Selasa, 26 Mei 2009

Pendidikan non formal

Artikel 1 ;
Pendidikan Non formal alternatif

Senin, 2009 Mei 25
Pendidikan Non Formal Sebagai Alternatif Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstru
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Konsep awal dari PNF ini muncul sekitar akhir tahun 60-an hingga awal tahun 70-an. Philip Coombs dan Manzoor A., P.H. (1985) dalam bukunya The World Crisis In Education mengungkapkan pendidikan itu pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis, yakni Pendidikan Formal (PF), Pendidikan Non Formal (PNF) dan Pendidikan In Formal (PIF). Khusus untuk PNF, Coombs mengartikannya sebagai sebuah kegiatan yang diorganisasikan diluar sistem persekolahan yang mapan, apakah dilakukan secara terpisah atau bagian terpenting dari kegiatan yang lebih luas dilakukan secara sengaja untuk melayani anak didik tertentu untuk mencapai tujuan belajarnya.

Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Sedangkan mandat PNF Indonesia tahun 2005-2009 adalah menurunkan buta huruf hingga 5% tahun 2009, meningkatkan akses PAUD ± 40% dengan mutu yang baik, meningkatkan akses pendidikan kesetaraan (25% DO SD dan 50% lulus SD dan DO SMP), meningkatkan akses pendidikan berkelanjutan yang berorientasi pada life skills, untuk sekitar 5% lulus SMP tidak lanjut dan DO SMU dan lulus SMU tidak lanjut. Meningkatkan kemampuan lembaga UPT/UPTD dan satuan-satuan PNF (Kursus, Kelompok Belajar, PKBM dan dan satuan yang sejenis), meningkatkan jumlah dan mutu tenaga pendidik dan kependidikan PNF, meningkatkan Good Governance.

Menurut DR. M. Syukri, MPd, pakar Pendidikan Non Formal dari FKIP Universitas Tanjungpura, Pontianak, penekanan kebijakan pada PNF sesungguhnya dilandasi oleh dua alasan pokok. Pertama, mengatasi kelemahan pendidikan sekolah (pendidikan formal), dimana pendidikan formal dinilai tidak cukup memenuhi pemenuhan peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan serta keterampilan. Kedua, terjadinya kecendrungan global yang menuntut dilakukannya peningkatan SDM yang dilakukan secara cepat dan efektif. Upaya ini hanya mungkin dilakukan apabila masyarakat yang masih buta huruf dituntaskan programnya dan pendidikan berkelanjutan terus diupayakan.

Pendidikan non formal menjadi sebuah solusi ditengah merosotnya kualitas lulusan sekolah formal. Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.

Hadirnya pendidikan non formal merupakan upaya dan solusi persoalan-persoalan yang tidak terakomodir dilembaga pendidikan formal. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan terutama dunia kerja.

Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.

Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.

Dibentuknya sekolah non formal sebagai alternatif tempat belajar baik oleh pemerintah maupun swasta ternyata belum tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat. beberapa bentuk sekolah non formal yang bermitra dengan pemerintah adalah program rintisan penyelenggaraan kelompok belajar kesetaraan, rintisan program PAUD, penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional, program pasca melek aksara, yaitu program yang bertujuan mempertahankan dan meningkatkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung (Calistung) dengan mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Program mata pencaharian, yaitu program yang diarahkan untuk meningkatkan ketrampilan bekerja secara berkelompok melalui Kelompok Belajar Usaha, juga ada program peningkatan kualitas hidup, yang termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan pendidikan ketrampilan hidup (life skills) yang diutamakan bagi mereka yang masih belum memiliki pekerjaan agar bisa membuka lapangan kerja secara mandiri. Kemudian belakangan kita juga sering mendengar home shooling sebagai sarana pendidikan bagi anak yang tidak mau sekolah formal baik dalam diselenggarakan oleh orang tua tunggal maupun majemuk ini masuk kedalam kelompok sekolah informal. Lahir juga sekolah alam dibeberapa tempat yang dikelola secara lebih kreatif dan inovatif dalam rangka membentuk anak-anak lebih peka terhadap alam dan kondisi sosial sejak lebih dini.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo pernah mengatakan anggaran untuk pendidikan dasar non-formal terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tahun 2008 pemerintah telah menyiapkan dana Rp2,5 triliun. Pada tahun 2005 anggaran sektor ini hanya Rp1,4 triliun, lalu naik di tahun 2006 jadi Rp2,1 triliun, dan tahun 2007 Rp2,4 triliun.

Sekolah non formal yang didirikan oleh swasta juga berorientasi pada peningkatan kemampuan anak bangsa baik dalam bentuk persiapan dunia kerja maupun juga peningkatan kemampuan akademis yang sekolah. Seperti banyak siswa yang mengandengkan pendidikan formal dengan nonformal seperti kursus bahasa inggris, les matematika, fisika dan lain-lain. Apalagi minat ikut les akan semakin meningkat ketika akan menghadapi uijan nasional (UN). Karena ada semacam pemahaman bahwa yang didapatkan dari guru disekolah tidak begitu cukup untuk dijadikan senjata menghadapi ujian akhir sekolah tersebut.

Sumatera Barat Intellectual Society (SIS) sebagai sebuah lembaga kajian intelektual muda Sumbar mencoba mencermati fenomena ini dengan melakukan survey tentang budaya les dikalangan pelajar SLTA se-derajat di Kota Padang. Survey ini adalah survey lapangan yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan realitas lapangan secara apa adanya. Survey ditujukan pada 100 orang pelajar SLTA se-derajat dengan teknik pengambilan sampel secara random (acak).

Hasilnya, dari total 100 orang responden, sebanyak 74 responden menjawab pernah mengikuti les/kursus, 26 responden tidak pernah. Dari total responden yang mengikuti les, sebanyak 32% mulai mengikuti les sejak SD, 53% responden mulai mengikuti les sejak SLTP, dan 15% responden mulai mengikuti les sejak SLTA. Mengenai tempat mereka mengikuti les, mayoritas responden (65%) mengikuti les di lembaga-lembaga les/ kursus (lembaga pendidikan non-formal), 16% responden ikut les di sekolah, 15% responden les di di rumah guru mereka, dan ada 4% responden yang sengaja mendatangkan guru les ke rumah mereka.

Umumnya responden mengikuti les untuk mengatasi mengatasi kesulitan belajar di sekolah dengan persentase sebesar 58%, sementara sebanyak 39% responden menyatakan ikut les sebagai persiapan menghadapi Ujian Akhir Nasional. Disinggung tentang besarnya biaya les mereka, sebanyak 45% responden mengaku biaya les mereka perbulan lebih dari 100 ribu rupiah, 38% responden mengeluarkan biaya antara 50-100 ribu rupiah per bulan, dan sekitar 18% responden menyatakan biaya les mereka perbulan dibawah 50 ribu rupiah.

Ketika ditanya apakah dengan mengikuti les responden meningkat prestasi belajar, mayoritas responden (82%) menjawab prestasinya meningkat, hanya 18% responden yang menyatakan les tidak membantu meningkatkan prestasi belajar mereka. Kepada mereka juga ditanyakan, seandainya mereka tidak mengikuti les apakah mereka yakin mampu menjawab soal ulangan di sekolah? Sebanyak 54% responden justru yakin bisa menyelesaikan soal-soal ulangan disekolah dengan baik meski tidak mengikuti les, sementara 43% lainnya menjawab tidak yakin bisa menjawabnya jika tidak ikut les. Data ini melihatkan bahwa belajar bangku sekolah saja tidak cukup membuat peserta didik percaya diri menghadapi ujian akhir.

http://padang-today.com

Artikel 2 :

Pendirian Lembaga Pendidikan Non Formal (Kursus)
Menghadapi krisis global saat ini, Putri - seorang ibu rumah tangga yang cerdas, merasa perlu untuk berbuat sesuatu guna mendukung suaminya dalam mencari tambahan nafkah untuk keluarganya. Dia berharap dengan adanya tambahan income tersebut, dia bisa mewujudkan cita-citanya untuk memasukkan dua gadis kecilnya ke sekolah bermutu guna mencapai masa depannya nanti. Selama ini dia sudah mencari berbagai peluang melalui internet, mengenai bentuk usaha apa yang paling dan cukup tahan menghadapi krisis global ini.

Setelah searching selama beberapa waktu, dan melakukan berbagai perbandingan, Putri menemukan bahwa bisnis pendidikan adalah yang paling ideal dalam masa krisis saat ini. Saat ini, sebagian orang berhemat dalam mengatur pengeluarannya, antara lain, mengurangi frekwensi makan di luar, frekwensi membeli pakaian, dan accessories. Tapi ada 1 hal yang tidak di hemat, yaitu: pendidikan! Setiap orang tua pasti akan berusaha untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak2 nya sebagai bekal bagi masa depan buah hatinya. Oleh karena itu, Putri akhirnya memutuskan untuk memulai bisnis di bidang pendidikan.

Berbekal keahliannya dalam bidang bahasa Jepang, Putri berminat untuk mendirikan kursus bahasa Jepang dengan metode khusus yang dia temukan berdasarkan pengalamannya dahulu waktu belajar bahasa Jepang tersebut. Metode tersebut dapat mempermudah seorang anak dalam mempelajari bahasa Jepang, berikut penulisan huruf-huruf kanji yang rumit.

Ketika dia sudah membulatkan tekad untuk membuka kursus di bidang Bahasa Jepang, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: Bagaimana dia harus memulai? Bagaimana cara mengurus ijin2 untuk mendirikan kursus tersebut? Apakah dia akan membentuk usaha sendiri ataukah bersama-sama dengan seorang partner? Apakah bentuk usaha yang dia inginkan?
Sebagai salah seorang sahabat nya, saya memberikan saran dan langkah-langkah yang harus dia ambil, dengan urut2an sebagai berikut:

Dia harus menentukan apakah dia akan berpartner dengan orang lain dalam membuka kursus tersebut, ataukah dia akan menjalankannya sendirian saja?

Karena pada dasarnya, mendirikan lembaga pendidikan yang dikelola oleh swasta maupun negri, baik itu berupa Sekolah Tinggi, Sekolah kejuruan, balai pelatihan, maupun kursus-kursus, sama seperti mendirikan Badan Usaha atau Badan hukum lainnya, yaitu akan didirikan oleh perorangan saja, ataukah akan perpartner dengan membentuk CV, Yayasan maupun PT.
Jika ingin ber solo karier, maka Putri tinggal mengajukan ijin untuk mendirikan kursus tersebut ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (depdikbud) atau lebih tepatnya lagi Dinas Pendidikan Menengah dan tinggi subdinas pendidikan luar sekolah (Dikmenti). Sedangkan jika ingin menggandeng partner kerja, maka Putri bisa membentuk PT, Yayasan atau CV. Cara pendiriannya sama dengan pendirian CV atau PT biasa, namun bedanya pengajuan ijin usahanya tidak pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag) melainkan Dikmenti tersebut.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dilaksanakan melalui 3 jalur, yaitu: jalur pendidikan formal, non formal, dan informal. Salah satu satuan pendidikan non formal adalah penyelenggaraan kursus.

Berdasarkan pasal 10 ayat 1 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 261/U/1999 tentang Penyelenggaraan Kursus, dinyatakan bahwa setiap penyelenggara kursus wajib memperoleh ijin dari instansi yang berwenang (dalam hal ini Depdiknas

Artikel 3 :

FILOSOFI PENDIDIKAN NON FORMAL
Isu yang ada di masyarakat dan dunia persekolahan, sering kali Pendidikan Nonformal kurang diperhitungkan eksistensinya bahkan berada di luar mainstream pendidikan. Perhatian yang kecil dari perencana dan pengambil kebijakan, dapat dilihat dari alokasi sumber daya pembangunan yang relatif kecil dibanding jalur pendidikan lainnya. Persoalan ini terjadi diseluruh tingkatan penyelenggara pemerintahan baik di kabupaten/kota, propinsi maupun pusat. Akan tetapi dengan sifat layanan Pendidikan Nonformal yang fleksibel, cepat, dan memberikan keterampilan untuk segera mendapatkan pekerjaan atau usaha mandiri, maka satuan Pendidikan Nonformal, menjadi pilihan alternatif masyarakat untuk meningkatkan kehidupan. Berbagai layanan Pendidikan Nonformal seperti kursus yang dimiliki dan dikelola masyarakat telah banyak meluluskan siswa didiknya untuk bekerja atau berusaha mandiri.

Jenis keterampilan yang diberikan oleh lembaga kursus telah mencapai 164 jenis yang keberadaanya telah tersebar di seluruh penjuru tanah air. Mereka merupakan lembaga mandiri, yang memberikan layanan pendidikan sesuai kebutuhan masyarakat dan berorientasi pada pasar. Keberadaan kursus telah diterima oleh masyarakat, mereka telah mendesain kurikulum dan bahan ajar yang selalu up to date, proses pembelajaran terfokus dan kompetensi lulusan yang terstandar. Kursus juga telah melakukan banyak inovasi untuk menjalin kemitraan dengan dunia usaha dan industri, sehingga terjadi matching lulusan kursus dengan dunia kerja.

Jika pendidikan diumpamakan sebuah bangunan gedung yang tinggi, maka jalur pendidikan formal berada dan mengisi bagian bangunan yang paling dasar untuk pendidikan dasar, bagian tengah untuk pendidikan menengah, dan bangunan paling atas untuk pendidikan tinggi, seperti dalam sebuah menara gading yang indah, PLS tempatnya di mana? orang banyak menjawab dipekarangan bangunan pendidikan tersebut. Tetapi Direktur Jenderal PLS menyatakan sesungguhnya PLS tidak berada dalam mainstream dan pekarangan bangunan pendidikan. PLS justru berada di luar bangunan dan pekarangan tetapi berada tengah-tengah kehidupan masyarakat, yang mempunyai kiprah untuk menjangkau yang belum terlayani. PLS bersama masyarakat, menjadi penonton bangunan pendidikan dengan segala polah dan carut marutnya. PLS senantiasa menyusun berbagai inovasi Pendidikan Nonformal bersama masyarakat yang kemudian menjadi new mainstream (arus baru) yang akan diikuti pendekatan dan strateginya oleh jalur pendidikan lain.

Layanan pendidikan nonformal kini sedang membangun arus pendidikan yang berorientasi pasar nasional dan internasional. Peningkatan mutu layanan pendidikannya dilakukan melalui standarisasi, akreditasi dan sertifikasi lulusan berdasar kompetensi yang dibutuhkan oleh pasar kerja. Selain itu kompetensi lulusan kerja dilandasi oleh nilai-nilai profesional, sehingga mereka mempunyai kemampuan untuk cepat bekerja sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan/lembaga. Sesuai dengan amanah sistem pendidikan nasional pendidikan nonformal mempunyai peran sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap, juga menjadi keunggulan jalur pendidikan ini melayani pendidikan masyarakat yang penuh makna dan bermutu.

http://penilikkorwil3.blogspot.com/2008/04/filosofi-pendidikan-non-formal.htm

Artikel 4 :

Berdayakan Pendidikan Nonformal
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, berbagai upaya pemberdayaaan dilakukan oleh berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat. Salah satu d iantaranya adalah perluasan kesempatan untuk berpartisipasi dalam layanan pendidikan melalui pelaksanaan pendidikan nonformal.

Dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan nonformal dianggap setara dengan pendidikan formal. Kedua jenis pendidikan ini hanya berbeda dalam sisi konteks, waktu, tujuan, dan karakter peserta didiknya.

Namun demikian, perlakuan terhadap pendidikan nonformal cenderung tidak proporsional. Pendidikan nonformal masih sering dipandang sebelah mata dan dianggap hanya pendidikan ?kelas dua? setelah pendidikan formal. Padahal sejatinya peranan pendidikan pendidikan nonformal jauh lebih besar dibandingkan dengan pendidikan formal.

Pendidikan nonformal tidak hanya berperan dalam mendukung program penuntasan wajib belajar 9 tahun, akan tetapi juga dalam pemberantasan buta aksara, perluasan pendidikan anak usia dini, serta peningkatan keterampilan dan kecakapan hidup (life skill) yang mampu meningkatkan kesejahteraan hidup warga belajarnya.

Disamping itu, fleksibilitas dan keluwesan yang menjadi sifat pembelajaran pendidikan nonformal mempunyai kemampuan untuk menembus seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan nonformal dapat dijadikan sebagai pendidikan alternatif yang menawarkan solusi konstruktif dan inovatif untuk kemajuan dunia pendidikan.

Pendidikan nonformal merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Program PNF memiliki nilai keberpihakan kepada kaum yang lemah (pro poor), prinsip pemberdayaan masyarakat (community empowerment), prinsip partisipasi dari masyarakat (public participation) dan prinsip pembelajaran sepanjang hayat (long life education). Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, program pendidikan non formal lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis.

Oleh sebab itu, program pendidikan non formal mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing masyarakat dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha yang pada gilirannya mampu mengatasi solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat, khususnya masalah pengangguran dan kemiskinan.

Tantangan pelaksanaan program pendidikan non formal ke depan semakin besar. Oleh karena itu, para pelaku pendidikan non formal harus mampu merekonstruksi paradigma bahwa pendidikan non formal bukanlah pendidikan kelas teri.

Apalagi saat ini masyarakat cenderung memilih pendidikan yang lebih aplikatif. Pendidikan non formal, khususnya melalui pendidikan kecakapan hidup dan lembaga kursus akan menjadi pilihan utama bagi mereka yang menginginkan untuk mendapatkan pekerjaan dan usaha mandiri maupun usaha kelompok.

Dalam rangka efektifitas program pendidikan nonformal, paradigma baru pembangunan pendidikan nonformal di era global harus ditangkap oleh perencana dan pengambil kebijakan serta seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan nonformal dengan melakukan berbagai upaya.

Di antara upaya itu adalah perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus dan kelompok belajar usaha, peningkatan kualitas tenaga kependidikan non formal, peningkatan jumlah anggaran pendidikan nonformal. Selanjutnya, peningkatan kuantitas dan kualitas sarana belajar dan, peningkatan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standar kurikulum Pendidikan Nonformal. Kurikulum yang dikembangkan haruslah berbasis kebutuhan nyata warga sasaran dan mengembangkan motivasi warga belajar untuk meningkatkan kemauan dan kemampuan belajar. (KaltimPost,04042009)

http://www.paserkab.go.id/cetak3.php?id=1107

Artikel 5 :

Pendidikan Nonformal Atasi Pengangguran
AKARTA (Lampost): Pendidikan nonformal dapat mengatasi masalah pengangguran di Indonesia. Sebab, bidang tersebut dapat mengajarkan keterampilan generasi muda sesuai dengan kebutuhan pasar.

Demikian disampaikan Nyonya Ani Yudhoyono saat membuka Rapat Kerja Nasional Himpunan Seluruh Pendidik dan Penguji Indonesia Pendidikan Non-Formal (Hisppi PNF) di Istana Negara Jakarta, Jumat (29-2).

Ia mengatakan banyak lulusan dari lembaga pendidikan formal yang masih menganggur sebagai bukti adanya kesenjangan antara kualitas lulusan dan kualifikasi kebutuhan pekerja.

Oleh sebab itu, perlu peningkatan kualitas tenaga pendidikan nonformal agar lulusan pendidikan nonformal makin andal. "Dengan peningkatan mutu, kualitas pendidikan dan sertifikasi profesi sehingga di masa depan pendidikan nonformal dapat bersaing," ujar Ibu Negara.

Pada kesempatan itu Ibu Ani juga mengajak seluruh pendidik dan penguji pendidikan nonformal turut mendukung Program Indonesia Pintar.

Program ini terdiri atas mobil pintar, sepeda motor pintar, rumah pintar, dan bahkan kapal pintar yang tersedia di sejumlah bagian wilayah Indonesia.

Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo mengatakan pendidikan nonformal adalah solusi bagi anak-anak di seluruh Indonesia yang secara geografis dan sosiologis tidak terjangkau pendidikan formal. "Misal anak-anak di lokasi yang tidak terjangkau secara geografis atau tidak mampu secara ekonomi, bahkan ketika pendidikan telah digratiskan."

Pendidikan formal terdiri dari empat jenis, yaitu program pendidikan usia dini selain TK, pemberantasan buta aksara, program paket A untuk setara SD, paket B untuk setara SMP dan paket C untuk setara SMA serta pendidikan kecakapan hidup.

Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Hisppi PNF Nasrullah Yusuf mengatakan rapat kerja nasional itu digelar 28 Februari hingga 1 Maret dan diikuti 300 orang. Hisppi PNF dibentuk pada 1986 dan beranggotakan 113 ribu orang dari seluruh Indonesia. S-2

http://www.paserkab.go.id/cetak3.php?id=1107

Artikel 6 :

Jumat, 2009 April 17
Pemerintah Harus Lebih Perhatikan Pendidikan Informal
Bogor-Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.Bogor-Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.”Padahal sesungguhnya ada yang istimewa dalam program informal dan non formal ini, yaitu daya jangkaunya yang mampu menjangkau segala umur, tidak terikat status pernikahan, dan bisa menjangkau wilayah terpencil”, demikian Yusup Haryanto, SPd, koordinator PKBM Tunas Melati, Pemuda Muhammadiyah kabupaten Bogor kepada muhammadiyah.or.id, selasa (1/04/2008).Menurut Yusup, setelah ada program BOS, sebenarnya masyarakat sudah banyak terbantu, khususnya untuk biaya SPP. Namun menurutnya, di lapangan ternyata biaya transport peserta didik ke sekolah masih banyak yang memberatkan orang tua siswa, terutama siswa dari daerah terpencil. “ Inilah kelemahan konsep Sekolah Terbuka” yang masih mengharuskan siswa berangkat dari rumah ke sekolah tertentu. Belum lagi masalah dengan status perkawinan, dimana sekolah formal tidak memungkinkan seorang siswa sudah menikah ikut bersekolah.Dengan pertimbangan itulah, menurut Yusup, pogram PKMB Tunas Melati yang pada awalnya merupakan hasil MOU PP Pemuda Muhammadiyah dan Dirjen Pendidikan Informal dan Non Formal saat ini menjadi solusi yang cukup menarik bagi warga belajar di daerah kabupaten Bogor. Program yang difasilitasi dengan Kelas Berjalan, berupa Bis ini bisa menjangkau pelosok dan masyarakat miskin dengan mudah. “ Karena program ini geratis dan kami mendatangi mereka” cerita Yusup.Saat ini, PKBM Tunas Melati mengelola tujuh kecamatan di Kabupaten Garut, yaitu kecamatan Nanggung, Pamijahan, Jasinga, Leuwiliang, Cibubulang, Sukajaya, Darmaga dan Tamansari. Kesemuanya dikelompokkan pada 28 Kelompok belajar yang masing-masing kelompok berkisar antara 80 hingga 100 warga belajar, dengan dipandu tujuh hingga delapan tutor. Pogram yang baru berjalan setahun ini, saat ini sudah meluluekan 700 warga belajar dari paket A, B, dan C selain program pemberantasan buta aksara melalui Keaksaraan Fungsional, program Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus Masuk Desa dan Beasiswa Belajar.Keberlanjutan dan Pengembangan ProgramMenurut Yusup, program yang sedang berjalan ini masih belum pasti apakah masih akan mendapat support dana dari Depdiknas untuk kelanjutan programnya, namun karena melihat manfaat program yang besar serta sambutan masyarakat yang besar, dengan ada tidaknya bantuan dari pemeintah segenap pengelola dan keluarga besar Muhammadiyah Kabupaten Bogor bertekad untuk meneruskan program ini.Yusup mengakui, selama ini masalah yang dihadapi adalah kecilnya honor tutor yang saat ini berjumlah seratus orang. Karen a itu, selain berharap bahwa ke depan masih akan ada pihak-pihak yang mau bekerjasama membiayai program strategis ini, juga perlu diperhatikan bagaimana menaikkan kesejahteraan para tutor yang diambil dari keluarga besar Angkatan Muda Muhammadiyah Kabupaten Bogor sendiri.Saat ini, PKBM Tunas Melati bertempat di kompleks amal usaha Muhammadiyah Kabupaten Bogor, Jl Raya Leuwiliang No. 106, Bogor. Telp. 0251 47619. Di kompleks tersebut berdiri TK ABA, MI Muhammadiyah, Mu’alimim Muhammadiyah (Mts dan MA), BMT, Poskestren, Panti Asuhan Yatim dan Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Bogor.

http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1032&Itemid=379

Artikel 7 ;

Anggaran Pendidikan Non-Formal Tahun 2008 Naik
Jakarta ( Berita ) : Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Selasa [13/11] , mengatakan anggaran untuk pendidikan dasar non-formal terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tahun 2008 pemerintah telah menyiapkan dana Rp2,5 triliun.“Pada tahun 2005 anggaran sektor ini hanya Rp1,4 triliun, lalu naik di tahun 2006 jadi Rp2,1 triliun, dan tahun 2007 Rp2,4 triliun,” kata Bambang usai rapat di Kantor Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra).Dalam kesempatan itu Mendiknas menjelaskan program-program pendidikan dasar non-formal bertujuan menjangkau kawasan terpencil yang banyak memiliki angka putus sekolah, dan diharapkan lewat program ini kemiskinan bisa dikurangi.“Pendidikan dasar non-formal terdiri atas pendidikan keaksaraan dan pendidikan kesetaraan,” ujar Bambang dan menambahkan, “Keduanya mengajarkan baca-tulis dan pelatihan keterampilan kecakapan hidup serta bantuan sedikit dana modal usaha.”Ia menegaskan, target utama program ini adalah mereka yang putus sekolah dan hidup di pedesaan terpencil atau sulit mendapat akses ke kota.“Dengan dana Rp2,5 triliun, kami perkirakan program bisa dinikmati oleh sekitar 12 juta orang di seluruh Indonesia,” ujarnya.Menurut data Departemen Pendidikan Nasional, program pendidikan non-formal telah mencatatkan keberhasilan yang signifikan dalam hal penurunan angka buta huruf dan pengangguran.“Sekitar 80 persen peserta didik program keaksaraan berhasil membentuk Kelompok Belajar Usaha (KBU), dan mereka mandiri walaupun tetap butuh bantuan modal,” tambahnya.Sejak program ini digulirkan pada tahun 2004 di enam kabupaten di Indonesia, lanjut Bambang, sekitar 82 persen peserta program sudah bisa mandiri dengan bidang usaha yang ditekuni.Bank Dunia pun berniat memberikan hibah 143 juta dolar Amerika dan pinjaman lunak 100 juta dolar untuk mendukung program ini, ujar Mendiknas.Angka buta aksara di Indonesia terus menunjukkan penurunan, pada Oktober 2007 tercatat tinggal 11 juta orang atau 7,2 persen populasi berusia di atas 15 tahun yang tidak bisa baca tulis. Angka itu jauh lebih rendah daripada data tahun 2004 yang 10,2 persen. “Keberhasilan program keaksaraan di Indonesia ini sangat diapresiasi UNESCO, bahkan dijadikan percontohan buat negara-negara lain,” kata Bambang. ( ant )

sumber : http://beritasore.com/2007/11/14/anggaran-pendidikan-non-formal-tahun-2008-naik/

Artikel 8 :

Dana Pendidikan Nonformal Dipotong Rp 41,8 Miliar
Surabaya, Kompas - Dana pendidikan nonformal dan informal Jawa Timur dipotong sekitar Rp 41,8 miliar. Akibatnya, beberapa program peningkatan kualitas pendidikan seperti penghapusan buta aksara, dana hibah pendidikan luar sekolah, program penyetaraan wajib belajar sembilan tahun, dan pengembangan budaya baca dipastikan berkurang.Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim Rasiyo mengatakan, pemotongan dana itu dipastikan akan mengurangi sasaran sejumlah program peningkatan pendidikan. "Program penghapusan buta aksara di pedesaan terpaksa akan dikurangi pesertanya," katanya di Surabaya, Senin (28/4).Menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal Nomor 181 Tahun 2008, dana penghapusan buta aksara untuk Provinsi Jatim dipotong sebesar Rp 23 miliar dari Rp 63 miliar. S

asaran pun berkurang sekitar 5.000 orang. Padahal, jumlah penduduk buta aksara di Jatim masih menempati posisi tertinggi di Indonesia, yaitu sekitar 3,7 juta jiwa dengan usia 10 tahun ke atas.Sementara pemotongan dana penyetaraan wajib belajar sembilan tahun menyebabkan program kejar Paket A atau program penyetaraan pendidikan setingkat SD ditiadakan. Adapun dana untuk program kejar Paket B dipotong sebesar Rp 4,1 miliar. Demikian juga dana kejar Paket C yang dipotong hampir setengahnya. Menurut data Badan Pusat Stastistik tahun 2006, terdapat 3,6 juta penduduk Jatim yang belum pernah mengecap bangku sekolah.Program pengembangan budaya baca pun terkena dampak penundaan anggaran oleh Departemen Keuangan.

Program ini mengalami pemangkasan hingga Rp 2,8 miliar dari dana yang tersedia sebelumnya, yaitu Rp 3,7 miliar. Akibatnya, sebanyak 125 taman baca masyarakat yang ditargetkan dibangun per tahun berkurang menjadi 63 buah saja.Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan Kota Surabaya Edi Santosa mengatakan, pemotongan sebesar Rp 6 miliar dari pengembangan kursus dan magang mengakibatkan dana hibah untuk lembaga pelatihan dan kursus dibekukan.Pembekuan bantuanSelama sebulan terakhir, bidang PLS telah menolak sebanyak empat pengajuan bantuan kursus yang meliputi kursus menjahit, pengobatan alternatif, kecantikan, dan komputer. "Pembekuan ini terpaksa kami lakukan, padahal program ini sangat berguna untuk penduduk putus sekolah," kata Edi.Pemilik dan pengelola LPK Menjahit dan Bordir Sarasvati, Endang Srividodo, mengatakan bahwa penghapusan bantuan itu akan menghentikan kursus gratis yang selama ini ia selenggarakan untuk anak-anak putus sekolah dan belum bekerja di Kecamatan Sambikerep.

Artikel 9 :


Pendidikan Non FormalPendidikan Kesetaraan Ajarkan Kecakapan HidupJAKARTA, SELASA - Pendidikan kesetaraan untuk peserta yang terdaftar di institusi penyelenggara pendidikan ini diharapkan bukan sekedar mengejar ijazah. Dalam program pendidikan kesetaraan, pembelajaran kecakapan hidup dan kepribadian profesional justru perlu ditekankan untuk menyiapkan lulusannya siap memasuki dunia kerja.”Pembelajaran di lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan kesetaraan seperti pondok pesantren, pusat kegiatan belajar masyarakat, atau sanggar kegiatan belajar dilakukan berdasarkan acuan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi peserta untuk bisa siap bekerja dan berwirausaha. Bahan ajar yang diberikan ke peserta juga sesuai dengan kondisi kehidupan sehingga mereka memiliki kecakapan untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan,” kata Ella Yilaelawati, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas di Jakarta, Selasa (8/7).Menurut Ella, pendidikan kesetaraan Paket A atau setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA ini merupakan bagian dari pendidikan nonformal yang memberikan fleksibilitas kepada peserta untuk menjalani pendidikan sesuai minat dan kondisinya. Pendidikan kesetaraan sebenarnya bisa menjadi pilihan alternatif bagi individu dalam menjalani proses belajar sepanjang hayat.

Dalam kaitannya dengan program pemerintah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun untuk anak usia sekolah, pendidikan kesetaraan mampu berkontribusi sebanyak 4,6 persen pada angka partisipasi kasar (APK) SMP secara nasional.Karena itu, pemerintah sendiri sudah mulai mensinergikan pendidikan formal di sekolah dan pendidikan nonformal di luar sekolah, termasuk pendidikan kesetaraan, untuk meluaskan akses wajib belajar sembilan tahun bagi warga yang memiliki kendala ekonomi, sosial, budaya, dan geografis untuk bisa menikmati pendidikan di sekolah-sekolah.

Buhai Simanjuntak, Ketua Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) mengatakan pembelajaran di lembaga pendidikan kesetaraan ini perlu ditingkatkan tanpa membuatnya menjadi kaku seperti di sekolah formal. ”Pendidikan kecakapan hidup memang perlu ditekankan. Sebab, yang ikut pendidikan kesetaraan ini kan masih banyak dari keluarga tidak mampu atau bekerja. Mereka ini butuh pendidikan yang bisa meningkatkan taraf hidup dan pekerjaan mereka,” kata Buhai.

sumber : kompas

Artikel 10 :

Pendidikan Nonformal Gratis untuk Anak Putus Sekolah
JAKARTA, SENIN - Tingginya angka putus sekolah, banyaknya anak jalanan dan anak terlantar di Indonesia membuat banyak pihak prihatin, tak terkecuali Yayasan Pendidikan Indonesia-Amerika (Indonesian-American Education Foundation) di Jakarta atau di singkat Jakarta IAEF. Jakarta IAEF akan membangun gedung dan memberikan pendidikan nonformal gratis buat anak-anak tersebut.Demikian diungkapkan Ketua Jakarta IAEF Daniel Dhakidae, Ketua Pembina Jakarta IAEF Azyumardi Azra, anggota Pembina IAEF Jakarta Aristides Katoppo, dan President Dallas IAEF Henny Hughes, kepada pers Senin (27/10) di Jakarta. "Idenya membangun suatu yayasan untuk kepentingan pendidikan, terutama untuk anak-anak putus sekolah, anak jalanan dan anak terlantar. Mereka akan ditampung, dididik dan dilatih hingga mampu berdiri sendiri menopang kehidupannya, tanpa mengeluarkan biaya," kata Daniel Dhakidae.

Bagi mereka sudah lulus dan menguasai keterampilan sesuai bidang yang diminatinya, maka mereka akan disalurkan bekerja di luar negeri dengan jejaring yang dibangun, misalnya di Timur Tengah, Malaysia, termasuk Amerika sendiri. Sejumlah duta besar sudah dikontak dan mendukung program ini. Namun, Jakarta IAEF bukanlah lembaga pengerah jasa tenaga kerja yang mendapatkan fee.Azyumardi Azra mengatakan, yayasan pendidikan ini dibuat sebagai jembatan budaya kedua negara, Indonesia-Amerika. "Yayasan Pendidikan Indonesia Amerika ini lebih dari soal pendidikan, tapi juga pertukaran budaya, sehingga dengan ini mereka bisa mengetahui dan menghayati, dan saling menghargai kebudayaan masing-masing," katanya.

Karena itu, untuk mendukung ini, Aristides Katoppo berharap banyak pihak, apakah pribadi atau perusahaan yang peduli pendidikan anak-anak bangsa yang terlupakan ini, untuk membantu mewujudkan pembangunan gedung Learning Center, tempat mereka membekali diri dengan berbagai keterampilan untuk berkarya."Tanggal 11 Desember 2008, akan digelar malam dana bertajuk We are the Forgotten Children of Indonesia di Balai Sarbini. Diharapkan masyarakat mau menyumbang, bersimpati, dan memberikan solidaritas dan kebersamaan," ujarnya.Henny Hughes menambahkan, gagasan ini berdasarkan investigasi dua tahun lalu. Untuk membawa anak-anak itu kembali belajar, motivasinya harus dari diri mereka sendiri. Keinginan belajar dari mereka itu harus kuat.Membawa mereka kembali belajar bukanlah hal yang mudah, akan tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil karena pengaruh kehidupan liar di luar rumah telah merubah pola pikir mereka. "Untuk itu dibutuhkan metode khusus, praktis dengan bahasa yang sederhana dan berbagai variasi sistem penyampaian, misalnya melibatkan audio-visual agar lebih mudah dipahami, sehingga membuat belajar sebagai bagian dari aktivitas yang menyenangkan dan menjadi suatu kebutuhan," jelasnya.Menurut Henny, pendidikan nonformal di Learning Center bisa menampung 400 anak.

Walaupun yang menjadi target sementara adalah mereka yang putus sekolah dan yang memasuki usia dewasa atau 17 tahun ke atas, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu maka Learning Center juga akan dapat menampung berbagai tingkatan, termasuk anak-anak setingkat SD hingga universitas. Bahkan, akan menjangkau setiap warga yang ingin meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.
Learning Center yang didesain oleh Fakultas Teknik Jurusan Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti, untuk tahap awal selain memiliki fasilitas belajar-mengajar dan training juga memiliki sejumlah fasilitas olahraga. Bangunan tiga lantai seluas lebih kurang 2.000 meter persegi di atas tanah seluas 3.000 meter persegi itu, rencananya akan dilaksanakan pada awal tahun 2009 dan diharapkan akan dapat dioperasikan pada pertengahan tahun 2010.sumber :

http://peperonity.com/go/sites/mview/artikel.2/16907174

Artikel 11 :

Diknas akan Integrasikan Program Non Formal ke Pendidikan Formal
Depdiknas akan mengintegrasikan beberapa program yang diajarkan melalui pendidikan non-formal dengan program pendidikan formal sehingga diharapkan peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya juga memiliki bekal kecakapan hidup."Pendidikan non formal banyak mengajarkan program kecakapan hidup (life skill) sehingga selayaknya dapat ditransfer dalam program pendidikan formal," kata Mendiknas Bambang Sudibyo ketika membuka Rakernas Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin.

Untuk itu, pemerintah saat ini tengah menggodok peraturan pemerintah yang memungkinkan dua program pendidikan yang berbeda tersebut dapat dipadukan.Ia mengatakan, pemerintah akan memberikan penyelesaian dan mekanisme bagaimana melakukan transfer, namun demikian lembaga kursus yang dapat melakukan transfer ke pendidikan formal tentu harus melalui proses modifikasi dan terakreditasi.Mengenai lembaga yang bakal ditunjuk melaksanakan akreditasi, Mendiknas menyatakan, lembaga tersebut sebenarnya sudah tersedia.Beberapa lembaga yang berada dalam binaan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas, yang selama ini sudah mengembangkan program kecakapan hidup, bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi, katanya."Kalau yang diasuh oleh lembaga-lembaga itu saya tahu, itu sudah siap dan langsung bisa diberikan akreditasi. Tapi kalau yang diselenggarakan oleh masyarakat saya kan harus melihat dulu," katanya.Ia juga mengatakan, jika pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan non formal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi.

Menurut dia, pemerintah akan mendorong lembaga formal seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang memungkinkan anak didiknya mendapat bekal kecakapan hidup atau life skill. Hal ini sangat mungkin mengingat saat ini banyak disuplai oleh pendidikan non-formal.Pendidikan nonformal seperti lembaga kursus, kata Bambang, punya keunggulan dibandingkan dengan pendidikan formal sebab lembaga kursus membuka program untuk memenuhi kencenderungan kebutuhan masyarakat.Ia mengatakan, lembaga kursus berbeda dengan pendidikan formal. "Pemerintah membangun sekolah dimana-mana, biasanya tanpa banyak memperhitungkan kebutuhan masyarakat, semata-mata karena program pemerintah, maka dibangun saja. Sebaliknya, lembaga pendidikan non-formal dibangun dengan memperhitungkan kebutuhan masyarakat," katanya.Pendidikan non-formal, memang tidak terlalu terstruktur dan dapat diselenggarakan lebih mengakomodasi kepentingan individual, sementara pendidikan formal prosesnya cenderung massal sehingga seringkali tidak memperhitungkan apakah programnya dibutuhkan masyarakat atau tidak, katanya.

Lebih lanjut Mendiknas mengatakan, tuntutan dunia pendidikan nasional ke depan akan mengutamakan lulusan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) yang memiliki kemampuan memasuki bursa kerja semakin tinggi.Oleh sebab itu Mendiknas, Bambang Sudibyo merencanakan agar pada sistem pembelajaran sekolah menengah umum tersebut juga diberikan pelajaran kecakapan hidup untuk menunjang kesiapan lulusan sekolah itu untuk memasuki dunia kerja."Diharapkan dengan adanya program ini maka angka partisipasi kasar sekolah bisa ditingkatkan," katanya.Data Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) menyebutkan saat ini terdapat 2.500 lebih lembaga kursus di Indonesia, dan terdapat 131 jenis kursus yang diselenggarakan oleh PLSP.Mengenai bentuk kurikulum pendidikan yang akan disusun dengan masuknya program pendidikan non formal ke dalam pendidikan formal, Mendiknas mengatakan pemerintah akan menerapkan kurikulum yang longgar sekali, kemudian sesuai dengan UU Sisdiknas."kurikulum efektif itu (yang memasukkan pendidikan non formal-red) akan diramu oleh masing-masing sekolah di bawah koordinasi dinas pendidikan daerah. Jadi nantinya terserah masing-masing sekolah, bagaimana meramu kurikulumnya.

http://www.gatra.com/2004-12-20/artikel.php?id=50823

Artikel 12 :

Eksistensi Pendidikan Non Formal Dilematis
Eksistensi dunia pendidikan non formal (PNF) belakangan waktu dilematis. Pasalnya, lembaga pendidikan ini acap kali dikonotasikan sebagai wadah pendidikan para remaja putusan sekolah formal. Lain halnya dengan minimnya political will dan dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam pembinaannya, mengakibatkan kondisinya yang mampu menciptakan life skill para keluarannya masih sering tidak dapat ditampung di berbagai perusahaan.Demikian dikatakan MK Baginta Sembiring, ketua Himpunan Seluruh Pendidik dan Penguji Indonesia-Pendidikan Non formal (HISPPI-PNF) Sumut, Minggu (25/11), seusai acara pelantikan kepengurusan HIPPSI-PNF Labuhanbatu, di Gedung PKK Labuhanbatu di Rantauprapat.Kata Sembiring, political will dari pihak eksekutif dan legislatif dinilai masih belum optimal dalam memberi perhatian pengembangan lembaga itu.

Padahal, dihadapkan pada kompleksnya situasi pendidikan belakangan waktu, sebenarnya, lembaga pendidikan non formal yang kini banyak muncul dapat dijadikan sebagai alternatif solusi permasalahan di dunia pendidikan. Hal itu didasari, lembaga PNF memiliki sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah. serta, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan, terlebih lagi fleksibelitas waktu yang dibutuhkan, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai.Padahal, ujarnya persentase lulusan pendidikan formal yang ada masih banyak yang tidak sanggup melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sementara era globalisasi terus membutuhkan peningkatan kualitas generasi yang trampil dan siap pakai. “Berbagai tempat yang menerima lowongan pekerjaan sekarang memiliki standart dalam menerima calon pekerja yang trampil dan berwawasan luas. Sedangkan, di Sumut tidak sedikit jumlah keluaran pendidikan formal terpaksa kandas melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, disebabkan beberpa faktor, salah satunya masalah pendanaan,” terangnya.

Pemerintah, lanjutnya, masih separuh hati dalam membina lembaga PNF yang merupakan jalur alternatif penyedia tenaga kerja yang trampil, termasuk dalam memberi kemudahan pengurusan ijin pendirian lembaga PNF. “Mental birokrasi masih perlu dikritisi dalam hal memberi perhatian yang lebih serius,” paparnya.Memang, akunya, standart kurikulum PNF masih perlu terus ditingkatkan, terlebih lagi dalam hal standart tenaga pendidik dan lembaga PNF yang sejatinya mampu menelurkan tenaga-tenaga terampil. “Tahun 2008, pihak Badan Standart Nasional Pendidikan Non formal (BSN-PNF) di Jakarta akan mengeluarkan dan terus mengkaji ataupun menganalisa muatan kurikulum PNF yang ideal untuk penerapan dan pedomannya di berbagai lembaga PNF yang ada. Dilain hal, bagi lembaga dan tenaga PNF, juga pihak Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) juga akan mengeluarkan standart mutu sebagai ukuran pendirian lembaga PNF se-Indonesia,” bebernya.PNF yang di bawah koordinasi dengan pihak Diklusemas dan dinas tenaga kerja masing-masing daerah, sejatinya kedepan dapat lebih sinergis dalam menyediakana tenaga-tenaga yang terampil dan menyalurkannya ke berbagai institusi pencari kerja.

Pada kesempatan itu, dilantik kepengurusan HIPPSI-PNF Labuhanbatu, sebagai ketua Amin Prasetyo, sekretaris Razid Yuliwan. Serta, pada kesempatan yang sama, dilantik pula kepengurusan Dewan pengurus cabang Himpunan Penyelenggara Pelatihan dan Kursus Indonesia (DPC HPPKI) Labuhanbatu, sebagai ketua Tatang Hidayat Pohan, sekretaris Hasymi

Prihatin Siregar di lengkapi dengan beberapa biro.
sumber : http://peperonity.com/go/sites/mview/artikel.2/16907174

Artikel 13 :

Kamis, 2009 Maret 12
Pendidikan Nonformal
Kesulitan Dan tantangan dalam kehidupan manusia baik yang diakibatkan oleh lingkungan maupun alam yang kurang bersahabat, sering memaksa manusia untuk mencari cara yang memungkinkan mereka untuk keluar dari kesulitan yang dialaminya. Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke taraf yang memungkinkan mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa.Sejauh ini, anggran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas, sehingga berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan luar sekolah berusaha mencari jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada, seperti pesantren, dan pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya sudah jauh sebelum Indonesia merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan dicintai, dihargai dan diminati serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan lembaga-lembaga tersebut karena tumbuh dan berkembang, dibiayai dan dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat merasakan adanya kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat.Dalam hubungan ini pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang berbasis kepentingan masyarakat lainnya, perlu mencermati hal tersebut, agar keberadaannya dapat diterima dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan masyarakat berkaitan dengan kepentingan hidup mereka dalam mengisi upaya pembangunan di masyarakatnya. Ini berarti bahwa pendidikan nonformal perlu menjadikan masyarakat sebagai sumber atau rujukan dalam penyelenggaaraan program pendidikannya.Hasil kajian Tim reformasi pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli Jalal, Dedi Supriadi. 2001) dapat disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat, maka mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Strategi itulah yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan oleh pendidikan luar sekolah dalam membantu menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani oleh jalur formal/sekolah.Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakatB. PENDIDIKAN NONFORMAL BERBASIS MASYARAKATPendidikan berbasis masyarakat (communihy-based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.~Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masvarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan.1. Konsep Pendidikan Berbasis MasyarakatPendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah.Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutullan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk merddesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.Di dalam Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk menentukan bidang pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri.Sementara itu dilingkungan akademik para akhli juga memberikan batasan pendidikan berbasis masyarakat. Menurut Michael W. Galbraith, community-based education could be defined as an educational process by which individuals (in this case adults) become more corrtpetent in their skills, attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more control over local aspects of their communities through democratic participation. Artinya, pendidikan berbasis masvarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi demokratis. Pendapat lebih luas tentang pendidikan berbasis masyarakat dikemukakan oleh Mark K. Smith sebagai berikut:… as a process designed to enrich the lives of individuals and groups by engaging with people living within a geographical area, or sharing a common interest, to develop voluntar-ily a range of learning, action, and reflection opportunities, determined by their personal, social, econornic and political need.”Artinya adalah bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam wilayah geografi, atau berbagi mengenai kepentingan umum, untuk mengembangkan dengan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan refleksi yang ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik mereka.


sumber : http://uharsputra.wordpress.com/pendidikan/pendidikan-nonformal/

Artikel 14 :

Formalisasi Pada Pendidikan Nonformal
Tadi pagi sampai siang sebelum ke Sahid, saya diminta oleh PKBM Sekar Melati (Mlati, Sleman) mengisi pada Workshop Pengembangan Silabus dan Penyusunan RPP Pendidikan Kesetaraan. Workshop tsb dilaksanakan didorong keinginan untuk mengimplementasikan Permendiknas no 14 Tahun 2007 ttg Standar Isi Pendidikan Kesetaraan dan pengalaman ketika uji petik akreditasi Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal (BAN PNF), yaitu teman2 pengelola PKBM ditanya dokumen silabus dan RPP program Kejar Paket A, B, dan C yang diselenggarakan.


Saya sampaikan pada mereka sadarkan kita bahwa telah terjadi formalisasi pada pendidikan nonformal, termasuk pada pendidikan kesetaraan. Memang standar nasional pendidikan sebagaimana diatur PP 19 th 2005 harus kita pegang untuk mencapai standar minimal layanan pendidikan. Namun demikian, memperhatikan ragam dan bentuk pendidikan nonformal maka tidak serta merta berbagai standar yang berlaku pada pendidikan formal dapat diterapkan pada pendidikan nonformal. Salah satunya adalah tuntutan adanya silabus dan RPP. Untuk silabus, walaupun tidak seperti silabus SD SMP dan SMA, memang harus ada karena merupakan arahan program pembelajaran secara garis besar. Namun untuk RPP saya kita perlu dipertimbangkan untuk dilakukan penyederhanaan bentuk sehingga tidak memberatkan para tutor yang saya kira hampir semua adalah sukarelawan. Berbeda dengan guru yang sekarang ini sudah mulai menikmati tunjangan profesi.


sumber : http://www.imadiklus.co.cc/formalisasi-pada-pendidikan-nonformal

Artikel l5 :

Hadirnya Lembaga Pendidikan Non Formal, Suatu Upaya Membuka Ruang Kesadaran Baru
Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguh tampil sebagai suatu realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai.
Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.
Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.
Dihadapkan pada kompleksnya situasi seperti yang dijabarkan diatas, kini banyak lembaga pendidikan non formal berupaya menempatkan diri sebagai alternatif solusi permasalahan diatas. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan.
Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.
Fleksibilitas waktu
Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.
Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.
Antonius Sumarno selaku Branch Manager English Language Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan.
Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.
Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti.
Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan". (CY1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar