Selasa, 26 Mei 2009

Pendidikan agama

Artikel 1 :

Senin, 2009 Mei 25
PAI: Beri Porsi Khusus Pendidikan Agama Islam
GRESIK--Pendidikan Agama Islam harus diberi porsi khusus di sekolah sebagai filter sekaligus pengikis merosotnya moralitas dan ahlaq anak didik. Hal ini disampaikan oleh Imam Tolhah Direktur Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama (Depag) saat melakukan survey implementasi pelajaran Agama Islam di Ujian Sekolah Standart Nasional (USSN) di Kabupaten Gresik Jumat (1/5)

Imam Tolhah mengatakan, untuk menanggulangi merosotnya moralitas dan ahlaq anak didik sekarang dan seterusnya sandaranya hanya kepada kepada pengetahuan ilmu agama sejak dini. Sebab pesatnya informasi global tanpa batas akan terus berkembang dan tidak hanya bisa dibendung dengan nasihat-nasihat lisan dan pesan moral saja.

"Untuk menanamkan nilai ke agamaan, sekolah harus mampu meciptakan kehidupan yang religius dilingkungannya yang diperlihatkan dengan perilaku ikhlas, mandiri, sederhana, ukhuwah dan kebebasan berkreasi. Mata pelajaran agama masuk di USSN masih taraf uji coba masih butuh dukungan kreasi yang diciptakan sekolah diluar jam pelajaran," jelas Imam Tolhah saat berkunjung di lingkungan Yayasan pendidikan Muhammadiyah dan NU Gresik yang didampingi Bupati Gresik KH Robbach Ma'sum, kemarin.

Selain itu lanjut Tolhah, DPR RI Komisi VIII juga mendorong agar pelajaran Agama Islam dimasukkan ke Ujian Nasional (UN) karena banyaknya desakan masyarakat utamanya wali murdi dan kalangan guru. Mayoritas mengeluhkan minimnya mata pelajaran agama sehingga mutu pendidikan dinilai pincang dan tidak seimbang. "Pendidilkan umum perlu didampingi ilmu agama, agar ada keseimbangan," tegasnya

Ditambahkan, ilmu akan menjadi sumber malapetaka jika tidak dikendalikan dengan pengetahuan agama. Karenanya dirjen PAIS yang dipimpinya akan mendorong pendidikan agama menjadi mata pelajaran utama sebagai filter pengetahuan umum lainya. "Perpustakaan ilmu-ilmu agama harus ada," tuturnya

Meski dilakukan serentak secara nasional soal USSN 75 persen dibuat oleh daerahnya masing-masing. Sedangkan uji coba telah dilakukan di 47 kabupaten di Indonesia. "Di Gresik paling bagus, karena dilakukan saat suasananya masih UN, kalau daerah lain seperti ini mungkin akan menjadi bagus," paparnya

Diakuinya, masih bayak masyarakat yang menilai pendidikan agama belum berhasil, karena masiih banyaknya kasus moralitas dan ahlaq anak didik. Seperti yang terjadi disejumlah daerah, saat ujian mereka sudah hamil dan bahkan sudah melahirkan tetap masih mengikuti ujian nasional.

"Ahlaq dan moralitas paling penting. Masih adanya kasus moralitas karena saat ini masih tegantung pada pelajaran Agama yang hanya dua jam itu. Makanya pelajaran agama harus mendapat tempat khusus untuk menyelamatkan ahlak dan moralitas generasi," terangnya

Syangnya lanjut Tolhah, dirjen PAI hanya mempunyai anggaran yang minim untuk meng-implementasi-kan, karena itu peran daerah masih sangat diharapkan agar kendala biaya bisa diatasi sambil menunggu penganggaran kedepan dari pemerintah pusat. "Seperti Gresik ini bisa jadi contoh. Tanpa dukungan dari daerah akan sulit terwujud," pungkasnya. uki/kpo

Artikel 2 :

Menag: Pendidikan Agama Makin Penting
MALANG -- Menteri Agama (Menag) Muhammad Maftuh Basyuni mengatakan, posisi pendidikan agama makin penting di tengah pusaran hegomoni media dan revolusi Iptek yang mampu menyuguhkan kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern.

Namun disisi lain kemajuan dan hegomoni tersebut telah melahirkan serentetan permasalahan, katanya dalam sambutannya yang dibacakan Direktur Diniyah dan Pondok Pesantren, Chairul Fuad di Universitas Islam (UIN) Malang, kemarin

Menag menekankan bahwa penguatan pendidikan akhlakul karimah dalam sistem pendidikan nasional menjadi penting pada era globalisasi ini.

Ia menjelaskan, teknologi media telah mengubah demikian cepat perubahan. Informasi cepat didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya, mudah dan enak untuk dinikmati. Tapi, lagi-lagi, dibalik itu semua berpotensi untuk mengubah cara hidup seseorang.

Bahkan dengan mudah merambah ke bilik-bilik keluarga yang semula sarat dengan norma susila, katanya.

Kendati begitu, dampak negatif hegomoni media dan globalisasi sesungguhnya hanya dapat dibendung melalui ajaran agama dan pendidikan moral yang tinggi oleh masing-masing individu, katanya.

Terkait dengan itu, kebutuhan pendidikan agama dan moral menjadi penting. Sudah saatnya hal itu dilakukan lebih gencar diberikan tak hanya kepada mereka yang menimba ilmu di bangku sekolah, tapi di berbagai tingkatan dan kesempatan, jelas Menteri Agama.

Dengan cara itu, katanya, pelajaran agama dan moral anak didik dapat lebih terjaga, terhindar dari serangan budaya yang tak sesuai dengan norma-norma agama dan moral bangsa Indonesia.

Namun Menag menekankan bahwa pendidikan agama dan moral hendaknyan tak sekedar sambil lalu saja dan sebagai pelajaran pelengkap semata. "Pendidikan akhlakul karimah aman penting," katanya.

Menag mengutip pesan Ki Hadjar Dewantara: "Pendidikan tidak hanya mementingkan dimensi pemberdayaan intelektual, tetapi juga dimensi hati dan budi (moral) untuk membentuk manusia Indonesia yang utuh."

Ia menambhakan, di Barat sendiri saat ini sudah tumbuh kesadaran betapa ilmu pengetahuan tanpa agama dan moral menjadi tidak berarti. Para teknokrat sadar bahwa betapa pun sebuah kemajuan, bekal menjadi perusak manakala tak dibekali dengan pertimbangan moral dan agama.

"Pujangga mengatakan, bertambah pengetahuannya dan tidak bertambah kedekatannya kepada Allah, maka orang itu semakin jauh dari Allah," kata Maftuh Basyuni.-ant/taq

Artikel 3 :

Pensiun PM, Tony Blair Ngajar Agama
Sabtu, 20 September 2008 | 20:32 WIB

New Haven, Connecticut--Mantan PM Inggris Tony Blair kembali masuk kampus, Jumat, meluncurkan peran barunya sebagai pemberi kuliah mengenai agama di universitas terkemuka AS, Universitas Yale.

Blair, yang memeluk Katolik setelah meninggalkan jabatannya pada 2007 dan berbicara terus terang mengenai kepercayaannya saat masih menjabat perdana menteri, memberikan kuliah perdana dari lima kuliah di universitas terkenal di Negara Bagian Conneticut itu.

Dalam sesi tanya jawab di depan lebih dari 2.000 mahasiswa yang serius mendengarkan ceramahnya di Balai Woolsey, Blair yang mundur setelah satu dekade berkuasa, mendapat kritikan karena dukungannya yang kuat terhadap perang pimpinan AS di Irak.

Pekerjaan paruh waktu tersebut, di mana ia akan memberikan lima kuliah setahun selama tiga tahun untuk 25 mahasiswa, dilakukan saat ia sibuk selaku utusan perdamaian Timur Tengah dan konsultan bisnis yang mendatangkan banyak penghasilan.

Blair, yang mengenakan busana serba biru dan datang bersama dengan beberapa anggota Scotland yard, sudah sangat mengenal lingkungan kampus Yale di kota tenang New Haven, sehubungan putra sulungnya Euan juga lulusan dari sana pada tahun ini.

Ia menggambarkan para mahasiswa sebagai "sangat cerdas" pada kuliah pertamanya, demikian laporan AFP.(ANT)

Artikel 4 :

JAKARTA, KAMIS — Untuk mencapai hasil pendidikan yang optimal harus didukung sarana dan prasarana pendidikan yang baik. Oleh karena itu, pada tahun 20
YOGYAKARTA, KOMPAS - Pondok pesantren masih mengalami diskriminasi dalam sistem pendidikan nasional. Padahal, sebagai lembaga pendidikan alternatif, pesantren memiliki peran strategis dalam ikut mendidik dan mencerdaskan bangsa.

Hampir seabad kebangkitan nasional dan lebih 62 tahun negara ini merdeka masih terjadi diskriminasi pendidikan pada pesantren, masyarakat yang ada di pesantren pun terdiskriminasi sistem pendidikan, ujar Nasruddin Anshoriy Pengasuh Pesan Trend Ilmu Giri, Bantul, Yogyakarta dalam seminar Menyambut Seabad Kebangkitan Nasional dengan Tema Pesantren dan Masa Depan Kebangkitan Nasional, , Sabtu (16/2) di Ndalem Joyokusuman, Yogyakarta.

Hadir sebagai pembicara antara lain, Gunawan (anggota Komite Rekonstruksi Pendidikan DIY), Hafidh Asrom (anggota Dewan Perwakilan Daerah DIY).

Diskriminasi itu tejadi antara pendidikan formal dengan pendidikan pondok pesantren. Menurut Nasruddin , dari sisi anggaran dan kebijakan terjadi ketimpangan sangat tajam di antara pendidikan formal dan pesantren. Perhatian pemeritah terhadap pesantren lebih kecil dibandingkan pendidikan formal. Pengelolaan pun ma sih dibedakan yaitu pendidikan formal di bawah departemen Pendidikan Nasional sedangkan ponpes di bawah Departemen Agama. Mayoritas anggaran pendidikan larinya ke pendidikan formal, ujarnya.

Meski demikian, pesantren tidak perlu kecil hati karena justru tetap bisa independen mengelola pendidikannya. Namun tetap memperjuangkan kesetaraan. Di sisi lain, pondok pesantren perlu merevolusi diri membuat perubahan moral bangsa. Peran kyai ulama sekarang melemah karena banyak berorientasi pada kepartaian, masuk pada hegemoni kekuatan politik dan struktural, ujarnya.

Hafidh menghungkapkan, pesantren tidak hanya berperan sebagai pendidikan agama Islam, tetapi juga berperan dalam membangun wawasan kebangsaan dan berperan penting dalam mendidik dan mencerdaskan masyarakat. Sudah saatnya pesantren memperbarui sistem kurikulum yang berorientasi keahlian para santrinya tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar pendidikan pesantren, ujarnya. (RWN)

Artikel 5 :


2009, Depag Rehabilitasi 24.650 Ruang Kelas Madrasah
JAKARTA, KAMIS — Untuk mencapai hasil pendidikan yang optimal harus didukung sarana dan prasarana pendidikan yang baik. Oleh karena itu, pada tahun 2009 Departemen Agama (Depag) akan merehabilitasi semua ruang kelas belajar yang rusak pada Madrasah Ibtidaiyah yang jumlahnya mencapai 24.650 ruang kelas, dengan unit cost per ruangan Rp 92,5 juta.

Menteri Agama M Maftuh Basyuni mengatakan, pihaknya tidak hanya memperbaiki ruang kelas yang rusak, tetapi juga akan membangun madrasah bertaraf internasional minimal satu unit pada setiap provinsi mulai tahun ini. "Bahkan, untuk memacu prestasi belajar anak didik, Depag akan alokasikan beasiswa bagi 1.198.000 siswa dan 66.700 mahasiswa," ujarnya, Kamis (15/1) di Jakarta.

Maftuh menjelaskan, untuk beasiswa unit cost-nya berbeda-beda. Siswa miskin MI mendapat beasiswa Rp 360.000. Siswa miskin Mts Rp 720.000. Siswa MI anak PNS golongan I, II, dan Tamtama TNI/Polri Rp 250.000. Unit cost siswa Mts PNS golongan I, II, dan Tamtama TNI/Polri Rp 350.000. Unit cost siswa miskin MA Rp 760.000, sedangkan bagi siswa MA anak PNS golongan I, II, dan Tamtama TNI/Polri Rp 700.000.

Sementara unit cost siswa MA daerah terpencil/tertinggal Rp 1,2 juta. Unit cost untuk mahasiswa Rp 1,2 juta, santri berprestasi Rp 3 juta, dan unit cost untuk mahasiswa di luar negeri Rp 15 juta.

Depag, lanjut Maftuh, akan meningkatkan kualifikasi guru melalui tiga skema. Pertama, bantuan bagi guru yang mengikuti program S1 secara mandiri. Kedua, beasiswa bagi guru untuk mengikuti pendidikan S1 secara penuh melalui pendidikan reguler, dan ketiga, memberikan beasiswa bagi guru dalam jabatan melalui program dual mode system, yang mengombinasikan kegiatan tatap muka dan pembelajaran melalui modul. "Kepada guru yang sudah lulus sertifikasi, tunjangan profesi guru akan dibayarkan mulai tahun 2009 sebesar satu kali gaji pokok," tandasnya.

Menurut Maftuh, kontribusi pendidikan Islam terhadap Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan nasional mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008, APK MI/Salafiyah Ula mencapai 16 persen, APL MTs/Salafiyah Wustha mencapai 23 persen, dan APK MA mencapai 7,51 persen. "Jumlah total lembaga pendidikan Islam mulai jenjang pendidikan anak usia dini hingga jenjang perguruan tinggi pada tahun 2008 mencapai 85.911 lembaga, dengan total peserta didik 11.531.028 orang," jelas Menteri Agama itu.

Artikel 6 :

Pelajaran Agama Terlalu Teoretis
YOGYAKARTA, KAMIS--Pelajaran agama yang selama ini diajarkan dinilai terlalu teoretis dan hanya bersifat hafalan. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Yogyakarta berencana membenahinya.

Pelajaran agama hasil pembenahan ini akan lebih menekankan pada penerapan budi pekerti dan praktik. Perubahan ini rencananya berlangsung mulai tahun ajaran 2009/2010.

Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto menuturkan, pembenahan pelajaran agama itu akan meliputi kurikulum dan tata cara penilaian. Mekanisme tata cara penilaian agama nanti akan lebih melihat perilaku pelajar, tidak hanya pada penyelesaian soal tes atau ulangan, katanya, di sela-sela peresmian Kantin Kejujuran di SMA Negeri 7 Yogyakarta, Selasa (9/12).

Menurut Herry, selama ini pelajaran agama dinilai kurang menanamkan budi pekerti kepada pelajar dan hanya bersifat kognitif. Padahal, pelajaran agama mestinya lebih melihat implementasi dalam kehidupan murid sehari-hari, ujarnya. Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Syamsuri mengemukakan, proses pembenahan pelajaran agama itu berlangsung sejak awal tahun ajaran 2008/2009. Saat ini, tahap pembenahan itu sampai pada pembahasan materi kurikulum. Pembahasan ini melibatkan sejumlah guru dan tokoh pendidikan di Kota Yogyakarta. Setelah pembahasan selesai, hasilnya akan kami serahkan kepada wali kota untuk memperoleh persetujuan, tuturnya.

Gunakan contoh Pembenahan pelajaran agama itu, kata Syamsuri, akan menggunakan contoh dari pengajaran agama di sejumlah sekolah di Kota Yogyakarta yang dianggap telah sanggup mengimplementasikan budi pekerti dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Sejumlah sekolah yang dimaksud adalah SMAN 5, SMPN 9, dan SDN Glagah. Di tiga sekolah tersebut, anak-anak sudah dilatih, misalnya untuk bersalaman dengan guru setiap pagi, ujar Syamsuri. Menurut Syamsuri, perubahan kurikulum untuk wilayah lokal Kota Yogyakarta ini tetap akan mengacu pada kurikulum nasional. Oleh karena itu, tidak akan ada benturan antara materi lokal dan nasional. Materi pengajaran akan tetap sama. Perbedaan terletak pada metode pengajaran yang lebih menekankan praktik dan penilaian. Kurikulum nasional sifatnya sangat umum sehingga sekolah maupun pemerintah daerah bisa lebih bebas mengembangkan sesuai keadaan masing-masing, tutur Syamsuri. Syamsuri memperkirakan, proses implementasi pengubahan kurikulum dan tata cara penilaian pelajaran agama ini akan memakan waktu cukup lama. Untuk sosialisasi dan mempersiapkan sumber daya para pengajar, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta nantinya mengadakan pelatihan bagi para guru agama. (IRE)

Artikel 7 :

Nasib Guru Agama Diknas Terkatung-katung
JAKARTA, KOMPAS.com - Guru-guru agama yang mengajar di sekolah umum memprotes ketidakjelasan nasib mereka pada pelaksanaan sertifikasi akibat dualisme birokrasi antara Departemen Pendidikan Nasional dan Depatemen Agama. Padahal, selama ini para guru agama di sekolah umum mendapat gaji dari dinas pendidikan kota/kabupaten, tetapi pada pelaksanaan sertifikasi justru diserahkan kepada Departemen Agama.

Kebijakan itu dinilai tidak adil buat sekitar 170.000 guru agama yang mengajar di sekolah umum. Pasalnya, kesempatan mereka untuk mendapat kuota sertifikasi terbatas dan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok per bulan sampai saat ini belum dibayarkan, sedangkan guru-guru lain di bawah Depdiknas umumnya menjalani proses sertifikasi dan pembayaran tunjangan profesi yang lancar.

Proses sertifikasi guru agama di sekolah umum yang dialihkan ke Depag itu berdasarkan Surat Edaran Bersama Sekretaris Jenderal Depag dan Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Tahun 2007. Mekanisme dan instrumen sertifikasi guru di lingkungan Depag pada prinsipnya mengikuti Depdiknas, sesuai peraturan Mendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan.

Ketidakjelasan nasib guru pegawai negeri sipil bernomor induk pegawai 13 itu mendorong perwakilan guru agama yang mengajar di sekolah umum dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, mengadu ke Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Jakarta, Selasa (7/4). Perwakilan guru didampingi Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistiyo mendatangi Departemen Agama (Depag) yang ditemui Imam Tholkhah, Direktur Pendidikan Agama Islam pada pada Sekolah Depag.

"Kami ini jadi bingung harus mengadu ke mana. Saya bolak-balik ke Depdiknas dan Depag, sampai detik ini tidak ada kejelasan. Sampai tadi, tidak juga ada patokan yang jelas kapan tunjangan profesi guru agama dibayarkan," kata Masyhuri, guru agama di SMPN 3 Surakarta, Jawa Tengah, yang mendapat surat keputusan sebagai guru profesional sejak November 2007.

Daud Buang, guru agama SMAN 2 Purwokerto, Jawa Tengah, menuturkan, kondisi ini membuat guru agama di sekolah umum merasa dianaktirikan oleh Depdiknas. Pasalnya, guru bidang studi lain di bawah Depdiknas yang masa kerjanya di bawah mereka bisa mendapat jatah sertifikasi lebih dahulu.

"Di sisi lain, Depag lebih dulu memprioritaskan guru-guru madrasah. Ini membuat nasib kami tidak menentu," kata Daud.

Afrizal Abuzar, guru agama SMAN 46 Jakarta, menegaskan, guru-guru agama di sekolah umum meminta supaya tunjangan profesi dibayarkan sesuai dikeluarkannya surat keputusan guru profesional. Selain itu, guru agama meminta supaya proses sertifikasi dan pembinaan dikembalikan saja kepada Depdiknas.

Mustaqim dari Forum Komunitas Pendidikan Guru Agama Islam Banyumas mengatakan, pembinaan untuk guru-guru agama di sekolah umum dari Depag ini minim. Komunitas guru agama sendiri yang harus giat untuk mengembangkan diri. "Rasanya aneh saja, selama ini yang tahu soal gaji kita Diknas, kok sekarang sertifikasi diserahkan ke Depag," kata Mustaqim.

Sulistiyo mengatakan, Depag harus segera memperbaiki pelaksanaan sertifikasi hingga pembayaran tunjangan profesi dengan segera. Sebab, dasar pelaksanaan sertifikasi kuota tahun 2006-2008 antara guru di bawah Depag dan Diknas sama yakni Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, tetapi ketidakberesan justru banyak terjadi di Depag.

Menurut Sulistiyo, meskipun sudah diumumkan adanya surat edaran Menteri Agama sebagai dasar untuk pembayaran tunjangan profesi guru di bawah Depag, nyatanya sampai saat ini tidak ada kejelasan kapan tanggal pastinya. "Kami minta supaya tunjangan profesi guru agama ini dirapel sehingga hak-hak mereka dapat dipenuhi dengan segera," tegas Sulistiyo.

Artikel 8 :

Asah Pendidikan Keagamaan Pada Anak
Pontianak,- Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)< Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi

Artikel 9 :

Revitalisasi Pendidikan Pesantren
Dr Irwan Prayitno
Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga ini layak diperhitungkan dalam pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan, dan moral.
Dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Pesantren telah lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk dunia pesantren. Karena itu, sudah semestinya pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan SDM ini terus didorong dan dikembangkan kualitasnya.
Pengembangan dunia pesantren ini harus didukung secara serius oleh pemerintah yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun pendidikan.
Dalam kondisi bangsa saat ini krisis moral, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit reformasi gerakan moral bangsa. Dengan begitu pembangunan tidak menjadi hampa dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam eksistensinya, pesantren pada umumnya bersifat mandiri dan tidak tergantung pada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Dengan sifat kemandiriannya inilah pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Pesantren pun tidak mudah disusupi oleh aliran atau paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Sedikitnya ada tiga unsur utama penopang eksis dan tidaknya pesantren dalam pendidikan, yaitu kiai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri, kurikulum pondok pesantren, dan sarana peribadatan serta pendidikan, seperti masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, dan bengkel-bengkel keterampilan. Unsur-unsur tersebut mewujud dalam bentuk kegiatannya yang terangkum dalam Tridharma Pondok Pesantren, yaitu pembinaan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, pengembangan keilmuan dan keahlian yang bermanfaat, serta pengabdian pada agama, masyarakat, dan negara.


Kebijakan diknas
Merujuk pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren memiliki tempat istimewa. Namun, ini belum disadari oleh mayoritas Muslim. Ini karena kelahiran UU tersebut amat belia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal berikut.
Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
Eksistensi pesantren sebagai motor penggerak pendidikan keagamaan mendapat legitimasi yang kuat dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 30 menjelaskan, pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.
Pesantren yang merupakan pendidikan berbasis masyarakat juga diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Ketentuan tersebut mestinya semakin membuka peluang pesantren terus bertahan dan berkontribusi mengembangkan pendidikan keagamaan formal maupun nonformal. Dengan demikian, pesantren mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, kreatif, memiliki skill dan kecakapan hidup profesional, agamis, serta menjunjung tinggi moralitas.
Pesantren tidak perlu merasa minder, kolot, atau terbelakang. Posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kenyataannya, amanat UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen serta beberapa peraturan pemerintah lainnya masih belum berpihak pada dunia pesantren. Pesantren nyaris tidak pernah disentuh dan dilibatkan dalam kebijakan sistem pendidikan nasional. Revitalisasi pendidikan pesantren yang diamanatkan UU Sisdiknas pun terabaikan.


Revitalisasi pesantren
Untuk semakin memajukan pendidikan pesantren sesuai amanat UU No 20/2003, eksistensi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan harus makin ditingkatkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan harus berniat sungguh-sungguh memberikan ruang dan peran yang lebih luas untuk merevitalisasi dan membangun modernisasi dunia pesantren.
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus lebih meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dengan intensif dalam pelaksanaan dan pengelolaan pesantren. Upaya merevitalisasi dan memodernisasi pesantren tentu saja harus sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Paling tidak, hal ini bisa dilakukan melalui beberapa terobosan. Pertama, menghapus dikotomi dan diskriminasi terhadap pendidikan pesantren yang selama ini dipandang sebagai bukan bagian dari sistem pendidikan nasional. Kedua, diperlukan adanya pola pendidikan dengan terobosan kurikulum terpadu yang memadukan antara pendekatan sains, agama, dan nilai kebangsaan. Dengan begitu, upaya penanaman nilai agama, moral, dan nilai kebangsaan pada anak didik dapat mencapai sasaran pembelajaran.
Ketiga dan yang tak kalah penting lagi adalah upaya peningkatan kualifikasi, profesionalitas dan kesejahteraan guru pesantren sebagaimana amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Sehingga, guru-guru di pesantren bisa mengajar dengan nyaman dan merasakan hidup yang sejahtera.
Sudah saatnya kita lebih memperhatikan dunia pendidikan pesantren. Pesantren harus ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Pesantren telah memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan generasi berkualitas dan mampu menjaga moralitas bangsa.

Artikel 10 :

Menag: Pendidikan Islam Belum Kondusif
Kamis, 12 Februari 2009 | 20:27 WIB
SEMARANG, KAMIS - Kondisi Pendidikan Islam di Indonesia saat ini belum kondusif. Hal ini karena sebagian umat Islam di Indonesia belum siap untuk menghadapi dan melakukan transformasi sosial-budaya secara kreatif.

Demikian disampaikan Menteri Agama Maftuh Basyuni melalui sambutannya dalam Seminar Nasional Membangun Pendidikan Islam Berbasis ICT (Information and Communication Technology), di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang, Jawa Tengah, Kamis (12/2).

Menurut Menteri Agama, ketidaksiapan tersebut dapat terlihat dari kondisi budaya dan keagamaan yang masih rapuh, taraf pendidikan umat yang masih rendah, kelembagaan pendidikan yang hanya meniru sistem dari luar, pembelajaran yang tidak inovatif karena hanya melestarikan yang sudah ada, dan orientasi pendidikan yang lebih banyak untuk menjadi pekerja dibandingkan menciptakan lapangan pekerjaan.

"Apa yang saya paparkan bukan untuk memupuk pesimisme, melainkan menjadikan landasan berpikir membangun pendidikan Islam yang cocok dengan perkembangan zaman saat ini," ujar Maftuh.

Untuk itu, Maftuh mengemukakan tiga langkah yang bisa ditempuh agar pendidikan Islam dapat berkesinambungan dengan dinamika masyarakat. Pertama, umat Islam harus berani melakukan lompatan kuantum dengan keluar dari kebiasaan atau pola hidup bermalas-malasan, kurang percaya diri, tidak disiplin, dan produktivitas kerja rendah. Kedua, melakukan transformasi kelembagaan pendidikan. Ketiga, memanfaatkan kemajuan sains dan teknologi dengan ICT.

"Sains dan teknologi merupakan faktor dominan dalam kebudayaan dan peradaban manusia. Tak ragu lagi, teknologi telah mengubah cara pandang masyarakat," ucapnya.

Rektor IAIN Walisongo Abdul Djamil mengatakan, dalam pendidikan berbasis ICT, guru tidak lagi sebagai sumber pengetahuan melainkan sebagai penuntun muridnya dalam mengakses informasi yang tak terbatas.

Maftuh mengungkapkan, terdapat 28 perguruan tinggi Islam yang terdiri dari 14 IAIN, 6 UIN, dan 8 STAIN yang akan menerapkan pendidikan Islam berbasis ICT ini. Perusahaan yang digandeng sebagai penyedia teknologi dalam hal ini adalah PT Telkom.

Maftuh menambahkan, penerapan ICT dalam lembaga pendidikan Islam juga memungkinkan perguruan tinggi Islam untuk bersaing dengan perguruan tinggi negeri.

Artikel 11 :

Senin, 2009 Maret 16
SEKOLAH MILIK ORGANISASI AGAMA DAN MISI PENINGKATAN KERUKUNAN BERAGAMA
BERKAITAN dengan upaya pengembangan sikap toleransi beragama di Indonesia, peran institusi pendidikan formal, termasuk institusi pendidikan yang dikelola oleh organisasi keagamaan, khususnya Islam dan Kristen, sangat penting. Oleh karena itu, sumbangan mereka bagi pembentukan karakter anak didik yang intelek, religius, dan sekaligus nasionalis perlu terus dikembangkan. Sekolah-sekolah yang berada dalam naungan ormas agama ini merupakan aset nasional yang perlu dijaga kualitasnya, baik manajemen pengelolaan maupun kualitas penyelenggaraan akademiknya. Jika kualitas lembaga-lembaga pendidikan milik ormas agama meningkat, akan meningkat pula prospek lembaga pendidikan agama dalam mengemban misi nasional mencerdaskan bangsa sekaligus memperkuat dasar-dasar persatuan kebangsaan Indonesia.

Salah satu kata kunci yang sangat menentukan berhasil-tidaknya upaya mempertahankan persatuan bangsa Indonesia yang multikultural adalah toleransi beragama. Meskipun telah banyak dirintis pelaksanaan dialog antarumat pemeluk agama untuk menumbuhkan rasa saling pengertian di antara para penganut ajaran bermacam agama di Indonesia, masih tetap diperlukan langkah-langkah efektif agar hasilnya lebih optimal. Pada umumnya, kecurigaan yang masih ada di antara sesama umat pemeluk agama berkait langsung dengan keyakinan pemeluk agama mengenai kebenaran dan keunggulan agama masing-masing di atas agama yang lain.

Dalam upaya meningkatkan kesadaran perlunya menjaga persatuan, kita perlu meningkatkan pemahaman dan wawasan terhadap ajaran agama lain. Dengan kata lain, kecenderungan inward looking, yaitu kebiasaan selalu berorientasi dan mengutamakan ajaran agama yang kita anut, mulai diimbangi dengan outward looking, mempelajari dan mencoba memahamai pandangan dan ajaran agama yang dianut orang lain. Aktivitas ini dilakukan bukan untuk mencari agama mana yang paling unggul, atau paling benar, melainkan semata-mata mencari titik-titik persamaan dan keselarasan yang bisa dijadikan landasan mengembangkan persatuan bangsa.

Pada sisi lain, kita perlu menyadari bahwa perubahan masyarakat yang terjadi bersifat global, tidak terbatas pada wilayah geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menciptakan kondisi saling tergantung antara berbagai bangsa. Dengan demikian, antisipasi yang dilakukan harus pula bersifat global dan tidak terbatas pada lingkungan sosial dan budaya Indonesia..

Peran Sekolah Milik Organisasi Agama

Berkaitan dengan upaya pengembangan sikap toleransi beragama di Indonesia, peran institusi pendidikan formal, termasuk institusi pendidikan yang dimiliki dan dikelola oleh organisasi keislaman, sangat penting. Oleh karena itu, sumbangan mereka bagi pembentukan karakter anak didik yang intelek, religius, dan sekaligus nasionalis perlu terus dikembangkan.

Salah satu di antara lembaga pendidikan keislaman yang memiliki jumlah sekolah terbesar adalah Muhammadiyah sehingga sekolah-sekolah yang berada dalam naungan lembaga ini merupakan aset nasional yang perlu dijaga kualitasnya, baik manajemen pengelolaan maupun kualitas penyelenggaraan akademiknya. Setidaknya, jika kualitas lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah meningkat, akan meningkat pula prospek lembaga pendidikan Islam dalam mengemban misi nasional mencerdaskan bangsa sekaligus memperkuat dasar-dasar persatuan kebangsaan Indonesia.

Tokoh pendiri perserikatan Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, menginginkan lembaga pendidikan Muhammadiyah mampu menanamkan nilai-nilai intelektualitas, keimanan, dan keterampilan di kalangan anak didik beragama Islam sehingga mereka siap bersaing dengan kelompok masyarakat lain, sampai waktu kapan pun. Latar belakang historis kelahiran Muhammadiyah pada 1912 ini perlu dipahami oleh setiap pengelola pendidikan Muhammadiyah agar mereka tidak tercerabut dari akar sejarah. Untuk itu, perlu digalakkan berbagai kajian, seperti kajian sosiologis, politik, ekonomi, dan budaya untuk meninjau relevansi Muhammadiyah dengan tuntutan masyarakat sekarang. Agar lebih efektif, selain melibatkan personalia pengurus Muhammadiyah kajian ini juga mengikutsertakan kalangan luar, terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan.

Kajian sosiologis terkait dengan upaya menmahami pola hubungan yang dikembangkan Muhammadiyah dalam berinteraksi dengan lingkungan masyarakat di masa kelahirannya, tidak saja dengan komunitas beragama Islam, melainkan juga dengan komunitas agama, ideologi, dan keyakinan yang lain. Kebijakan yang populis ini perlu dipahami oleh para penerus Muhammadiyah agar mereka semakin sadar akan kemajemukan bangsa, yang sejak dini sangat diperhatikan oleh pendiri Muhammadiyah. Kemajemukan bangsa ini adalah kekayaan budaya yang potensi mengandung nilai-nilai positif seperti dinamika pemikiran dan dan gagasan. Kenyataan objektif berupa adanya usaha sebagian bangsa di sejumlah daerah Indonesia untuk memisahkan diri dari naungan NKRI hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi seluruh komponen bangsa akan arti pentingnya memperkukuh batu sendi persatuan bangsa, dengan sikap toleransi beragama sebagai salah satu fondasinya yang paling kokoh. Dengan diberlakukannya Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, sekarang tercipta iklim yang cukup kondusif bagi pengembangan wawasan keagamaan secara lebih luas dan bertanggung jawab.

Faktor riil politik di Indonesia (Hindia Belanda) saat kelahiran Muhammadiyah juga menjadi faktor penting yang menentukan corak dan pola strategi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam mencapai misi dakwahnya. Corak dan pola strategi ini terus berubah, selaras dengan dinamika kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, para penerus Muhammadiyah sekarang tidak boleh terjebak pada sistem dan mekanisme dakwah yang dianggap baku dan tidak dapat direvisi atau diperbarui lagi, apalagi jika sistem itu cenderung konservatif dan tidak mampu mengapresiasi dan menyerap aspirasi masyarakat yang sarat dengan aneka tuntutan dan kebutuhan.

Pembinaan Guru

Dalam proses belajar mengajar,guru emegang pernanan vital. Guru tururt menentukan keberhasilan suatu proses pembelajaran. Guru yang memiliki kualifikasi akan menghasilkan keluaran (out put) yang memadai.

Untuk membina anak didik agar menjadi manusia yang toleran, yang memiliki wawasan luas mengenai agama, dan selalu berusaha mewujudkan kehidupan keagamaan yang harmonis, diperlukan guru yang berkualitas dan memiliki kualifikasi. Beberapa hal perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru:

Mengikutsertakan guru dalam pendidikan tambahan, misalnya berbentuk pembekalan atau pelatihan, mengenai pentingnya menumbuhkan sikap toleran antarpemeluk agama.

Para guru perlu mendalami ajaran agama lain, untuk mendapatkan pemahaman tambahan. Mempelajari di sini bukan dengan maksud mengikuti keyakinan agama lain tetapi untuk lebih memahami seluk-beluk keyakinan orang lain agar tidak terjebak pada pandengan sempit dan picik yang sering kali menjadi sukber prasangka terhadap keyakinan agama lain.

Melalui kajian historis, sosiologis dan politis dapat dirumuskan patokan dalam perumusan ulang (rekonstruksi) filsafat pendidikan di institusi pendidikan milik organisasi massa keagamaan lain.

Perumusan-ulang filsafat pendidikan mutlak dilaksanakan, dengan fokus kegiatan:

(a) merumuskan kembali tujuan pendidikan yang diselenggarakan sekolah-sekolah ormas agama,
(b) meninjau kembali pandangan dan sikap lembaga terhadap masyarakat yang beragam etnis, agama dan keyakinan,
(c) merumuskan kembali hubungan agama dengan keluarga, masyarakat, dan negara.

Saran

Sekolah milik organisasi agama, termasuk sekolah milik Muhammadiyah, perlu secara konsisten melakukan revisi kurikulum agar tidak terkesan eksklusif dan cenderung memandang pemeluk agama lain sebagai "the other". Seiring dengan itu, di lingkungan sekolah milik organisasi agama perlu diperbanyak forum dialog yang melibatkan penganut berbagai agama. Dialog dan tukar pikiran seperti ini berdampak positif bagi perkbangan psikologis anak didik.

Dalam konteks implementasi falsafah pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan keislaman, diperlukan tafsir baru terhadap prinsip dasar yang diajarkan Al-Quran. Salah satu prinsip itu adalah gagasan lakum diinukum waliyadiin 'bagimu agamamu dan bagiku agamaku". Ajaran ini perlu diperbarui, dengan mengubah penekanan dari aspek teologis menjadi penekanan pada aspek sosiologis. Dengan demikian, terbuka peluang menjalin kerja sama dalam berbagai bidang demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dengan berbagai latar belakang agama, keyakinan, dan ideologi.

Artikel 12 :

Internalisasi Nilai Agama dalam Pendidikan Lingkungan
Pergeseran posisi manusia sebagai bagian dari alam menjadi penguasa alam akhirnya membawa bencana. Banjir bandang dan tanah longsor menghancurkan beberapa desa dan kecamatan di Kabupaten Jember, menewaskan lebih dari 60 orang, meluluhlantakkan segala harta benda, serta menghancurkan perkebunan yang selama ini diyakini sebagai penyebab kerusakan alam karena adanya alih fungsi hutan. Awal Tahun 2006 ini bencana atau musibah yang menimpa kian bertambah besar dan merata. Dipastikan setiap kali pergantian musim selalu diiringi musibah baru.

Datangnya musim hujan disertai berbagai bencana. Antara lain banjir, tanah longsor, dan berbagai penyakit. Ribuan rumah di Jawa Timur tergenang di Blitar, Situbondo, Malang, Banyuwangi, Pasuruan, dan hampir diseluruh kabupaten di Jawa Timur. Wajah seperti inipun kemudian tampak di Jawa Barat, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), NTB (Lombok Timur dan Sumbawa), NTT, dan berbagai daerah lain. Ribuan orang harus kehilangan rumah, harta benda, bahkan sanak saudara. Ribuan anak pun tidak bisa sekolah karena sekolah tergenang air, roboh akibat banjir, maupun buku-buku basah. Jutaan hektar lahan pertanian yang menjadi sumber pencaharian masyrakat rusak, panen terancam gagal dan ternak mati.

Perspektif agama

Dari realita di atas sangat wajar bila manusia selalu mendapat bencana, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran, gunung meletus, kekeringan, dan lain-lain, mengingat manusia -yang katanya makhluk beragama-sama sekali tidak pernah menghargai, menghormati, apalagi mensyukuri lingkungan yang telah diberikan Tuhan. Dalam perspektif agama, musibah atau bencana di negeri ini merupakan warning dan atau cobaan yang diberikan Tuhan pada hamba-Nya yang berbuat salah, yang senantiasa melakukan kerusakan-kerusakan di bumi.

Al-Qur'an sebagai sumber moral manusia dengan tegas telah menjelaskan posisi manusia-ekologi. Allah SWT menasbihkan manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi (khalifatulah fil ardi) (Q.S. Albaqarah: 30) yang berkewajiban memakmurkan dan membudidayakannya (Q.S. Hud: 61), sekaligus melestarikan dan menjaga keseimbangan (equilibrium) lingkungan" (Q.S. Arrahman: 6-9). Agar peran mulia kekhalifahan bisa berfungsi optimal, dapat mencapai dimensi kualitatifnya yang tinggi, maka manusia (kita) niscaya dengan ikhlas pada saat yang bersamaan harus melibatkan dimensi kesediaan diri untuk menegakkan kebaktian/ibadah ('abdullah). Di antaranya dengan memperlakukan lingkungan dengan penuh tanggung jawab. Karena dalam pandangan Ilahi, alam memiliki hak yang sama dengan manusia (Q.S. Al-Hijr: 86).

Konsep ekologi modern menunjukkan ayat-ayat di atas adalah dasar dari proses regulasi alam bagi makhluk hidup. Terdapat pola hubungan kemanfaatan bagi hubungan timbal balik yaitu komponen biotic dan abiotik. Hubungan tanah (bumi), udara (langit), air tumbuhan dan segala yang hidup. Sangat jelas, sekali hak alam ini kita abaikan dan atau malah kita perlakukan dengan kebuasan tak terkendali demi memanjakan hasrat primitif, sudah menjadi sunatullah, pada ambang batas yang sudah tidak bisa ditolerir lagi alam pun akan melakukan "perlawanan".

Secara khusus dalam syariat Kristen terdapat pola religius relasi manusia dengan alam semesta. Gadium et Spes bicara secara jelas tentang hubungan manusia dengan alam, semua punya moral (Rm 8:21). Serta semuanya adalah milik manusia, tapi manusia milik Kristus dan Kristus adalah milik ALLAH (1 Kor 3:23. selanjutnya manusia dapat mengembangkan anugerah jasmani rohani, menakluikkan alam semesta untuk seluruh umat manuisa (Gaudium et spes). Kristen menganjurkan dalam hal ini bahwa pembangunan lingkungan harus bertujuan mencapai mutu hidup optimum bagi masyarakat.

Agama Hindu pun mengajarkan bahwa lingkungan memegang peranan sangat penting tubuh manusia. Getaran-getaran dan gaya tarik lingkungan untuk mnedapatkan hidup yang lebih nikmat. Konteks ini memberi petunjuk dan pedoman bahwa Tuhan pencipta alam semesta menyuruh untuk memanfaatkn lingkungan hidup dan kualitasnya. Dalam agama Buddha ajaran melestarikan berasal dari pola kedisiplinan yang diterapkan oleh 227 kedisiplinan buddhis dalam "227 patimokkha sikhapada". Secara praktis (Legowo E,1997), kebajikan pada "Dasa Paramitta" menjadi modal ketaatan umat untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup yaitu dana parramita, sila paramitta, nkkhamma paramitta, panna paramitta, viriya paramitta, khanti paramitta, sacca paramitta, adithana paramitta, metta paramitta dan upekkha paramita

Internalisasi nilai

Dalam perkembangannya telah muncul berbagai gagasan menangani ketidakseimbangan lingkungan untuk perbaikan kualitas hidup yang ramah lingkungan. Pendidikan lingkungan menjadi salah satu alternative yang rasional dan diharapkan dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 1996 yang kemudian direvisi pada bulan Juni 2005. Harapan ini sangat relevan mengingat Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai bentuk aplikasi dari Undang-undang No. 20 tahun 2003 mempunyai orientasi yang lebih luas, dimana kompetensi bukan hanya ada dalam tatanan pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambar dalam pola perilaku.

Jika dipandang dari segi lingkungan maka kompetensi yang dimiliki oleh siswa setidaknya merupakan upaya sadar seseorang yang dilakukan untuk menerima pengetahuan dan mengubah sikapnya tentang kearifan lingkungan menjadi lebih baik. Cara pandang agama-agama dan cara pandang kearifan local tentang lingkungan hidup akan menjadi pondasi utama dari penerapan kompetensi tersebut. Dengan kata lain nili-nilai agama akan menuntun pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang terepleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak tersebut.

Dua dari lima agenda membangun keadaban ekologis yang ditawarkan oleh Zainal Alyy Musthofa (Dumas, 20/01/06) dalam artikelnya yang berjudul "Menggagas Teologi Keadaban Ekologis" menarik untuk kita dicermati. Dua agenda tersebut adalah gerakan ecoreligism atau paham penyelarasan nilai agama untuk penyelesaian masalah lingkungan dan penggalakan gerakan pendidikan lingkungan di sekolah. Kedua alternative ini sangat wajar untuk dielaborasi mengingat agama adalah tuntunan hidup yang mutlak sementara pendidikan adalah wahana formal penanaman nilai secara dini.

Pendekatan seperti ini merupaskan sumber baru dari sebuah khasanah lama pendidikan, tradisi kearifan local dan keagamaan Indonesia. Oleh karena itu upaya menggali pendekatan ini patut mendapat perhatian dengan kata lain bahwa internalisasi nilai-nilai keagamaan sangat mutlak diarusutamakan. Titik cerah kearah tersebut sangat diharapkan apalagi dunia konservasi memerlukan ahli multidisiplin untuk menyakinkan masyarakat bahwa melindungi alam bukan sekedar memberikan proteksi, tapi ada unsur ilmu pengetahuan dan relegius yang bisa digali didalamnya dan ada pula unsur mamfaat yang bisa diambil untuk kesejahteraan manusia baik secara umum maupun dalam bentuk ibadah.

Artikel 13 :

MENGHADIRKAN KEPRIBADIAN DAN SIFAT KETUHANAN DALAM DIRI PENDIDIK MUSLIM
(Refleksi Terhadap Informasi Ayat-Ayat Al-Qur'an

Abstract

This article attempts to find the relation between the God's personalities and characteristics with the Moslem teacher's personalities and characteristics according to the Al-Qur'an. The God as the Great Teacher (Murabbi al-A'dam) have been taught man either by His revelation or by His creation in order to delivering the God's instruction to others.

In learning teaching processes teacher is the most important factor, because through him knowledge and value are transmitted to the students. What is taught by teachers to the students will build students' personalities. Therefore teacher in Islam has to fall heir to the personalities and characteristics from the God as his Great Teacher (Murabbi al-A'dam).

The first teacher according to the Al-Qur'an is Allah, then angle Gabriel, afterwards all His messengers are the third teacher and man is the fourth.

A. Pedahuluan

Pendidik dalam keseluruhan proses pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Melalui pendidiklah aktivitas paedagogis dapat diarahkan kepada tujuan yang ingin dicapai. Ia juga bertanggung jawab dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan dan nilai yang telah ditetapkan untuk dimiliki oleh peserta didik. Oleh sebab itu, kehadirannya akan banyak mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan itu sendiri.

B. Pengertian Pendidik

Apabila merujuk pada beberapa istilah dalam konteks makna pendidikan, maka sedikitnya ada tiga istilah yang menunjuk pada makna pendidik, yaitu al-Mu'allim (المعلم ), al-Muaddib (المأدب), dan al-Murabbī (المربى).*)

Al-Mu'allim (isim fa'il) berasal dari akar kata 'allama (علم). Dalam bentuk kata kerja dengan segala variasinya disebut dalam Al-Qur'ān lebih dari 40 kali, tersebar dalam beberapa surah, seperti dalam ayat berikut: al-Baqarah (2) : 31 1) dan ar-Rahman (55) : 2, 4. 2)

Sebagai yang Maha Pendidik, Tuhan memiliki kelebihan ilmu ---merupakan sifat--- yang diajarkan kepada manusia (Nabi Adam as) selaku peserta didik, agar ia mampu mengemban tugas kekhalifahan di atas bumi.

Adanya kelebihan ilmu, merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh pendidik untuk dapat menyampaikan materi pendidikan, sehingga orang lain menjadi baik. Oleh sebab itu Islam sangat menghargai, menghormati dan memuliakan orang yang berilmu pengetahuan dan bertugas sebagai pendidik.

Dengan demikian, pendidik merupakan pihak yang memiliki kelebihan ilmu dari peserta didiknya. Melalui proses pendidikan, ia mentransformasi-kan ilmu yang dimiliki kepada manusia lain (peserta didik), agar dapat mengenal dirinya, penciptanya dan yang lainnya melalui kemampuan berfikir dengan ilmu yang dimiliki.

Al-Muaddib (isim fā'il), berasal dari akar kata addaba (بادّ). Di dalam Al-Qur'ān, kata ini tidak ditemukan penggunaannya. Kata adab diartikan sebagai al adabu yang berarti pendidikan, yaitu mendidik manusia agar beradab. Dinamai adaban, karena mendidik manusia kepada hal-hal yang terpuji dari hal-hal yang tercela. Sedang asal al adab adalah ad du'ā' yang memiliki arti panggilan atau ajakan. Lebih lanjut kata addaba muradif (sinonim) dengan kata allama yang berarti mendidik atau mengajar, sebagaimana Allah telah mendidik NabiNya Muhammad SAW.3)

ادّبني ربّي فأحسن تأدبي
Artinya : Tuhanku telah mendidikku, maka Dia (Allah) baguskan pendidikanku.

Dari sini diketahui bahwa pendidik merupakan pihak yang memanggil atau mengajak, membimbing dan mengarahkan manusia (peserta didik) agar beradab atau berakhlak baik, dengan melalui aktivitas paedagogis.

Manusia beradab atau berakhlak baik inilah yang oleh Muhammad Atiyah al Abrasyi disebut sebagai tujuan umum pendidikan Islam. Bahkan akhlak yang baik ini merupakan jiwa dari pendidikan Islam.4)

Al-Murabbī (isim fa'il), berasal dari akar kata rabba - yarubbu (يربّ - ربّ). Dalam Al-Qur'ān disebut tidak kurang dari 900 kali dalam beberapa ayat dan tersebar dalam beberapa surah, antara lain adalah: al-Fatihah (1) : 1 - 7. 5)

Kata rabbun (ربّ), selain menunjuk pada nama Tuhan, juga memiliki arti pendidik. Syekh Ahmad Mustafa al-Maragī, menguraikan kata tersebut dengan Tuhan pendidik yang mengurus kepentingan yang dididiknya dan mengatur urusannya atau keperluannya.6)

Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa didikan Tuhan kepada manusia ada dua macam, yaitu:

1. Pendidikan Penciptaan, yaitu dengan menumbuhkan tubuh atau jasmani sampai dewasa menuju kesempurnaannya serta mengembangkan kekuatan jiwa dan akalnya.

2. Pendidikan Keagamaan, yaitu mendidik dengan menurunkan wahyu kepada seseorang (Rasul) agar disampaikan kepada yang lain untuk menyempurnakan akal dan membersihkan jiwa mereka.7)

Selain sebagai Tuhan bagi seluruh alam, Allah juga menjadi pemilik, pengatur, pemelihara, dan pendidik alam semesta. Para Malaikat, para Rasul, para Nabi, dan siapa yang dikehendakiNya, diciptakan sebagai penyambung risalah ilahiyah sekaligus sebagai khalifah dalam proses mendidik yang lain agar menjadi baik. Oleh sebab itu, mekanisme penciptaan dilakukan olehNya untuk mendidik makhlukNya, bahwa sesuatu itu terjadi melalui proses (pendidikan).8)

Al-Mua'allim, lebih tepat digunakan untuk menunjuk istilah pengajar, sebab hanya terbatas pada kegiatan menyampaikan atau memasukkan ilmu kepada pihak lain. Pada tahap ini aktivitas paedagogis hanya menyentuh ranah kognitif. Ranah kognitif adalah kemampuan untuk mengenal, mengetahui, menganalisis, menyusun, menyimpulkan, dan merumuskan.9)

Al-Muaddib, lebih tepat digunakan untuk menunjuk istilah pendidik adab atau akhlak, sebab hanya terbatas pada kegiatan penghalusan sikap agar berakhlak baik. Sasarannya adalah hati dan tingkah laku atau ranah afektif dan psikomotorik.

Aktivitas paedagogis diarahkan kepada kemampuan untuk mempertajam kepekaan rasa keindahan, kekaguman, keharuan, penghalusan sikap, budi, kecenderungan kepada yang baik dan keengganan kepada yang jahat.10)

Kesatuan ranah afektif dan psikomotorik belum mewakili taksonomi manusia dalam pendidikan, sebab bangun manusia dalam taksonomi pendidikan meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Taksonomi itu merupakan perpaduan cipta, rasa, dan karsa. Atau dengan kata lain, pendidikan yang mengarahkan sasarannya pada kesatuan ilmu, iman, dan amal.

Sedang istilah al Murabbi, jika dilihat dari akar kata dan kandungan arti yang dimilikinya, maka tercakup di dalamnya semua aktivitas paedagogis. Aktivitas itu meliputi kegiatan menyampaikan ilmu, mentransfer nilai, mengajak, mengarahkan, membimbing, mengurus, memelihara, mengatur dan menumbuh-kembangkan potensi manusia agar menjadi baik. Ini berarti juga, bahwa aktivitas paedagogis menyentuh ranah kognitif, afektif dan psikomotorik secara padu dan utuh.

Pendidik di dalam Al-Qur'ān diistilahkan dengan sebutan rabbani (ربّني ), seperti dalam surah Ali Imran (3) ayat 79, sebagai berikut:11)

Menurut Sibawīh, kata rabbaniyyin (ربّنين) bentuk mufrad (tunggal) nya adalah rabbani (ربّني), mansub dengan kata ar-rabba (الربّ). Dimaksudkan dengan rabbani adalah mengetahui Allah dengan tetap patuh dan tunduk kepadaNya.12)

Diriwayatkan juga, bahwasanya Muhammad Ibn Hanafiyah berkata ketika wafat Ibnu Abbas "Telah wafat pendidik umat ini".13)

Sedang Muhammad Jawad al Mugniyah menyebutkan bahwa rabbani adalah orang yang memahami kitab Allah dan mengamalkannya serta mengajarkan kepada orang lain. Selanjutnya ia menambahkan dengan mengutip pendapat Muhammad 'Abduh, bahwa "Manusia hanya bisa menjadi rabbani, bilamana ia memiliki ilmu dan mengamalkannya".14)

Pendidik dalam konteks ini, senantiasa mendasarkan aktivitas kependidikannya pada aturan Tuhan. Ia senantiasa mengamalkan ilmunya dan beramal ---mengatur, mengurus, memelihara, memiliki, memperbaiki dan menumbuhkembangkan--- dengan ilmunya kepada pihak lain (peserta didik) di atas ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

Di samping rabbanī, Al-Qur'ān juga mengistilahkan pendidik dengan sebutan ulama', seperti terdapat dalam surah Fātir (35) ayat 28, sebagai berikut:

Menurut Ibnu Abbas, ulama' adalah orang-orang yang mengetahui Allah dan tidak menyekutukanNya dengan yang lain. Menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan olehNya, yakin akan bertemu dengan Tuhannya dan senantiasa menghitung atau berhati-hati dengan amalnya.15)

Dengan demikian ulama' merupakan sekelompok orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan senantiasa menghubungkan diri mereka kepada Allah. Kelebihan ilmu ini pula yang merupakan salah satu syarat bagi seseorang untuk mendidik orang lain.

Ulama' adalah bentuk jamak (plural) dari kata 'alīm yang berarti orang yang berilmu. Rasul SAW dalam hadis beliau menyebut mereka dengan sebutan "pewaris" para Nabi.*) Sebutan ini menimbulkan konsekwensi, bahwa para ulama' memiliki peran sebagaimana para Nabi/Rasul dalam menyampaikan risalah Tuhan (mendidik) kepada manusia lain.

Al-Qur'ān sendiri menyebut beberapa istilah yang memiliki makna sama dengan istilah ulama, seperti ; al lazina utu al ilm, ar rasikhuna fil ilm, ulul ilm, ulul albab, yu'ta al hikmah, faqih fid din, ahl az zikr. Utul ilm disebutkan dalam Al-Qur'ān sebanyak 9 kali dan 5 diantaranya memberikan penjelasan siapa yang mendapatkan ilmu dari Allah, yaitu para malaikat, para Nabi, dan orang mukmin seperti terdapat dalam surah al Ankabut (29) ayat 47, an Nahl (16) ayat 27, al Haj (22) ayat 54, ar Rum (30) ayat 56 dan Muhammad (47) ayat 16.

Al-Qur'ān juga mengistilahkan pendidik dengan sebutan al-Wā'id. Istilah ini merupakan bentuk isim fā'il dari akar kata wa'aza yang berarti mengajar atau menasehati. Dalam surah an-Nisā' (4) ayat 58, disebutkan sebagai berikut:

Allah dalam hal ini juga berfungsi sebagai pendidik yang memberikan pengajaran sebaik-baiknya kepada Muhammad SAW. Di samping itu, dalam surah Luqman, disebutkan sebagai berikut:16)

Dalam konteks pendidikan, maka Luqman berfungsi sebagai pendidik bagi anaknya. Ia mengajarkan kepada anaknya, bahwasanya syirik itu merupakan kedaliman. Di samping mengajarkan keimanan, ia telah mendidik anaknya beberapa etik Islam, baik yang menyangkut hubungan dengan Tuhan maupun dengan sesamanya.

Selain itu, Al-Qur'ān menamakan pendidik dengan sebutan al-Muballig. Istilah ini berasal dari kata ballaga, yang berarti menyampaikan. Dalam Al-Qur'ān surah al-Maidah (5) : 67 disebutkan sebagai berikut:17)

Menurut Mugniyah, dalam tafsir al-Kāsyif, bahwa dalam ayat itu terdapat perkara yang penting tentang perintah Allah kepada Muhammad untuk menyampaikan risalah Tuhan kepada manusia.18) Oleh sebab itu, merupakan kewajiban bagi Rasul untuk memiliki sifat Tablīg, yaitu menyampaikan kepada ummatnya apa-apa yang telah diajarkan oleh Tuhannya.

Al-Qur'ān juga menyebutkan pendidik dengan sebutan ad-Dā'i, berasal dari akar kata da'ā, yang berarti menyeru, mengajak, atau memanggil. Dalam Al-Qur'ān disebutkan sebagai berikut:19)

Al-Maragī menyebutkan bahwa khitab dari ayat di atas adalah orang-orang mukmin mukallaf agar memilih sekelompok orang (ummat) untuk menyeru, mengajak, atau memanggil (menjadi pandidik) bagi yang lain.20) Dengan mewajibkan bagi mereka memiliki persyaratan sebagai berikut:

1. Mengerti Al-Qur'ān dan Sunnah serta sirah Rasul dan khulafa-urrasyidun, (memiliki ilmu pengetahuan).

2. Memiliki pengetahuan tentang keadaan jama'ah.

3. Mengerti bahasa umat (kemampuan umat) yang menjadi sasaran dakwahnya.

4. Mengerti perasaan, pengikut madhab ummat.21)

Dari keempat syarat yang dikemukakan oleh al Maragī tentang syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penyeru (dā'i) juga merupakan syarat yang harus dimiliki oleh para pendidik.

Oleh sebab itu, Syekh Ali Mahfuz, mempersamakan dakwah dengan pendidikan, sebagaimana disebutkan di bawah ini:

Sesungguhnya dakwah kepada kebaikan itu adalah pendidikan, dan pendidikan yang bermanfaat itu hanyalah ada dengan amal perbuatan, karena pendidikan itu tegak berdiri atas teladan yang baik dan uswatun hasanah.22)

Sebutan lain bagi pendidik dalam Al-Qur'ān adalah al-Basyīr (pemberi kabar gembira) dan an-Nażīr (pemberi peringatan). Dua istilah ini merupakan salah satu fungsi Rasul bagi manusia. Disebutkan oleh Allah dalam sekali sebutan dalam beberapa ayat. Diantaranya dalam surah al-Baqarah (2) : 119 sebagai berikut:23)

Mengenai ayat ini Mugniyah menyebut Rasul sebagai pendidik yang tidak memiliki kekuasaan untuk menjadikan seseorang itu baik dan tidak dipaksa untuk itu.24) Jadi jelas bahwa pendidik hanyalah berusaha agar orang lain (peserta didik) menjadi baik.

Oleh sebab itu, tidak ada berhak bagi seorang pendidik memaksakan kehendaknya pada peserta didiknya. Sebab paksaan hanya akan menimbulkan rasa dendam di hati peserta didiknya. Pendidikan yang didalamnya ada unsur paksaan hanya akan melahirkan pemerkosaan atau penindasan terhadap peserta didik.

Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa unsur yang harus ada dalam pengertian pendidik Muslim sebagai berikut:

1. Bahwa pendidik itu tidak lain adalah merupakan pihak yang berusaha menanamkan nilai, ilmu, kecakapan kepada orang lain (peserta didik) agar menjadi baik.

2. Bahwa usaha tu meliputi: bimbingan, mengurus, mengarahkan, mengajak, mengatur, memelihara, menumbuhkembangkan yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran.

3. Bahwa pendidik itu memiliki kelebihan ilmu dari peserta didiknya.

4. Bahwa pendidik itu terus menerus mengendalikan aktivitas paedagogisnya pada garis yang telah ditetapkan oleh Allah.

Dengan demikian, maka definisi pendidik adalah: pihak yang mempengaruhi orang lain (peserta didik) dengan serangkaian aktivitas yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran, agar seseorang menjadi baik di atas garis yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

C. Sifat-sifat Pendidik Muslim

Tugas sebagai pendidik merupakan tugas yang mulia dan luhur. Selain itu juga merupakan tugas yang berat. Ia merupakan model manusia etik, betapapun ia harus bisa ditiru (digugu lan ditiru). Jika terpaksa melakukan kesalahan, ia harus tetap bisa ditiru, ia harus berani minta maaf, memperbaiki dirinya.25)

Pendidik merupakan spiritual father atau bapak rohani bagi peserta didiknya. Ia juga merupakan pemimpin bagi peserta didiknya, menjadi idola sekaligus merupakan kepercayaan peserta didiknya. Bahkan bagi peserta didik yang masih muda usianya, pendidik merupakan sumber kebenaran yang tidak pernah berbuat salah.

Kepribadiannya memiliki pengaruh yang besar bagi pembentukan akal dan jiwa peserta didiknya. Dalam konteks ini, 'Uqbah bin Abī Sufyān berkata kepada pendidik anaknya, sebagai berikut:

Hendaknya yang pertama-tama kau lakukan sebelum memperbaiki (mendidik) anakku adalah, perbaikilah dirimu. Karena sesungguhnya mata mereka senantiasa tertuju pada matamu. Maka yang baik di sisi mereka adalah apa yang engkau anggap baik, sedang yang jelek di sisi mereka adalah apa yang engkau anggap jelek.26)

Oleh sebab itu, bagi seorang pendidik dituntut agar memiliki sifat-sifat tertentu yang merupakan syarat baginya sebelum menjadi pendidik.

Sebenarnya, telah banyak para ahli yang merumuskan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik muslim, misalnya sebagai berikut:

1. Muhammad Atiyah al Abrasyī, merumuskan sebagai berikut:

a. Zuhud tidak mengutamakan materi dan melakukannya karena Allah SWT. Seorang pendidik dalam pendidikan Islam, hendaknya tidak memiliki sifat materialistis, tidak rakus terhadap dunia dan tidak mengukur segala sesuatu dengan materi. Meskipun demikian tidak berarti tidak mau dan tidak menerima kekayaan dunia dari pekerjaannya.

b. Kebersihan diri. Seorang pendidik harus bersih, baik pisik maupun psikisnya.

c. Ikhlas dalam pekerjaan. Seorang pendidik harus memiliki keikhlasan, sebab keikhlasan merupakan jalan menuju sukses. Termasuk ikhlas adalah kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Melakukan apa-apa yang dikatakan dan tidak malu mengatakan tidak tahu, bila ada yang tidak diketahuinya.

d. Suka pemaaf. Seorang pendidik harus bersifat pemaaf terhadap peserta didiknya, ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati dan jangan pemarah karena hal-hal yang kecil.

e. Seorang pendidik merupakan seorang bapak sebelum menjadi pendidik. Seorang pendidik harus mencintai peserta didiknya seperti mencintai anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti memikirkan keadaan anak kandungnya sendiri.

f. Harus mengetahui tabiat peserta didik. Seorang pendidik harus mengetahui perbedaan masing-masing peserta didiknya, agar tidak tersesat dalam menjalankan tugasnya.

g. Harus menguasai mata pelajaran. Seorang pendidik harus sanggup menguasai mata pelajaran yang diajarkannya dan terus menerus mendalaminya dengan memperluas pengetahuannya.27)

2. Abdurrahman an Nahlawī, menyebutkan sebagai berikut:

a. Hendaknya tujuan, tingkah laku dan pola pikir pendidik bersifat rabbani. Seorang pendidik harus menjadikan Tuhan sebagai tempat berangkat dan kembalinya segala aktivitasnya.

b. Memiliki sifat ikhlas. Seorang pendidik dengan keluasan ilmunya, hendaknya berniat hanya untuk mendapatkan keridaan Allah SWT.

c. Hendaknya memiliki sifat sabar. Seorang pendidik harus bersabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didiknya.

d. Hendaknya memiliki sifat jujur. Seorang pendidik harus jujur dalam menyampaikan apa yang diajarkannya. Jangan menyembunyikan ketidaktahuannya, jika memang tidak tahu. Ia harus terus menerus konsekwen dan komitmen kepada kejujuran.

e. Hendaknya senantiasa membekali diri dengan ilmu. Seorang pendidik harus senantiasa memperdalam pengetahuannya, agar senantiasa dapat dengan mudah dan leluasa menyampaikan ilmunya.

f. Hendaknya mampu menggunakan beberapa metode me-ngajar. Seorang pendidik akan dapat dengan mudah menyampaikan ilmu, nilai, norma, dan kecakapan, jika ia dapat menggunakan metode dengan tepat.

g. Hendaknya mampu mengelola peserta didiknya. Seorang pendidik harus dapat memperlakukan peserta didiknya secara tepat dan proporsional. Dengan demikian pendidik tidak akan bersikap keras dalam kondisi yang semestinya bersikap lunak, begitu pula sebaliknya.

h. Hendaknya mengetahui keadaan psikis peserta didiknya. Pengetahuan seorang pendidik terhadap kejiwaan peserta didiknya akan memudahkan kegiatan belajar mengajar. Sebab dengan demikian ia dapat dengan mudah memperlakukan peserta didiknya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.

i. Hendaknya memiliki kepekaan dalam mengantisipasi perkem-bangan yang terjadi. Seorang pendidik harus mengantisipasi setiap perkembangan, gejolak yang terjadi, baik pada peserta didiknya maupun dilingkungannya. Menganalisis, memberikan pemecahan dan jalan keluar.

j. Hendaknya memiliki sifat adil. Seorang pendidik harus memperlakukan sama terhadap peserta didiknya. Jangan memilah-milah peserta didik kepada perlakuan istimewa dan tidak istimewa. Semua kebijaksanaan dan tindakannya ditempuh dengan jalan yang benar dan dengan memperhatikan setiap peserta didiknya.28)

3. Al Gazalī, menyebutkan sifat-sifat pendidik muslim sebagai berikut:

a. Memiliki sifat kasih sayang kepada peserta didik. Seorang pendidik muslim, harus berbelas kasih kepada peserta didiknya, seperti ia berbelas kasih kepada anak kandungnya sendiri.

b. Mengikuti sahabat syara', yaitu Rasullah SAW. Seorang pendidik tidak mencari ganjaran atau gaji atau terima kasih dengan perbuatannya. Tetapi melakukannya semata karena Allah dalam rangka mencari kedekatan denganNya.

c. Tidak meninggalkan nasehat kepada peserta didik, dengan melarang mempelajari sesuatu tingkat, sebelum berhak kepada tingkat itu. Seorang pendidik harus membimbing peserta didiknya dari ilmu yang mudah ke yang sulit.

d. Tidak berlaku kasar kepada peserta didik. Seorang pendidik harus memperlakukan peserta didiknya dengan lunak, tidak membentak, menyindirnya dengan halus bila berbuat salah.

e. Tidak menjelek-jelekkan ilmu yang lain dihadapan peserta didik. Seorang pendidik tidak menghina atau melecehkan ilmu yang bukan bidangnya. Pendidik dalam bidang bahasa, tidak boleh melecehkan ilmu fiqh dan seterusnya.

f. Tidak mengajarkan sesuatu di luar kemampuan peserta didik. Seorang pendidik tidak memaksakan suatu ilmu kepada peserta didiknya di luar kemampuannya. Seperti peserta didik sekolah dasar, jangan diajar mata pelajaran sekolah menengah.

g. Memberikan atau mengajarkan pelajaran yang jelas dan tidak mengatakan, bahwa di balik yang diterangkan terdapat pengetahuan atau pembahasan yang lebih dalam. Seorang pendidik hendaklah menerangkan kepada peserta didiknya suatu pembahasan yang jelas. Jangan dikatakan kepada mereka, bahwa dibalik yang telah diterangkan ada pembahasan lagi yang lebih dalam. Sebab dengan demikian akan mengakibatkan berkurangnya minat, untuk memperdalam pelajaran atau ilmu yang telah dipelajari.

h. Hendaknya pendidik itu mengamalkan ilmunya. Seorang pendidik harus menyesuaikan antara ilmu dengan tindakannya. Mengamalkan apa yang diketahuinya, karena ilmu dilihat dengan mata hati dan amal perbuatan dilihat dengan mata kepala.29)

Sebenarnya apa yang telah dirumuskan oleh para ahli, tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh setiap pendidik muslim, memiliki dua keadaan dalam proses pendidikan. Pertama adalah, pendidik dalam keadaan tidak berhadapan dengan peserta didik. Maksudnya, pendidik mendidik dirinya sendiri. Pada tahap ini setiap Muslim yang mukallaf (dibebani hukum) wajib mendidik diri sendiri. Sifat-sifat seperti: Zuhud, rabbani, sabar, 'alim (berilmu), adil, jujur, ikhlas dan sebagainya, merupakan sifat yang harus dimiliki dalam rangka mendidik diri sendiri.

Kedua adalah pendidik dalam keadaan berhadapan secara langsung (face to face) dengan peserta didiknya. Pada tahap ini, sifat-sifat yang harus dimiliki sebagai syarat bagi setiap pendidik Muslim adalah sebagai berikut:

1. Sifat-sifat yang berkaitan dengan persyaratan fisik, meliputi:

a. Berakal sehat. Bermodalkan akal yang sehat, seseorang dapat melakukan perbuatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawab. Oleh sebab itu, Islam menafikan sangsi hukum bagi mereka yang tidak berakal, seperti: gila, lupa dan tertidur. Komunikasi antara pendidik dengan peserta didik akan berjalan dengan baik, apabila masing-masing pihak memiliki dan menggunakan akal yang sehat. Oleh sebab itu, berakal sehat merupakan sifat yang harus dimiliki oleh setiap pendidik.

b. Kebersihan. Kebersihan, baik jasmani, pakaian maupun yang lain, akan mempengaruhi perhatian peserta didik dalam proses belajar mengajar. Pendidik yang kurang memperhatikan kebersihannya, akan menjadi perhatian peserta didiknya. Dengan demikian akan mengganggu perhatian dan konsentrasi peserta didik dalam menangkap materi yang diajarkan kepadanya.

2. Sifat-sifat yang berkaitan dengan persyaratan psikis, meliputi:

a. Rabbani. Sifat rabbani bagi seorang pendidik akan memudah-kan dalam mengantarkan peserta didiknya kepada terbentuknya manusia berkepribadian muslim, sebab pendidik selalu menjadikan Tuhan sebagai referensinya. Tujuan, tingkah laku dan pola pikirnya, selalu berpijak dari Tuhan dan untuk Tuhan. Hal ini sesuai dengan informasi Al-Qur'ān, sebagai berikut:30)

Dengan sifat rabbani ini, seorang pendidik mengabsahkan dirinya sebagai wakil Tuhan untuk mendidik yang lain.

b. Zuhud. Zuhud tidak berarti menolak materi, tetapi juga tidak mengukur segala sesuatu dengan materi. Kekayaan materi hanya merupakan sarana bagi pendidik Muslim untuk mencapai tujuan hidup. Mendidik manusia lain (peserta didik) bukan karena keinginan mengumpulkan materi kekayaan, melainkan karena keterpanggilan untuk menyampaikan risalah Tuhan.

c. Ikhlas. Seorang pendidik Muslim dalam melaksanakan tugas mengajar bukan karena keterpaksaan. Sifat ikhlas akan melahirkan pendidik yang penuh idealisme untuk membina pribadi dan masyarakat dengan benar. Ia mendidik dan mengajar manusia, semata-mata untuk mencari rida Allah. Bukan karena ingin dipuji, mendapatkan materi, jasa maupun yang lain. Dalam konteks ini, tidak berarti ia tidak boleh menerima imbalan jasa (materi) dari manusia yang dididik dan dari apa yang diajarkannya.

d. Pemaaf. Sifat pemaaf bagi seorang pendidik merupakan kendali dalam melaksanakan tugas kependidikan. Berhadapan dengan peserta didik yang nakal, ia tidak cepat naik pitam, bahkan memaafkannya. Justru dengan sifat pemaaf itulah ia akan dihormati dan disenangi oleh peserta didiknya. Keberhasilan dakwah Rasul SAW banyak disebabkan oleh sifat pemaaf yang melekat dalam diri beliau, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'ān surah Ali Imran (3) : 159 sebagai berikut:31)

Sifat pemaaf, oleh Al-Qur'ān juga disebut sebagai salah satu ciri orang-orang yang bertakwa. Al-Qur'ān dsurah Ali Imran (3) : 134 menyebutkan sebagai berikut:32)

Oleh sebab itu, setiap pendidik Muslim hendaknya memiliki sifat pemaaf, agar kegiatan pendidikannya dapat berhasil sebagaimana Rasul dalam mendidik ummatnya.

e. Jujur. Seorang pendidik hendaknya berkata dan bertindak sesuai dengan apa yang diketahuinya. Seorang pendidik Muslim hendaknya berani berkata tidak tahu, jika memang tidak tahu. Sifat jujur akan meningkatkan wibawa bagi pendidik, sebab dengan kejujuran itu, ia mengajar dan mendidik orang lain dengan apa adanya. Allah sebagai Yang Maha Pendidik memerintah hambaNya untuk berlaku jujur sebagaimana dalam firmanNya sebagai berikut:33)

f. Adil. Keadilan pendidik harus tercermin dan dimanifestasikan dalam sikap dan tindakannya, baik berupa pujian, hukuman, penilaian, perintah maupun larangan terhadap peserta didiknya. Memperlakukan peserta didiknya dengan tidak pilih kasih. Siapa yang bersalah harus dihukum dan yang benar harus dipuji. Sifat adil dimaksudkan memperlakukan peserta didiknya secara bijak sesuai dengan proporsinya masing-masing. Allah berfirman dalam Al-Qur'ān surah al-Maidah (5) : 8 sebagai berikut:34)

Keadilan adalah salah satu sifat Tuhan dan Al-Qur'ān menekankan agar menjadikan keadilan itu sebagai ideal moral. Oleh sebab itu, setiap pendidik muslim hendaknya memiliki sifat adil ini.

g. Cinta. Kecintaan seorang pendidik Muslim kepada peserta didiknya, seperti kecintaannya kepada anak kandungnya sendiri. Dengan memiliki sifat kasih sayang ini, seorang pendidik akan memperlakukan peserta didiknya dengan lemah-lembut. Namun demikian tidak berarti, bahwa seorang pendidik tidak berbuat tegas kepada peserta didiknya. Sifat tegas tetap diperlukan, sebatas kewibawaan yang ada padanya.

Sifat-sifat yang berkaitan dengan persyaratan psikis, sebagaimana disebutkan di atas, tidak berarti bahwa hanya itu saja. Tetapi dengan menyebutkan tujuh sifat itu, dimaksudkan dapat mewakili sifat-sifat yang lain, seperti: memiliki sifat keteladanan, stabil dalam emosi, sabar, tidak mencela peserta didik dan sebagainya.

3. Sifat-sifat yang berkaitan dengan persyaratan didaktis, meliputi:

a. Mengetahui berbagai metode pengajaran dan dapat menggu-nakannya. Kemampuan menggunakan metode pengajaran atau metode pendidikan akan memudahkan tercapainya tujuan yang diinginkan. Metode dan tujuan pendidikan, merupakan hubungan sebab akibat. Artinya, ketepatan menggunakan metode pendidikan, akan memudahkan tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri. Oleh sebab itu, seorang pendidik muslim hendaknya memiliki pengetahuan tentang metode pendidikan.

b. Kemampuan mengelola peserta didik. Seorang pendidik hendaknya mengetahui cara menempatkan peserta didiknya ke dalam situasi belajar mengajar. Dengan demikian akan mudah baginya kapan pelajaran bisa dimulai dan kapan harus diakhiri.

Mengutip buku Teori Mengajar, yang ditulis oleh Agus Mirwan, dapat ditambahkan sifat-sifat berupa kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap pendidik, sebagai persyaratan didaktis, meliputi:

1) Mampu memeragakan pengajaran

2) Mampu memberi kesempatan kepada peserta didiknya untuk selalu giat atau aktif, baik jasmani maupun rohani

3) Mampu menarik perhatian

4) Mampu mendasarkan pelajaran kepada apa yang telah diketahui oleh peserta didik

5) Mampu menghubungkan pelajaran sesuai dengan pemba-waan dan kemampuan peserta didik

6) Mampu menghubungkan pelajaran yang satu dengan yang lain (korelasi dan konsentrasi)

7) Mampu mengulang-ulang pelajaran, agar peserta didiknya senantiasa ingat materi yang telah diajarkan.35)

Dengan menampilkan paham Asy'ariyah dalam teologi Islam, tentang pengakuan bahwa Tuhan memiliki sifat karena perbuatanNya,36) wajib bagi setiap pendidik Muslim memiliki sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan yang dimaksud adalah yang termasuk dalam kelompok sifat Ma'ani, yaitu al Qudrah, al Iradah, al Ilmu, al Hayah, as Sama', al Basar dan al Kalam.37)

Subtansi sifat Tuhan, berbeda dengan subtansi sifat manusia (pendidik), karena memang Tuhan berbeda dengan manusia. Tetapi aktualisasi dari sifat-sifat itu, terdapat garis singgung persamaan, di balik adanya perbedaan. Kuasa (al Qudrah) bagi manusia, tentu berbeda dengan kuasa Tuhan. Berkehendaknya manusia akan berbeda dengan kehendak Tuhan. Ilmu manusia akan berbeda dengan ilmu Tuhan dan seterusnya.

Selanjutnya pendidik muslim, juga harus memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh para Rasul Allah, sebab pendidik ---sebagai manusia yang berilmu--- merupakan pewaris para Rasul.

Sifat-sifat Rasul yang harus dimiliki oleh pendidik Muslim adalah: as Siddiq (benar dan jujur), al Amanah (dapat dipercaya), at Tablīg (menyampaikan), dan al Fatonah (cerdik dan bijaksana).38)

Pendidik muslim dalam kapasitasnya sebagai pewaris para Rasul, ia harus memiliki kebenaran atau kejujuran, kepercayaan, kemampuan menyampaikan dan kecerdikan serta kebijaksanaan seperti yang diwarisi, yakni para Rasul Allah. Dengan demikian kebersambungan tali hubungan antara Tuhan sebagai Yang Maha Pendidik dengan para Rasul sebagai utusanNya dan manusia (pendidik) akan terus terjalin secara utuh.

D. Kedudukan Pendidik

Dalam keseluruhan proses pendidikan, pendidik sebagai salah satu faktor yang paling berpengaruh atau mempengaruhi terhadap keberhasilan pendidikan. Ia tidak saja berperan dalam menumbuhkembangkan peserta didik, melainkan ia juga yang membawa peserta didik kepada tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, di tangan pendidiklah output dan outcome pendidikan itu bergantung.

Aktivitas paedagogis yang dilakukan oleh pendidik dengan jalan menumbuhkembangkan, membimbing, mengarahkan, memelihara potensi manusia (peserta didik), agar tetap condong dan sejalan dengan kehendak Tuhan, merupakan tugas yang luhur dan mulia. Oleh sebab itu, Islam sangat menghargai dan menghormati para pendidik.

Pendidik dalam kapasitasnya sebagai orang yang berilmu pengetahuan, ditempatkan oleh Tuhan dalam derajat yang lebih tinggi dari manusia yang lain, walaupun sama-sama beriman. Allah berfirman dalam kitab suciNya, surah al-Mujadilah (58) : 11 sebagai berikut:39)

Salah satu asbāb an nuzūl dari ayat di atas, adalah berkenaan dengan suasana di majlis ta'līm Rasul, di mana para sahabat berdesakan atau berebutan tempat untuk mendengarkan nasehat beliau. Akibatnya, sahabat yang datang terlambat tidak kebagian tempat. Maka Allah mendidik mereka, agar melonggarkan tempat bagi yang lain. Karena dengan demikian, Allah akan memperluas tempatnya di sorga.40)

Ketaatan mereka dengan perintah, karena ilmu pengetahuan yang mereka miliki, menyebabkan terangkatnya derajat mereka. Tuhan mengangkat mereka secara khusus beberapa derajat dalam kemuliaan dan ketinggian tempat tinggal.

Nabi Muhammad SAW bersabda, sehubungan dengan penghormatan Islam kepada para pendidik, sebagai berikut:

Artinya : Sesungguhnya Allah yang Maha Suci dan para malaikatNya serta semua penghuni langit dan bumiNya, hingga semut yang ada di dalam lobangnya dan ikan di dalam laut, tentu akan memintakan rahmat bagi pendidik manusia kepada kebaikan.41)

Al Gazali melukiskan kemuliaan para pendidik dengan perum-pamaan matahari yang menyinari jagad raya dan dirinya sendiri bercahaya. Mereka ibarat minyak kasturi yang harumnya dinikmati oleh yang lain, sedang ia sendiri harum. Merekalah yang disebut besar di kolong kerajaan langit.42)

Jika dilihat dari sisi peran pendidik dalam mendidik manusia agar menjadi baik, maka kedudukannya sama dengan kedudukan seorang Rasul. Tetapi juga harus diakui, bahwa seorang Rasul adalah manusia istimewa yang mendapatkan wahyu dari Tuhan.

Garis singgung persamaan antara pendidik dengan para Rasul/Nabi, disinyalir oleh Rasul SAW dalam salah satu sabdanya, bahwa "Ulama' itu adalah pewaris para Nabi". Ulama' adalah termenologi ilahiyah yang hanya dapat dimengerti penjabarannya melalui informasi wahyu. Dalam surah al-Fātir (35): 28 disebutkan bahwa "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah para ulama".

Ulama merupakan bentuk jama' (plural) dari kata 'ālim, yaitu orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Dengan demikian sudah sepantasnya orang yang berilmu itu mewarisi para Nabi untuk mendidik manusia kepada jalan Allah.

E. Urutan Pendidik

Al Gazalī dalam al Qistas al Mustaqim, sebagaimana dikutip oleh Roihan Achwan, menyebutkan bahwa Allah sebagai pendidik pertama, Jibril sebagai pendidik kedua dan Rasulullah sebagai pendidik ketiga.43)

Allah sebagai Yang Maha Pendidik menduduki rangking pertama, karena Dialah yang mendidik semua makhluk. Malaikat Jibril mendidik Rasulullah dan Rasulullah mendidik umatnya. Dengan demikian, manusia biasa menduduki urutan keempat dalam konsep pendidikan Islam. Berdasarkan hirarkhi pendidik seperti di atas, nampaknya menjadi sebuah keharusan bagi manusia sebagai pendidik menghadirkan bayangan Tuhan dalam dirinya.

Artikel 14 :

DAMPAK PERILAKU RELIGIUS DALAM PEMBENTUKAN ETIKA SISWA
A. Latar Belakang

Merebaknya isu-isu moral di kalangan remaja seperti penggunaan narkoba, tawuran pelajar, pornografi, perkosaan, merusak milik orang, merampas, menipu, mencari bocoran soal ujian, perjudian, pelacuran, pembunuhan, dan lain-lain sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana, karena sudah menjurus kepada tindak kriminal. Kondisi ini sangat memprihatinkan masyarakat khususnya para orang tua dan para guru (pendidik), sebab pelaku-pelaku beserta korbannya adalah kaum remaja, terutama para pelajar dan mahasiswa.

Banyak orang berpandangan bahwa kondisi demikian diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikanlah yang sebenarnya paling besar memberi kontribusi terhadap situasi seperti ini. Masalah moral yang terjadi pada siswa tidak hanya menjadi tanggung jawab guru agama namun juga menjadi tanggung jawab seluruh pendidik.

Apalagi jika komunitas suatu sekolah terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, dan ras. Berbagai konflik akan dengan mudah bermunculan. Jika kondisi semacam ini tidak di atasi maka akan timbul konflik-konflik yang lebih besar. Akibatnya masalah moral, etika akan terabaikan begitu saja.

Padahal tujuan dari pendidikan di Indonesia adalah membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Manusia yang mempunyai kepribadian, beretika, bermoral, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian tujuan pendidikan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya seperti yang disarikan dari UU No 20. tahun 2003, bab II, pasal 3, bahwa manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab belum terwujud.

Untuk itu perlu ditanamkan sikap jujur, saling menghargai, bertoleransi dalam diri setiap siswa, karena sikap ini mempunyai dampak luas bagi kehidupan orang lain dalam masyarakat dan negara. Dampak yang luas dan serius ini dapat dirasakan sejak Juli 1997 hingga sekarang. Krisis yang berkepanjangan tersebut tidak hanya krisis moneter dan ekonomi saja, tetapi sudah menjadi krisis multidimensi, yaitu menyentuh banyak bidang, termasuk krisis kepemimpinan, kepercayaan, dan moral (Indah dkk, 2003:14). Sikap jujur, bertoleransi, berdisiplin akan menjadi budaya masyarakat bangsa apabila perilaku religius menjadi kebiasaan sehari-hari. Perilaku religius akan mendekatkan insan manusia terhadap Tuhannya sehingga dapat meningkatkan iman dan takwa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas maka permasalahan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah:

1. Apa yang dapat dilakukan sebagai pendidik pada anak didiknya dalam membiasakan berperilaku religius?

2. Dampak apa sajakah dari perilaku religius yang tampak dalam pembentukan etika siswa?

C. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan penyusunan makalah

Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:

a. Mendeskripsikan tindakan pendidik dalam menumbuhkan kebiasaan berperilaku religius.

b. Mendeskripsikan dampak perilaku religisu dalam pembentukan etika siswa.

2. Manfaat penyusunan makalah

Penyusunan makalah ini bermanfaat secara:

a. Teoretis, untuk mengkaji kebiasaan perilaku religius di sekolah dasar dalam menumbuhkan etika bagi peserta didik.

b. Praktis, bermanfaat bagi:
(1) para pendidik agar pendidik dapat menanamkan perilaku religius dalam membentuk etika peserta didik
(2) dosen, untuk mempersiapkan para pendidik agar memahami tentang pembiasaan perilaku di sekolah dasar yang dapat membentuk etika peserta didik.
(3) mahasiswa agar memahami tentang pembiasaan perilaku di sekolah dasar yang dapat membentuk etika peserta didik.

II. PEMBAHASAN

A. Perilaku Religius

Perilaku religius merupakan perilaku yang dekat dengan hal-hal spiritual. Perilaku religius merupakan usaha manusia dalam mendekatkan dirinya dengan Tuhan sebagai penciptanya. Religiositas merupakan sikap batin seseorang berhadapan dengan realitas kehidupan luar dirinya misalnya hidup, mati, kelahiran, bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan sebaginya (Indah dkk, 2003:17). Sebagai orang yang ber- Tuhan kekuatan itu diyakini sebagai kekuatan Tuhan. Kekuatan tersebut memberikan dampak positif terhadap perkembangan hidup seseorang apabila ia mampu menemukan maknanya. Orang mampu menemukannya apabila ia berani merenung dan merefleksikannya.

Melalui refleksi pengalaman hidup memungkinkan seseorang menyadari memahami, dan menerima keterbatasan dirinya sehingga terbangun rasa syukur kepada Tuhan sang pemberi hidup, hormat kepada sesama dan lingkungan alam. Untuk dapat menumbuhkan nilai-nilai religius seperti ini tidaklah mudah.

Pembelajaran moral yang dapat dilakukan menggunakan model terintegrasi dan model di luar pengajaran. Hal ini memerlukan kerjasama yang baik antara guru sebagai tim pengajar dengan pihak-pihak luar yang terkait.

Nilai-nilai religiositas ini dapat diajarkan kepada siswa melalui beberapa kegiatan yang sifatnya religius. Kegiatan religius akan membawa siswa pada pembiasaan berperilaku religius. Perilaku religius akan menuntun siswa untuk bertindak sesuai moral dan etika.

Antara moral dan etika sebenarnya tidak sama. Moral adalah hal yang mengatakan bagaimana kita hidup. Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik (Suseno, 2000:14-17)

Moral dan etika dapat dipupuk dengan kegiatan religius seperti yang sudah dilakukan di SD Anjasmoro 01-02, Semarang. Kegiatan religius yang dapat diajarkan kepada siswa di sekolah tersebut yang dapat dijadikan sebagai pembiasaan, diantaranya:
(1) berdoa atau bersyukur,
(2) melaksanakan kegiatan di mushola
(3) merayakan hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya,
(4) mengadakan kegiatan keagamaan sesuai dengan agamanya.

Berdoa merupakan ungkapan syukur secara langsung kepada Tuhan. Ungkapan syukur dapat pula diwujudkan dalam relasi seseorang dengan sesama, yaitu dengan membangun persaudaraan tanpa dibatasi oleh suku, ras, dan golongan. Kerelaan memberikan ucapan selamat hari raya kepada teman yang tidak seiman merupakan bentuk-bentuk penghormatan kepada sesama yang dapat dikembangkan sejak anak usia sekolah dasar. Ungkapan syukur terhadap lingkungan alam misalnya menyiram tanaman, membuang sampah pada tempatnya, dan memperlakukan binatang dengan baik.

Berbagai kegiatan di mushola sekolah juga dapat dijadikan pembiasaan untuk menumbuhkan perilaku religius. Kegiatan tersebut di antaranya salat dzuhur berjamaah setiap hari, sebagai tempat untuk mengikuti kegiatan belajar baca tulis Al Quran, dan salat Jumat berjamaah. Pesan moral yang didapat dalam kegiatan tersebut dapat menjadi bekal bagi siswa untuk berperilaku sesuai moral dan etika.

Kegiatan lain yang dapat membentuk moral dan etika dari perilaku religius yaitu merayakan hari besar sesuai dengan agamanya. Untuk yang beragama Islam momen-momen hari raya Idul Adha, Isra Mikraj, Idul Fitri dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan iman dan takwa. Begitu juga bagi yang beragama Nasrani, perayaan Natal dan Paskah akan dapat dijadikan momen penting untuk menuntun siswa agar bermoral dan beretika.

Sekolah juga dapat menyelenggarakan kegiatan keagamaan lainnya diwaktu yang sama untuk agama yang berbeda, misalnya kegiatan pesantren kilat bagi yang beragama Islam dan kegiatan rohani lain bagi yang beragama Nasrani maupun Hindu. Kegiatan religius lainnya dapat juga ditumbuhkan melalui kegiatan berkemah. Kemah religius misalnya dengan menghadirkan dai cilik bagi yang beragama Islam dan mendatangkan buder bagi yang beragama Nasrani.

Dengan demikian akan tumbuh toleransi beragama, saling menghargai perbedaan, sehingga dapat terjalin hubungan yang harmonis, tentram dan damai. Siswa akan merasakan indahnya kebersamaan dalam perbedaan. Mereka akan merasa bahwa semua adalah saudara yang perlu dihormati, dihargai, dikasihi, dan disayangi seperti keluarga sendiri.

B. Dampak Perilaku Religius dalam Menumbuhkan Etika

Pembiasaan berperilaku religius di sekolah ternyata mampu mengantarkan anak didik untuk berbuat yang sesuai dengan etika. Dampak dari pembiasaan perilaku religius tersebut berpengaruh pada tiga hal yaitu: (1) Pikiran, siswa mulai belajar berpikir positif (positif thinking). Hal ini dapat dilihat dari perilaku mereka untuk selalu mau mengakui kesalahan sendiri dan mau memaafkan orang lain. Siswa juga mulai menghilangkan prasangka buruk terhadap orang lain. Mereka selalu terbuka dan mau bekerjasama dengan siapa saja tanpa memandang perbedaan agama, suku, dan ras.

(2) Ucapan, perilaku yang sesuai dengan etika adalah tutur kata siswa yang sopan, misalnya mengucapkan salam kepada guru atau tamu yang datang, mengucapkan terima kasih jika diberi sesuatu, meminta maaf jika melakukan kesalahan, berkata jujur, dan sebagainya. Hal sekecil ini jika dibiasakan sejak kecil akan menumbuhkan sikap positif. Sikap tersebut misalnya menghargai pendapat orang lain, jujur dalam bertutur kata dan bertingkah laku.

(3) Tingkah laku, tingkah laku yang terbentuk dari perilaku religius tentunya tingkah laku yang benar, yang sesuai dengan etika. Tingkah laku tersebut di antaranya empati, hormat, kasih sayang, dan kebersamaan.

Jika siswa sudah terbiasa hidup dalam lingkungan yang penuh dengan kebiasaan religius, kebiasaan-kebiasaan itu pun akan melekat dalam dirinya dan diterapkan di mana pun mereka berada. Begitu juga sikapnya dalam berucap, berpikir dan bertingkah laku akan selalu didasarkan norma agama, moral dan etika yang berlaku. Jika hal ini diterapkan di semua sekolah niscaya akan terbentuk generasi-generasi muda yang handal, bermoral, dan beretika.

III. PENUTUP

A. Simpulan

Dari pembahasan tentang menumbuhkan etika melalui perilaku religius di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

a. Kegiatan religius di sekolah seperti:
(1) berdoa atau bersyukur,
(2) melaksanakan kegiatan di mushola
(3) merayakan hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya,
(4) mengadakan kegiatan keagamaan sesuai dengan agamanya akan membiasakan perilaku religius. Perilaku religius tersebut dapat menuntun siswa untuk bertingkah laku sesuai etika.


b. Dampak dari pembiasaan perilaku religius dalam menumbuhkan etika yaitu terbentuknya sikap siswa dalam berpikir, berucap, dan bertingkah laku yang sesuai dengan etika.

B. Saran

Untuk membiasakan siswa berperilaku religius dan bertingkah laku sesuai dengan etika tidak mudah. Dalam hal ini diperlukan usaha yang kontinu, dan diperlukan kerjasama antara guru atau pendidik, orang tua, dan masyarakat

Artikel 15 :

MANOKWARI SERAMBI YERUSALEM
Endapan Nilai Universal

1. Pengantar

Tanah Rencong Aceh di ufuk barat nusantara dijuluki Serambi Mekkah, dan di Tanah Arfak Papua dijuluki Serambi Yerusalem. Kedua julukan ini memiliki jiwa dan semangat yang sama dalam membangun iman dan keyakinan yang sungguh bagi kehidupan masyarakat di Timur-Barat persada nusantara. Ujaran Serambi Mekkah atau Serambi Yerusalem (Manokwari kota Injil) sama-sama mengandung nilai-nilai keuniversalan tentang kebenaran, kedamaian dan cinta kasih yang sudah harus nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai keuniversalan misalnya, dapat diimplementasikan dalam larangan miras, larangan kegiatan seks komersial; larangan kegiatan publik yang menggangu kegiatan peribadatan.

2. Jiwa dan Semangat

Nafas yang segar melahirkan jiwa dan semangat bagi julukan Serambi Mekkah yang diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan julukan Serambi Yerusalem 'Manokwari Kota Injil' yang diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Jiwa dan semangat yang mendasar dari filosofi otonomi khusus ini mengusung kearifan lokal yang diakomodasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Jiwa dan semangat terintegrasi dalam nilai kekerabatan, yakni sebagai dasar untuk penamaan fasilitas publik dengan nama-nama tokoh masyarakat lokal yang berjasa bagi pemerintahan, pembangunan maupun tempat ibadah.

3. Endapan Nilai Universal

Endapan nilai religius yang nampak dalam kandungan julukan Serambi Mekkah dan Serambi Yerusalem merupakan proyeksi makna pesan yang paling menonjol dalam dimensi keagamaan. Dewasa ini orang cenderung membedakan antara religi (religios) dari agama (religio, religion). Sehingga nilai religi sering dipertentangkan dengan ketidakberagamaan seseorang atau kelompok masyarakat. Namun, sesungguhnya nilai religius berkaitan dengan adanya kenyataan tentang merosotnya kualitas penghayatan seseorang atau kelompok masyarakat dalam beragama, atau berkaitan dengan hilangnya dimensi kedalaman dan hakikat dasar yang universal dari religi. Nilai religi memproyeksikan kebebasan untuk menjaga kualitas keberagamaan seseorang atau guyub tutur terhadap agama sebagai lembaga dan ajaran. Bagi seseorang atau umat yang beragama: Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Islam, dan lain sebagainya, intensitas keberagamannya tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus-menerus terhadap pusat kehidupan (kosmos).

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh seseorang, kelompok atau umat agar mampu meraih nilai religius adalah dengan meningkatkan kepekaannya dalam menangkap simbol atau lambang-lambang untuk memperoleh pengalaman estetik dan pengalaman estetik itulah yang akan memperbaiki pengalaman religius (Hartoko, 1984:51).

Ada empat subnilai pada nilai religius yang akan ungkap dalam julukan Serambi Mekkah dan Serambi Yerusalem. Keempat subnilai itu dapat diuraikan sebagai berikut.

3.1 Nilai Eksistensi Tuhan

Hubungan manusia dengan Tuhan dapat dipahami dalam wujud peristiwa-peristiwa, misalnya penciptaan langit dan bumi, terang dan gelap, siang dan malam, pagi dan petang, cakrawala, air, darat dan laut, tumbuh-tumbuhan, matahari, bulan dan bintang, binatang yang hidup di air, di darat dan burung-burung, manusia penguasa alam semesta dan pengultusan karya seni.

Berangkat dari pemahaman keuniversalan tentang nilai eksistensi Tuhan dalam keberagaman agama, yakni :

(1) dalam perspektif Islam, Allah adalah wujud tertinggi dan terunik. Dia adalah Zat Yang Mahasuci, Yang Maha Mulia, dari-Nya kehidupan berasa dan kepada-Nya kehidupan kembali. Allah dikatakan sebagai Pencipta, Akal Pertama, Penggerak Pertama, Penggerak Yang Tiada Bergerak, Puncak Cita dan Wajib al-wujud. Allah adalah tuntunan setiap jiwa manusia. Setiap manusia merasakan dan menyadari kehadiran-Nya;

(2) dalam perspektif Hindu, ketunggalan Tuhan adalah sumbu dimana filosofi Veda berputar. Tiada yang lain kecuali Tuhan sendiri yang memerintah dan mengatur seluruh alam semesta. Kekuasaan tertinggi hanya menjadi milik Sang Pencipta dari alam semesta ini. Veda suci menyatakan bahwa Tuhan, Sang Hyang Widhi sendiri adalah Tuan tak tertandingi dari seluruh ciptaan. Seluruh nyanyian, kidung pujian dan sembahyang untuk Dia. Sang Hyang Widhi itu tunggal, tapi namanya plural. Semua nama dan gelar (epithets) yang disebut dalam Veda ditunjukkan kepada Sang Hyang Widhi yang satu, yang adalah pencipta alam semesta;

(3) dalam perspektif Buddha, kehadiran Sang Buddha ditunjukkan secara simbolis dengan sebuah pohon (pencerahan), dengan sebuah stupa, dengan sebuah roda (Dharma). Kodrat Sang Buddha sebagai kesucian tertinggi atau ke-Buddha-an dapat dilukiskan dengan penuh arti, yang berbunyi: "Apa yang harus diketahui telah kuketahui, dan yang harus dikembangkan telah kukembangkan, Apa yang harus disingkirkan telah kuusingkirkan, maka akulah Sang Buddha."; dan

(4) dalam perspektif Kristen, paham Tritunggal atau Trinitas Injil masih menjadi aras utama dalam sendi-sendi ritual keagamaan baik dalam protestan maupun khatolik, yakni Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus, atau disebut ke-Esa-an.

3.2 Nilai Kudus

Secara umum kudus adalah sesuatu yang terlindung dari pelanggaran, pengacauan atau pencemaran. Kudus adalah sesuatu yang dihormati, dimuliakan, dan tidak dapat dinodai. Kudus tidak hanya terbatas pada agama saja tetapi banyak objek, baik yang bersifat keagamaan maupun dalam tindakan-tindakan, tempat-tempat, kebiasaan-kebiasaan dan gagasan-gagasan yang dapat dianggap sebagai kudus. Secara spesifik, kudus adalah sesuatu yang dilindungi, khusunya oleh agama terhadap pelanggaran, pengacauan dan pencemaran. Jadi kudus adalah sesuatu yang suci dan keramat (Dhavamony, 1995:87).

Berangkat dari pemahaman kesejagatan bahwa nilai kudus menjadi salah satu ciri yang terpenting dalam kegiatan religius, yakni :

(1) nilai kudus dalam perspektif Hindu, ada dalam Veda (pengetahuan suci), Bramana (formula suci dan realitas dunia), Dharma (hukum suci dan kewajiban suci), dan Mokhsa (pembebasan). Singkatnya, bagi Hinduisme yang kudus mencirikan pencarian menusia terhadap Yang Nyata, Terang, Yang Imortal, baik dalam dirinya sendiri maupun di dunia sekitarnya;

(2) nilai kudus dalam perspektif Buddha adalah yang tidak dilahirkan, tidak dibuat, tidak dijadikan atau tidak disusun, bisa dicapai melalui meditasi pada tingkat paling akhir. Jadi, yang kudus tidak dialami lewat gerak-gerak yang batiniah sekalipun, tetapi lewat ketenangan batin dan ketidakacuhan tubuh. Kekudusan yang paling ideal adalah seseorang yang hakikat jati dirinya digerakkan oleh hasrat untuk memperoleh penerangan penuh;

(3) nilai kudus dalam perspektif Islam adalah pengalaman hormat akan Allah yang mencakup pula kesalehan, ketertarikan dan ketergantungan total kepada-Nya. Semakin besar pengalaman akan Allah sebagai penciptaan alam semesta, semakin utuhlah pengalaman akan sifat-sifat kreatif, teratur dan belas kasihan-Nya. Iman merupakan pusat pengalaman Islam dan bentuknya berupa suatu keyakinan yang kuat terhadap pewartaan nabi;

(4) nilai kudus dalam perspektif Kristen merupakan pandangan bahwa Tuhan Yang Kuasa sebagai Sang Pencipta berada ditempat yang kudus dan umat manusia sebagai hamba-Nya yang melakukan perwujudan kekudusan itu lewat kewajiban manusia untuk mengabdi dan mencintai-Nya.

Dengan menampakkan kekudusan, objek apa pun, dapat dimaknai sebagai sesuatu yang kudus. Sebuah batu suci tetaplah sebuah batu, tak satu pun yang mampu membedakannya dari batu-batu lain. Tetapi ketika menjadi sebuah objek yang suci, maka ia memperoleh kualitas yang disebut suci atau kudus, dan mampu dibedakan dari kualitas batu yang lain.

3.3 Nilai Doa

Doa merupakan gejala umum yang ditemukan dalam semua agama. Dalam berbagai macam bentuknya, doa muncul dari kecenderungan kodrati manusia untuk memberi ungkapan dari pikiran dan rasa dalam hubungannya dengan yang Ilahi. Sebagai mana manusia berkomunikasi secara kodrati dengan manusia-manusia lainnya dalam berbicara, demikian pula dalam menyapa Ilahi dengan cara yang sama, sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya (Dhavamony, 1995:241).

Doa merupakan suatu tindakan rekolektif dan bentuk pemujaan universal, dengan diam ataupun dengan bersuara, pribadi maupun umum, spontan maupun menurut aturan. Karena doa merupakan ungkapan religius yang paling khas dan satu-satunya tindakan religius yang berlaku untuk semua agama. Doa-doa biasanya dipandang sebagai perwujudan nyanyian yang paling kuat.

Berangkat dari pemahaman keuniversalan bahwa makna doa menjadi kerangka dan esensi pesan sebagai aras utama dalam kegiatan religius, yakni:

(1) nilai doa dalam perspektif Buddha bahwa satu-satunya hakekat yang dimiliki adalah meditasi, disamping doa-doa permohonan, permintaan dan penyembahan nama Buddha. Meditasi merupakan pendekatan utama mengenai agama. Tujuan tertinggi dari meditasi adalah penerapan. Meditasi dimaksudkan untuk memperkembangkan kesempurnaan spiritual, mengurangi akibat penderitaan, menenangkan pikiran, dan membuka kebenaran mengenai eksistensi dan hidup bagi pikiran;

(2) nilai doa dalam perpektif Hindu sebagai bentuk pemujaan yang paling mujarab dalam rangka pencapaian kebebasan dari lingkaran kelahiran kembali. Selain doa, Dhavamony (1995:225) menyebutkan doa yang paling terkenal dan paling mujarab adalah Gãyatri: Biarlah kami merenungkan kemuliaan Tuhan yang amat mulia, Savitri, Semoga Ia menggerakkan pikiran-pikiran kami. Kehidupan agama Hindu terdiri dari pemujaan dan meditasi yang merupakan tahapan-tahapan dalam pengalaman akan Tuhan. Pemujaan merupakan bagaian ritual dan meditasi dari bentuk doa;

(3) nilai doa dalam perspektif Islam sebagai bentuk pemenuhan kerinduan kodrati dari hati manusia untuk mencurahkan cinta dan rasa syukur kepada pencipta. Doa umumnya dapat dimasukkan dalam tiga kategori: pujian dan ucapan syukur, penyesalan, serta permohonan. Al-Quran menganjurkan umatnya untuk "setia" dalam doa;

(4) nilai doa dalam perspektif Kristen sebagai "penantian" yaitu penantian akan jawaban yang akan Tuhan berikan, atau apa yang akan Tuhan lakukan selanjutnya. Dalam doa diharapkan sesuatu yang tidak kelihatan. Diyakini bahwa Tuhan sanggup memberikan apa yang diminta dengan jalan bersabar, bertekun, dan setia.

3.4 Nilai Keselamatan

Soteriologi 'ajaran keselamatan' mengajarkan bahwa manusia saat ini sedang berada dalam situasi bahaya rohani terkutuk dalam kehancuran secara spiritual yang membutuhkkan keselamatan. Agama menawarkan keselamatan, baik dalam arti pembebasan dan kejahatan dan akibat-akibat kejahatan maupun dalam arti mencapai keadaan bahagia sempurna yang mengatasi waktu, perubahan, dan kematian (Dhavamony, 1995:294).

Berangkat dari pemahaman kesejagatan bahwa makna keselamatan menjadi salah satu ciri dan upaya dalam semua agama untuk menyingkirkan yang jahat dan menjadi satu dengan Ilahi, serta usaha untuk mewujudkan yang Ilahi. Pemahaman kesejagatan tentang makna keselamatan ini hadir dalam setiap kegiatan religuis, yakni:

(1) nilai keselamatan dalam perspektif Hindu menjadi kunci utama seperti Moksha atau Mukti. Keselamatan adalah buah pengetahuan. Adapun pengetahuan itu adalah kerendahan hati, kesederhanaan, tidak melukai, pengampunan, pengekangan diri, ketulusan hati, hormat pada guru, kemurnian, keteguhan, kebebasan dari keinginan yang melekat dan dari egoisme, penghargaan terhadap penyakit-penyakit manusia, cinta bakti kepada Tuhan, dan hubungan antara jiwa dan jati diri yang maha tinggi;

(2) nilai keselamatan dalam perspektif Buddha merupakan penerimaan masuk ke Tanah Murni dan sarana-sarana untuk memperolehnya adalah iman pada Amida sebagai penyelamat. Keselamatan sebagai pengumpulan anugrah tak terbatas dalam Inkarnasi-Inkarnasi-Nya yang tak terhitung. Ia akan mengalihkan anugrah-anugrah ini kepada makhluk-makhluk inderawi yang masih terbelenggu pada penderitaan dan kemalangan supaya dengan pertolongan ini mereka dapat masuk ke Tanah Murni;

(3) nilai keselamatan dalam perspektif Islam merupakan jalan umum bagi seorang Muslim dengan mengikuti perintah-perintah Allah dan teladan Rasul, serta menaati hukum. Keselamatan dapat diperoleh dengan melaksanakan imannya dan menjalankan pujaan (doa ritual, Ramadan, dan Ziarah) dengan memperhatikan kaum miskin. Jadi, bagi Islam tidak ada keperluan penebusan, tidak ada metode pertobatan lewat jalan penebusan;

(4) nilai keselamatan dalam perspektif Kristen merupakan upaya untuk mendapatkan kedamaian sebagai wujud bimbingan dari Tuhan. Keselamatan Kristiani digambarkan sebagai sebuah zaman kebebasan dari semua perbudakan maupun sebagai kebebasan hidup sejati dan benar. Kebutuhan akan kedamaian dari Tuhan merupakan wujud nilai rasa spiritual yang tinggi terhadap keberadaan-Nya. Kedamaian, kesejahteraan yang datang dari Tuhan, mampu melampaui segala kekuatiran dan kebimbangan. Keselamatan dapat ditemukan dalam hati sanubari setiap umat manusia sebagai upaya menjawab apa yang berhubungan dengan kebebasan hari esok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar