Kamis, 21 Mei 2009

Pendidikan Menengah

ARTIKEL 1:
REDIP sebagai Model untuk Meningkatkan Pendidikan Menengah Pertama
Jakarta, Selasa (8 Juli 2008) — Program Pengembangan dan Peningkatan Pendidikan Daerah atau Regional Education Development and Improvement Program (REDIP) dapat dijadikan model untuk meningkatkan pendidikan menengah pertama. REDIP adalah program sederhana, tetapi komprehensif yang memungkinkan sekolah dan kecamatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri sesuai dengan aspirasi dan prioritas mereka sendiri. Meskipun sederhana, program ini dapat meningkatkan akses, mutu, dan manajemen secara bersamaan.
Program REDIP ini memberikan dana bantuan kepada sekolah dan tim pengembangan pendidikan kecamatan (TPK) sesuai proposal yang diajukan. Sekolah dan TPK bebas mengusulkan kegiatan apa saja sesuai kebutuhan dan prioritas mereka sendiri. Dengan menggunakan dana bantuan, sekolah dan TPK melaksanakan
kegiatan yang diusulkan.
Sesudah menyelesaikan kegiatan, sekolah menyusun laporan keuangan dan laporan kegiatan lalu menyerahkannya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk diperiksa. REDIP mendorong mengambil inisiatif dan mempertanggungjawabkan usaha sekolah sendiri dalam meningkatkan pendidikan dan berfungsi sebagai pengamat pasif.
Kepala Sub Direktorat Kelembagaan Sekolah Direktorat Pembinaan SMP Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Kasubdit Kelembagaan Sekolah Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen) Depdiknas Yenni Rusnayani mengatakan, sejak 2005 Depdiknas telah mengadopsi program ini dengan bantuan teknis dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Program ini sampai 2008 telah dikembangkan di Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bekasi mencakup 32 kecamatan dari sebanyak 391 SMP negeri dan swasta.
Yenni mengatakan, program REDIP, yang kemudian diubah menjadi program pengembangan SMP berbasis masyarakat (PSBM) sangat cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang menghendaki penyelenggaraan pendidikan melalui prinsip bottom-up, desentralisasi penyelenggaraan, dan partisipasi masyarakat. “Program PSBM memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh kepala sekolah dan juga memberikan dampak untuk peningkatan mutu pembelajaran,” katanya pada REDIP Workshop dan Expo di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (8/07/2008).
Kepala Seksi Perencanaan Subdit Program Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen Depdiknas Supriano mengatakan, hasil yang dicapai melalui program ini adalah terjadinya perubahan pada sekolah, kecamatan, dan masyarakat. Dia mencontohkan, manajemen di sekolah menjadi demokratis dan transparan, pihak kecamatan yang semakin proaktif kepada pendidikan, dan masyarakat lebih peduli terhadap pendidikan. “Orang tua mendukung apa yang dikembangkan oleh sekolah. Semua kegiatan di sekolah selalu dikomunikasikan dan pengembangan sekolah dibicarakan dengan orang tua murid,” katanya.
Dia menyebutkan, program REDIP Government (REDIP G) yang didanai 100 persen APBN sampai 2008 sudah mengalokasikan anggaran hampir Rp.45 milyar untuk tiga kabupaten yakni Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Selain REDIP G, kata dia, juga ada program REDIP Mandiri yang didanai oleh APBD, REDIP Pengembangan, dan REDIP Perluasan Pelaksanaan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah Munthoha Nasuha mengatakan, implementasi program REDIP sejak 1999 dimulai dari dua kecamatan, kemudian berkembang menjadi sepuluh kecamatan, dan seluruhnya sebanyak 17 kecamatan. “Awalnya program difokuskan pada bidang manajemen sekolah dengan pola transparansi, sehingga semua rencana anggaran dipaparkan di papan dan di pintu masuk sekolah,” katanya.
Konsultan Nasional REDIP Winarno Surachmad, mengatakan, karakteristik Program REDIP adalah mudah, murah, tanpa resiko, dan low tech. “REDIP menjawab pertanyaan bagaimana mengembangkan pendidikan di daerah berdasarkan kekuatan dari bawah, tanpa duit, dan tanpa ahli,” katanya.
Ketua Tim REDIP-JICA Norimichi Toyomane mengatakan, indikator yang memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil yakni, meningkatnya nilai Ujian Nasional, meningkatnya motivasi siswa untuk sekolah, meningkatnya motivasi guru dalam proses belajar mengajar dan juga motivasi dari kepala sekolah dalam memanajemen sekolahnya.
Sumber : Pers Depdiknas

Artikel 2 :
Hasil Inovasi Harus Bisa Diaplikasikan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan seluruh hasil inovasi dan penelitian harus dapat diaplikasikan bagi kebutuhan masyarakat.
Riset harus bisa digunakan untuk kebaikan dan berguna bagi masyarakat luas. Tantangan kita adalah bagaimana inovasi dan penelitian bisa diaplikasikan untuk kebutuhan masyarakat, kata Presiden dalam acara peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional XIII di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/8).
Menurut Presiden, di tengah mahalnya harga tepung terigu dan kedelai karena masih impor, inovasi bahan makanan pengganti gandum dan kedelai dapat dikembangkan. Sebagai contoh perlu 15 tahun untuk membiasakan masyarakat dengan mi instan sebagai salah satu pengganti nasi. Hasil riset itu juga harus dikemas dan diperkenalkan pada masyarakat, katanya.
Kepala Negara mengatakan, dari waktu ke waktu jumlah penduduk dunia semakin bertambah, hal itu memberikan konsekuensi peningkatan kebutuhan pangan dan energi.Karena itu solusinya hanya ada dua yaitu kita harus memiliki gaya hidup yang baru dengan hemat energi dan yang kedua adalah melalui intervensi teknologi melalui inovasi dan penelitian, kata Yudhoyono.
Untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi di dalam negeri, pemerintah telah menetapkan enam prioritas riset nasional yaitu ketahanan pangan, pengembangan sumber energi terbarukan, teknologi dan manajemen transportasi, teknologi pertahanan, teknologi kesehatan dan yang terakhir teknologi informasi.
Ada beberapa hal yang saya minta perhatian, untuk pangan, lanjutkan pengembangan varietas unggul selain padi dan kedelai juga tebu dan daging sapi, kata Presiden.
Presiden Yudhoyono juga memberikan perhatian khusus pada pengembangan teknologi kendaraan yang hemat energi, sedangkan untuk kebutuhan pertahanan Presiden meminta dikembangkan persenjataan yang mampu memenuhi kebutuhan prajurit saat melaksanakan tugas di daerah pegunungan dan hutan.
Untuk bidang kesehatan saya minta agar lebih dikembangkan penelitian vaksin bagi malaria, demam berdarah, flu burung serta HIV/AIDS, katanya.
Sementara itu untuk teknologi informasi dan komunikasi, Presiden
menekankan perlunya penelitian dengan prioritas untuk bidang pendidikan, usaha, dan pemenuhan good governance.
Bagi teknologi early warning system khususnya untuk tsunami. Kembangkan, uji coba dan latihkan pada masyarakat, kata Presiden Yudhoyono.
Pada akhir sambutannya Kepala Negara meminta semua pihak merespon dengan baik ide-ide yang inovatif dan tidak ragu untuk mengembangkannya. Imajinasi konon merupakan embrio dari sebuah penemuan besar. Kita harus menjadi bangsa yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, kata Kepala Negara.
Presiden yang didampingi oleh Ibu Negara Ani Yudhoyono dalam kesempatan itu juga meresmikan pameran riset dan teknologi di MGK Kemayoran Jakarta Pusat. Hadir pula dalam acara itu Menristek Kusmayanto Kadiman, Mensesneg Hatta Radjasa, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Menhan Juwono Sudarsono dan sejumlah menteri kabinet Indonesia Bersatu lainnya. (Ant/OL-01)
Sumber: Media Indonesia Online

Artikel 3:
Program Keahlian yang Dikembangkan di SMK
Beberapa kelompok bidang atau program keahlian baru yang dikembangkan pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang sudah ada dan unit pelaksana teknis (UPT). Berdasarkan urutan terbanyak, meliputi:
1. Teknologi Informasi dan Komunikasi.
2. Teknologi Industri, khususnya program analisis kimai, geologi, pertambangan, teknik bangunan, teknik otomotif, pemesinan kapal, dan teknologi kapal niaga.
3. Perikanan dan Kelautan, khususnya nautika, perikanan laut, aqua cultur, dan tekologi hasil perikanan.
4. Pertanian, khususnya untuk program budi daya kelapa sawit.
5. Pariwisata, khususnya untuk program akomodasi perhotelan, tata busana, dan tata kecantikan.
6. Kelompok Program Bisnis dan Manajemen, diprioritaskan untuk program penjualan, akutansi perbankan, dan kewirausahaan.
Bidang keahlian untuk program SMK PPKT dan commuity college:
1. Kelompok Teknologi Industri meliputi teknik las, teknik komputer, otomotif, disain grafis periklanan, dan teknik konstruksi kayu.
2. Kelompok Teknologi Komunikasi dan Informasi meliputi, teknologi informatika, teknik informatika komputer, dan teknik audio video.
3. kelompok Pariwisata meliputi tata busana, bahasa Mandarin, bahasa Jepang, akomodasi perhotelan, usaha jasa pariwisata, dan tata boga.
4. Kelompok Pertanian meliputi, pembenihan udang windu dan budi daya tanaman.
5. Kelompok Bisnis dan Manajemen meliputi, akuntansi perpajakan, akuntansi jasa, akuntansi keuangan, dan marketing.
6. Kelompok Seni dan Kerajinan meliputi kria tekstil.
Sumber : dikdasmen.depdiknas.go.id/

Artikel 4:
Tips Menaikkan Kemampuan Siswa SMP dan SMU
5 tips ini dapat membantu Anda dengan cepat untuk menaikkan kemampuan siswa dan sekolah Anda.
1. Naikan range nilai yang diharapkan. Jika Anda memiliki range penilaian seperti ini:
range nilai: A (93-100), A- (90-92), B+ (87-89), B (83-86), B- (80-82), C+ (77-79), C (73-76), C- (70-72), D+ (67-69), D (63-66), D- (60-62), F (0-59) larilah, namun jangan berjalan ke tempat sampah terdekat lalu membuang hasil ujian itu. Naikkan rangenya. Jika range nilai yang diharapkan rendah maka hasil yang didapat akan selalu mengarah ke nilai yang rendah. Harapkan lebih dari siswa Anda dan ikat harapan itu menjadi sesuatu yang dapat diukur. Petunjuk: jika Anda menggunakannya untuk siswa Anda, apakah Anda juga menggunakannya untuk guru-guru? Lihat tips 2.
2. Konsistenlah terhadap respon yang diberikan terhadap semua prilaku baik berupa penghargaan maupun hukuman. Juga konsistenlah terhadap nilai yang telah Anda tetapkan dan prilaku Anda. Jagalah konsistensi Anda bahkan disaat kita sedih. Model konsistensi untuk menjaga kelangsungan kemampuan staff Anda ataupun siswa Anda.
3. Jelaskan secara rinci harapan Anda. Jangan menganggap seorang staff ataupun siswa mengetahui sesuatu. Komunikasikan dan jelaskan harapan tersebut. Ingatlah, pengkondisian dari pengalaman pekerjaan lampau, pengalaman sekolah, dan pengalaman rumah merupakan hal yang selalu ada dan mayoritas dari pengkondisian ini adalah negatif.
4. Berikan nilai lebih untuk keberhasilan akademik dan kepemimpinan siswa dibanding keberhasilan dalam bidang olahraga. Keberhasilan akademiklah yang akan membawa 99% siswa Anda kedalam dunia nyata, bukan kemampuan atletik mereka. Kembali kepada 3 tips awal.
5. Buanglah sampah dengan mengevaluasi strategi belajar Anda. Sebagai contoh, jika Anda menggunakan cooperative learning, tekankan hanya pada keterampilan yang diperlukan untuk menjadi berhasil.
Apakah nilainya bagi Anda, jika semua orang di sekolah Anda semua berbaris dengan arah yang sama dengan penuh energy dan antusias?
Sumber: www.ezinearticles.com

Artikel 5:

SISWA SMK PUTRA BANGSA BONTANG ISI LIBURAN AKHIR TAHUN DENGAN IT GUARD

Ditulis oleh wiksbtg
Liburan akhir tahun sangat ditunggu-tunggu setiap orang. Mulai darti kalangan anak-anak hingga orang dewasa. Ketika saatnya tiba, semua memilih tempat vaforit untuk menikmati suasana santai yang jauh dari hiruk-pikuk kegiatan sehari-hari. Tapi hal itu tidak berlaku bagi beberapa siswa SMK Putra Bangsa Bontang. Saat orang-orang sedang menikmati pakansinya, justru sekelompok siswa asyik bercengkerama di sekolah. Mereka mengisi waktu libur dengan belajar computer. Mereka tergabung dalam sebuah ekstrakurikuler yang mereka namakan IT GUARD.

Pagi kemarin , Rabu 31 desember, belasan siswa tampak antusias mengikuti praktek perakitan komputer yang dipandu oleh ahli komputer SMK Putra Bangsa Ketut Nobel budy Satrya. Kegiatan luar jam sekolah ini sudah berlangsung sejak awal November lalu. Namun karena mumpung hari libur, kegiatan ini diintensifkan. Menurut Nobel, kegiatan ini sengaja dilakukan untuk meningkatkan skill siswa. “mereka sudah belajar di kelas. Namun agar pengetahuan computer mereka lebih maju, siswa diberikan peluang dengan mengikuti ekstrakurikuler IT GUAR. Pelaksanaannya sengaja kami lakukan saat liburan akhir tahun agar waktu luang mereka tidak terbuang sia-sia. Ini juga untuk mengurangi aktifitas siswa di luar sekolah yang kurang fositif. Kalau mereka tidak diberi kesibukan, paling hari-hari liburnya dihabiskan di Bontang Kuala”.

Menurut Eldyla salah seorang anggota IT GUARD SMK PB, program yang dilakukan oleh jurusan teknik computer dan jaringan ini sangat positif. Eldyla mengaku sangat terbantu dengan adanya ekstrakurikuler tersebut karena mereka bisa belajar banyak tentang komputer. “kami belajar banyak di sini mulai dari perawatan computer, perbaikan, pengembangan hingga perakitannya. Saya sendiri baru sekitar sebulan bergabung. Tapi karena jadwalnya yang padat, sekarang lumayan banyak yang saya ketahui. Di kelas juga kami belajar tentang computer tapi jumlah siswanya kan banyak, jadi terkadang saya lambat memahami pelajaran. Tapi kalau di IT GUARD ini saya cepat mengerti karena jumlah siswanya dibatasi” terang Nobel yang dihubungi di sela-sela kesibukannya di LAB IT Putra Bangsa kemarin.

Direktur Institut Pendidikan Putra Bangsa Bontang Rediyono, SH, M.M. yang dihubungi terpisah mendukung penuh program tersebut. Menurut Rediyono, pengembangtan skill siswa memang harus digenjot baik di dalam maupun di luar jam pelajaran. Biaya pendidikan teknologi dan informatika memang sangat mahal, tapi saya akan memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan, terutama pasilitas laboratoriumnya. Saat ini kami baru biasa menyiapkan pasilitas untuk siswa SMK Putra bangsa, tapi nantinya kami akan memberikan ruang juga buat warga bontang secara umum – terutama pelajar – untuk belajar IT. sekarang ini eranya teknologi kalau kita tidak bergerak maju, kereta globalisasi akan semakin jauh ke depan meninggalkan kita semua, pungkasnya dengan penuh semangat

artikel 6 :


Jakarta Segera Operasikan Satu Lagi SMAN Unggulan


JAKARTA, KOMPAS.com — Jakarta sebentar lagi akan memiliki SMA negeri khusus untuk siswa cerdas dengan standar kualitas yang dipatok bisa melampaui sekolah-sekolah berstandar internasional yang sekarang ini banyak bermunculan. Sekolah yang dibangun sejak tahun 2007 itu sudah rampung dan siap menampung siswa tahap pertama sebanyak 216 orang. Akhir Maret ini, sekolah bernama SMAN MH Thamrin akan melakukan seleksi penerimaan siswa baru yang ber-IQ minimal 120.

Pembangunan sekolah tersebut menghabiskan biaya APBD sebesar Rp 98 miliar. Sebesar Rp 77 miliar untuk pembangunan fisik dan Rp 21 miliar untuk pengadaan barang. Sekolah itu terletak di Jalan Bambu Wulung, Bampuapus, Cipayung, Jakarta Timur, dan didirikan di atas lahan seluas 37.000 meter persegi. Minggu (15/3) mendatang, sekolah ini akan resmi dibuka oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.

Sarana dan prasarana yang disediakan yaitu asrama untuk pelajar putri dan putra serta pengelola. Ruang belajar mengajar sebanyak 36 unit (ruang kelas I, II, dan III masing-masing ada 12 unit). Satu kelas memiliki daya tampung 24 siswa. Sekolah dilengkapi laboratorium fisika, kimia, biologi, bahasa, dan komputer, serta rumah kaca (green house), ruang multimedia, ruang seni budaya, ruang perpustakaan, lapangan olahraga lengkap, masjid, ruang fitnes, dan ruang terbuka hijau. Setiap ruang, kecuali laboratorium IPA, gudang, dan green house, semuanya dilengkapi dengan alat pendingin udara (AC).

Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) DKI, Taufik Yudi Mulyanto, pada saat acara open house sekolah itu di Bambuapus, Jakarta Timur, Jumat (13/3), mengatakan, “Pemprov DKI ingin ada sekolah yang statusnya di atas sekolah berstandar internasional.”

Sejauh ini, tenaga pendidik yang direkrut sebanyak 32 orang. Guru-guru yang direkrut merupakan guru profesional, berijazah S-2 dan S-3 sesuai dengan bidangnya dari perguruan tinggi berakreditasi A.

Sistem pendidikannya, lanjut Taufik, menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dengan penguatan mata pelajaran hard-science, seperti matematika, fisika, kimia, dan biologi, serta kemampuan berkomunikasi dengan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya. Pada tahun pertama, siswa SMA akan diperkenalkan dengan sistem beban belajar menggunakan rintisan satuan kredit semester (SKS). Tahun kedua, pelajaran akan berjejaring dengan Cambridge University, Inggris. Kemudian tahun ketiga, siswa akan diberikan tantangan dengan mengikuti kompetisi bertaraf internasional di berbagai bidang akademik.

Siswa yang hendak masuk ke sekolah ini harus melalui serangkaian seleksi ketat, antara lain seleksi administrasi, ujian seleksi yang meliputi tes bahasa Inggris, tes kemampuan matematika, fisika, dan biologi, psikotes, serta wawancara.

Total daya tampung sekolah ini, menurut Taufik, sekitar 864 siswa. Untuk angkatan pertama akan diterima 9 rombongan belajar atau 9 kelas, dengan rasio per kelas sebanyak 24 orang. Informasi mengenai kualifikasi, syarat pendaftaran, seleksi dan pengumuman hasil seleksi dapat dibuka melalui website www.dikmentidki.go.id

Siswa dari keluarga tidak mampu, kata Taufik, tidak tertutup kemungkinan untuk diterima. “Siapa pun boleh belajar di sekolah ini. Sebab sisi ekonomi menjadi pertimbangan kedua. Pertimbangan pertama dia harus punya IQ di atas 120,” tambahnya.

Rencananya, biaya investasi dan operasional sekolah akan disubsidi APBD DKI sekitar 50 persen. Sisanya akan disubsidi APBN dan masyarakat yang peduli pendidikan. Disdik DKI akan meminimalisasi biaya sekolah dari orangtua murid.

Sumber : Berita Jakarta

Sumber: Kompas.Com
http://megapolitan.kompas.com


artikel 7 :

''Alih Teknologi Dorong Keahlian Siswa SMK'' 'Indonesia Mampu Merakit' - Rakyat Cerdas?
Alih teknologi dorong keahlian siswa SMK
oleh : Hilda Sabri Sulistyo

JAKARTA (bisnis.com): Alih teknologi China di bidang manufaktur mendorong siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia mampu merakit berbagai mobil, motor, suku cadang, mesin maupun barang elektronik.

Sedikitnya tiga SMK di Jawa Timur dan Jawa Tengah mampu merakit mobil dan satu diantaranya telah menyelesaikan seluruh proses perakitan dengan menghasilkan fan car produksi murid SMK 6 Malang, ujar Joko Sutrisno, Direktur Pembinaan SMK Depdiknas, hari ini

Siswa SMK lainnya yang tengah menyelesaikan mobil rakitan adalah SMK Muhammadiyah 2 Borobudur, Magelang. Mereka sedang merampungkan perakitan mobil SUV yang diberi nama Esemka SUV, sedangkan SMK Singosari Malang membuat mobil pick-up yang dijadwalkan rampung pada Mei.

Kemampuan siswa SMK lainnya adalah merakit computerical numerical control (CNC) yang sudah dijual dengan nama produk Headman SMK, suatu mesin untuk membuat segala macam mesin manufaktur lainnya yang dirakit dari China pula.

Menurut Joko, sikap pemerintah China yang terbuka dan banyak memberikan alih tekhnologi kepada Indonesia membuat tiga tahun terakhir siswa SMK mengalami kemajuan yang pesat.

Sementara itu, Jepang yang telah lama berinvestasi di Indonesia di bidang otomotif dan elektronik tidak segencar China dalam melakukan alih tekhnologi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kata Joko, mengirimkan utusan ekonominya ke China untuk membahas peluang kerjasama kedua negara termasuk pengadaan alat untuk SMK.

Pihaknya optimistis siswa SMK ke depan akan mampu membuat produk manufaktur sehingga Indonesia juga dapat mengekor kesuksesan China. Soalnya kemajuan tekhnologi manufaktur China kini sudah dapat dipelajari oleh siswa SMK sehingga mereka mampu membuat berbagai mesin perkakas, suku cadang mobil, motor, membuat komputer, laptop, LCD dan beragam barang elektronik lainnya hingga traktor pertanian.

Realitas ini mematahkan asumsi Bank Dunia yang mengatakan SMK tidak dibutuhkan oleh Indonesia. Dalam penelitian Bank Dunia-Bappenas yang dipresentasikan bulan lalu mengenai Education Sector Assesment (ESA) intinya merekomendasikan agar Indonesia tidak perlu membangun banyak SMK.

Persepsi Bank Dunia itu salah, ujarnya, karena justru dunia kerja (industri) malah membutuhkan lulusan SMK ketimbang SMA (3:1). Oleh karena itu sejumlah pemerintah daerah di Indonesia seperti Kaltim, Jateng, Provinsi Riau justru akan memacu pembangunan SMK dan tidak menambah jumlah SMA.

Pihaknya mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati atas persepsi keliru yang disampaikan oleh pendonor seperti Bank Dunia maupun pihak asing lainnya karena jika Indonesia ingin menjadi negara maju dan tidak tergantung pada negara donor maka justru harus mencetak SDM siap pakai dari SMK.

Kini siswa SMK sudah mampu membangkitkan berbagai sektor bukan hanya di bidang manufaktur tetapi juga pertanian, peternakan, perdagangan ritel. Ada SMK yang punya peternakan bebek, ayam, perkebunan melon, budi daya rumput laut, kata Joko. (tw)

Sumber: bisnis.com
http://web.bisnis.com

artikel 8 :

Software Rp 10 M Tanpa Tender, Uang Ditransfer ke Sekolah
Sidoarjo | Surya -Pengadaan software matematika dan fisika untuk SMP dan SMA negeri dan swasta senilai total Rp 10 miliar di Sidoarjo diduga kuat mengandung unsur ‘permainan’, karena tidak melalui proses tender.
Selain itu, DVD yang dikemas dalam kardus berisi 12 keping itu dinilai mahal karena dibanderol Rp 17 juta.

Software yang sudah dimiliki sejumlah sekolah itu dinilai sangat membantu proses belajar mengajar. Namun aliran dana untuk mendapatkan cakram padat itu dengan pihak ketiga yang diduga tidak beres.

Pasalnya, saat pengadaan barang, masing-masing SMP dan SMA ditransfer dana seolah-olah sekolah butuh software. Padahal, diduga ini hanya untuk memecah nominal uang demi menghindari tender.

Informasi yang diperoleh di lapangan menyebutkan, dana sebesar Rp 10 miliar itu cair dalam dua tahap. Dari APBD senilai Rp 7 miliar dan PAK Rp 3 miliar.

Dana ini kemudian ditransfer ke sekitar 320 sekolah pada Desember 2008, setelah beberapa kepala sekolah negeri dan swasta di Sidoarjo dikumpulkan dan diminta nomor rekening. Inti pembicaraan pertemuan itu adalah sekolah mendapat kucuran dana Rp 17 juta untuk pembelian peralatan pengajaran siswa.

Penyaluran uang ke sekolah diawali ketika Pemkab Sidoarjo mengucurkan dana Rp 17 melalui rekening di beberapa sekolah negeri dan swasta. Dana itu hanya parkir sementara.

Pihak sekolah diperintahkan menyetor dana yang diterimanya itu kepada rekanan di kawasan Kota Sidoarjo yang ditunjuk pemkab. Setelah setor uang, pihak sekolah menerima software berlabel pesona matematika dan fisika.

“Uang yang disetor tidak sebanding dengan apa yang kami terima. Jujur saja, kalau uang itu murni dari kantong pribadi, eman. Masak, 12 keping DVD dijual Rp 17 juta,” tutur seorang kasek di kawasan Tanggulangin beberapa waktu lalu.

Bagaimana pajaknya? Kasek ini mengaku tidak tahu, karena ia hanya disuruh membawa uang dan ditukar dengan DVD. Itu saja. Diduga, uang Rp 17 juta itu dikumpulkan semua oleh pihak ketiga baru dipotong pajak. Karena nominalnya Rp 10 miliar.

Setelah menerima DVD, pihak sekolah mengikuti training di Malang dengan ongkos pribadi. “Memang sih cara pengajarannya enak dan mudah dicerna siswa,” aku kasek tadi.

Software yang dimiliki sekolah itu sejak awal Maret tidak bisa digunakan lagi, karena ternyata sudah kedaluwarsa. Dua bulan pertama, software harus diupgrade kepada rekanan yang ditunjuk.

“Ini belum kami bawa ke pihak ketiga untuk upgrade. Jadi, masih belum bisa dipakai. Katanya setelah empat tahun software ini tidak bisa dipakai lagi,” jelas sang kasek.

Cakram padat itu tergolong canggih karena diproteksi dengan kunci yang menyerupai flashdisc. Meski sudah dimasukkan, software tidak bisa dipakai jika tidak pakai PIN. Satu mata pelajaran ada kuncinya sendiri dan tidak bisa dipakai di tempat lain. Bahkan software itu tidak bisa digandakan, karena sudah diproteksi rekanan.

Apakah semua sekolah yang sudah menerima transferan dana itu menukar Rp 17 juta itu dengan 12 DVD? Ternyata ada juga yang mokong. Ada sekolah yang sengaja tak mengambil paket DVD. “Uang itu masih ada di rekening,” jelas kasek lain.

Kasek ini sengaja tidak mengambil DVD setelah mendapat cerita dari sekolah lain yang lebih dulu mengambil. Begitu tahu yang diperoleh hanya software berisi 12 keping DVD dan bukan hardware, sekolah itu membiarkan. “Biarkan saja uangnya di bank. Kami tidak minta kok, melainkan diberi,” ucapnya.

Anggota Komisi B DPRD Sidoarjo Kalim menduga telah terjadi penyimpangan dalam penyerapan anggaran. Sesuai nomenklatur, anggaran sebesar Rp 10 miliar itu seharusnya diberikan dalam bentuk software ke sekolah.

Namun, yang terjadi justru pihak Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) menyetorkan Rp 17 juta ke rekening sekolah. “Terus bagaimana kalau pihak sekolah mendiamkan uang yang parkir di rekeningnya atau tidak mengambil software,” ujarnya.

Ia tidak bisa menyalahkan pihak sekolah yang tidak membuat laporan pertangungjawaban (LPJ) ke BPKKD, karena menganggap harga software terlalu mahal. Kalim menduga, ada upaya menghindari tender dengan mengirim uang ke sekolah.

Untuk pengadaan barang senilai Rp 10 miliar, katanya, harus ada tender. Untuk mencegah agar tidak ditender, diatur seolah-olah pihak sekolah butuh software dan menunjuk rekanan. Padahal, uang untuk membeli software itu dari pemkab juga. “Ini bentuk penyimpangan gaya baru,” kritik wakil rakyat ini.

Kadiknas Pemkab Sidoarjo MG Hadi Sutjipto saat didatangi ke kantornya usai Sholat Jumat (27/3) tidak ada di tempat. Dengan demikian Surya belum berhasil mengonfirmasi berita ini kepadanya.

Begitu pula, Kepala TU Diknas Ahmad Zaini juga tidak ada di tempat. “Bapak takziah ke Tulangan, ada staf Diknas yang meninggal dunia,” tutur salah seorang stafnya.

Sementara Kepala BPKKD Didiek Setyono saat dihubungi membenarkan bahwa BKKD mentransfer uang ke sekolah. Mengenai proses tendernya, ia mengaku tidak tahu. mif

Sumber: Surya Live
http://www.surya.co.id

Artikel 9 :

SMK, Jembatan Sekolah dan Dunia Kerja Senin, 04 Agustus 2008 09:35 WIB SMK, Jembatan Sekolah dan Dunia Kerja Sudah hampir satu dasawarsa memasuki ab
SMK, Jembatan Sekolah dan Dunia Kerja

Sudah hampir satu dasawarsa memasuki abad ke-21, bangsa Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan untuk menyusun dan merumuskan konsep kebijakan dan strategi yang solid dalam upaya mencerdaskan dan menyejahterakan warganya. Masih buruknya mutu pendidikan pada hampir semua jenis dan tingkatan pendidikan semakin menegaskan sinyalemen di muka. Semakin meningkatnya angka pengangguran anak-anak usia produktif yang diakibatkan dari rendahnya kemampuan dasar, keterampilan, dan keahlian menjadi cermin nyata bahwa bangsa ini masih menghadapi persoalan besar dalam bidang pendidikan.

Di lain pihak, kita selalu disuguhkan dengan berbagai prestasi beberapa siswa (few geniuses) pada berbagai perlombaan tingkat nasional dan internasional. Dari sejumlah prestasi itu, sayangnya pemerintah masih belum berhasil mengimbaskannya kepada siswa-siswa lain, baik secara masif maupun sistemis. Dengan bahasa lain, dapat dikatakan hasil yang diperoleh beberapa siswa dari mengikuti berbagai ajang perlombaan bergengsi dan dengan biaya yang sangat mahal itu ternyata belum mampu membawa perubahan terhadap capaian belajar siswa (student attainment) secara umum. Seharusnya partisipasi dalam perlombaan itu dapat dijadikan bagian dari upaya pemerintah untuk membangun sistem pendidikan yang lebih bermutu dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah belum mampu menjadikan capaian pada berbagai ajang lomba itu untuk membangun dan meningkatkan motivasi belajar, menanamkan semangat dan daya juang (risk-taking) serta ketekunan (resilience) di kalangan siswa lainnya, sebaliknya pemerintah hanya berhenti pada kepuasan sesaat.

Harus diakui sistem pendidikan yang dibangun sejauh ini belum banyak berperan dalam membantu menyelesaikan persoalan bangsa. Secara umum, lulusan pendidikan menengah masih belum dibekali dengan kemampuan dan keterampilan yang memadai untuk dapat masuk pasar kerja (workplace), yang kondisinya sudah semakin terintegrasi dengan pasar global sehingga sangat kompetitif. Karena itu, upaya Depdiknas untuk kembali menggalakkan program pendidikan linking school and work melalui konsolidasi, intensifikasi, diversifikasi, dan ekspansi program pendidikan keterampilan (vocational skills) pada jenjang pendidikan menengah (SMK) patut untuk diapresiasi dan didukung. Namun, dukungan yang diberikan harus dalam semangat untuk menumbuhkan kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, dan memperkuat kemampuan dasar serta keterampilan teknis pada siswa sehingga mereka mampu menjawab tuntutan dunia kerja modern.

Kondisi SMK

Depdiknas dalam dua tahun terakhir melakukan conditioning guna meyakinkan masyarakat terutama siswa lulusan SMP agar lebih berminat memilih pendidikan kejuruan dalam menempuh karier pendidikan lebih lanjut. Upaya pemerintah memasang iklan layanan masyarakat di beberapa media cetak dan elektronik itu cukup baik, tapi dinilai masih terkesan responsif dan kagetan (hiccup) sebab kebijakan itu belum didukung kajian komprehensif dan mendalam yang melibatkan sejumlah departemen dan institusi terkait. Sebut saja tak pernah dijelaskan di mana posisi departemen tenaga kerja, industri, pertanian, pariwisata, lembaga pendidikan tinggi, dan lembaga profesional lainnya dalam pengembangan sekolah menengah kejuruan tersebut.

Pada akhir 1980, PTN pernah mensyaratkan siswa lulusan sekolah kejuruan harus memiliki nilai rata-rata 7,0 untuk dapat mendaftar dan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri. PTN harus menetapkan persyaratan yang berbeda dengan siswa lulusan sekolah menengah umum (SMA) untuk menunjukkan bahwa peluang keberhasilan siswa lulusan kejuruan pada ujian masuk PTN sangat kecil apabila nilainya lebih rendah daripada yang dipersyaratkan (7,0). Informasi lain yang mungkin perlu juga diperhatikan, dalam suatu seminar yang diselenggarakan Pusat Pengujian Balitbang Diknas pada akhir 1980, sejauh penulis masih dapat ingat, pernah diungkapkan masa tunggu lulusan SMK sebelum mendapatkan pekerjaan sedikit lebih panjang jika dibandingkan dengan lulusan SMA. Selanjutnya, dalam pekerjaan ternyata kemampuan belajar dan memahami instruksi siswa lulusan SMA lebih cepat jika dibandingkan dengan siswa lulusan SMK meskipun siswa lulusan SMK pada umumnya lebih baik dalam bidang keterampilan dan kemampuan teknis tertentu. Informasi itu tentunya perlu diuji ulang (diteliti kembali) mengingat perkembangan dan perubahan serta kemajuan manajemen pembelajaran SMK selama ini yang tentunya sudah banyak berubah dan meningkat lebih baik. Menurut Asram Jr pemuda lulusan SMK swasta, Banyak lulusan SMK saat ini masih mengalami kesulitan dan frustrasi untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlian mereka. Pandangan yang menyebutkan usia mereka masih terlalu muda (immature) ditambah dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang belum memadai (inadequate knowledge and skills) sering menjadi kendala utama siswa lulusan SMK mendapatkan pekerjaan yang layak dan dapat mendukung karier dan kehidupan ke depan (future career path). Akibatnya, banyak lulusan kejuruan hanya mampu mendapatkan pekerjaan musiman dan tanpa kepastian kehidupan ekonomi (financial insecurity), jaminan sosial, dan kesehatan. Akibat selanjutnya, mereka akan kesulitan untuk berperan sebagai pribadi dewasa (responsible adults) yang mampu membangun dan membina kehidupan rumah tangga dan melakukan kewajiban kewarganegaraannya (civic duty) dengan naik.

Untuk mengatasi persoalan itu, Depdiknas seharusnya mulai melakukan berbagai kajian konsepsional dan empirik sehingga arah pengembangan (roadmap) sekolah kejuruan ke depan dapat menjadi lebih jelas dan terukur. Depdiknas seharusnya mengkaji dan merumuskan kembali kebijakan yang berkenaan dengan visi, misi, dan tujuan sekolah kejuruan, mengidentifikasi dengan tepat berbagai keterampilan (vocational and thinking skills) yang sangat dibutuhkan dunia industri dan jasa pada abad ke-21 sekarang ini, revisited kurikulum dan implementasinya di lapangan guna menyesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan teori pembelajaran terkini. Selanjutnya, Depdiknas dapat lebih dahulu meneliti kecenderungan dan perkembangan industri nasional dan global termasuk benchmarking yang digunakan dan dapat membangun kemitraan strategis dengan sejumlah perusahaan dan lembaga profesi yang sesuai dengan kebutuhan. Kegiatan mendasar baik berupa assessment, appraisal, ataupun feasibility studies tersebut mutlak diperlukan sebelum sebuah kebijakan dilaksanakan secara nasional.

Pembangunan sekolah kejuruan haruslah diarahkan pada kebutuhan kekinian. Dunia saat ini dilanda krisis pangan dan energi. Krisis itu dipandang akan berlangsung lama dan menyerang semua negara, baik kaya maupun miskin. Sebagai negara agraris dengan kekayaan alam yang melimpah, bangsa ini diharapkan dapat menyejahterakan rakyatnya dan menyumbang untuk kemakmuran masyarakat dunia. Untuk mewujudkan keinginan mulia di muka, Depdiknas harus cerdas dan cermat dalam menentukan pilihan pendidikan keterampilan yang akan ditawarkan. Setiap bidang keahlian yang dipilih haruslah diarahkan dalam rangka menyiapkan individu siswa untuk dapat menjawab persoalan kekinian, memahami relevansi dan keterkaitannya dengan bidang lainnya, serta menyiapkan mereka dalam menghadapi arus perubahan yang begitu cepat dalam bidang ekonomi, teknologi, politik, dan sosial-budaya.

Seluruh program pendidikan kejuruan yang dikembangkan hendaknya didasarkan pada upaya menyiapkan peserta didik agar mampu menjawab kebutuhan kekinian (immediate needs) terutama dalam bidang pertanian/pangan, kelautan, kehutanan, energi, dan pertambangan. Selanjutnya, program pendidikan kejuruan hendaknya juga dapat mendukung pembangunan bidang transportasi, manufaktur, jasa perhotelan, travel, restoran, kesehatan, asuransi, mikroekonomi, dan perbankan. Sementara itu, ICT, animasi, dan desain grafis juga layak untuk mendapat prioritas mengingat semakin pesatnya kemajuan dan pertumbuhan industri dalam bidang tersebut.

Pilihan program bisa sangat luas dan beragam. Karena itu, Depdiknas harus dapat melihat dan menilai kemampuan daerah, khususnya dalam menyediakan sarana belajar yang memadai, sumber daya kependidikan yang andal, dan prospek penyediaan lapangan pekerjaan baru bagi siswa lulusan sekolah kejuruan. Desain program hendaknya dapat disesuaikan dengan arah dan perkembangan pembangunan wilayah. Kehadiran SMK hendaknya dapat memberi nilai tambah ekonomi dan dapat mendukung pembangunan wilayah tersebut. Dengan tersedianya sumber kehidupan berupa lapangan pekerjaan yang baik, program itu diharapkan akan dapat meminimalkan arus migrasi dan urbanisasi angkatan kerja usia muda.

Oleh Syamsir Alam, Konsultan Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta

Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com

artikel 10 :

Konstruktivisme dan Sekolah Kejuruan
Konstruktivisme dan Sekolah Kejuruan

Tingginya angka pengangguran yang mencapai sekitar 42 juta jiwa serta rendahnya angka siswa melanjutkan ke perguruan tinggi membuat dunia pendidikan di Indonesia harus mengoreksi landasan operasional persekolahan mereka. Salah satu isu penting saat ini adalah mengembalikan fungsi dan peran sekolah menengah kejuruan (SMK) sebagai salah satu solusi menyiapkan lulusan yang memiliki keterampilan dan dapat diserap bursa kerja. Meskipun kebijakan ini dianggap belum sepenuhnya dapat menjamin keberhasilan tujuan penyelenggaraannya, paling tidak SMK akan sedikit memberi harapan kepada warga bangsa, sekaligus pemerintah, tentang solusi alternatif dari tingginya angka pengangguran. Karena itu, Depdiknas harus mampu mengembangkan bukan hanya aspek teknis penyiapan SMK seperti assessment dan appraisal program agar bersinergi dengan dunia industri, melainkan juga akan menghadapi tantangan teknis lainnya, yaitu penyiapan tenaga pengajar yang profesional dan mengerti tujuan pendidikan kejuruan dan keterampilan di sekolah.

Tulisan ini ingin memetakan persoalan teknis kedua hal di atas dengan mengajak para pengelola sekaligus guru sekolah kejuruan untuk memahami kerangka pembelajaran yang harus dilakukan untuk kebutuhan life-skills. Karena itu, guru perlu pengenalan makna dan teori belajar secara lebih baik dalam rangka membimbing dan membina siswa agar lebih mandiri dan memiliki keinginan untuk merekonstruksi dunia belajar ke dalam dunia kerja. Hal ini penting untuk diketahui para pengelola sekolah kejuruan, karena hingga saat ini pandangan ahli pendidikan tentang sekolah kejuruan masih mendua. Menurut Parnell (1966), sebagian ahli pendidikan mengatakan bahwa Learning to know is most important; application can come later. Sedangkan para penggagas sekolah kejuruan berpendapat bahwa Learning to do is most important; knowledge will somehow seep into the process. Memanfaatkan dan memahami teori konstruktivisme sebagai basis proses belajar-mengajar di sekolah kejuruan adalah salah satu usaha untuk memperoleh legitimasi teoretis sekaligus empiris tentang pentingnya sekolah kejuruan.

Konstruktivisme sekolah kejuruan

Sebagai salah satu aliran dalam filsafat pendidikan, konstruktivisme menegasikan bahwa pengetahuan kita sesungguhnya merupakan hasil konstruksi atau bentukan kita sendiri (Von Glaserfeld dalam Battencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Artinya teori ini bersandarkan pikiran bahwa seorang siswa sesungguhnya pengemudi sekaligus pengendali informasi dan pengalaman baru yang mereka peroleh dalam sebuah proses memahami, mencermati secara kritis, sekaligus melakukan re-interpretasi pengetahuan dalam sebuah siklus belajar-mengajar (Billett 1996). Secara operasional memang tidaklah sederhana memahami teori ini. Tetapi jika para guru mampu memahami ide bahwa pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan siswa (Mind as inner individual representation of outer reality), maka baik guru maupun siswa dapat secara bersama-sama mengonstruksi skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur dalam membangun pengetahuan, sehingga setiap bangunan proses belajar-mengajar memiliki skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang lebih kaya sekaligus berbeda.

Fitur kunci yang lain dari konstruksi pengetahuan adalah konteks fungsional, sosial, dan kegunaan. Ketika seluruh konteks dapat disatukan dalam sebuah skema pembelajaran secara efektif, maka pengetahuan dapat digunakan secara maksimal (Johnson dan Thomas 1994). Meskipun kita tahu bahwa belajar adalah suatu penafsiran personal dan unik dalam sebuah konteks sosial, tetapi akan lebih bermakna jika akhir dari suatu proses pembelajaran dapat secara langsung memotivasi siswa untuk memahami sekaligus membangun arti baru (Billett 1996). Untuk itu, seorang guru dalam pendekatan konstruktivis harus berfungsi sebagai fasilitator aktif, terutama dalam memandu siswa untuk mempertanyakan asumsi diam-diam mereka, serta melatih siswa dalam merekonstruksi makna baru dari sebuah pengetahuan. Berbeda dengan behavioralist, seorang guru konstruktivis lebih tertarik untuk membongkar sebuah makna daripada menentukan suatu materi. Dengan demikian, peran guru dalam pembelajaran konstruktivisme adalah menyediakan pengalaman belajar bagi siswa, memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa, menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif, serta memonitor dan mengevaluasi hasil belajar siswa. Seluruh proses ini merupakan pendekatan paling baik dalam mekanisme pengembangan kurikulum sekolah kejuruan.

Beberapa penelitian tentang bagaimana siswa belajar dalam sebuah lingkungan dan tempat kerja menunjukkan bahwa proses magang-kognitif dari pendekatan konstruktivisme untuk sekolah kejuruan sangatlah penting. Penelitian dari para praktisi ragam profesi (Buckmaster & LeGrand, 1992) mengungkapkan bahwa praktik kerja dalam sebuah pendidikan kejuruan pada awalnya memang menempuh risiko tinggi. Tetapi jika guru bertindak benar, baik sebagai fasilitator maupun pemandu, guru dapat membantu para siswa dalam belajar merekonstruksi pikiran mereka melalui sebuah prakondisi secara bersama-sama. Meskipun konstruksi dari sebuah pemahaman adalah unik bagi setiap individu, hal tersebut akan mudah dibentuk oleh kultur dan lingkungan tempat bekerja sekaligus belajar dalam sebuah sekolah kejuruan. Yang harus selalu diingat oleh para guru di sekolah kejuruan adalah menghargai siswa dengan instruksi langsung kepada sumber informasi. Kualitas instruksi seorang guru/fasilitator sangat penting, terutama dalam membantu siswa untuk memahami mengapa sesuatu harus dilakukan dan bagaimana mencapai derajat atau level tertentu dari penguasaan sebuah pengetahuan dan keterampilan.

Aktivitas adalah salah satu faktor kunci dalam konstruksi pengetahuan, dan keikutsertaan siswa dalam seluruh aktivitas dan interaksi pembelajaran setiap hari merupakan kekuatan untuk mengakses informasi dan keterampilan yang lebih tinggi. Bertambahnya pengalaman secara rutin dan langsung dalam melakukan suatu pekerjaan akan memberikan siswa kemampuan untuk memecahkan masalah secara reflektif dan berkesinambungan. Karena itu diperlukan sinergi yang jelas antara sekolah kejuruan dan industri terkait dalam rangka memberikan manfaat langsung kepada siswa untuk melakukan proses magang. Pendekatan konstruktivisme memandang bahwa penguatan keterampilan siswa melalui sebuah praktik magang adalah dalam rangka menumbuhkan kepuasan batin agar perasaan siswa terstimulasi secara positif. Dalam pandangan Billett (1996), tempat magang sebagai bagian dari proses belajar-mengajar di sekolah kejuruan memiliki sejumlah kekuatan sebagai lingkungan belajar yang: (1) asli (authentic), tujuan dari setiap aktivitas diarahkan; (2) juga berfungsi sebagai panduan (guideline) untuk mengakses sumber belajar secara langsung; (3) keterikatan siswa satu sama lain untuk memecahkan masalah setiap hari; dan (4) penguatan intrinsik.

Hasil riset lainnya juga menunjukkan bahwa fokus dalam proses belajar-mengajar harus tertuju pada aktivitas individual siswa dalam merekonstruksi pengetahuan (Stevenson 1994, p 29). Dengan demikian peran penting sekolah kejuruan adalah memfasilitasi konstruksi pengetahuan yang dilakukan para siswa melalui sederetan pengalaman lapangan (magang), kontekstual dengan kondisi dan lingkungan sosial yang berkembang (Lynch 1997, p 27). Karena titik fokus dari sekolah kejuruan adalah upaya peningkatan keterampilan siswa, sekolah kejuruan harus digagas dan dijadikan sebagai wadah dari sebuah proses belajar, bukan proses mengajar. Artinya, baik siswa maupun guru harus sama-sama belajar membina hubungan yang positif dan setia dalam berbagi kehendak dan tujuan pembelajaran (Stevenson 1994).

Menurut Hyerle (1996), meskipun pendekatan konstruktivisme dalam model cooperative learning dan assessment portofolio telah mulai digunakan dalam proses belajar di sekolah kejuruan, dalam praktiknya masih terbatas pada aspek partisipasi siswa semata. Hyerle mengingatkan agar para guru juga secara kreatif dapat menggunakan alat-alat visual dalam proses pembelajaran seperti brainstorming webs, thinking process maps, concept mapping, dan juga perangkat multimedia lainnya.

Para guru dan pengelola sekolah kejuruan harus dengan cerdas memahami bahwa tujuan pembelajaran dari pendekatan konstruktivisme adalah untuk mengembangkan self-directed dan pemahaman saling ketergantungan satu sama lain dalam mengakses dan menggunakan pengetahuan sekaligus keterampilan.

Oleh Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta

Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com

artikel 11 :

Kamis, 2009 April 16
Depdiknas Terbitkan Peta Bahasa di Tanah Air
Pusat Bahasa Depdiknas akan menerbitkan peta bahasa yang terdiri atas kumpulan bahasa daerah di Tanah Air dari Sabang, Pulau We sampai Merauke, Papua."Penyusunan peta bahasa ini sudah berlangsung selama 15 tahun karena proses pengumpulan data bahasa ibu dari satu daerah ke daerah lain mengalami kendala geografis," kata Kepala Pusat Bahasa Depdiknas, Dr Dendy Sugondo di Jakarta, Rabu sehubungan penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia IX di Jakarta, pada 28 Oktober- 1 November 2008.Penelitian tentang bahasa daerah atau bahasa ibu bertujuan untuk memetakan bahasa sebagai budaya dan sarana mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Ia mengatakan, bangsa Indonesia memiliki lebih dari 746 bahasa daerah dan 17.508 pulau. "Melalui bahasa kita bisa membuat peta budaya dan wilayah NKRI. Ini suatu senjata paling kuat, yaitu peta budaya, bukan hanya peta wilayah," katanya.

bahasa telah mencapai kawasan timur yakni di Provinsi Papua dan Maluku. Dendy mengharapkan, pada 28 Oktober nanti meski Peta Bahasa tersebut belum sepenuhnya sempurna -karena bahasa ibu di Papua belum masuk- tetap akan dipamerkan pada acara Kongres Bahasa nanti.Untuk melakukan pemetaan bahasa tersebut, Depdiknas menerjunkan tim pemetaan bahasa yang disebar di seluruh Indonesia. Mereka ditempatkan di balai bahasa setiap provinsi di Indonesia.Dendy mengatakan, selama penelitian diperoleh data terdapat enam bahasa daerah yang sudah punah. Bahasa-bahasa tersebut berada di daerah Nusa Tenggara Timur, Papua, dan wilayah Maluku."Kebanyakan, bahasa daerah, terutama yang kecil-kecil komunitasnya, turun temurun secara lisan. Akibatnya, setelah penutur aslinya tidak ada, bahasa tersebut hilang," tambahnya. Sementara tidak semua daerah memiliki dokumentasi secara tertulis, katanya.Selain itu, lanjut Dendy, terdapat juga beberapa bahasa daerah yang terancam punah. Bahasa-bahasa tersebut terutama yang memiliki penutur di bawah 100 orang. (media indonesia)

Sumber : dikmentidki.go.id

Artikel 12 :

Subsidi Pendidikan, Buat Siapa?
Subsidi Pendidikan, Buat Siapa?
Rencana pemerintah untuk menggratiskan biaya sekolah, patut disambut dengan gembira. Dan, mungkin inilah yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat pada umumnya di seluruh penjuru nusantara. Lagipula, planning untuk mengalokasikan subsidi BBM ke sektor pendidikan itu, tampaknya telah sepakati oleh beberapa fraksi di dewan perwakilan rakyat. Kabar tersebut seperti diberikatakan oleh bebarapa media elektronik dan cetak nasional beberapa waktu yang lalu.Namun pertanyaan yang mengganjal di hati saya adalah, mampukah mutu pendidikan menjadi lebih meningkat hanya dengan membebaskan biaya pendidikan formal? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa setidaknya upaya itu ditempuh untuk mencegah bertambahnya para anak muda yang drop out, putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan sekolah yang lebih tinggi lagi.Akan tetapi, di sisi lain, anak usia sekolah yang mogok belajar bisa jadi disebabkan karena kurang perhatian dan dukungan dari orang tua dan masyarakat sekitar.

Sehingga anak tidak mempunyai motivasi dan cita-cita yang mantap. Juga masih maraknya anggapan kuno dari masyarakat yang menyatakan bahwa buat apa bersekolah tinggi-tinggi, kalau pada akhirnya pekerjaan yang cocok sulit diperoleh alias menjadi penggangguran setelah lulus sekolah.Selain itu, pemerintah kurang peka terhadap perkembangan di sekolah-sekolah. Karena jarangnya pemerintah --khususnya yang bergelut di bidang pendidikan-meluangkan waktunya untuk meninjau lokasi sekolah, maka pihaknya tidak tahu secara persis situasi dan kondisi lingkungan sekolah. Padahal ada hal-hal yang perlu diperbaharui di sana, misalnya saja, ada beberapa bangunan fisik sekolah yang sangat memprihatinkan, bahkan tak pantas disebut sebuah sekolah ini. Ditambah pula dengan minimnya tenaga pendidik, terutama di daerah pelosok yang sulit dijangkau plus alat-alat sekolah yang kurang memadai.Perlu diketahui bahwa yang namanya pendidikan itu merupakan suatu usaha dilakukan oleh seseorang untuk dapat menggali potensi diri yang dimilikinya yang berupa intelektual, skill dan mengembangkan kepribadiannya. Dari itu, sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan diharapkan dapat membantu (bukan menciptakan) terwujudnya kompetensi-kompetensi yang ada pada diri siswa.

Hal ini seperti yang dinyatakan Drost bahwa sekolah itu bertugas sebagai pembantu orang tua dalam hal pengajaran (bukan pendidikan). Maka, di sinilah peran guru sangat mutlak diperlukan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya.Oleh karenanya, guru yang baik, tidak hanya menjadi pengajar yang handal saja. Lebih dari itu, ia juga mampu menjadi pendidik, pembina dan pelatih yang baik pula. Dengan begitu, interaksi yang harmonis antara guru dan siswa akan berjalan dengan semestinya. Jika sudah demikian, maka proses pengalihan ilmu pengetahuan dari guru kepada para siswanya dapat dilakukan tanpa menemui banyak kesulitan. Akan tetapi, untuk mewujudkan hal demikian itu, diperlukan bantuan orang tua siswa, masyarakat dan pemerintah yang kelak akan menciptakan sebuah sekolah unggul.Untuk dikatakan sekolah unggul, Syaiful Sagala (2004) menyatakan bahwa sekolah harus mampu mengidentifikasikan keinginan dan membuat daftar kebutuhan melalui proses analisis kebutuhan, seperti para siswa menginginkan agar kegiatan belajar dapat memberikan ilmu pengetahuan dan ketrampilan secara mudah dan suasana belajar yang menyenangkan, guru menginginkan tersedianya fasilitas dan sarana belajar yang cukup, orang tua siswa menginginkan hasil belajar anaknya sesuai dengan biaya yang dikeluarkan orang tua dan pemerintah, dan masyarakat menginginkan agar hasil belajar mempunyai kemampuan dan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.Sekali lagi, agar proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan tertib, maka salah satu hal yang tidak boleh dilupakan ialah menyangkut biaya pendidikan untuk melengkapi piranti pendukung belajar di sekolah yang digunakan oleh guru dan siswa.

Sebab, belajar tanpa disertai dengan media pendidikan dan pengajaran akan menjadi faktor penghambat dalam proses belajar-mengajar. Juga semangat belajar pun akan semakin turun sedikit demi sedikit.Nah, untuk itulah, pemerintah sewajarnya bisa membantu dalam hal tersebut semaksimal mungkin. Karena itu, agar upaya pemerintah untuk membantu pendidikan gratis, (atau lebih tepatnya meringankan biaya pendidikan) ini tidak mubazir, sepatutnya perlu dipandang beberapa hal: yakni, pertama, disadari atau tidak, yang namanya pendidikan itu memang mahal, jika melihat konteks bahwa pendidikan (baca: mencari ilmu pengetahuan) itu wajib bagi setiap orang semasa hidupnya, tidak hanya dibatasi sembilan tahun saja. Karena itu, pihak terkait berusaha untuk menyalurkan dana pendidikan sedemekian rupa agar dengan tepat sasaran.Kedua, subsidi pendidikan dialokasikan sebaiknya tidak hanya diperuntukkan terbatas pada siswa sekolah saja, melainkan juga untuk kesejahteraan guru (atau bahkan orang tua/wali siswa?). Jangan lupa, seorang guru pun bisa saja tidak mampu mencukupi kebutuhan pimer sehari-harinya. Ini juga untuk menghindari adanya 'kecemburuan sosial' terhadap anak didiknya.

Jika persoalan ekomomis guru terbantukan, -untuk tidak dikatakan terpenuhi-maka setidak-tidaknya akan tumbuh semangat yang menyala untuk memotivasi siswa agar terus maju dan giat belajar dan bekerja.Ketiga, siswa yang berprestasi -tanpa memandang tingkat status ekonomi-layak diberi award, penghargaan, misalnya berupa beasiswa melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Contoh semacam ini akan menjadi pemicu bagi siswa yang lain, utamanya dari golongan yang the haven't, kurang mampu, untuk bisa mengejar ketertinggalannya, dalam bidang akademik dan non akademik.Keempat, perlu adanya jalur khusus bagi siswa yang memiliki bakat dan minat yang berbeda, umpamanya dengan cara memberikan sejumlah ketrampilan yang diminatinya. Ini untuk mencegah tekanan jiwa pada siswa yang hanya memiliki kemampuan intelejensi yang biasa-biasa atau pas-pasan saja, sehingga bisa menyalurkan skill yang tampak menonjol dalam dirinya dan bahkan potensi belum muncul sekalipun.Kelima, pemerintah, secara formal atau nonformal, minimal sekali-kali meninjau, mengontrol, memonitoring kebijakan yang telah dilontarkannya itu dari jarak dekat.

Kegiatan ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah subsidi itu sudah digunakan dengan semestinya atau tidak. Dengan demikian, peristiwa yang tidak diinginkan dapat mencemarkan citra pendidikan, dapat sedini mungkin dicegah.Dua KemungkinanSeandainya pendidikan gratis itu benar-benar direalisasikan, diprediksikan ada dua kemungkinan yang akan muncul, yakni dampak positif dan negatif. Kemungkinan pertama, pendidikan yang diperoleh secara tanpa mengeluarkan biaya, semestinya malah menjadikan faktor untuk meningkatkan pendidikan yang berkualitas. Sebab, orang tua siswa tidak terlalu bersusah payah mengeluarkan sejumlah besar dana untuk membiayai anaknya di sekolah sehingga mereka bisa berkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka sendiri.Lalu, agar subsidi itu dimanfaatkan sesuai dengan rencana, maka subsidi seyogianya bukan berupa segepok uang yang diberikan langsung kepada siswa, tetapi alangkah baiknya disalurkan langsung ke sekolah, dan sisanya dalam bentuk buku-buku pelajaran atau bahan bacaan penjunjang. Dan, jika terpaksa subsidi harus dicairkan dalam bentuk sejumlah uang, seharusnya tetap dikontrol oleh pihak sekolah dan orang tua siswa mengenai penggunaan dana sumbangan pendidikan tersebut.Selanjutnya, kemungkinan kedua, pendidikan gratis dari pemerintah itu bisa jadi membuat mutu pendidikan akan semakin menurun atau sama seperti sebelumnya. Pasalnya, mereka, para siswa dan orang tua yang minim tingkat ekonominya, berpikir bahwa mengenyam pendidikan sekolah itu ternyata gampang, sehingga dalam belajar pun siswa menjadi asal-asalan. Maka dari itu, perlu juga diberikan sanksi bagi siswa yang meremehkan, malas belajar hingga berkali-kali harus 'mandeg' di kelas.

Demikian juga orang tua siswa perlu diberi pengertian dan peringatan agar selau membina dan mengarahkan serta mengontrol perkembangan prestasi belajar anaknya di rumah.Mencermati kemungkinan-kemungkinan tersebut, agaknya program pendidikan gratis bagi kaum miskin kota dan desa, menurut hemat saya, perlu dikaji ulang sebelum dan sesudah launching ke masyarakat. Meskipun, diakui rencana itu baik dan dibutuhkan, namun hal penting yang harus dilakukan oleh berbagai pihak -kelurga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah-- ialah menyaksikan bagaimana praktik riilnya nanti lapangan, apakah berjalan di atas rel telah ditetapkan atau malah keluar dari jalur yang semestinya. Karena, jika pendidikan gratis hanya berorientasi utama agar anak itu bisa sekolah saja, dengan alat dan biaya secukupnya pun hal itu bisa diwujudkan.Tetapi lebih dari itu, bagaimana pula agar siswa atau anak didik mampu mandiri -tidak terus-menerus menggantungkan bantuan-- dengan mengembangkan segala potensi yang dimilikinya, sehingga pasca tamat sekolah ia dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, atau menyalurkan ketrampilannya di suatu instansi, atau mungkin menjadi wiraswasta dengan membuka usaha sendiri yang modalnya diberikan (bukan dipinjamkan) oleh pemerintah secara cuma-cuma. Pendeknya, dengan semua itu, diharapkan anak muda usia yang tidak dapat merampungkan sekolah dan tidak mampu melanjutkan studi serta belum memperoleh pekerjaan yang cocok, sedapat mungkin diminimalisir.Dengan kata lain, sekolah berfungsi sebagai wadah untuk memperoleh segala ilmu pengetahuan dan membentuk sikap kepribadian yang unik dalam setiap anak jiwa anak didik yang sedang mengalami masa pertumbuhan. Dan, ini juga merupakan tanggung jawab sekolah untuk bekerja bersama para orang tua mengoptimalkan potensi siswa agar mendapat manfaat dari proses belajar di sekolah.Kemudian dengan adanya potensi-potensi yang itulah, maka siswa diusahakan mampu menemukan solusi yang efektif atas masalah pribadi, dan kelompok atau komunitas baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat dengan memfungsikan sumber daya pengetahuan yang dikuasainya. Berkenaan dengan hal ini, tampaknya kata-kata dari Jerome S Arcaro patut direnungkan, bahwa "tujuan sekolah adalah untuk menemukan apa yang tidak berjalan dan memperbaikinya sebelum hal tersebut menjadi masalah yang bertambah besar". Ini berarti, sekolah diyakini sebagai problem solver, dan juga pencegah problem agar tidak menjelma menjadi problem lebih parah lagi.Oleh:Khaerul hakim

Sumber : Pendidikan.net

Artikel 13 :

Pendidikan Menengah : Pemerintah Alokasikan Rp 500 Miliar Untuk Perbanyak SMK
Pemerintah mengalokasikan dana total Rp 500 miliar untuk membantu pemerintah daerah memperbanyak pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di berbagai daerah, khususnya SMK yang bertaraf internasional.
"Depdiknas siap membantu melakukan studi kelayakan bagi Pemda yang berniat untuk mengubah SMA menjadi SMK serta mengembangkan SMK-SMK baru sesuai dengan target pemerintah hingga 209 nanti," kata Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdiknas, Suyanto pada jumpa pers di sela-sela acara Rembug Nasional Pendidikan 2006 di Sawangan, Bogor, Jumat (21/4).

Ia menyatakan, keinginan sejumlah daerah untuk mengubah SMA menjadi SMK sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk memperbanyak sekolah menengah kejuruan (SMK) dan mengurangi sekolah menengah atas (SMA). Depdiknas mengharapkan perbandingan SMK dan SMA 70:30 pada 2009.
Saat ini, rasio SMK dengan SMA masih 30:70. Target pada 2008 menjadi 40:60 dan pada 2009 rasio perbandingan SMK dengan SMA menjadi 70:30.
Sedangkan, selisih siswa SMA dengan SMK saat ini sebanyak dua juta orang. Secara perlahan-lahan dengan analisis yang tepat peralihan sekolah itu akan dilakukan, katanya.
Dirjen mengatakan untuk membuat SMK yang bermutu dan bertaraf internasional serta lulusannya bisa diandalkan di pasar kerja membutuhkan Rp 22 miliar untuk satu sekolah. SMK untuk bisa disebut bertaraf internasional minimal harus membangun fasilitas seperti laboratorium, juga memiliki jaringan kerja perusahaan di luar negeri.

Tujuan untuk terus memperbanyak SMK, menurut Suyanto, karena lulusan SMK lebih mudah masuk ke aspar kerja ketimbang lulusan SMA karena umumnya mata pelajaran di SMK sudah disertai dengan praktik keterampilan.
Siswa SMA yang tidak bekerja atau tidak melanjutkan ke perguruan tinggi menyumbang jumlah pengangguran yang saat ini jumlahnya mencapai 40 juta orang. Harapannya dengan diubah dari SMA ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) supaya mereka bisa bekerja pada orang lain atau membuka lapangan kerja sendiri.
"Memperbanyak SMK itu relevan sekali. Sebab, lulusan SMA memberikan sumbangan yang besar terhadap pengangguran di Indonesia," kata Suyanto.
Ia mengatakan, Depdiknas siap membantu daerah-daerah yang ingin mendirikan SMK, baik berupa bantuan guru-guru maupun program, kurikulum, dan bantuan menentukan jenis SMK yang cocok untuk suatu daerah.
Namun demikian, SMK itu juga harus sesuai dengan potensi wilayah dan kebijakan daerah itu di masa mendatang.

Alternatif lainnya ada program penyisipan SMK di SMA. Artinya, selama ini jurusan yang terkait dengan kejuruan dimasukkan dalam salah satu jurusan di SMP, kini dialihkan juga ke SMA.
Dalam kaitan ini, Bupati Bantul, Jateng M Idham Samawi dan Bupati Ende, Flores, NTT Paulinus Domi yang hadir dalam acara itu menyambut baik program penyisipan tersebut dan siap menindaklanjutinya dengan Depdiknas soal teknisnya.
Sebelumnya, Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Depdiknas, Gatot Hari Prijowirjanto yang bertindak sebagai ketua seksi substansi Rembug Nasional mengatakan Depdiknas siap membantu daerah-daerah yang ingin mendirikan SMK, baik dalam bentuk bantuan guru-guru, program, kurikulum, maupun bantuan untuk menentukan jenis SMK yang cocok untuk suatu daerah.
"SMK itu juga harus sesuai dengan potensi wilayah dan kebijakan daerah itu pada masa mendatang," ujarnya.

Menanggapi usulan tersebut Bupati Bantul, Jateng, M Idham Samawi dan Bupati Ende, Flores, NTT Paulinus Domi yang hadir dalam acara itu menyambut baik program penyisipan tersebut dan siap menindaklanjutinya terkait teknis pelaksanaannya.
Bupati Bantul mengakui lulusan SMA lebih banyak menganggur ketimbang lulusan SMK, khususnya di wilayahnya. Contohnya, dari total 6.267 lulusan SMA yang menjadi penganggur 4.200 orang. Sisanya, sebanyak 1.114 orang meneruskan kuliah dan 911 lulusan bekerja.
Mengantisipasi hal tersebut, Bantul juga menyiapkan untuk membangun lima SMK di wilayahnya. Antara lain, SMK Kelautan dan SMK Pertukangan.
"Kami sudah menyetop izin untuk membangun SMA baru, tapi akan terus memperbanyak SMK," katanya sambil menambahkan rasio SMK dan SMA di wilayahnya bahkan sudah mencapai 40:60.

Sedangkan, Bupati Ende Paulinus Domi mengatakan kebijakan untuk memperbanyak SMK itu perlu didukung dengan bantuan guru-guru dan prasarana lainnya. Sekarang ini di Ende terdapat tujuh SMK dan 20 SMA.
"Kami siap melakukan program yang ditawarkan itu dengan istilah SMA terpadu itu, yaitu penyisipan jurusan SMK di SMA. Bahkan, saat ini fokus anggaran kabupaten lebih banyak ke sektor pendidikan. Untuk 2007 mendatang diharapkan sudah mencapai minimal 20 persen.

Artikel 14 :


OpenSource, Dalam Kurikulum Pendidikan Menengah Berbasis Kompetensi
Perkembangan kurikulum pendidikan menengah sebagai respon terhadap tuntutan perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, tuntutan desentralisasi, dan hak asasi manusia menyebabkan adanya penyesuaian bahan kajian yang harus dikuasi oleh siswa. Dengan demikian, siswa memiliki bekal berupa potensi untuk belajar sepanjang hayat serta mampu memecahkan masalah yang dihadapinya. Salah satu fasilitas untuk menunjang kompetensi tersebut siswa perlu dikenalkan dengan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information and Communication Technology (ICT) yang berfungsi sebagai bahan maupun alat pembelajaran.

Paragraf diatas merupakan sedikit pendahuluan dari dokumen final mata pelajaran teknologi informasi dan komunikasi yang bisa didownload dari www.puskur.or.id . Pada kenyataannya ternyata banyak sekali sekolah (SMP/Madrasah Tsanawiyah, SMU/Madrasah Aliyah) yang kesulitan untuk mengaplikasikan kurikulum kompetensi tersebut dikarenakan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk sarana dan prasarananya.
Memang didalam kurikulum tersebut tidak mengharuskan sekolah untuk menggunakan aplikasi software tertentu yang digunakan, namun bila dilihat dari penjabarannya terlihat sedikit “Microsoft minded”. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya sekolah-sekolah yang menggunakan aplikasi microsoft (windows, office) dalam materi pembelajarannya. Seperti kita telah ketahui bersama bahwa penggunaan software komersial secara tidak legal (baca:membeli) akan menjadi masalah dikemudian hari apalagi dengan telah ditetapkannya UU HAKI. Sedangkan untuk membeli software ASLI, tidak semua sekolah mempunyai kemampuan keuangan yang sama. Mungkin hanya sekolah-sekolah besar saja yang bisa membelinya.

Melihat kondisi diatas, maka software Opensource bisa menjadi sebuah solusi. Mulai dari yang bersifat efisiensi biaya pengadaan hardware hingga efisiensi biaya pengadaan software yang semuanya bisa didapatkan dengan gratis. Software Opensource yang tersedia pada saat ini sangat banyak sekali.Efisiensi Pengadaan Hardware
Dalam rangka menghemat biaya pengadaan hardware, Opensource mengenal sistem diskless workstation (LTSP – Linux Terminal Server Project). Diskless workstation merupakan penggunaan komputer oleh dua atau lebih tanpa adanya suatu media penyimpanan (harddisk) pada komputer client. Untuk proses booting hanya dibutuhkan 1 disket saja untuk meload boot image, setelah itu client menghubungi server untuk proses selanjutnya.

Kebutuhan minimum untuk client LTSP adalah komputer kelas 486 / pentium I. Sedangkan untuk server bisa menggunakan processor terbaik saat ini dengan RAM minimum 512 (mampu untuk 10 client) untuk bisa menjalankan aplikasi OpenOffice. Untuk kebutuhan RAM berbanding lurus dengan jumlah client. Sebagai perbandingan, kami menggunakan P4 2,4 GHz dengan RAM 1 GB untuk meng-handle kurang lebih 22 client. Informasi mengenai LTSP bisa dilihat di http://www.ltsp.org atau http://www.ltsp.or.id .
Efisiensi Pengadaan Software
Untuk menghembat biaya pengadaan software, opensource banyak menawarkan solusi alternatif. Dimana solusi alternatifnya pun bebas biaya alias gratis, sehingga tidak akan melanggar UU HAKI yang telah diterapkan di Indonesia. Selain gratis, software opensource juga mempersilahkan kita untuk melakukan modifikasi karena source codenya disertakan dalam setiap distribusinya. Selain itu banyaknya forum yang bisa kita gunakan untuk mencari sebuah solusi apabila kita menghadapi permasalahan dalam penggunaannya. Berbeda dengan software komersial yang sifatnya closed source.

Berdasarkan penjabaran diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa software Open Source menawarkan sebuah solusi yang cukup ekonomis. Seperti juga hal yang lain, konsep diatas juga mempunyai kelemahan. Yaitu kurangnya SDM yang menguasai software Open Source sehingga sekolah-sekolah pun sedikit kesulitan mencari tenaga pengajar, karena biasanya sudah terbiasa dengan software microsoft. Tetapi itu bukan hambatan yang berarti apabila kita mau belajar dan terus belajar untuk berusaha untuk menggunakannya.

sumber: http://step2k.blogsome.com/2004/12/29/opensource-dalam-kurikulum-pendidikan-menengah-berbasis-kompetensi/

Artikel 15 :

Form Evaluasi Diri Rintisan SMA Bertaraf Internasional
Merujuk surat Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Atas nomor 981/C.4/MN/2008 tanggal 9 September 2008 mengenai pengajuan proposal sekolah calon rintisan SMA Bertaraf Internasional, Direktorat Pembinaan SMA akan melaksanakan verifikasi terhadap 146 sekolah calon pelaksana program Rintisan SMA Bertaraf Internasional yang telah lolos seleksi proposal dari 248 proposal yang masuk pada tanggal 5-15 Maret 2009, dengan jadwal sebagai berikut: 1. Tanggal 5-7 Maret 2009 untuk Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Banten. 2. Tanggal 10-12 Maret 2009 untuk Provinsi Jawa Timur dan Bali. 3. Tanggal 13-15 Maret 2009 untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Papua, Bengkulu, Gorontalo, dan Kepulauan Riau.

Untuk calon penyelenggara program Rintisan SMA Bertaraf Internasional yang akan diverifikasi terlebih dahulu harus mengisi form Evaluasi Diri yang telah dikirim bersamaan dengan surat pemberitahuan dari Direktorat Pembinaan SMA. Jika sekolah belum menerima surat pemberitahuan tersebut, sekolah dapat mendownload file form Evaluasi Diri pada situs ini.
sumber : http://www.dikmenum.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar