Kamis, 21 Mei 2009

Pendidikan Tinggi

Artikel 1:

JENIS PENDIDIKAN TINGGI
"Mau nerusin ke mana setelah SMU ?" Mungkin itu yang ada di benak siswa-siswi yang udah kelas tiga SMU. Pertanyaan klasik yang susah untuk dijawab. Karena saat ini sudah banyak sekali perguruan tinggi baik swasta maupun negeri yang ada di Indonesia.
Struktur pendidikan tinggi di Indonesia terdiri dari dua jalur pendidikan, yaitu pendidikan akademik dan pendidikan profesional. Ada baiknya kita mengetahui masing-masing jenis institusi pendidikan tinggi yang ada sebelum mendaftarkan diri.
Pendidikan akademik menghasilkan lulusan dengan gelar S1, S2 dan S3. Pendidikan jalur profesional menghasilkan lulusan yang memperoleh sebutan profesional melalui program diploma (D1, D2, D3, D4) atau Spesialis (Sp1, Sp2).
1. Universitas : perguruan tinggi yang mempunyai program studi beragam dan dikelompokkan dalam fakultas-fakultas. Fakultas-fakultas yang ada itu dibagi lagi ke dalam beragam jurusan dan Akutansi, Manajemen dan Studi Pembangunan.
2. Institut : perguruan tinggi yang mempunyai program studi dengan ilmu yang sejenis. Misalnya institut pertanian memiliki program studi pertanian, peternakan dan kehutanan, atau institut teknologi mengajarkan beragam ilmu yang berhubungan dengan teknik.
3. Sekolah Tinggi : perguruan tinggi yang hanya menyelenggarakan satu program profesi sesuai dengan spesialisasinya. Misalnya Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi memiliki program profesi spesialis ekonomi, atau Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia memiliki jurusan Seni Lukis, Seni Patung dll.
4. Akademi dan Politeknik : institusi pendidikan tinggi yang hanya menyelenggarakan satu program studi dan lebih menekankan pada keterampilan praktek kerja dan kemampuan untuk mandiri. Lama pendidikan tiga tahun dan tidak memberikan gelar. Hanya saja, di politeknik porsi praktek lebih besar.
- Dirangkum dari berbagai sumber

artikel 2 :

Tantangan dan Tren Pendidikan Tinggi

Institusi pendidikan tinggi (universitas) tidak steril dari tuntutan dan perkembangan zaman. Kemampuan menyikapi tantangan dan tren yang dibawa oleh zaman akan sangat menentukan apakah sebuah universitas dapat tetap kompetitif atau kehilangan pasar. Tantangan dan tren inilah yang memaksa dan mengharuskan universitas untuk menerapkan logika korporasi, dengan mengedepankan prinsip-prinsip efisiensi pembiayaan, memperhitungkan setiap risiko (calculability), dan kemampuan untuk memprediksi tantangan dan tren ke depan (predictability). Dalam bahasa Kezar (2000), peran seorang rektor akan semakin menyerupai manajer perusahaan, dan manajemen universitas makin menitikberatkan pada akuntabilitas. Salah satu dampak dari perubahan ini adalah bergesernya fokus pendidikan dari sasaran utamanya, yaitu mahasiswa. Tuntutan masyarakat akan kualitas pendidikan tinggi yang bermutu dan murah pasti akan menyulitkan universitas dalam mendesain, baik program maupun kepastian lulusannya agar dapat diterima pasar kerja (Kovel-Jarboe, 2000).

Setiap universitas dapat dipastikan memiliki problem sosialnya sendiri. Pada saat bersamaan, dalam setiap masyarakat juga memiliki masalah dan isu-isu yang berkaitan dengan dunia universitas. Strategi yang mungkin akurat untuk mengatasi masalah-masalah tersebut sangat bergantung pada kondisi struktur dan kepemimpinan di tingkat lokal dan latar belakang kesejarahan masyarakat itu sendiri. Segenap potensi sumber daya universitas seyogianya digunakan untuk memperbarui, memvalidasi, dan memperluas wilayah keilmuan yang bersifat humanis dengan menggunakan metode-metode pengetahuan standar. Metode pengetahuan tentu saja hanya dapat ditransmisi dalam suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan terbuka sebagai bentuk way of life. Pentingnya budaya demokratis yang bertanggung jawab di universitas adalah tuntutan lain dari kebutuhan dan perkembangan psikososial mahasiswa kita yang semakin sensitif terhadap semua jenis isu sosial dan politik (Dickinson, 1991).

Otonomi dan tren pendidikan tinggi

Isu otonomi pendidikan sebenarnya sudah dimulai di Indonesia sejak masa Presiden Habibie. Meskipun isu otonomi dan kebebasan akademis dalam beberapa hal sangat kontroversial, dalam batas tertentu kita harus menganggapnya sebagai kebutuhan yang bisa fleksibel. Otonomi adalah hak bagi setiap institusi untuk memutuskan apa yang baik bagi sebuah institusi tanpa ada gangguan dari pihak luar. Konsep ini jelas datang dari semangat kebebasan akademis, ketika hak-hak akademis individu untuk mengekspresikan opini mereka terjamin.

Di dalam Magna Carta of European Universities yang ditandatangani pada 1988 oleh para rektor dari Universitas terbaik se-Eropa dikatakan bahwa universitas merupakan lembaga yang otonom di tengah-tengah masyarakat yang sangat beragam, baik secara geografis maupun budaya. Universitas adalah produsen utama hampir seluruh produk sosial, politik, dan budaya yang bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, keseluruhan proses belajar mengajar di universitas secara moral dan intelektual haruslah independen dan terlepas dari semua kepentingan politik dan kekuasaan. Kebebasan dalam menjalankan proses belajar mengajar dan melakukan riset secara terbuka merupakan pilihan strategis dan fundamental bagi universitas dalam rangka menjaga independensinya di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, universitas harus secara konsisten dan konsekuen menjaga prinsip-prinsip otonomi seperti: (1) Hak untuk mempekerjakan dan memecat staf akademis yang melanggar etika dan tidak dapat mengembangkan kapasitas akademisnya, (2) hak untuk memutuskan apa dan bagaimana proses belajar mengajar harus dijalankan, (3) hak untuk menyeleksi mahasiswa dan mengevaluasi performance mereka secara mandiri dan bertanggung jawab, serta (4) hak untuk memilih topik-topik riset yang mereka inginkan tanpa harus takut akan intervensi pihak luar.

Di samping soal otonomi, beberapa isu penting soal bagaimana seharusnya sebuah universitas merespons perkembangan sosial budaya masyarakat juga harus diperhatikan. Isu tentang strategi kolaborasi yang harus dijalankan oleh universitas, strategi pendanaan, dan pentingnya memikirkan segmentasi yang bersinergi dengan bursa kerja merupakan keharusan yang perlu dipikirkan, direncanakan, dan dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan (Zusman, 1999).

Dalam rangka menarik minat pasar, pendidikan tinggi di Indonesia, mau tidak mau dan suka atau tidak suka, harus membuka program-program pelatihan, sertifikasi, serta kuliah jarak jauh yang dikelola dengan logika kolaboratif, yaitu ketersambungan dunia bisnis dan pendidikan. Networking atau jejaring adalah kata kunci yang harus dikembangkan secara terus-menerus oleh setiap universitas dalam rangka mencari pola partnership yang tepat antara universitas dan lembaga keuangan (bisnis, entertainer) dan lembaga riset. Selain itu, universitas diharapkan juga jeli dalam menjalin kolaborasi dengan sekolah menengah umum tertentu sebagai basis input-nya dan universitas lain terutama dalam rangka pemanfaatan sumber daya dan teknologi. Jika strategi kolaborasi ini berjalan, perencanaan pendidikan menjadi lebih mudah disosialisasikan ke tingkat masyarakat. Dengan demikian, pembukaan program-program baru yang berorientasi pada pasar atau kebutuhan masyarakat perlu dijajaki.

Selain itu, dalam menjalankan strategi pendanaannya, lembaga pendidikan tinggi juga harus memperhatikan daya beli masyarakat. Karena itu, riset tentang pembelanjaan dana publik di sektor pendidikan harus dilakukan. Belajar dari tren yang berkembang di Amerika Serikat, skema distribusi dana pendidikan diubah dari 'subsidi' menjadi 'pinjaman'. Perubahan ini sudah barang tentu merugikan masyarakat kurang mampu, yang enggan terbebani utang. Meski demikian, permintaan pinjaman mahasiswa meningkat secara signifikan, yang jumlahnya naik dari setengah menjadi tiga perempat dana pinjaman dalam anggaran pemerintah pusat. Adapun di tingkat negara bagian, alokasi anggaran pendidikan menunjukkan peningkatan. Sumbangan korporasi untuk universitas pun meningkat. Di samping itu, semakin banyak negara bagian yang mengikuti jejak California mengenalkan skema pinjaman yang lunak (Kovel-Jarboe, P 2000).

Strategi dan skema pendanaan yang berlaku saat ini di Amerika Serikat boleh jadi dapat menginspirasi lembaga pendidikan tinggi kita untuk melakukan kerja sama dengan perbankan dan pemerintah daerah dalam menggalang dana publik masuk ke sektor pendidikan tinggi. Ke depan, diharapkan ada riset mendalam yang secara spesifik melihat kemungkinan strategi pendanaan seperti ini bagi para mahasiswa kita di Indonesia.

Strategi ketiga adalah bagaimana lembaga pendidikan memetakan kemampuannya dalam melihat segmentasi pasar. Harus kita sadari bahwa 'peta sosial' universitas senantiasa berubah, baik dalam hal komposisi umur dan jenis kelamin, serta konfigurasi mayoritas-minoritas. Hal yang penting diperhatikan adalah meningkatnya jumlah 'mahasiswa dewasa'. Ketika perusahaan mengurangi program-program pelatihan, karyawan berpaling pada institusi akademis. Universitas-universitas dan lembaga pendidikan tinggi yang tanggap akan kebutuhan ini, yaitu yang mampu menjanjikan peningkatan kemampuan akademis dan keahlian khusus, baik melalui kelas reguler maupun kelas jarak jauh, menjadi lebih kompetitif.

Dengan kesadaran tentang the new student map, sesungguhnya kita menginginkan agar universitas di Indonesia dapat berperan lebih aktif dalam melihat kebutuhan tenaga profesional di segala bidang dengan kebutuhan dunia birokrasi dan usaha. Para pekerja yang ingin memperoleh ilmu dan meningkatkan profesionalitas mereka perlu diakomodasi oleh lembaga pendidikan seperti universitas dengan membuka program-program yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan secara bertanggung jawab.

Kesadaran tentang paradigma instruksional lembaga pendidikan kita juga tampaknya perlu digeser menjadi paradigma pembelajaran yang mengedepankan keberagaman model belajar dan multiple intelligences. Pada titik ini, peran dosen dan tenaga pengajar lainnya menjadi sangat penting. Karena itu, dosen dan tenaga akademis di setiap lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk memiliki kemampuan, pengetahuan, dan keahlian dalam memutuskan bagaimana dapat membantu mahasiswa belajar secara maksimal. Perubahan paradigma pembelajaran ini juga membawa konsekuensi logis kepada universitas untuk melakukan program-program penyegaran dan pelatihan yang dapat memacu kreativitas pembelajaran (Kezar, 2000).

Oleh Ahmad Baedowi
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta

Sumber: Media Indonesia Online

artikel 3 :

Sebagai salah satu universitas negeri terbesar di Indonesia, Unpad ikut ambil bagian dalam Pekan Pendidikan Tinggi Jakarta (PPTJ) 2009 di Istora Senayan Jakarta, mulai 17-19 Februari 2009. Acara tersebut merupakan acara tahunan demi mengakomodasi kebutuhan informasi pendidikan tinggi bagi murid SMA, khususnya siswa kelas 3 SMA.

Kesempatan ini tidak disia-siakan, baik bagi peserta maupun siswa SMA. Hal ini terlihat dari jumlah peserta pameran yang mencapai sekira 200-an perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Selain itu, pengunjung juga tampak membludak. Di stand Unpad sendiri, guru dan siswa SMA yang berkunjung pada hari pertama mencapai lebih dari 500 orang.

Berbagai macam pertanyaan dan informasi mereka ajukan di stand Unpad. Pada umumnya bertanya sekitar jalur penerimaan mahasiswa baru dan jenjang pendidikan di Unpad.

Seperti yang pernah diberitakan sebelumnya, Unpad menerima mahasiswa baru Unpad dari dua jalur masuk, yaitu SNMPTN dan SMUP. SNMPTN adalah jalur masuk Unpad yang seleksinya dilakukan secara nasional, sedangkan SMUP merupakan jalur penerimaan mahasiswa baru yang seleksinya diadakan secara mandiri oleh Unpad. Kedua jalur tersebut memiliki karakteristik dan prosedur masing-masing. ”Setiap tahun kami mengikuti pameran pendidikan. Seperti di PPTJ ini, selama dua kali penyelenggaraannya, kami sudah berpartisipasi,” tutur Eriyanto, staf Humas Unpad.

Koordinator Humas Unpad, Weny Widyowati menambahkan bahwa keikutsertaan Unpad dalam PPTJ 2009 diutamakan sebagai ajang layanan informasi pada masyarakat yang membutuhkan, dalam memilih program studi yang sesuai minat, bukan sekadar promosi institusi.

Sebagai universitas yang sedang dalam proses menjadi universitas kelas dunia, Unpad memperkenalkan berbagai macam keunggulan dan prestasi yang dimiliki. Unpad kini melengkapi berbagai fasilitas penunjang pendidikan. Selain itu, kualitas juga menjadi elemen penting demi menjaga mutu pendidikan dan lulusannya.

PPTJ 2009 juga dimeriahkan dengan pentas seni dari siswa SMA se-Jabodetabek.

Minat Masuk Unpad
Hari kedua penyelenggaraan PPTJ 2009, Unpad tetap dibanjiri pengunjung. Hal ini dibuktikan dengan semakin menipisnya brosur yang tersedia. Bahkan brosur beberapa fakultas, jumlahnya sudah lebih sedikit daripada brosur fakultas lainnya. “Beberapa brosur fakultas tertentu memang sedikit berkurang daripada brosur fakultas yang lain. Sebenarnya kami sudah mengatur sirkulasi keluarnya brosur, tapi karena memang minat siswa yang berbeda-beda dan kebetulan ada beberapa fakultas yang mereka favoritkan, maka brosurnya banyak diburu,” tutur Anggit, Staf Humas Unpad, Rabu (18/02).

”Dari dulu saya memang ingin masuk Unpad, kayaknya keren gitu.Padahal keluarga saya kebanyakan di universitas yang lain”, ungkap Farhana, siswi SMAN 4 Depok, Rabu (18/02). Dirinya mengaku sudah jatuh cinta dengan Unpad sejak lama. Ia memang sengaja mengunjungi stand Unpad untuk mencari informasi tentang program studi Farmasi Unpad.

Di sisi lain, beberapa fakultas baru di Unpad mulai dicari calon mahasiswa, salah satunya ialah Fakultas Teknik Geologi (FTG). Sejak 1959, jurusan Geologi di Unpad masih menjadi salah satu jurusan pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Namun sejak 2007, jurusan Geologi berubah menjadi Fakultas Teknik Geologi (FTG). Meskipun terhitung baru sebagai fakultas, namun FTG Unpad telah banyak berkiprah dan berprestasi. Kualitas FTG pun tak bisa dipandang sebelah mata. Baru-baru ini, FTG Unpad menjalin kerjasama dengan Roxar, salah satu perusahaan konsultan pertambangan terbaik di dunia yang berbasis di Norwegia.

“Aku memang lagi cari Teknik Geologi. Dari dulu, aku memang berminat belajar tentang Geologi. Alhamdulillah kebetulan di Unpad ada. Sudah jadi fakultas tersendiri lagi,” pungkas Fina, siswi SMAN 24 Jakarta. Hal yang sama juga dialami Fakultas Farmasi. Fakultas yang berdiri sejak Oktober 2006 tersebut cukup diburu siswa-siswi SMA yang mengunjungi stand Unpad. Fenomena ini memperlihatkan pergeseran minat calon mahasiswa, namun bukan berarti fakultas lain tidak dilirik siswa SMA. (eh)*


Laporan oleh: Anton Sumantri

artikel 4 :

Membangun Universitas Riset

Para pemerhati pendidikan kini semakin menyadari bahwa perguruan tinggi (PT) di Indonesia perlu memperluas peran konvensionalnya yakni bukan sekadar sebagai lembaga pencetak tenaga ahli dan kaum terpelajar semata. PT perlu dikembangkan menjadi institusi produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, pemecah masalah atas kompleksitas persoalan sosial-kemasyarakatan, penyedia layanan publik, dan pusat pengkajian bagi kemajuan dan keunggulan bangsa. Untuk itu, membangun universitas riset bukan saja merupakan kebutuhan mendesak, melainkan juga sangat penting guna menjaga daya tahan dan keberlanjutan PT bersangkutan.

Urgensi membangun universitas riset harus diletakkan dalam konteks, paling kurang, tiga tantangan utama. Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang berlangsung sangat cepat dan dinamis. Bahkan lembaga-lembaga riset di luar PT, terutama divisi R&D yang dikelola dunia industri, acap kali menjadi pelopor bagi penemuan-penemuan baru dan inovasi teknologi mutakhir, yang menggerakkan revolusi teknologi secara spektakuler. Kedua, iptek kian menunjukkan kedigdayaannya sebagai instrumen utama penggerak pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Perkembangan ekonomi suatu negara kini tidak lagi hanya bertumpu pada pertanian dan industri manufaktur semata. Banyak negara mengalami kemajuan pesat dengan memperkuat ekonomi berbasis iptek seperti Jepang, Korsel, China, Hong Kong, dan Malaysia. Ketiga, globalisasi sudah menjadi fenomena mondial yang membawa pengaruh dahsyat pada pendidikan tinggi. Dampak paling nyata adalah interaksi antara PT asing dan PT domestik yang berlangsung makin intensif. Hal itu terwujud dalam berbagai bentuk kerja sama kelembagaan seperti professorial fellowships, pertukaran dosen, penelitian, atau penyelenggaraan kegiatan ilmiah (simposium, konferensi). Bahkan beberapa universitas asing sudah mulai merintis jalan untuk beroperasi di Indonesia dalam skema kemitraan dengan universitas di dalam negeri.

Dengan memperhatikan ketiga tantangan di atas, sebagai bangsa kita harus berikhtiar membangun universitas riset unggulan di Indonesia. Konsep universitas riset modern dilukiskan oleh Nannerl O Keohane dalam The Mission of the Research University (1994) sebagai A company of scholars engaged in discovering and sharing knowledge, with a responsibility to see that knowledge is used to improve the human condition. Misi utama yang diemban universitas riset adalah penelitian dan pengajaran, yang harus mengutamakan dua hal esensial, discovering dan sharing. Melalui penelitian akan berlangsung discovering pengetahuan, bukan sekadar acquiring, yang mengandaikan seorang ilmuwan berupaya mengerahkan segenap daya intelektualnya dalam melakukan pencarian, penjelajahan, eksperimentasi, percobaan, dan pengujian ilmiah melalui trial-and-error method. Upaya ini harus dilakukan secara tekun, konsisten, dan sistematis berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan, sehingga melahirkan suatu breakthrough yakni penemuan-penemuan baru yang memberi manfaat bagi kepentingan umat manusia.

Melalui pengajaran akan berkembang sharing pengetahuan—bukan sekadar transmitting pengetahuan—yang mengandaikan seorang sarjana dan ilmuwan bukanlah satu-satunya pemegang otoritas keilmuan di suatu komunitas akademis, melainkan salah satu simpul saja dari serangkaian mata rantai sumber ilmu pengetahuan. Dengan prinsip sharing, ilmu pengetahuan dibagi dan dialirkan ke segenap sivitas akademika melalui mekanisme shared experience. Mekanisme ini membuka peluang berlangsungnya self-criticism, self-renewal, pengujian, dan perdebatan sehingga terbangun wacana dan tercipta dialektika pemikiran yang dapat memicu discovery dan exploration. Karena itu, setiap ilmuwan harus mampu menjaga keseimbangan antara kegiatan ilmiah di ruang laboratorium dan kegiatan mengajar di ruang kelas. Penciptaan, penemuan, dan produksi ilmu pengetahuan terjadi melalui proses yang panjang, suatu sinergi antara ketekunan bereksperimen di laboratorium (termasuk riset lapangan) dan kegigihan berdialektika di ruang kuliah. Bukankah pengalaman Eureka! Archimedes (287-212 SM) karena ia melakukan dialog dan kontemplasi panjang serta 'bereksperimen kecil' dengan melompat ke bak mandi, yang menjadi sumber ilham dalam merumuskan asas hidrostatika? Dunia kemudian mencatat, hukum Archimedes tentang asas hidrostatika dalam ilmu fisika ini memberi kontribusi besar dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan modern.

Untuk membangun universitas riset dibutuhkan dukungan infrastruktur dan sumber daya (manusia dan finansial) yang memadai. Dukungan infrastruktur yang diperlukan: (i) gedung dan ruang pembelajaran, (ii) laboratorium berikut peralatan guna melakukan eksperimentasi, (iii) perpustakaan dan buku referensi untuk mengembangkan gagasan-gagasan baru, (iv) ruang kantor bagi dosen dan peneliti guna merenung dan menulis (makalah, artikel, buku), dan (v) fasilitas pendukung seperti komputer berikut jaringan internet guna mengakses aneka academic resources berupa jurnal ilmiah, monograf, laporan penelitian, atau hasil kajian. Dukungan SDM tentu sangat vital. Tenaga akademik berkualifikasi doktor/master memainkan peranan sentral. SDM bermutu untuk menjamin kualitas program akademik sehingga universitas dapat melahirkan lulusan-lulusan berkualitas di berbagai bidang keilmuan dan keahlian.

Kebijakan Ditjen Pendidikan Tinggi mengirim 2.500 dosen untuk mengambil PhD dan master ke luar negeri tentu saja bagus. Namun, kebijakan itu harus diimbangi dengan membangun pusat-pusat penelitian/laboratorium. Dengan demikian, sepulang mereka dari sekolah bisa berkiprah melalui kegiatan riset ilmiah untuk mengembangkan iptek. Tanpa dukungan pusat penelitian/laboratorium, mereka tak akan maksimal dalam menekuni kerja-kerja keilmuan bahkan bisa mengalami frustrasi karena potensi mereka tak tersalurkan semestinya. Dukungan finansial jelas sangat determinan agar universitas riset bisa beroperasi dan dapat menjalankan tiga fungsi utamanya secara maksimal yakni pengajaran, penelitian, dan pelayanan publik. Dukungan finansial juga diperlukan untuk membayar gaji dosen dan peneliti secara layak agar mereka bisa bekerja profesional. Ada ungkapan populer, If you need professional employees you should provide professional salary.



Untuk mengukur kapasitas dalam membangun universitas riset, kita perlu melihat kemampuan Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain dalam menyediakan public expenditure untuk R&D dan ketersediaan tenaga peneliti yang mendukungnya. Menurut Human Development Report 2006, antara tahun 1996 sampai 2006 kemampuan Indonesia mengeluarkan belanja publik untuk penelitian dan pengembangan hanya sebesar 0,5% dari PDB.



Sementara itu pengeluaran publik untuk keperluan serupa di Malaysia 0,7%, China 1,1%, Singapura 2,1%, dan yang paling besar Korsel 3,0% dari PDB. Dokumen HDR juga mencatat jumlah tenaga peneliti bidang R&D per satu juta penduduk di Indonesia sebanyak 130, Malaysia 160, China 548, Korsel: 2.880, dan yang paling banyak Singapura: 4.052. Memperhatikan data ini, dapat dimaklumi bila keempat negara tersebut berhasil mencapai kemajuan signifikan dalam membangun universitas riset berkelas dunia sehingga mampu bersaing pada level internasional. Menurut Times Higher Education Supplement 2007, Hong Kong, Singapura, China, dan Korsel berhasil menempatkan perguruan tinggi mereka pada peringkat 100 universitas terbaik dunia. Sekadar menyebut beberapa saja, University of Hong Kong (18), National University of Singapore (33), Beijing University (36), National Tsing Hua University (40), Seoul National University (51), dan Nanyang University of Technology (69).



Keberhasilan negara-negara Asia Timur tersebut dalam membangun pendidikan tinggi berjalan paralel dengan tingkat kemajuan ekonomi mereka. Ini semakin membuktikan betapa pencapaian kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada keberhasilan membangun pendidikan tinggi. Pengalaman ini bisa menjadi rujukan dalam upaya membangun perguruan tinggi di Indonesia, sehingga mampu bersaing pada level global. Jika bermimpi punya universitas riset berkelas dunia seperti Amerika dan Eropa dianggap terlampau tinggi, setidaknya kita dapat melakukan benchmarking dengan universitas sejenis di negara-negara tetangga di Asia Timur. Mereka telah terbukti berhasil membangun universitas riset unggulan sehingga mampu bersaing dengan universitas lain di tingkat dunia. Benchmarking sangat penting sebagai langkah awal dalam melakukan perbaikan mutu dan peningkatan kinerja perguruan tinggi di Indonesia.

Oleh Amich Alhumami
Peneliti Sosial dan Pemerhati Pendidikan
Kandidat Doktor pada Department of Social Anthropology,
University of Sussex, United Kingdom

Sumber: Media Indonesia Online

artikel 5 :

Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi masih Rendah
By Republika Newsroom

Selasa, 10 Maret 2009

JAKARTA -- Angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia baru mencapai 18 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Presentase angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi) masih cukup rendah dibanding dari jumlah penduduk Indonesia'' kata Taufik Hanafi, Direktur Pendidikan dan Urusan Keagamaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Selasa (10/3).

Rendahnya angka tersebut menurut Taufik dipengaruhi oleh angka kelulusan SLTA yang juga masih rendah.Berdasarkan Angka Kerja Menurut Pendidikan Tinggi yang Ditamatkan di Perkotaan dan Pedesaan tahun 2008 oleh Bappenas, angka tertiggi kelulusan SLTA dari tujuh regional (desa dan perkotaan) hanya mencapai 30, 28 persen dari total usia sekolah. Sedangkan angka terendah di Nusa Tenggara hanya mencapai 21,10% dan di Jakarta dan Pulau Jawa angka kelulusan SLTA hanya mencapai 28,43 persen.

''Untuk tingkat pendidikan dasar memang sudah cukup baik tapi untuk tingkat lanjut setingkat SLTP dan SLTA masih tertinggal dibanding negara lain,'' kata dia.Menurut data Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programe 2002-2005, Indonesia hanya menduduki peringkat 107 dari 170 negara. Ketiga dari bawah untuk negara ASEAN. di bawah Vietnam yang menduduki peringkat 105, Filipina (90), dan Thailand (78).Peringkat tertinggi negara ASEAN diduduki Singapura, yaitu ke- 25 dari 170 negara.

Taufik mengatakan untuk mendukung rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2008 pada lima tahun kedua (2010-2014) angka partisipasi diharapkan meningkat menjadi 25 persen.''Memang peningkatan yang diharapkan cukup tinggi. Tapi angka tersebut harus diupayakan untuk mendukung RPJPN hingga 2025 mendatang,'' kata dia. fia/ism

Sumber: Republika Online


artikel 6 :

PTN Galang Dana untuk Beasiswa
Dosen Patungan Membantu Mahasiswa Miskin

Sabtu, 7 Maret 2009

JAKARTA, JUMAT — Sejumlah perguruan tinggi negeri menggalang sumber dana untuk beasiswa bagi mahasiswa miskin. Sumber dana tidak hanya mengandalkan perusahaan dan yayasan yang kerap mengucurkan dana beasiswa, tetapi juga dengan memanfaatkan sumber internal di dalam kampus, seperti patungan atau iuran dari para dosen.

Di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), misalnya, sumber dana beasiswa bagi mahasiswa miskin juga digalang dari para pegawai dan dosen secara sukarela setiap bulannya.

”Sumbangan dana solidaritas pendidikan ini diutamakan untuk memberi beasiswa kepada anak pegawai atau dosen serta mahasiswa miskin di UNY. Dengan cara ini bisa membantu minimal dua mahasiswa dari tiap program studi,” kata Rochmad Wahab, Pejabat Rektor UNY, Jumat (6/3).

Menurut Rochmad, pada tahun ini penerimaan mahasiswa baru UNY lewat jalur seleksi nasional mahasiswa perguruan tinggi negeri (SNMPTN) juga ditambah hingga mencapai 75 persen dari kuota, meningkat 35 persen dari tahun lalu.

”Selain untuk mempermudah pendaftaran dengan jalur yang semakin sederhana, hal ini dilakukan untuk memperbesar akses lulusan SMA yang ingin mendaftar dari seluruh Nusantara dengan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan jalur mandiri,” ujar Rochmad.

Pembantu Rektor III UNY Herminarto Sofyan mengatakan, sebagian besar beasiswa di UNY berasal dari pemerintah dan perusahaan yang membutuhkan lulusan UNY. Nilai dana beasiswa yang terkumpul mencapai Rp 6,9 miliar yang diberikan kepada 3.656 mahasiswa. Jumlah ini baru sekitar 15 persen dari total mahasiswa.

Dari alumni

Di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya, selain dari berbagai lembaga, beasiswa pendidikan juga bersumber dari Ikatan Keluarga Alumni ITS dan Ikatan Orang Tua Mahasiswa. Totalnya mencapai Rp 9 miliar. ”Sebagian berstatus beasiswa ikatan dinas,” kata Rektor ITS Priyo Suprobo.

Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, menyediakan beasiswa bagi 6.500 mahasiswa tak mampu atau sekitar 25 persen dari total mahasiswa di kampus itu. Dana beasiswa yang terdiri atas 32 jenis dari pemerintah pusat dan daerah serta perusahaan itu mencapai Rp 14,84 miliar pada tahun ini.

M Dahlan Abubakar, Humas Unhas, menjelaskan, pola pemberian beasiswa tidak dalam bentuk pembebasan SPP, melainkan pemberian bantuan biaya penunjang kebutuhan studi hingga mahasiswa yang bersangkutan tamat. Besaran beasiswa bervariasi dari Rp 250.000 hingga Rp 1 juta per bulan bergantung pada jenis dan program studi.

Universitas Gadjah Mada (UGM) memiliki 50 penyandang dana untuk menyediakan beasiswa bagi sekitar 7.700 mahasiswa. Nilainya mencapai Rp 17 miliar. Sentot Haryanto, Direktur Kemahasiswaan UGM, mengatakan, kampus tersebut sudah bisa memenuhi amanah UU BHP yang mewajibkan alokasi 20 persen beasiswa pendidikan bagi mahasiswa tak mampu. (ELN/NAR/IRE/WKM/RAZ)

Sumber : Kompas Cetak

Sumber: Kompas.Com

artikel 7 :

Membedah Industri Pendidikan Tinggi
KOMPETISI global juga sudah melanda dunia pendidikan. Setiap tahun, saat lulusan SMA dan SMK bersaing untuk
mendapatkan institusi pilihan, perguruan tinggi pun berlomba-lomba mempromosikan diri dan menjaring calon-calon
mahasiswa potensial. Potensial bisa berarti mampu secara akademis atau finansial.
PERGURUAN tinggi dari luar negeri pun tidak mau kalah, dan gencar berpromosi. Begitu pula perguruan-perguruan tinggi
swasta (PTS) melakukan berbagai upaya pemasaran dan menjadikan dunia pendidikan tinggi seperti bisnis dan industri.
Kini beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) tidak mau ketinggalan dengan membuka jalur khusus atau ekstensi.

Persaingan merebut kue

Akhir tahun ajaran jenjang pendidikan SLTA sebenarnya jatuh sekitar bulan Mei. Para lulusan SMA/SMK biasanya
mendapat surat tanda tamat belajar (STTB) dan surat tanda kelulusan (STK) sekitar bulan Juni. Namun sebelum
mengikuti ujian akhir nasional (UAN), sebagian siswa SMA/SMK -terutama yang nilai rapor hingga semester lima tidak di
bawah rata-rata-sudah mendapat tempat di perguruan tinggi.

Beberapa perguruan tinggi sudah melakukan ujian seleksi masuk dan menerima siswa SMA/SMK sekitar bulan Maret dan
April. Bahkan ada perguruan tinggi yang sudah memulai seleksi gelombang pertama pada Januari dan Februari.
Beberapa tahun terakhir ini, seleksi mahasiswa baru menjadi makin dini karena perguruan tinggi berlomba-lomba
memajukan tanggal penerimaan mahasiswa baru untuk menjaring mahasiswa pilihan sebelum didahului perguruan
tinggi pesaing. Dalam semangat persaingan ini, ada perguruan tinggi yang menetapkan seleksi gelombang pertama
pada awal tahun, tetapi sebetulnya diam-diam sudah memastikan untuk menerima mahasiswa pilihan sekitar bulan
Oktober dan November ketika siswa SMA/SMK belum mengikuti ujian akhir semester gasal. Seleksi pra-gelombang
pertama ini dibungkus dengan nama jalur prestasi, jalur khusus, jalur kerja sama, dan semacamnya.
Praktik penerimaan mahasiswa baru ketika mereka masih berstatus siswa kelas III, sering menimbulkan protes dari
pihak sekolah menengah. Ada keluhan, siswa kelas III yang sudah diterima di perguruan tinggi menunjukkan
kecenderungan meremehkan pelajaran dan guru mereka, meski beberapa perguruan tinggi menjanjikan bisa saja
membatalkan penerimaan jika ada laporan pihak SMA/SMK mengenai tindakan indisipliner siswa.
Keluhan lain pihak SLTA adalah kedatangan dan kunjungan perguruan tinggi yang meminta waktu untuk melakukan
presentasi kepada siswa kelas tiga. Akibat frekuensi kunjungan yang begitu besar, banyak kepala dan guru SLTA
menghkhawatirkan terganggunya jadwal kerja dan pelajaran sekolah.
Di satu sisi, siswa kelas III memang membutuhkan informasi dan sosialisasi dari perguruan tinggi. Tetapi di sisi lain, jika
kepala SMA/SMK melayani setiap permintaan perguruan tinggi untuk mengadakan presentasi, banyak waktu pelajaran
harus dikorbankan, sementara siswa kelas III juga harus menyiapkan diri menghadapi UAN.
Beberapa SMA-terutama yang favorit dan menjadi target PTS-mengakomodasi kedua kebutuhan ini dengan menyediakan
satu atau dua hari khusus untuk informasi studi dan mengundang PTS (dalam negeri maupun perwakilan PT luar negeri).
Untuk mendapatkan calon mahasiswa yang bersedia membayar sumbangan masuk antara Rp 3 juta hingga di atas Rp
30 juta, pihak perguruan tinggi tidak keberatan membayar sewa stan atau memasang iklan di buku kenangan yang dibuat
sekolah. Jadinya, selain memberi kesempatan bagi siswa untuk window shopping sebelum membuat keputusan akhir,
ajang promosi perguruan tinggi juga memberi kesempatan bagi siswa SMA untuk mendapat dana tambahan yang
mungkin dipakai untuk keperluan sekolah maupun kesejahteraan guru.

Program unggulan
Akreditasi program studi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) merupakan syarat minimal namun tidak
cukup memadai untuk dijadikan poin jual. Kini perguruan tinggi berlomba mengemas dan menonjolkan beberapa
program unggulan lain, di antaranya sertifikasi internasional, kerja sama dengan industri, dan kerja sama internasional.
Sertifikasi internasional bisa berupa pengakuan dari organisasi profesi di luar negeri (misalnya ada program bisnis yang
mengklaim mendapatkan pengakuan AACSB, American Association of Colleges and Schools of Business) atau sertifikasi
kendali mutu yang biasanya dilakukan di dunia industri (ada PTS yang telah memperoleh ISO 9001).
Keterkaitan antara perguruan tinggi dan dunia kerja merupakan salah satu area yang sering mendapat sorotan. Dalam
pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi (SK Mendiknas No 045/U/2002 perihal Kurikulum Inti), pengajaran harus
relevan dengan kebutuhan masyarakat dan kompetensi yang ditentukan industri terkait dan organisasi profesi. Maka dari
itu, kerja sama dengan industri sering dijadikan poin jual. Beberapa perguruan tinggi mencantumkan pelatihan dan
sertifikasi Microsoft, SAP, atau Autocad dalam brosur mereka. Sementara perguruan tinggi lain memasukkan nama-nama
perusahaan besar sebagai tempat magang dan penampung lulusan mereka.
Kerja sama internasional-berupa program transfer, sandwich, double degree dengan universitas luar negeri, dan
pertukaran mahasiswa-sering ditonjolkan sebagai daya tarik karena dipercaya meningkatkan citra perguruan tinggi
sebagai institusi berkualitas internasional. Dalam hal ini, calon mahasiswa dan orangtua perlu jeli dan memperhatikan
dua hal.

Pertama, apakah institusi luar negeri yang dipasang sebagai mitra benar-benar berkualitas. Tidak semua institusi asing
bermutu. Perguruan tinggi di Indonesia bisa saja memanfaatkan gengsi dan kelatahan orang Indonesia (termasuk diri
sendiri) terhadap label asing. Ada universitas terkemuka di Indonesia yang pernah terkecoh dan mengecoh publik melalui
kemitraan dengan institusi yang ternyata malah hanya menawarkan program nongelar dan reputasinya biasa-biasa saja.
Kadang, institusi luar negeri yang dicantumkan menggunakan nama pelesetan yang bisa mengecoh. University of
Berkeley tentu tidak sama dengan University of California at Berkeley dan Nanyang Institute berbeda dengan Nanyang
Technological University.
Kedua, jika institusi luar negeri yang dipasang benar-benar bergengsi, betulkah ada kesepakatan timbal balik antara
kedua institusi. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia tidak segan-segan mencatut nama besar seperti INSEAD, Harvard
University, universitas dalam kelompok Ivy League atau universitas besar lainnya. Calon mahasiswa perlu bertanya,
sejauh mana dan dalam kapasitas apa kesepakatan antara kedua institusi dilakukan, apakah ada perjanjian tertulis,
manfaat apa yang bakal diperoleh mahasiswa dalam kerja sama ini.

sumber : anazdjabo.files.wordpress.com

artikel 8 :

MENINGKATKAN AKSES PENDIDIKAN

UUD 1945 menetapkan salah satu kewajiban konstitusional negara adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka melaksanakan cita-cita nasional tersebut
PT mempunyai tugas amat luhur dan menjadi harapan para warga bangsa. PT tidak saja
dipandang mampu menentukan kemajuan dan masa depan bangsa melalui peningkatan
kinerja ekonomi nasional, tetapi juga diharapkan mampu menciptakan keadilan sosial
melalui akses ke perguruan tinggi.

Subsidi adalah instrumen kebijakan yang digunakan Pemerintah Indonesia untuk
merealisasikan keadilan dan pemerataan pada berbagai pelayanan publik, termasuk
pendidikan tinggi. Pada tahun anggaran 2005, misalnya Pemerintah menyediakan lebih
dari Rp 100 trilyun untuk subsidi, tidak termasuk pembiayaan pendidikan tinggi sebesar
Rp 6,2 trilyun.

Pada waktu kemampuan keuangan cukup kuat, pemerintah mampu membiayai
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Selama ini pemerintah menyubsidi biaya pendidikan
tinggi sekitar 75 persen. Namun sekarang, keuangan pemerintah tidak seperkasa dulu,
padahal untuk meningkatkan mutu akademik dan memperbesar dan memeratakan akses
perlu dukungan dana yang besar. Pilihan yang dilematis sekarang harus dibuat oleh
Pemerintah. Apakah kebijakan status-quo dilanjutkan dan hanya menyediakan
pembiayaan seadanya sebesar Rp. 6,2 juta per orang untuk semua mahasiswa dengan
konsekuensi PT tidak mampu mencapai mutu akademik dan akses semakin terbatas, dan
hanya mampu dijangkau oleh 4 persen kelompok masyarakat kurang mampu? Atau, beri
PT kemandirian lebih besar untuk mengembangkan strategi pembiayaan yang lebih
rasional sehingga dapat memperbaiki mutu dan memperbesar akses bagi kelompok
masyarakat kurang mampu?

Resep Nicholas Barr ternyata Indonesia bukan satu-satunya bangsa yang sedang mengghadapi kondisi
dilematis ini. Bangsa Inggris juga sedang menghadapi masalah pendidikan yang sama
yakni, merosotnya kualitas akademik dan rendahnya akses golongan ekonomi lemah ke
perguruan tinggi. Dalam majalah The Economist edisi 8 September 2005, diungkapkan
hasil survei Shanghai Jiao Tong University tahun 2004, dari 20 top world universities, 17
adalah universitas Amerika Serikat, 2 perguruan tinggi Inggeris dan 1 universitas Jepang.
Artikel tersebut juga mengungkapkan ketimpangan akses antara 2 negara, hanya 16
persen anak-anak keluarga kurang mampu di Inggeris mendapatkan akses ke PTm,
sedangkan di Amerika Serikat lebih dari 45 persen.

Prof. Nicholas Barr, profesor ekonomi publik dari London School of Economics
(LSE), mengajukan resep cukup menarik untuk dipelajari. Versi ringkas pikiran Prof.
Barr sudah diterbitkan di harian The Guardian edisi Juni 12, 2003 dengan judul “How
best to widen university access – by abolishing fees as Tories suggest, or by enhancing
loans, as the government plans”? Versi lebih lengkap diterbitkan dalam bentuk white
paper berjudul “Financing Higher Education: Comparing the Options” yang disusunnya
untuk Partai Buruh yang sedang berkuasa di Inggris.

Menjelang Pemilu tahun 2004, salah satu agenda politik yang dipilih oleh dua
partai yang sedang bersaing keras berebut dukungan publik Inggris adalah isu
kemerosotan mutu dan terbatasnya akses golongan lemah ke perguruan tinggi. Partai
Torries, yang merupakan partai oposisi, berjanji akan meningkatkan akses golongan
kurang mampu dengan memberi subsidi penuh kepada mahasiswa. Sebaliknya, Partai
Buruh yang sedang berkuasa, menjanjikan akan meningkatkan akses golongan kurang
mampu melalui pembayaran yang ditangguhkan (deferred payments). Sederhananya, para
mahasiswa dari keluarga mampu boleh kuliah dulu dan membayar kemudian.
Menurut penilaian Barr, subsidi penuh dan pembebasan biaya pendidikan tidak
selalu menyebabkan akses yang lebih adil dan merata pada pendidikan tinggi.
Menggunakan penerimaan dari pajak sebagai sumber pembiayaan pendidikan tinggi akan
menyebabkan dana untuk program lainnya menjadi berkurang. Dalam real politics,
subsidi untuk pendidikan tinggi selalu kalah dengan sistem kesehatan nasional dan untuk
membiayai pendidikan wajib dan program pra-sekolah.

Kedua, dalam pelaksanaannya subsidi di Inggris selalu kurang menguntungkan
kelompok miskin. Selama bertahun-tahun, akses keluarga kurang yang mampu ke
pendidikan tinggi hanya 15 persen, dibandingkan 81 persen dari keluarga mampu.
Sebaliknya, di Amerika yang mengikuti sistem pasar, akses keluarga kurang mampu
mencapai 43 persen.

Ketiga, subsidi pemerintah selalu lebih menguntungkan kelompok yang lebih baik
kondisi ekonominya. Di Inggris cukup banyak anggota masyarakat yang mendukung
rencana sistem pajak progresif. Namun, mereka mengharapkan penerimaan pemerintah
dari pajak lebih digunakan untuk pendidikan pra-sekolah, menurunkan angka drop-outs
pada SLTA, meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, serta program khusus untuk
anak-anak keluarga tidak mampu.
Opsi kedua, yang menjadi agenda politik Partai Buruh, adalah usul sebaliknya.
Masyarakat yang memerlukan pendidikan tinggi bermutu tinggi harus membayar biaya
investasi masa depannya. Yang lebih mampu harus membayar lebih tinggi dan akses ke
pendidikan tinggi dibiayai melalui pinjaman.

Belajar dari kegagalan masa lalu dalam pelaksanaan student loans, Pemerintah
menjamin pembayaran kembali melalui pembayaraan pinjaman melalui potongan gaji
bersamaan dengan pemungutan pajak penghasilan. Pembayaran melalui pemotongan gaji
ini memungkinkan adanya pembayaran secara progresif. Yang berpendapatan rendah
mengangsur lebih rendah dan yang berpendapatan tinggi mengangsur lebih besar. Opsi
ini pada dasarnya ingin mendorong alokasi anggaran pendidikan dari kelompok mampu
yang tidak lagi menerima subsidi ke kelompok tidak mampu yang menerima pinjaman
untuk mendapatkan akses ke perguruan tinggi.

sumber : http://sofian.staff.ugm.ac.id

artikel 9 :

Komersialisasi Pendidikan Tinggi
Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk Research & Development (R&D) serta arena penyemaian manusia baru untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Secara umum dunia pendidikan memang belum pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan. Namun demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi perhatian.

Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah & gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.

Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Semoga masyarakat dan orang tua yang akan menyekolahkan putra putrinya tidak terjebak pada kondisi tersebut dan lebih bijak dalam memilih perguruan tinggi, sehingga putra-putrinya tidak terkesan asal kuliah.



Ditengah besarnya angka pengangguran di Indonesia yang telah mencapai lebih dari 45 juta orang, langkah yang harus ditempuh adalah mencari pendidikan yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar. Bukan hanya murah saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini, dunia industri kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk mengisi kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar biasanya banyak, namun hanya beberapa yang lulus seleksi.

Pasalnya jarang ada calon pegawai lulusan perguruan tinggi atau sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan berkemampuan rata-rata untuk semua bidang. Jarang ada yang menguasai bidang-bidang yang spesifik. Hal ini tentunya menyulitkan pihak pencari kerja, karena harus mendidik calon karyawan dulu sebelum mulai bekerja.

Sebagian besar perguruan tinggi atau sekolah mendidik tenaga ahli madya (tamatan D.III) tetapi keahliannya tidak spesifik.

Lebih parah lagi, bahkan ada PTS di Jakarta yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Ini adalah cermin dari proses PEMBODOHAN BANGSA bukan mencerdaskan BANGSA. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang baik & berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.

Selain itu pula, apa yang menjadi barometer yang menunjukkan eksistensi sebuah perguruan tinggi? Untuk saat ini opini publik dan beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi sebuah Perguruan Tinggi dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan kualitasnnya. Nah ini jelas sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan di Indonesia hanya menjadi komoditi bisnis semata.

Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan jiwa bagi anak bangsa, harapan kami semoga komersialisasi pendidikan tinggi tidak menjadi sebuah komoditi bisnis semata, akan tetapi menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa Indonesia.

sumber: http://himaptikaunsil.blogspot.com

artikel 10 :

Manajemen pendidikan
Persoalan seleksi bagi mahasiswa baru yang akan memasuki perguruan tinggi negeri menjadi sebuah persoalan baru. Kabar bahwa sebagian besar PTN yang sebelumnya bergabung ke dalam satu sistem itu kemudian memilih melakukan sendiri seleksi dan penerimaan mahasiswa barunya, mengemuka. Akhirnya memang belum diputuskan bagaimana mengatasi hal tersebut. Titik krusialnya adalah bagaimana supaya calon mahasiswa dapat memilih PTN yang diminatinya tanpa harus berada di tempat PTN tersebut berada. Memang pengelolaan pendidikan tinggi tidak mudah. Tetapi seleksi untuk memasuki PTN barulah satu masalah dari sekian banyaknya masalah yang mendera pendidikan tinggi kita. Salah satu masalah mendasar yang belum juga dipecahkan adalah bagaimana menciptakan lulusan yang bisa memasuki pasar kerja, tanpa harus menganggur. Angka pengangguran bagi lulusan perguruan tinggi memang masih cukup tinggi. Setiap tahunnya terdapat 4 jutaan lulusan perguruan tinggi yang memasuki pasar kerja, sementara hanya sedikit saja lapangan kerja yang terbuka bagi mereka. Dulu pemerintah pernah punya konsep link and match. Konsep ini dikembangkan oleh mantan Menristek BJ Habibie berdasarkan pengalaman pengelolaan pendidikan di Jerman. Konsep ini menggunakan logika demand and supply. Pendidikan tinggi tidak dikelola demikian rupa seperti sekarang ini dimana semua jurusan dibuka, bahkan jurusan yang dibuka lebih banyak daripada yang ditutup. Mereka yang memasuki pendidikan tinggi diberikan nilai tambah sehingga ketika lulus mereka siap untuk bekerja pula. Hanya sayangnya, konsep ini kemudian dimentahkan oleh perubahan politik. Konsep yang dulu pernah menjadi sangat populer itu kemudian hilang begitu saja dan pendidikan tinggi kita terjebak ke dalam fenomena industrialisasi pendidikan tinggi. Maksudnya adalah pendidikan tinggi dijadikan sebagai alat mencetak sebanyak mungkin lulusan karena dianggap sebagai upaya mencerdaskan bangsa, sementara keterkaitannya dengan pasar kerja sama sekali tidak pernah dipikirkan. Yang kemudian terjadi adalah, dan ini juga merupakan masalah besar, pada mahalnya biaya pendidikan. Semakin lama semakin terlihat bahwa upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berjalan tidak sebanding dengan harapan kita mengenai tercapainya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
Di setiap PTN sekarang ada berbagai kelas yang sangat variatif, dan terkadang membedakan kemampuan calon mahasiswanya. Perbedaan itu ditengarai menjadi pemicu perbedaan kualitas pendidikan. Yang paling parahnya, mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk menikmati pendidikan tidak memiliki kesempatan melalui skema subsidi silang yang banyak diberikan oleh PTN. PTN tidak sanggup mendanai mereka yang tidak memiliki uang, terlebih PTN yang telah menjadi BHMN. Akumulasi persoalan pendidikan, sejak dari seleksi sampai dengan outputnya kita kuatirkan akan menciptakan efek domino yang kelak akan menghasilkan gelombang pengangguran intelektual. Mereka yang berpendidikan tetapi tidak bekerja jelas lebih “berbahaya” dibandingkan dengan mereka yang tidak.Skema Coorporate Social Responsibility (CSR) yang sudah mulai dijalankan oleh beberapa perusahaan sebenarnya bisa divariasikan dengan mempekerjakan para lulusan pendidikan tinggi. Perusahaan yang juga memiliki CSR bisa menjadikan lulusan perguruan tinggi sebagai bagian dari komitmen mereka mengatasi masalah sosial di wilayahnya. Yang paling penting, membenahi tujuan, arah dan pola pengelolaan pendidikan tinggi kita adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus dikerjakan segera.

artikel 11 :

Liberalisasi pendidikan

Senin, 2 Maret 2009 01:39 WIB
Oleh Anita Lie
Dalam bukunya, The Outliers, Malcolm Gladwell membeberkan kisah orang-orang sukses dan gagal. Beberapa di antaranya Bill Gates, Bill Joy (Sun Microsystem), dan Steve Job (Apple Computer).Salah satu faktor pendukung keberhasilan seseorang adalah kesempatan. Banyak dari orang sukses (misalnya Bill Gates, Bill Joy, and Paul Allen) dalam The Outliers berasal dari kelas sosio ekonomi menengah dan atas sehingga bisa mengakses pendidikan bermutu.Sebaliknya, saat kesempatan itu ditiadakan, seorang dengan IQ 195, Chris Langan (bandingkan: IQ Albert Einstein 150) harus putus kuliah karena ketiadaan biaya dan berakhir sebagai buruh tani dengan berbagai kepahitan. Di antara kedua titik ini, ada kisah Steve Jobs dari keluarga sederhana yang berhasil mengubah hidupnya dan dunia melalui perusahaan Apple Computer. Meski tidak berasal dari keluarga kaya, Steve Jobs hidup di Silicon Valley dan bergaul dengan para insinyur Hewlett Packard. Pesan dari kisah-kisah ini, kesempatan merupakan pintu awal menuju keberhasilan.Salah satu fungsi pendidikan adalah memberi kesempatan itu untuk mengurangi jumlah orang yang berakhir seperti Chris Langan dan Steve Jobs. Jika The Outliers ditulis dalam versi Indonesia, pasti ada banyak kisah Chris Langan dan Steve Jobs ala Indonesia yang bisa menjadi latar belakang pembuatan kebijakan pendidikan atau keputusan negara maupun institusi. Kebijakan yang masih menuai kontroversi adalah UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Ketika sektor-sektor yang memenuhi kepentingan publik dan tidak diharapkan memberi keuntungan material, pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Pada era ini, ada pergeseran cara pandang dan praktik terhadap sektor-sektor itu.
Liberalisasi pendidikan
Pasar sebagai salah satu pranata civil society dikendalikan pelaku bisnis. Saat pelaku bisnis menjelajahi dan menguasai sumber-sumber daya dalam pasar, lahan-lahan yang secara historis merupakan usaha untuk kemashalatan orang banyak sehingga diselenggarakan oleh negara seperti pendidikan dan kesehatan, kini mulai menjadi garapan pelaku bisnis.Salah satu dampak positif UU BHP adalah transformasi di PTN. Jerat birokrasi yang berwujud kurang efisien mulai bisa diperbaiki. Sementara itu kalangan yang masih memercayai nilai-nilai sosial demokratis mengkhawatirkan terjadinya liberalisasi pendidikan. Meski Pasal 4 UU BHP sudah mengatur bahwa badan hukum pendidikan bersifat nirlaba, fenomena liberalisasi pendidikan tinggi sudah amat terasa. Berbagai jalur yang disediakan PTN—mulai dari jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNM-PTN) hingga jalur khusus dan mandiri—memberi berbagai paket dengan prosentase masing-masing.Yang dikeluhkan adalah alokasi penerimaan dengan biaya minimal kian makin dikurangi prosentasenya, Sedangkan alokasi penerimaan melalui jalur khusus atau mandiri, bertambah. Praktik ini dilakukan PTN guna menambah jumlah pendapatan sehingga bisa memperbaiki mutu. Formula alokasi disusun tiap PTN, dengan melihat kepentingan institusional PTN itu, dengan standar mutu yang ingin dicapai dan biaya yang harus ditanggung. Padahal alokasi jalur subsidi dan jalur khusus ini tidak sesuai dengan prosentase penduduk miskin di Indonesia. Akibatnya, kesempatan bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk meniti jalur keberhasilan seperti Steve Jobs makin tertutup. Para penganut nilai-nilai sosial demokratis berpendapat UU BHP tidak berpihak kepada rakyat, bahkan cenderung melindungi yang kuat. Dikhawatirkan bertambahnya jumlah orang macam Chris Langan dan Lintang (dalam Laskar Pelangi) yang berpotensi tinggi tetapi tidak mendapat kesempatan pendidikan, akan menjadi enerji negatif di masyarakat.
Alternatif Solusi
Sementara perdebatan tentang subsidi negara untuk PTN atau PTS masih berlangsung dan mungkin tidak akan pernah reda, kisah-kisah Chris Langan dan Lintang akan terus terjadi di seluruh Nusantara. Dana subsidi pemerintah memang sudah dikucurkan ke berbagai PTN dan PTS, di antaranya melalui program hibah dan kompetisi. Dua alternatif solusi perlu dipertimbangkan guna meningkatkan akses terhadap pendidikan tinggi sambil tetap berjuang mencapai target mutu dan menjaga equilibrium antara layanan pendidikan tinggi sebagai entitas yang nirlaba dan eksploitasi pelaku bisnis dalam sektor pendidikan. (Dikotomi PTN an PTS tak lagi relevan saat mereka besaing memerebutkan ceruk pasar).Alternatif pertama adalah memberi dan meningkatkan jumlah beasiswa pemerintah melalui lembaga mandiri. Lembaga kepanjangan tangan pemerintah ini bertugas menseleksi kelayakan calon penerima beasiswa secara jujur dan transparan. Penyaluran beasiswa bisa dilakukan melalui PTN maupun PTS. Namun calon penerima bebas memilih PT mana yang dituju (asal sudah terakreditasi, misalnya). Melalui cara ini, PTN dan PTS diberi kesempatan untuk bersaing secara adil guna meningkatkan mutu dan menjadikan lembaga pilihan mahasiswa.Alternatif kedua melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Selama ini beberapa korporasi melalui lembaga filantropis (di antaranya Tanoto Foundation, Djarum, Sampoerna Foundation dan lainnya), sudah cukup berperan dalam ikut mencerdaskan bangsa dengan memberi beasiswa bagi mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Kontribusi dari korporasi ini perlu dihargai. Apapun motifnya, kontribusi ini sudah terbukti menciptakan banyak Steve Jobs yang bisa berperan bagi bangsa dan masyarakat.Penghargaan dari pemerintah berupa pemotongan pajak bagi sumbangan filantropis untuk pendidikan setara dengan zakat, akan memicu lembaga lain maupun individu melakukan tindakan serupa.
Anita Lie Guru Besar Unika Widya Mandala, Surabaya; Anggota Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.
Sumber:http://cetak.kompas.com

artikel 12 :

60 Persen Lulusan PT Menganggur

Kamis, 15 Januari 2009 | 01:03 WIB

Surabaya, Kompas - Dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 60 persen lulusan perguruan tinggi menganggur. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah perlu segera mengubah fokus pendidikan tinggi dari akademis ke vokasi.

Jumlah lulusan perguruan tinggi baik program diploma maupun sarjana lebih dari 300.000 orang per tahun. Adapun jumlah mahasiswa vokasi perguruan tinggi negeri dan swasta tahun 2005 sebanyak 838.795 orang, tahun 2006 menjadi 1.256.136 orang dan 2007 turun menjadi 979.374 orang.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Erlangga Satriagung di Surabaya, Rabu (14/1), mengatakan, lapangan kerja rata-rata hanya menyerap 37 persen lulusan perguruan tinggi (PT). Bahkan, beberapa tahun ke depan diperkirakan daya serap itu menurun karena pengaruh resesi.

Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Priyo Suprobo mengatakan, kondisi itu memang ada benarnya. Hal itu terutama terjadi pada program akademis. ”Sebaliknya untuk pendidikan vokasi seperti politeknik justru kekurangan lulusan untuk disalurkan ke dunia kerja,” ungkapnya.

Karena itu, sudah seharusnya pemerintah lebih memerhatikan pendidikan vokasi. Pemerintah harus berani memberi anggaran lebih besar untuk pendidikan vokasi. ”Penyelenggaraan pendidikan vokasi butuh dana besar, terutama untuk praktikum mahasiswa agar terampil,” katanya.

Secara terpisah, penasihat Dewan Pendidikan Jatim, Daniel M Rosyid, mengatakan, tidak semua lulusan sekolah menengah layak masuk perguruan tinggi. ”Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2003 mengungkapkan hanya 20 persen layak masuk ke perguruan tinggi jenjang sarjana,” ujarnya.

Priyo Suprobo mengatakan, perguruan tinggi perlu membekali mahasiswanya dengan soft skill, terutama pada attitude serta keterampilan wirausaha. Kedua hal itu sangat berguna bagi mahasiswa setelah lulus. (RAZ)


Sumber :http://www.dikti.go.id

artikel 13 :

Hanya Lima PTN yang Raih Akreditasi A
Submitted by admin on Thu, 12/04/2008 - 16:24
Kamis, 4 Desember 2008 | 00:57 WIB

Bandung, Kompas - Kesiapan perguruan tinggi untuk membangun sistem penjaminan mutunya dinilai masih sangat minim. Dari 55 perguruan tinggi yang mengikuti akreditasi institusi tahap I, hanya lima di antaranya yang telah meraih nilai sangat baik atau A.

Kelima perguruan tinggi itu adalah Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Menurut Sekretaris Eksekutif Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Adil Basuki Ahza, Rabu (3/12), di Bandung, tidak ada kaitan perolehan nilai A ini dengan reputasi internasional yang kebetulan dimiliki kelima perguruan tinggi negeri (PTN) ini.

”Tidak berkaitan dengan status kelas dunia. Tapi, secara faktual, kita tidak bisa membohongi diri kalau kelima perguruan tinggi ini punya kualitas lebih,” ungkap Basuki Ahza.

Ia melihat, ketidaksanggupan perguruan tinggi lain meraih nilai A lebih karena faktor ketidaksiapan diri. Serta, belum membangun sistem penjaminan mutu yang memadai.

Belum berani dinilai

Tahun 2008 ini, bahkan masih banyak perguruan tinggi yang belum berani dinilai. Dari kuota 50 perguruan tinggi yang dinilai, hanya 30 di antaranya yang terisi. Dan, hanya 25 yang lolos untuk dilakukan site visit (visitasi asesor). Visitasi dilakukan Desember ini. Untuk itu, Badan Akreditasi Nasional (BAN PT) berancang- ancang menghentikan sementara proses akreditasi ini di tahun depan.

Padahal, ia mengatakan, setiap program studi maupun perguruan tinggi negeri wajib untuk mengikuti akreditasi. ”Mereka (perguruan tinggi) lupa bahwa perguruan tinggi bisa kena pidana jika tidak segera memiliki akreditasi. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, jika perguruan tinggi tidak terakreditasi, maka perguruan tinggi tersebut tidak boleh meluluskan mahasiswa,” ujarnya.

Menurutnya, ketentuan ini akan efektif berlaku selambat- lambatnya tahun 2012 mendatang.

Di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pendidikan, ucapnya, bahkan disebutkan, hanya perguruan tinggi berakreditasi minimal B yang bisa meluluskan mahasiswa.

”Lulusan bisa menuntut penyelenggara program studi, dekan, atau rektor apabila klaim tentang akreditasi tidak betul dan mereka tidak bisa lulus,” kata Basuki Ahza.

Meski demikian, perguruan tinggi diperbolehkan mengajukan ulang penilaian setelah dua tahun pengajuan pertama, asalkan ada jaminan perbaikan.

Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof Sunaryo Kartadinata mengakui, hasil akreditasi institusi sangatlah bergantung faktor kesiapan tiap perguruan tinggi. Namun, ia melihat, akreditasi institusi ini tidak lebih penting daripada akreditasi yang ada di tiap-tiap program studi. Sebab, ujung tombak akademik justru ada di program studi.
UPI saat ini memperoleh akreditasi B meski kampus ini sekarang memiliki aset gedung mewah bernilai sekitar Rp 500 miliar.

sumber : http://www.dikti.go.id

artikel 14 :

Industri Pendidikan Tinggi

Harian Kompas - Rabu, 14 Januari 2009 | 00:25 WIB

Amich Alhumami

Pengesahan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan memicu kontroversi di sebagian masyarakat akademia.

Mereka menolak dengan argumentasi logis-rasional, merujuk pada pengalaman PT BHMN (UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI). Para mahasiswa berdemonstrasi menentang Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) karena dianggap melegitimasi praktik komersialisasi pendidikan tinggi.

Industri pendidikan

Biaya pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi—karena didorong motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar—akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu transaksi perniagaan.

Lazimnya transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu dalam pengelolaan perguruan tinggi. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang komersial berharga mahal, sudah pasti hanya masyarakat kaya yang mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin akan kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan tinggi karena keterbatasan kemampuan finansial.

Maka, hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan bermutu sampai ke tertiary education menjadi kian sulit dipenuhi, terlebih karena sejauh ini kemampuan pemerintah dalam melindungi kelompok miskin melalui aneka instrumen kebijakan masih belum memadai.

Padahal, tiga isu besar yang bersifat eternal—affordability, accessibility, accountability—justru merupakan persoalan utama yang harus mendapat perhatian khusus dan harus ditangani serius oleh para perumus kebijakan dan pengelola perguruan tinggi (lihat Donald Heller, The States and Public Higher Education Policy, 2003).

Kehadiran UU BHP sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Di negara-negara maju, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.

Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra- sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek—knowledge-and technology-driven economic growth.

Tiga motif

Komersialisasi pendidikan tinggi umumnya didorong tiga motif utama.

Pertama, hasrat mencari uang dan dukungan finansial serta keinginan menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif, yang ditempuh melalui apa yang di kalangan universitas Amerika/ Eropa disebut an offer of generous research funding in exchange for exclusive patent licensing rights.

Kedua, peluang mengembangkan (baca: menjual) program pendidikan jarak jauh untuk memperoleh keuntungan finansial sebagaimana yang sudah lazim dilakukan di perguruan tinggi di Indonesia.

Ketiga, mendapatkan aneka kontrak yang menguntungkan dengan perusahaan/industri melalui pemberian dana, fasilitas, peralatan, bahkan seragam olahraga sebagai imbalan mendapatkan atlet-atlet bertalenta, yang mensyaratkan mereka mengenakan logo perusahaan pemasok dana bagi perguruan tinggi.

Bahaya

Namun, industri pendidikan tinggi yang mengarah ke komersialisasi ini mengandung bahaya bagi perguruan tinggi bersangkutan. Derek Bok dalam Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education (2005) mencatat sejumlah bahaya yang patut diwaspadai.

Pertama, bila godaan mencari keuntungan finansial melalui aneka kontrak dari perusahaan/ industri tak terkendali dan tak dikelola dengan baik, hal itu akan menggiring perguruan tinggi melupakan misi suci (sacred mission) yang harus diemban, yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian, yang menjadi basis bagi ikhtiar membangun masyarakat beradab dan pilar utama upaya pencapaian kemajuan bangsa.

Kedua, bila sekadar terobsesi oleh motif ekonomi semata, perguruan tinggi akan cenderung mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatorium bagi penemuan-penemuan baru. Padahal, peran hakiki perguruan tinggi adalah the center of knowledge inquiries and technology innovations, yang bukan saja penting untuk memperkuat institusi perguruan tinggi sendiri sebagai pusat keunggulan dan penelitian, tetapi juga akan memberi kontribusi pada ikhtiar membangun peradaban umat manusia.

Ketiga, konflik kepentingan antara dua hal—menggali sumber pembiayaan dan mengembangkan iptek melalui riset ilmiah— berpotensi mengorbankan core academic values karena perguruan tinggi cenderung berkompromi antara pilihan menjaga standar mutu program akademik dan tuntutan mendapatkan dukungan finansial dari perusahaan/industri.

Merujuk pada sejumlah kekhawatiran itu, kehadiran UU BHP bisa menjadi pedang bermata dua.

Pertama, memberi landasan hukum bagi universitas/institut untuk secara kreatif mencari alternatif sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi dan meningkatkan efisiensi/efektivitas manajemen perguruan tinggi guna meningkatkan kualitas program akademik.

Kedua, dapat memicu komersialisasi melalui aneka kontrak bermotif ekonomi dengan perusahaan/industri yang berpotensi menggerus fungsi esensial perguruan tinggi sebagai Maison des sciencHarian Kompas - Rabu, 14 Januari 2009 | 00:25 WIBes de l’homme.

Untuk itu, kewaspadaan dan kehati-hatian dari semua stakeholder sangat diperlukan dalam melaksanakan UU BHP agar tidak memunculkan ekses negatif yang justru kontraproduktif bagi upaya memajukan perguruan tinggi di Indonesia.

Amich Alhumami Penekun Kajian Pendidikan; Berafiliasi dengan Direktorat Agama dan Pendidikan, Bappenas

Sumber : http://www.dikti.go.id

artikel 15 :

Lembaga Pendidikan Akan Dikenai Pajak

Sabtu, 17 Januari 2009 | 01:24 WIB

Jakarta, Kompas - Sebagai konsekuensi dari disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, lembaga penyelenggara pendidikan menjadi subyek pajak. Karena itu, lembaga penyelenggara pendidikan yang kelak akan berubah nama menjadi badan hukum pendidikan akan dikenai pajak.

”Saya belum cek ke Dirjen Pajak, tapi katanya bakal ada keringanan pajak untuk penyelenggara pendidikan,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo di hadapan pimpinan redaksi media cetak dan elektronik di Jakarta, Jumat (16/1) siang. Belum dipastikan jenis pajak yang akan dikenakan kepada badan hukum pendidikan (BHP).

Khusus untuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang umumnya memiliki areal tanah yang luas, menurut Mendiknas, status tanahnya milik negara yang ditangani Departemen Keuangan. Pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk PTN akan ditangani khusus Departemen Keuangan.

Mendiknas mengatakan, UU BHP, yang pada 17 Desember 2008 disetujui DPR untuk disahkan oleh pemerintah, berprinsip pada pengelolaan dana secara mandiri, nirlaba, otonomi, akuntabilitas, dan transparan-si untuk meningkatkan pelayanan pendidikan kepada masyarakat.

Mendiknas juga membantah jika dikatakan UU BHP identik dengan komersialisasi. ”BHP berprinsip nirlaba. Jika ada sisa hasil usaha, harus ditanamkan kembali untuk penyelenggaraan pendidikan,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Mendiknas, diberikan jaminan 20 persen kursi untuk peserta didik yang miskin secara ekonomi, tetapi berprestasi. Pemerintah dan badan hukum pendidikan pemerintah (BHPP) pun berkewajiban memenuhi 2/3 biaya operasionalnya, sedangkan 1/3 ditanggung mahasiswa. ”Apa yang dimaksud biaya operasional akan dirumuskan dengan Ikatan Akuntan Indonesia,” ujarnya.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Fasli Jalal mengatakan, dalam UU BHP memang tak diatur soal lembaga pendidikan asing. Meski demikian, pemerintah menggariskan, lembaga pendidikan asing harus memenuhi tiga prinsip, yakni nirlaba, hanya membuka bidang keahlian setara politeknik bidangSitus resmi Ditjen Pendidikan Tinggi : elektronika dan otomotif, serta hanya boleh dibuka di lima kota, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Yogyakarta.

”Setelah mengetahui tiga syarat yang ditetapkan, peminat asing yang semula akan membuka pendidikan di Indonesia, mundur,” kata Fasli. (THY)


Sumber : //www.dikti.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar