seperti kegiatan ‘english day’ atau hal lain seperti lomba menulis, pidato bahkan ‘porseni in english’. Bila perlu, sekolah pun bisa menugaskan kebiasaan berbahasa asing ini di rumah (dalam lingkungan keluarga).
Atau dengan memperbanyak program pertukaran pelajar asing, dimana siswa dapat saling memahami aspek budaya asing. Bahkan tidak mustahil dilakukan kerjasama dengan lembaga internasional seperti PBB, kedutaan, lembaga pendidikan asing atau kursus bahasa asing. Berbagai program bantuan, kerjasama internasional sebenarnya banyak ditawarkan di negara dunia ketiga, melalui Internet dan perguruan tinggi.
Kreatifitas semacam ini bila dilakukan di sekolah atau di rumah bahkan dalam banyak segi justru bisa bersifat rekreatif. Sangat penting bagi sekolah untuk mencoba bekerjasama dengan pihak lain untuk menghadirkan orang asing sebagai native speaker yang membantu siswa untuk berani berbahasa asing dalam berbagai event. Cukup banyak perusahaan yang punya tenaga expatriat, mereka bersedia menjadi volunteer dalam program semacam ini. Bahkan sejumlah lembaga perwakilan negara asing akan sangat tertarik dan bukan tidak mungkin mereka justru menyediakan fasilitas seperti perpustakaan, film dokumenter bahkan mungkin asistensi dan sponsorship.
Penguasaan Informasi
Di era pasar bebas semua orang akan memiliki sarana dan prasarana yang sama sehingga peluang meraih kesempatan juga akan berimbang. Hanya sedikit orang yang mampu bertahan karena memiliki kelebihan dan ciri khas dari lainnya. Namun walaupun ia memiliki suatu keunggulan maka itu tidak akan berlangsung lama, bukan jaminan. Karena dengan paradigma continous learning, fenomena generation lap dsb. dengan singkat sejumlah pesaing akan mengikuti langkahnya. Bahkan ketika seseorang setiap hari terus mengasah pengetahuan dan keterampilannya serta mungkin telah mengeluarkan semua kreatifitas, pesaing tetap akan bermunculan.
Ini bisa terjadi karena semua resource akan dengan mudah diakses oleh siapapun dan ilmu pengetahuan apapun lambat laun menjadi milik bersama, bukan sesuatu yang eksklusif. Maka dalam situasi semacam itu kunci untuk memenangkan persaingan hanyalah penguasaan terhadap informasi dan kemampuan untuk memanfaatkannya secara tepat dan cepat. Siapa yang memiliki informasi lebih dulu dalam jumlah besar dan mampu menjadi produsen jelas memiliki peluang lebih besar untuk senantiasa di depan.
Kunci keunggulan lainnya adalah pengalaman, oleh karena itu pelajar tidak boleh ragu untuk sejak dini melakukan aktualisasi diri, tampil mengekspresikan potensi dan menunjukkan identitasnya sebagai pengalaman. Ini semua harus terakomodasi, diberi apresiasi dan ruang gerak yang cukup serta tidak hanya didorong dengan motivasi namun juga dalam bentuk insentif serta stimulasi. Hal yang penting dalam penguasaan informasi adalah kemampuan untuk melakukan filter, memilah yang penting dan mana yang sampah. Kemudian bagaimana cara mengolah dan mendayagunakan informasi yang dimiliki secara tepat sehingga menjadi potensi yang bisa dijadikan modal bersaing.
Wawasan Teknologi
Pada uraian sebelumnya telah jelas bagi kita bahwa budaya berperan penting bagi berkembangnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sendiri muaranya adalah teknologi, yaitu segala hal yang diciptakan manusia dan menjadi sarana bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Teknologi sendiri akan membantu manusia untuk menemukan, menciptakan dan mengembangkan ilmu dan pengetahuan baru. Sehingga kedua hal ini menjadi suatu siklus yang tidak pernah berakhir dan menjadi pendorong peradaban.
Masyarakat yang memiliki kebudayaan tinggi tentu memiliki pengetahuan tinggi dengan sendirinya akan mampu melahirkan berbagai macam teknologi baru yang makin baik. Namun kenyataannya tidak demikian, bangsa kita dikenal memiliki budaya yang luhur dan tinggi. Namun karena kesalahan manajemen penguasa yang memanfaatkan budaya tersebut hanya untuk kepentingannya sendiri, maka budaya luhur tersebut tidak mampu mendorong masyarakat untuk memiliki pengetahuan tinggi bahkan justru menghambatnya. Tentu saja pada akhirnya bangsa ini tidak mampu memproduksi teknologi tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Padahal kita memiliki modal besar berupa kekayaan alam yang melimpah baik sebagai bahan baku maupun komoditas.
Singkatnya selama ini negara (atau tepatnya penguasa), bukannya memberi kebebasan namun justru telah membelenggu warganya sehingga tertinggal dari bangsa lain, ini yang harus kita kejar. Alam reformasi telah berhasil melepaskan belenggu tersebut, sekaranglah saatnya untuk mengejar ketertinggalan. Untuk itu yang kita perlukan adalah menyerap sebanyak mungkin ilmu pengetahuan untuk kemudian kita pergunakan untuk menciptakan teknologi tepat guna yang mampu mensejahterakan rakyat.
Saat ini sebenarnya kita mampu mendapatkan segala macam ilmu pengetahuan berkat adanya Teknologi Informasi. Teknologi Informasi ini telah menyebar luas bahkan memainkan peran penting dalam proses reformasi selama ini. Globalisasi dunia pun terlahir karena gelombang Teknologi Informasi, tahun 2000 dipandang sebagai awal abad Teknologi Informasi. Siapa yang mampu menguasai teknologi ini maka ia mempunyai akses ilmu pengetahuan yang sangat luas, apabila ia berkat pengetahuannya tersebut mampu menjadi produsen informasi maka berpeluang besar untuk dapat memenangkan persaingan dan menjadi pemain utama. Wacana inilah yang hendak kita tanamkan sejak dini.
Namun sayang sekali, sekalipun teknologi ini telah ada disekitar kita, namun justru cara mensikapinya salah. Kita masih belum mampu memanfaatkan teknologi ini sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan terhadap bangsa lain. Mengapa ini terjadi ? Karena perspektif budaya kita pun ternyata keliru bersikap. Salah satu wujud konkrit Teknologi Informasi adalah Internet, masyarakat kita masih memandang Internet sebagai alat rekreatif ketimbang sebagai sumber pengetahuan.
Ketakutan yang berlebihan terhadap dampak negatif teknologi ini juga terus mengemuka, lebih parah lagi pemerintah kita yang awam tentang teknologi Internet juga menjadi lambat serta salah bersikap. Kebijakan yang dikeluarkan lebih cenderung kepada kepentingan sekelompok pengusaha dan BUMN yang ingin menguasai bisnis informasi. Sehingga hal ini justru mematikan inisiatif dan usaha mandiri masyarakat luas yang ingin menguasai Teknologi Informasi tanpa membebani pemerintah. Tidak heran apabila menurut berbagai hasil penelitian disebutkan kendala terbesar perkembangan Teknologi Informasi Indonesia untuk kepentingan publik adalah justru regulasi pemerintah.
Di negara lain (ASEAN), pemerintahnya justru sangat berkepentingan dan terus mendorong masyarakatnya memanfaatkan Internet untuk memperoleh ilmu pengetahuan secara cepat, praktis dan murah. Pemerintah berlomba untuk mempermudah bahkan memberikan subsidi bagi Internet. Dan segala kebijakan yang berkaitan dengan Teknologi Informasi senantiasa disosialisasikan dan diberlakukan berdasarkan permintaan komunitas paling bawah. Apalagi mereka menyadari bahwa Internet telah menjadi kegiatan ekonomi yang terus meningkat pertumbuhannya melebihi perekonomian konvensional.
Di negara kita Internet masih dipandang sebelah mata, dianggap barang mahal dan tidak ada regulasi yang jelas untuk mengatur masa depannya. Bahkan komputer pun dianggap sebagai barang mewah sehingga dikenai PPnBM, sementara di negara lain komputer justru dibebaskan dari pajak karena dianggap sebagai sarana produksi yang akan meningkatkan efisiensi dan kinerja masyarakat. Bahkan secara strategis komputer dan Internet dipandang sebagai sarana vital untuk mencerdaskan bangsa.
Sehingga ketika bangsa lain di kawasan ASEAN telah mampu memproduksi informasi berkat kemudahan regulasi dan dukungan pemerintah, bangsa kita yang sebenarnya telah lebih dahulu mendapatkan teknologi ini, dengan segala potensi yang ada, justru saat ini hanya menjadi konsumen.
Semua kemajuan bangsa lain tersebut berasal dari pergaulan dan pengetahuan yang diperoleh melalui Internet. Sedangkan kita gagal merebut peluang dan harus menerima kekalahan dalam bersaing dengan bangsa lain. Namun apakah kita akan tinggal diam ? Tentunya tidak.
Sekolah menengah sesuai uraian di atas sesungguhnya adalah basis terkuat untuk memulai proses memasyarakatkan ilmu pengetahuan. Maka tentu sangat tepat apabila mulai saat ini siswa sekolah menengah diperkenalkan dan didorong untuk memanfaatkan teknologi Internet sebagai upaya mengejar ketertinggalan Iptek dengan bangsa lainnya. Dengan cara demikian maka cita-cita membangun knowledge based society tidak hanya menjadi omong kosong. Demikian pula menjadi masyarakat yang well informed dan mampu memproduksi informasi dan teknologinya sendiri. Lebih ekonomis ketimbang membeli dari orang lain.
Kendala terbesar selama ini adalah kendala budaya. Orang harus diberi pengertian bahwa Internet bukanlah tempat rekreasi saja, bahwa poin terpenting di Internet adalah informasi dan Iptek. Yang kedua adalah dana, suatu hal yang sangat mudah diselesaikan apabila kita mau memakai paradigma manfaat, bukan biaya. Yang kemudian harus dipahami adalah biaya yang dikeluarkan itu sebenarnya tidaklah berarti apa-apa bila dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh. Akses Internet individual memang mahal, namun bila itu dilakukan secara massal justru menjadi sangat murah.
Ini adalah rumus elastisitas bisnis sederhana. Ketika permintaan tinggi (banyak) maka otomatis harga akan turun. Tarif jasa Internet yang mahal akan terasa murah apabila cost rationya dibagi oleh banyaknya pengguna. Dan teknologi Internet memungkinkan kita untuk berbagi pakai akses secara massal, tentu dengan trade off berupa penurunan standar kenyamanan dan kualitas akses. Namun praktek semacam ini, masih tetap wajar, bahkan di negara maju pun masih dilakukan dengan alasan efisiensi. Dengan cara ini, sebenarnya kita bisa menunjukkan bahwa biaya akses Internet untuk seorang siswa setiap bulannya, tidaklah lebih besar dari 2 (dua) - 3 (tiga) bungkus sigaret kretek yang dihisap oleh orang tuanya.
Namun memang pada kenyataannya tidaklah mudah untuk meyakinkan orang tua siswa misalnya, untuk membiayai akses Internet putera puterinya. Bukan hanya karena kekhawatiran dampak negatif, melainkan kerancuan paradigma, dimana semua ‘investasi’ yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya selalu dipandang secara fisik. Seperti dipaparkan sebelumnya, orang tua lebih percaya kepada nilai rapor, suatu fakta fisik. Oleh karena itu tentu saja menjadi sangat relevan bahkan sudah saatnya apabila Teknologi Informasi dan Internet menjadi bagian yang integral dalam kurikulum sekolah. Atau paling tidak, masuk ke dalam ko kurikuler prasyarat wajib, sehingga ada ‘nilai rapor’ yang bisa dipresentasikan untuk meyakinkan orang tua, bahwa ‘investasinya’ memberikan ‘hasil nyata’. Sebab tidak mungkin kita mengirimkan rekapitulasi karya-karya desain personal web, blog dan diskusi-diskusi milis siswa di Internet kepada setiap orang tua.
Di sisi lain diperlukan sosialisasi dan bila perlu workshop tersendiri bagi para orang tua untuk mulai belajar dan memahami bahkan menguasai keberadaan Teknologi Informasi dan Internet. Sehingga mereka tidak canggung lagi berhadapan dengan putera puterinya dan secara proaktif mampu memberikan pengawasan dan bimbingan. Selanjutnya pada gilirannya, berkat berbagai wacana yang terus berkembang, paradigma Iptek akan tumbuh berkembang di lingkungan orang tua. Tentu saja hal ini baru akan berhasil apabila para orang tua dengan sadar mau melibatkan diri dan meluangkan waktu dalam program semacam ini. Semata-mata demi kesejahteraan dan kemajuan putera-puterinya yang tidak lain adalah generasi muda yang akan menjamin kejayaan masa depan bangsa.
Di negara lain, terutama di negara maju, adalah hal yang lazim apabila pihak sekolah juga memberikan training dan workshop tentang Internet kepada para orang tua siswa.
Apabila akses ilmu pengetahuan bagi masyarakat kita telah sinergis, baik itu secara formal, informal ditambah dengan penguasaan Teknologi Informasi maka perkara penciptaan teknologi untuk mensejahterakan rakyat adalah hal yang sangat mungkin terjadi.
Penguasaan informasi menyebabkan suatu bangsa mampu melakukan penjajahan dan menguasai bangsa lain tanpa kekuatan militer. Bergerilya melalu pergerakan saham, nilai tukar mata uang, lobi politik internasional, kerjasama raksasa swasta multinasional dan penguasaan media. Sebagai contoh media bisa melakukan character assasination dan trial by press yang bisa mengklaim mayoritas masyarakat. Semua bisa terjadi karena peran Teknologi Informasi. Artinya, mereka bisa melakukan itu karena menguasai informasi.
Penguasaan informasi juga menciptakan berbagai peluang. Mulai dari kerjasama, bantuan, program dan akses ilmu pengetahuan. Investasi di otak yang tidak dapat dinilai dengan uang. Kerjasama dengan PT – LSM – Swasta (vendor, ISP). Guru bisa mendapatkan insentif dari kegiatan ilmiah melalui kerjasama dengan lembaga ilmiah lain, swasta (misalnya penerbit), media massa (tulisan) dll. Sedangkan pihak sekolah mendapatkan keuntungan image atau kondite bagi para pengelolanya.
(Tulisan ini pernah dipublikasikan sebelumnya di berbagai seminar sejak 1998 sebelum Undang-undang Sisdiknas ada dan telah beberapa kali mengalami Revisi – Penulis).
Popularity: 14% [?]
This entry was posted on Monday, May 2nd, 2005 at 01:38 and is filed under Community. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. Both comments and pings are currently closed.
« Akses Internet Untuk Hospitality
Kemerdekaan Pendidikan »

Pataka WebLOG is powered by WordPress, you can contact me here
Pendidikan khusus
Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus


Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar