Kamis, 19 Maret 2009

Pendidikan Non Formal Makin Digalakkan

BERITAJAKARTA.COM — 15-12-2008 16:30
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merasa perlu untuk terus mempromosikan pendidikan non formal diwilayahnya. Hal itu karena pendidikan non formal adalah salah satu alternatif, bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak. Disamping itu, pendidikan non formal yang ada di Jakarta juga mengajarkan ketrampilan sehingga peserta didik bisa lebih mandiri.

Sejak 2003, program pendidikan luar sekolah di DKI Jakarta telah meluluskan sebanyak 96.541 orang. Rinciannya, Program Keaksaraan Fungsional (KF) sebanyak 21.860 orang, Paket A Setara SD 9.980 orang, Paket B setara SMP 42.700 orang, paket C setara SMA 13.480 orang, kursus keterampilan 6.165 orang, dan pendidikan kecakapan hidup (life skills) 8.521 orang.

"Pengenalan program-program pendidikan luar sekolah perlu terus dilakukan, makanya diperlukan keterlibatan semua pihak, agar program pendidikan yang semakin berkembang ini bisa lebih dikenal," ujar Rationo, Kepala Sub Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta, saat acara Ekspo Kegiatan Pendidikan Nonformal di Jakarta Barat, Senin (15/12). Menurut Rationo, dengan Ekspo yang dilakukan di Jakarta Barat, diharapkan minat masyarakat untuk mengikuti pendidikan nonformal semakin bertambah.

Selain itu, peningkatan mutu juga perlu terus dilakukan. Dengan peningkatan mutu, para lulusan dari sekolah ini, memiliki berbagai keterampilan seperti keterampilan personal, sosial, akademik, dan advokasional. "Melalui kecakapan hidup ini, lulusan sekolah non formal diharapkan dapat bekerja atau berusaha baik secara kelompok atau mandiri," katanya.

Sementara Wakil Walikota Jakarta Barat, Burhanuddin mengatakan, keberadaan pendidikan nonformal sangat penting karena membantu program pemerintah, yaitu pemberantasan buta aksara dan penerapan wajib belajar sembilan tahun. Terlebih, pendidikan nonformal yang ada saat ini kelulusanya sudah setara dengan pendidikan formal. "Pendidikan nonformal adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat," tuturnya.

Pemerintah Kota Jakarta Barat (Pemkot Jakbar) sendiri sejauh ini cukup gencar melakukan pembinaan terhadap lembaga-lembaga pendidikan nonformal yang ada. Salah satu upayanya dengan diadakanya acara Ekspo Kegiatan Pendidikan Non Formal melalui berbagai macam lomba seperti, ekpose kegiatan pendidikan non formal (PNF), yang dilaksanakan di ruang serba guna, kantor walikota. Kegiatan ini dihadiri sekitar 1.000 peserta dari berbagai unsur masyarakat, peserta PNF, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), penyelenggara pendidikan termasuk lembaga kursus dan pelajar pendidikan formal dari SMA/SMK di Jakarta Barat.

Kasie Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Sudin Dikmenti Jakarta Barat, Sonya Soenayah mengatakan, saat ini di Jakarta Barat terdapat 56 PKBM, enam di antaranya PKBM Negeri. Selain pemberian penghargaan kepada para peserta pemenang ekspose kegiatan PNF, pihaknya juga menggelar berbagai pentas kreatifitas seni dan sekitar 30 bazar.

Pendidikan Nonformal Atasi Pengangguran


INILAH.COM, Jakarta, 29/2 (ANTARA) - Ibu Negara Ani Yudhoyono menilai pendidikan nonformal dapat mengatasi masalah pengangguran di Indonesia. Ini karena pendidikan nonformal dapat mengajarkan generasi muda keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Hal itu dikemukakan oleh Ibu Negara dalam pidato sambutannya pada acara Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Nasional Himpunan Seluruh Pendidik dan Penguji Indonesia Pendidikan Non Formal (HISPPI PNF) di Istana Negara Jakarta, Jumat (29/2).

"Tenaga handal yang dicetak oleh pendidikan nonformal tentu dapat ikut mengatasi masalah pengangguran di Indonesia," katanya.

Meski begitu ia mengakui banyak (lulusan, red) hasil lembaga pendidikan formal yang masih menganggur. "Ini sebagai bukti adanya kesenjangan antara kualitas lulusan dengan kualifikasi kebutuhan pekerja," katanya.

Oleh karena itu, lanjut Ibu Negara, diperlukan peningkatan kualitas tenaga pendidikan non formal agar lulusan yang diperoleh dari pendidikan nonformal dapat makin handal. "Dengan peningkatan mutu, kualitas pendidikan dan sertifikasi profesi sehingga di masa depan pendidikan non formal dapat bersaing," ujarnya.

Sementara itu Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo mengatakan pendidikan nonformal adalah solusi bagi anak-anak di seluruh Indonesia yang secara geografis dan sosiologis tidak terjangkau oleh pendidikan formal.

"Misal anak-anak di lokasi yang tidak terjangkau secara geografis atau tidak mampu secara ekonomi, bahkan ketika pendidikan telah digratiskan," jelasnya.

Pendidikan formal terdiri dari empat jenis yaitu program pendidikan usia dini selain TK, pemberantasan buta aksara, program paket A untuk setara SD, paket B untuk setara SMP dan paket C untuk setara SMU serta pendidikan kecakapan hidup.

Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat HISPPI PNF Nasrullah Yusuf mengatakan rapat kerja nasional itu digelar 28 Febuari hingga 1 Maret dan diikuti 300 orang.

HISPPI PNF dibentuk pada 1986 dan beranggotakan 113 ribu orang dari seluruh Indonesia. Pada kesempatan itu Ibu Negara dengan didampingi para istri Menteri Kabinet Indonesia Bersatu juga melakukan dialog dengan para peserta. [*/P1]

Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan


Jakarta, Sinar Harapan
Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.

Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan

Rabu, 18 Maret 2009

Ibu Negara Harap Pendidikan Nonformal Dapat Atasi Pengangguran


Kapanlagi.com - Ibu Ani Yudhoyono menilai pendidikan nonformal dapat turut mengatasi masalah pengangguran di Indonesia.

Hal itu dikemukakan oleh Ibu Negara dalam pidato sambutannya dalam acara Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Nasional Himpunan Seluruh Pendidik dan Penguji Indonesia Pendidikan Non Formal (HISPPI PNF) di Istana Negara Jakarta, Jumat.

"Tenaga handal yang dicetak oleh pendidikan nonformal tentu dapat ikut mengatasi masalah pengangguran di Indonesia," katanya.

Menurut Ani Yudhoyono , pendidikan nonformal dapat mengajarkan generasi muda dengan pendidikan atau keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

"Seperti kita tahu banyak (lulusan, red) hasil lembaga pendidikan formal yang masih menganggur sebagai bukti adanya kesenjangan antara kualitas lulusan dengan kualifikasi kebutuhan pekerja," katanya.

Oleh karena itu, lanjut Ibu Negara, diperlukan peningkatan kualitas tenaga pendidikan non formal agar lulusan yang diperoleh dari pendidikan nonformal dapat makin handal.

"Dengan peningkatan mutu, kualitas pendidikan dan sertifikasi profesi sehingga di masa depan pendidikan non formal dapat bersaing," ujarnya.

Sementara itu Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo mengatakan pendidikan nonformal adalah solusi bagi anak-anak di seluruh Indonesia yang secara geografis dan sosiologis tidak terjangkau oleh pendidikan formal.

"Misal anak-anak di lokasi yang tidak terjangkau secara geografis atau tidak mampu secara ekonomi, bahkan ketika pendidikan telah digratiskan," jelasnya.

Pendidikan formal terdiri dari empat jenis yaitu program pendidikan usia dini selain TK, pemberantasan buta aksara, program paket A untuk setara SD, paket B untuk setara SMP dan paket C untuk setara SMU serta pendidikan kecakapan hidup.

Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat HISPPI PNF Nasrullah Yusuf mengatakan rapat kerja nasional itu digelar 28 Februari hingga 1 Maret dan diikuti 300 orang.

HISPPI PNF dibentuk pada 1986 dan beranggotakan 113 ribu orang dari seluruh Indonesia.

Pada kesempatan itu Ibu Negara dengan didampingi para istri Menteri Kabinet Indonesia Bersatu juga melakukan dialog dengan para peserta. (*/cax)

Menggamit Dukungan untuk Pendidikan Nonformal

“Saya sudah konsultasi dengan Ketua Komnas HAM dan menurut beliau, warga negara yang didiskriminasi karena memegang ijazah Paket C, dapat menuntut Perguruan Tinggi yang menolaknya,” ujar Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo di Jakarta, tahun lalu.

Upaya dari pendidikan nonformal untuk melayani kebutuhan pendidikan bagi masyarakat yang tak mampu dan tak terlayani di jalur pendidikan formal, nampaknya mendapat dukungan dari berbagai pihak. Setidaknya hal ini menjadi gambaran betapa wacana kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan nonformal masih perlu diperkuat.

Selain mendukung terlunasinya program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 Tahun, pendidikan nonformal juga punya beberapa PR yang tak bisa dibilang sedikit. Selama tiga tahun belakangan ini, tercatat bahwa pendidikan nonformal telah melayani kebutuhan pendidikan bagi sekitar 13 juta anak usia dini (0 s/d 6 tahun) dari jumlah seluruhnya yang mencapai 28, 3 juta anak usia dini di Indonesia. Sedangkan untuk program pemberantasan buta aksara, tahun 2007 ditargetkan untuk mencapai 12, 2 juta dari jumlah sasaran sebanyak 15, 4 juta orang yang belum melek huruf. Sedianya, 2009 yang akan datang diniatkan agar Indonesia benar-benar bebas dari buta huruf.

Pemberantasan buta aksara ini diberikan dengan dukungan pengetahuan tambahan melalui program Keaksaraan Fungsional. Melalui program ini, para warga belajar, diberi wawasan mengenai pelajaran ketrampilan dengan bentuk produk berupa kerajinan-kerajinan tradisional. Direktur dari Direktorat Pendidikan Masyarakat, Dr. Sujarwo S, M. Sc juga menggaet 86 perguruan tinggi, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) untuk bekerja sama dalam program pemberantasan buta aksara.

Berikutnya, dari sisi lain juga terus digenjot penuntasan Wajar Dikdas lewat program penyelenggaraan pendidikan kesetaraan. Paket A yang setara dengan sekolah dasar (SD) telah ditargetkan tahun ini untuk mencapai APK sebanyak 0,11 juta anak.

Depdiknas dan Departemen Agama juga telah sepakat berbagi tugas untuk mengejar target ketuntasan wajib belajar 9 tahun terhadap anak usia SMP (13 -15 tahun) sebanyak 1.468.181orang yang belum tertampung. Dari sisi pendidikan nonformal, ditargetkan tahun ini untuk mencapai APK sebanyak 0,51 juta anak, atau sekitar 510 ribu anak yang ditargetkan diraih ke dalam layanan program kesetaran Paket B setara SMP.

Terakhir, untuk Paket C setara SMA ditargetkan sebanyak 35ribu anak usia 15 s/d 18 tahun yang bisa terlayani. Terhadap efek samping dari sistem ujian nasional, Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo juga telah menyatakan dukungan penuhnya bagi kualitas ijazah program kesetaraan Paket C. Menurutnya, semua anak SMA lulusan ujian paket C juga punya hak dan prioritas yang sama untuk punya kesempatan diterima di seluruh perguruan tinggi manapun di Indonesia.

Juli lalu, masih diterima keluhan masyarakat yang ditolak di beberapa perguruan tinggi karena hanya berijazah Paket C. Mendiknas menanggapi, bahwa masyarakat berhak menuntut perguruan tinggi yang menolak ijazah Paket C.

Ini hanya sekelumit gambaran, bahwa sesungguhnya pendidikan nonformal masih menjadi sisi yang belum banyak dipandang sebagai pendukung penuh layanan pendidikan bagi masyarakat.

Bukan Sekadar Wacana

Pendidikan nonformal masih jadi belantara yang belum banyak “tersentuh”. Pernyataan ini diungkap oleh Prof. Dr. Dewa Komang Tantra, salah satu anggota tim akademisi pendidikan nonformal. Di tengah belantara ini, sedang dirintis upaya-upaya standarisasi demi meningkatkan mutu dan eksistensi lulusan, pendidik dan tenaga pendidik, dan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan nonformal, di tengah masyarakat luas. Eksistensi para pendidik pendidikan nonformal mulai dinilai melalui berbagai standar. Untuk jaminan kompetensi tenaga kerja, dipegang oleh BNSP.

Kerja-kerja BNSP sebagai lembaga independen, berkewajiban memberikan sertifikasi kompetensi terhadap tenaga kerja yang telah lulus pada level-level tertentu. Kompetensi seorang lulusannya, ditandai oleh selembar surat sertifikat dengan masa berlaku dalam kurun waktu tertentu. Standarisasi lainnya juga melibatkan BSNP. Mengutip pidato paparan Dr. Suharsono MM., M.Pd di sebuah rapat koordinasi PTK-PNF Februari lalu, dinyatakan bahwa hendaknya para pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal adalah orang-orang yang punya kompetensi dan juga berpendidikan.

Sebagian besar dari para PTK-PNF juga berharap memperoleh kesejahteraan melalui pengangkatan CPNS. Di dalamnya terdapat aturan kualifikasi PNS yang mengharuskan para calonnya mengenyam tingkat pendidikan tertentu. “Yang perlu diingat adalah bahwa kompetensi dan kualifikasi sesungguhnya tak diukur dari ijazah sarjana,” tegas Dewa Komang. Bagaimana pun, pemerintah melalui Direktorat PTK-PNF telah memberi perhatiannya dalam bentuk program beasiswa rintisan gelar untuk jenjang S1, S2, dan S3. Bekerja sama dengan 17 perguruan tinggi negeri se-Indonesia, antara lain Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Mulawarman, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Negeri Gorontalo, dan Universitas Cendrawasih. Jurusan-jurusan yang disediakan, mayoritas jurusan Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika, dan jurusan Pendidikan Luar Sekolah. Untuk jurusan pendidikan anak usia dini, hanya ada di UNJ. Sejauh ini, program beasiswa rintisan gelar untuk memenuhi kebutuhan belantara pendidikan nonformal yang di dalamnya terdapat sekitar 30.000 lembaga kursus, dan tak kurang dari 106 jenis pendidikan keterampilan, tampaknya masih jauh dari sempurna.

Namun tetap diharapkan, tahun 2007 program ini dapat mencapai sasaran target sebanyak 231 orang PTK-PNF (untuk jenjang S1). Standarisasi lainnya sedang dirintis melalui peningkatan kualitas Training Of Trainer (TOT) dan diklat-diklat PTK-PNF. Dalam hal ini, BAN PNF (Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal) terlibat didalamnya sebagai badan pemberi akreditasi di level lembaga-lembaga dan program-program pendidikan nonformal. Termasuk beberapa komponen didalamnya, yaitu kurikulum dan pembelajarannya, peserta diklat, fasilitator diklat, penyelenggara diklat, sarana dan prasarana diklat, serta pembiayaan diklat.

“Untuk akreditasi ini, BAN PNF mendapatkan sumber referensi standarisasi dari beberapa sumber: BNSP, BSNP, dan Depnakertrans. Semuanya kita sinergikan, tanpa menghilangkan karakter pendidikan nonformal yang seharusnya tetap dipertahankan,” ungkap Dewa Komang yang juga menjabat sebagai Ketua BAN PNF.

Mutu Ujung Tombak

“Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal adalah satu-satunya direktorat yang berada dibawah naungan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang berani melaksanakan ISO 9001:2000 dalam rangka meningkatkan mutu pelayanannya,” papar Dr. Fasli Jalal PhD, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, pada acara launching ISO 9001:2000 September 2006 lalu.

Penghargaan ini, untuk keunggulan pelaksanaan dan manajemen program Direktorat PTK-PNF. Pelaksanaan ISO 9001:2000 adalah yang pertama kalinya dilakukan di lingkungan Direktorat Departemen Pendidikan Nasional, sehingga nantinya Dierktorat PTK-PNF yang melaksanakan ISO 9001:2000 diharapkan dapat memberikan pelayanan yang terbaik dan menjadi role model untuk penerapan ISO pada direktorat-direktorat lainnya.

Peristiwa ini menjadi catatan penting bagi dunia pendidikan nonformal di Indonesia. “Setelah kami mendapatkan penghargaan ini, kami tidak pernah berhenti perbaiki kualitas program. Karena bagaimana pun, para pendidik dan tenaga pendidik pendidikan nonformal ini, adalah ujung tombak. Jadi, tetap harus ditingkatkan kompetensi dan kualifikasinya,” tegas Erman Syamsuddin, S.H, M. Pd, Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal (PTK-PNF) pada acara forum ilmiah tim akademisi PTK PNF bulan Agustus lalu. Tercatat, sepanjang tahun 2003 s/d 2007, telah 397 orang tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan PNF yang mendapatkan beasiswa rintisan gelar program sarjana (S1), paska sarjana (S2), dan program doktoral (S3).

Pendidikan Sepanjang Hayat

Pada bulan Mei 2007 lalu, telah dilakukan penandatanganan pengubahan nama dari Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal. Keduanya memang sama-sama berada di luar jalur pendidikan formal. Bisa dipastikan akan ada banyak paradigma baru yang muncul belakangan. Penguatan pendidikan di lingkungan keluarga, kini mulai diperhitungkan sebagai potensi yang mendukung kelancaran pendidikan formal.

Berkenaan hal tersebut, Erman Syamsuddin menyatakan pendapatnya, “Dengan bergantinya nama menjadi PNF-I atau pendidikan nonformal dan informal, ini berarti sudah semakin sesuai dengan isi Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pendidikan itu ditempuh melalui tiga jalur, yaitu formal, nonformal, dan informal.” Ia juga menyatakan bahwa ada kemungkinan besar, akan dilakukan penguatan-penguatan terhadap porsi pendidikan informal. Penguatan di sisi pendidikan informal, yang dimaksud adalah pendidikan di lingkungan keluarga. “Di sana nanti akan dibentuk pemahaman bahwa pendidikan di lingkungan keluarga ini berjalan dan berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat. Kami mungkin juga akan siapkan beberapa hal untuk menuju penguatan pendidikan informal ini. Namun kita tidak bisa memandangnya sebagai hitam dan putih saja, ” tegas Erman.

Bangun tidur kuterus mandi

tidak lupa menggosok gigi

habis mandi kutolong ibu

membersihkan tempat tidurku.

Petikan lagu “Bangun Tidur” yang terkenal di Indonesia ini setidaknya menjadi gambaran jelas bahwa proses pendidikan pada hakekatnya diawali dari rumah. Sebelum anak berangkat ke sekolah atau mengawali aktifitas apa pun, selalu diawali dari aktifitas bangun tidur. Sebuah ketertiban dan keteraturan berangkat dari sana. Mandi, gosok gigi, dan menolong ibu merapikan tempat tidur.

Sistem terstruktur yang dibangun di keluarga adalah pola-pola pikir yang dituangkan para orangtua di sana. Pendidikan informal, modal awal dan pengantar bagi semua generasi untuk mampu terjun ke kehidupannya di masyarakat.

Pendirian Lembaga Pendidikan Non Formal (Kursus)

Menghadapi krisis global saat ini, Putri - seorang ibu rumah tangga yang cerdas, merasa perlu untuk berbuat sesuatu guna mendukung suaminya dalam mencari tambahan nafkah untuk keluarganya. Dia berharap dengan adanya tambahan income tersebut, dia bisa mewujudkan cita-citanya untuk memasukkan dua gadis kecilnya ke sekolah bermutu guna mencapai masa depannya nanti. Selama ini dia sudah mencari berbagai peluang melalui internet, mengenai bentuk usaha apa yang paling dan cukup tahan menghadapi krisis global ini.
Setelah searching selama beberapa waktu, dan melakukan berbagai perbandingan, Putri menemukan bahwa bisnis pendidikan adalah yang paling ideal dalam masa krisis saat ini. Saat ini, sebagian orang berhemat dalam mengatur pengeluarannya, antara lain, mengurangi frekwensi makan di luar, frekwensi membeli pakaian, dan accessories. Tapi ada 1 hal yang tidak di hemat, yaitu: pendidikan! Setiap orang tua pasti akan berusaha untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak2 nya sebagai bekal bagi masa depan buah hatinya. Oleh karena itu, Putri akhirnya memutuskan untuk memulai bisnis di bidang pendidikan.

Berbekal keahliannya dalam bidang bahasa Jepang, Putri berminat untuk mendirikan kursus bahasa Jepang dengan metode khusus yang dia temukan berdasarkan pengalamannya dahulu waktu belajar bahasa Jepang tersebut. Metode tersebut dapat mempermudah seorang anak dalam mempelajari bahasa Jepang, berikut penulisan huruf-huruf kanji yang rumit.
Ketika dia sudah membulatkan tekad untuk membuka kursus di bidang Bahasa Jepang, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: Bagaimana dia harus memulai? Bagaimana cara mengurus ijin2 untuk mendirikan kursus tersebut? Apakah dia akan membentuk usaha sendiri ataukah bersama-sama dengan seorang partner? Apakah bentuk usaha yang dia inginkan?
Sebagai salah seorang sahabat nya, saya memberikan saran dan langkah-langkah yang harus dia ambil, dengan urut2an sebagai berikut:
I. Dia harus menentukan apakah dia akan berpartner dengan orang lain dalam membuka kursus tersebut, ataukah dia akan menjalankannya sendirian saja?
Karena pada dasarnya, mendirikan lembaga pendidikan yang dikelola oleh swasta maupun negri, baik itu berupa Sekolah Tinggi, Sekolah kejuruan, balai pelatihan, maupun kursus-kursus, sama seperti mendirikan Badan Usaha atau Badan hukum lainnya, yaitu akan didirikan oleh perorangan saja, ataukah akan perpartner dengan membentuk CV, Yayasan maupun PT.
Jika ingin ber solo karier, maka Putri tinggal mengajukan ijin untuk mendirikan kursus tersebut ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (depdikbud) atau lebih tepatnya lagi Dinas Pendidikan Menengah dan tinggi subdinas pendidikan luar sekolah (Dikmenti). Sedangkan jika ingin menggandeng partner kerja, maka Putri bisa membentuk PT, Yayasan atau CV. Cara pendiriannya sama dengan pendirian CV atau PT biasa, namun bedanya pengajuan ijin usahanya tidak pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag) melainkan Dikmenti tersebut.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dilaksanakan melalui 3 jalur, yaitu: jalur pendidikan formal, non formal, dan informal. Salah satu satuan pendidikan non formal adalah penyelenggaraan kursus.
Berdasarkan pasal 10 ayat 1 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 261/U/1999 tentang Penyelenggaraan Kursus, dinyatakan bahwa setiap penyelenggara kursus wajib memperoleh ijin dari instansi yang berwenang (dalam hal ini Depdiknas).
Adapun syarat-syarat administrative yang harus dipenuhi baik untuk perorangan maupun badan usaha atau badan hukum adalah:
1. Mengisi formulir yang telah disediakan di kantor suku dians Dikmenti kotamdya
2. Melampirkan foto copy akta notaries bagi yang berbentuk yayasan
3. Melampirkan foto copy KTP baik pemilik/penyelenggara, maupun penanggung jawab teknis edukatif.
4. Melampirkan foto copy ijazah bagi pemilik/penyelenggara, penanggung jawab teknis edukatif maupun tenaga pendidik.
5. Melampirkan Daftar Riawayat Hidup Pemilik/Penyelenggara dan penanggung jawab teknis edukatif
6. Melampirkan surat keterangan kelakukan baik pemilik/penyelenggara dari Kepolisian.
7. Melampirkan kurikulum jenis kursus yang bersangkutan
8. Melampirkan tata tertib kursus
9. Melampirkan denah/peta lokasi kursus
10. Melampirkan pasfoto pemilik/penyelenggara dan penanggung Jawab Teknis Edukatif ukuran 4 X 6 masing-masing sebanyak 5 lembar
11. Melampirkan Surat Rekomendasi dari DPC HIPKI
12. Melampirkan materai Rp. 6.000 sebanyak 1 (satu) buah)
13. Melampirkan surat keterangan domisili usaha dari kecamatan.
Jadi, jika Putri memilih bentuk perorangan atas namanya sendiri, maka dia cukup membuat keterangan domisili usaha dan memenuhi syarat-syarat tersebut di atas. Tapi, jika Putri memilih untuk membentuk CV, Yayasan ataupun PT bersama seorang atau lebih teman2nya, maka dia harus melalui prosedur pendirian CV, Yayasan ataupun PT yang standar dulu, baru bisa mengajukan ijin2 tersebut.
II. Prosedur Pendaftaran
1. Untuk Memperoleh Status terdaftar, maka prosedur yang harus dilalui adalah sebagai berikut:
a. Persyaratan administrative dibuat 5 rangkap dan masing-masing dimasukkan dalam map snelhekter
b. Formulir yang telah diisi di tanda-tangani oleh pemohon berikut lampiran-lampirannya dibawa dan diserahkan ke Sudin Dikmenti kotamadya setempat dalam hal ini subdinas pendidikan luar sekolah
c. Berkas permohonan tersebut kemudian diteliti oleh petugas pendaftaran pada seksi pendidikan luar sekolah suku dinas Dikmenti kotamadya
d. Apabila sudah lengkap semua persyaratan yang harus dipenuhi, petugas pendaftaran segera membuat tanda terima berkas permohonan ijin kursus
e. Berdasarkan permohonan dan kesepakatan antara pemohon dan petugas yang terdiri dari suatu team, akan melakukan survey lapangan untuk mengadakan studi kelayakan terhadap permohonan tersebut
f. Permohonan yang memenuhi syarat baik secara teknis maupun administrative akan diberikan Surat Tanda Bukti Pendaftaran Kursus oleh Kepala Suku Dinas Dimenti Kotamadya setempat
g. Tanda bukti pendaftaran kursus tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan terhting sejak surat tersebut di tanda-tangani.
2. Jenjang tipe kursus
Setelah dipenuhinya prosedur awal, maka akan dilanjutkan dengan pemberian tipe kursus yang akan diberikan oleh Dikmenti, yaitu Tipe A, Tipe B dan TIpe C, dimana :
-Ijin Tahap/type C berlaku 1 tahun, yang mana akan diterbitkan oleh Suku Dinas Dikmenti Kotamadya
-Ijin Tahap/type B berlaku 2 -3 tahun, yang mana akan diterbitkan oleh DInas Dikmenti Propinsi
-Ijin Tahap/type A berlaku 4 -5 tahun, yang mana akan diterbitkan oleh Dinas Dikmenti Propinsi
Jadi, untuk memperoleh status ijin tersebut, maka pertama-tama harus memenuhi prosedur sebagai berikut:
a. Lembaga kursus Diklusemas yang telah memiliki tanda bukti pendaftaran kursus akan dimonitor secara terus menerus oleh Kepala seksi PLS
b. Lembaga kursus Diklusemas yang telah melaksanakan kegiatan/program pembelajaran dengan baik sesuai dengan kententuan yang berlaku selama 6 bulan, kepala suku dinas kotamadya akan memberikan ijin yang berlaku selama 1 tahun dengan tipe C.
III. Kemana dia harus mengajukan permohonan ijin-ijin tersebut?
Pengajuan permohonan ijin pendirian kursus tersebut dilakukan berdasarkan lokasi tempat usaha dari kursus yang akan didirikan. Jika berbentuk PT, CV ataupun Yayasan, maka harus di ajukan di tempat kedudukan dari PT, CV ataupun Yayasan tersebut. Untuk wilayah DKI Jakarta, tempat pendaftaran ijin kursus tersebar di 5 (lima) wilayah kotamadya, yaitu:
Jakarta Pusat
Suku Dinas Dimenti Kotamadya Jakarta Pusat, Jl. Salemba Raya No. 15
Tlp (021) 392-6607, Fax: (021) 3923219
Jakarta Barat
Suku Dinas Dimenti Kotamadya JakartaBarat , Kompleks Perumahan KOPTI Jl. H. Aseni Semanan – Kalideres Fax: (021) 5407326
Jakarta Utara
Suku Dinas Dimenti Kotamadya Jakarta Utara, Jl. Bendungan Melayu Utara No. 22
Tlp (021) 430-2364, Fax: (021) 4390570
Jakarta Timur
Suku Dinas Dimenti Kotamadya Jakarta Timur
Jl. Sentra Primer Baru Blok B – Kantor Walikota Jakarta Timur
Tlp (021) 4802053/54, Fax: (021) 4802072
Jakarta Selatan
Suku Dinas Dimenti Kotamadya Jakarta Selatan,
Jl. Trunojoyo No. 1 Lantai VI
Tlp/Fax: (021) 725-6847
IV. Mengajukan Pendaftaran Merek, Hak Cipta atau Paten
Karena Putri memiliki bentuk kursus dengan metode yang unik dan belum pernah diajarkan di Indonesia, maka saya menyarankan kepadanya untuk mengajukan pendaftaran Hak Cipta atas penemuan metode tersebut dan sekaligus juga mendaftarkan Merk atas hasil karya tersebut ke Direktorat Jendral HAKI Departemen Hukum dan HAM RI yang terletak di Jl. Daan Mogot – Tangerang.
V. Bagaimana jika Putri akan membeli franchise pendidikan oleh lembaga-lembaga kursus yang sudah ada di Indonesia?
Seperti halnya system franchise pada umumnya, maka Putri tinggal menghubungi lembaga yang menyediakan franchise tersebut. Pihak franchisor sudah memiliki syarat-syarat standard yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang akan membeli franchise mereka. Demikian pula mengenai prosedur pendirian lembaga kursus yang dijual secara franchise tersebut. Biasanya franchisor akan membantu para franchisee (pihak yang membeli lisensi atau ijin tersebut) untuk mendirikan kursus-kursus dimaksud.
Akhirnya, setelah mendengar penjelasan dari saya, Putri sudah mulai bisa menentukan bentuk kursus yang dia inginkan dan mulai mengajukan permohonan pendirian lembaga kursus atas namanya sendiri. Syukur Alhamdulillah,… sekarang kursus yang dia dirikan tidak hanya bisa membantu suaminya dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari, malah bisa sukses menjadi tulang punggung penghasilan keluarga. Saat ini dia sudah tertarik untuk dan mempelajari kemungkinan untuk menjual system pengajarannya tersebut dengan cara franchise.

Pendidikan Luar Sekolah

Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).

Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi

Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.

Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :

  1. Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;

  2. Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;

  3. Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;

  4. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);

  5. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan

  6. Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di Riau.

Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :

  1. Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;

  2. Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;

  3. Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;

  4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta

  5. Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.

Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :

  1. Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
  2. Pembinaan kelembagaan PLS;
  3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
  4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
  5. Meningkatkan fasilitas di bidang PLS

Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.

Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri..

Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. .

Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan.

Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan.

PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah..Semoga.

Hadirnya Lembaga Pendidikan Non Formal, Suatu Upaya Membuka Ruang Kesadaran Baru

Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguh tampil sebagai suatu realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai.

Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.

Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.

Dihadapkan pada kompleksnya situasi seperti yang dijabarkan diatas, kini banyak lembaga pendidikan non formal berupaya menempatkan diri sebagai alternatif solusi permasalahan diatas. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan.

Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.

Fleksibilitas waktu

Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.

Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.

Antonius Sumarno selaku Branch Manager English Language Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan.

Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.

Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti.

Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan". (CY1)


Anggaran Pendidikan Non-Formal Tahun 2008 Naik

Jakarta ( Berita ) : Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Selasa [13/11] , mengatakan anggaran untuk pendidikan dasar non-formal terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tahun 2008 pemerintah telah menyiapkan dana Rp2,5 triliun.

“Pada tahun 2005 anggaran sektor ini hanya Rp1,4 triliun, lalu naik di tahun 2006 jadi Rp2,1 triliun, dan tahun 2007 Rp2,4 triliun,” kata Bambang usai rapat di Kantor Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra).

Dalam kesempatan itu Mendiknas menjelaskan program-program pendidikan dasar non-formal bertujuan menjangkau kawasan terpencil yang banyak memiliki angka putus sekolah, dan diharapkan lewat program ini kemiskinan bisa dikurangi.

“Pendidikan dasar non-formal terdiri atas pendidikan keaksaraan dan pendidikan kesetaraan,” ujar Bambang dan menambahkan, “Keduanya mengajarkan baca-tulis dan pelatihan keterampilan kecakapan hidup serta bantuan sedikit dana modal usaha.”

Ia menegaskan, target utama program ini adalah mereka yang putus sekolah dan hidup di pedesaan terpencil atau sulit mendapat akses ke kota.

“Dengan dana Rp2,5 triliun, kami perkirakan program bisa dinikmati oleh sekitar 12 juta orang di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Menurut data Departemen Pendidikan Nasional, program pendidikan non-formal telah mencatatkan keberhasilan yang signifikan dalam hal penurunan angka buta huruf dan pengangguran.

“Sekitar 80 persen peserta didik program keaksaraan berhasil membentuk Kelompok Belajar Usaha (KBU), dan mereka mandiri walaupun tetap butuh bantuan modal,” tambahnya.

Sejak program ini digulirkan pada tahun 2004 di enam kabupaten di Indonesia, lanjut Bambang, sekitar 82 persen peserta program sudah bisa mandiri dengan bidang usaha yang ditekuni.

Bank Dunia pun berniat memberikan hibah 143 juta dolar Amerika dan pinjaman lunak 100 juta dolar untuk mendukung program ini, ujar Mendiknas.

Angka buta aksara di Indonesia terus menunjukkan penurunan, pada Oktober 2007 tercatat tinggal 11 juta orang atau 7,2 persen populasi berusia di atas 15 tahun yang tidak bisa baca tulis. Angka itu jauh lebih rendah daripada data tahun 2004 yang 10,2 persen. “Keberhasilan program keaksaraan di Indonesia ini sangat diapresiasi UNESCO, bahkan dijadikan percontohan buat negara-negara lain,” kata Bambang. ( ant )

Selasa, 17 Maret 2009

"Home Schooling" Alternatif Pendidikan Non-formal

Jakarta (ANTARA News) - 'Home Schooling' menjadi alternatif pilihan pendidikan nonformal bagi anak-anak yang enggan belajar secara formal di kelas.

"Pendidikan ini dapat dilakukan di mana saja dan membuat anak merasa bebas tanpa ada paksaan," kata Pendiri Home Schooling Kak Seto atau nama lengkapnya Seto Mulyadi, di Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan keputusan untuk mengikuti home schooling ini haruslah sepenuhnya dari keinginan anak, tanpa paksaan dari orang tua.

Menurut dia, kesuksesan untuk dapat menjadi guru yang baik bagi anak-anak adalah dengan cara bersabar, mengajarkan tanpa paksaan, dan dengan bahasa yang lembut.

"Tidak perlu dengan paksaan dan suara tinggi. Lakukan dengan senyum, maka mereka akan senang," katanya.

Dia mengatakan ada beberapa klarifikasi format home schooling yang diperkenalkan, yakni home schooling tunggal yang hanya dididik oleh orang tua, home schooling majemuk yang dilaksanakan dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu, sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orang tua masing-masing.

Dan terakhir, dia menyebutkan komunitas home schooling yang merupakan gabungan beberapa home schooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan mengajar, kegiatan pokok seperti olahraga, musik dan seni, serta sarana dan jadwal pembelajaran.

Salah seorang murid Kak Seto yang juga memiliki home schooling untuk balita, Shelomita, mengatakan terkadang orang tua tidak yakin dapat menjadi guru yang baik bagi putra-putrinya sendiri.

Menurut Shelomita, pada awalnya dia juga merasa khawatir apakah mampu untuk menjadi guru bagi anak-anaknya. Namun, akhirnya dengan kepercayaan diri sanggup menjadi guru sekaligus orang tua bagi anak-anaknya.

Alasan dia membuka home schooling untuk balita, yakni ingin memberi kebebasan pada anak-anak, tapi tetap dapat belajar. (*

Pendidikan Usia Dini Kurang Perhatian

Jakarta - Proses pembangunan pendidikan di Indonesia selama ini kurang memberikan perhatian pada pendidikan anak usia dini (PAUD), terutama PAUD nonformal. Padahal, PAUD merupakan pendidikan yang sangat penting untuk meletakkan dasar-dasar kecerdasan secara komprehensif baik kecerdasan intelektual (otak kiri) maupun kecerdasan spiritual, emosional, sosial, estetika (otak kanan) juga kinestika (fisik).

Mendiknas Bambang Sudibyo berjanji akan segera membakukan pendidikan PAUD ini menjadi program formal dalam sistem pendidikan. “Ini merupakan upaya menebus kesalahan masa lalu di mana selama puluhan tahun kita mengabaikan PAUD,” tutur Mendiknas usai membuka Semiloka Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, Jumat (28/11).
Menurutnya, usia dini merupakan usia emas dalam perkembangan seorang anak, sebab 80 persen potensi kecerdasan komprehensif anak dapat dipicu agar berkembang secara pesat dan optimal pada masa tersebut. Sisanya 20 persen dapat dikembangkan setelah usia delapan tahun sampai dengan 20 tahun.
Fakta ini diperkuat dengan berbagai penelitian longitudinal (tracer studies) yang dilakukan oleh para ahli tentang pentingnya peranan PAUD bagi masa depan seseorang. Anak yang mengikuti PAUD dengan baik akan menjadi orang dewasa yang tangguh kecerdasan, fisik dan mentalnya, sehingga bisa menjadi manusia yang kreatif dan produktif serta tinggi tingkat kinerjanya. Anak yang mengikuti PAUD juga lebih siap mengikuti pendidikan di SD, mencegah putus sekolah dan siap mengikuti pendidikan jenjang berikutnya.
Meski PAUD menjadi level penting dalam proses pendidikan, Mendiknas tidak setuju adanya pembelajaran yang memaksa anak-anak usia dini terutama untuk pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Hal terpenting dalam PAUD adalah pemberian stimulus (rangsangan) pada anak. “Anak yang besar dan berkembang dalam lingkungan yang kaya stimulan, kecerdasan otaknya akan berkembang lebih sempurna,” lanjutnya.
Karena itu, untuk mewujudkan sistem PAUD yang baik, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan sektor terkait lainnya, mulai 2009 mengembangkan sistem PAUD yang holistik dan integratif. Dalam sistem ini, semua jenis stimulan yang diperlukan untuk menumbuhkembangkan kecerdasan anak akan dipadukan dalam suatu sistem layanan yang utuh.
Selain itu, untuk meningkatkan pemerataan akses dan perluasan kesempatan mengikuti PAUD, Depdiknas akan memberikan perhatian lebih besar kepada peserta didik PAUD dari keluarga kurang mampu. Caranya dengan memprioritaskan pendirian lembaga-lembaga PAUD di tingkat kecamatan, pedesaan dan daerah terpencil. Data Depdiknas, dari 28,6 juta anak usia dini, baru 50,9 persen yang sudah terlayani PAUD baik formal maupun nonformal. Targetnya pada akhir 2009, angka partisipasi kasar PAUD mencapai 53,9 persen. (stevani elisabeth)

PELUANG DAYAH GARAP PENDIDIKAN USIA DINI

Dalam kultur masyarakat Aceh, lembaga pendidikan Islam tradisional kita kenal dengan dayah sebagai wujud dari kenyataan meudagang, serta rangkang dan meunasah sebagai aplikasi pendidikan sejak usia dini di kampung masing-masing. Meudagang adalah aktivitas belajar yang membumi di Aceh, baik pada masa dulu maupun masa sekarang –walaupun dari beberapa diskusi keagamaan, disebutkan kecenderungan menurun jumlah orang yang menuntut ilmu agama.
Sedangkan kata dayah, berasal dari bahasa Arab, yaitu “zawiyah”. Istilah ”zawiyah”, secara literal bermakna sebuah sudut, yang berawal dari sudut masjid Madinah yang pertama kali digunakan oleh Rasulullah saw untuk berdakwah pada masa awal pengembangan Islam.
Sementara rangkang adalah istilah terhadap sebuah bangunan semacam balai tempat beberapa santri belajar pada seorang guru (teungku). Rangkang kedudukannya lebih rendah daripada meunasah yang lazimnya berada pada tingkat gampong.
Pada masa kesultanan Aceh tempo dulu, dayah dibagi menjadi tiga tingkatan pengajaran, yaitu: rangkang (untuk kelas pemula/junior), bale (untuk kelas menengah), dan dayah manyang (setingkat universitas). Tetapi hanya di tempat-tempat tertentu saja yang terdapat tiga tingkatan sekaligus, mulai dari junior sampai dayah manyang. Sebelum santri belajar di dayah, mereka disyaratkan mampu membaca al-Qur’an, Kemampuan membaca al-Qur’an tersebut mereka dapatkan dari rumah atau seorang teungku di meunasah. Dan ini hanya didapatkan oleh sebagian anak-anak saja, tergantung kepada kepedulian orang tua terhadap pendidikan anaknya.
Hampir semua dayah di Aceh hanya menggarap peserta didik (santri) usia menengah. Para santri umumnya berusia belasan hingga puluhan tahun. Biasanya pula para orang tua menitipkan anak-anak mereka di dayah setelah sang anak menamatkan sekolah dasar atau menengah. Inilah yang disebut meudagang.
Beberapa dayah di Aceh sudah mendirikan sekolah yang mengikuti kurikulum nasional di dalamnya, seperti sekolah dasar (SD), sekolah menengah (SMP dan SMU), hingga Perguruan Tinggi. Santri menggunakan separuh waktu untuk belajar di bale dengan mengikuti pola dan ”kurikulum” dayah dan separuh waktu lagi digunakan untuk mendapatkan beberapa pelajaran formal yang ada dalam berbagai tingkatan pendidikan tersebut di atas.
TK di Dayah
Ada suatu hal yang mungkin menarik untuk ditawarkan dalam tulisan ini, yakni tentang keberadaan Taman Kanak-Kanak di dayah. Tawaran pikiran ini, lahir bukan semata sebagai pikiran. Penulis sendiri selama ini sudah mulai terlibat dalam pendidikan anak usia dini di salah satu dayah.
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam konteks tingkatan pendidikan agama tradisional, anak-anak usia di bawah sepuluh tahun belum tersentuh pendidikan dayah. Anak-anak usia dini itu umumnya mendapatkan pendidikan agama pada rumah-rumah teungku atau bale seumeubeut (balai pengajian). Beberapa daerah ada yang langsung ditangani di meunasah. Sementara dalam pendidikan formal, sekarang ini makin mudah didapatkan TK yang sudah ada hampir di setiap pelosok.
Di sinilah tawaran pikiran, bahwa penting bagi dayah juga memikirkan lahirnya peluang untuk ikutserta dalam mendidik anak-anak usia dini. Hal ini memang belum dilakukan oleh dayah-dayah di Aceh.
Untuk pemerataan pendidikan agama di usia prasekolah dan usia sekolah sebagai persiapan memasuki jenjang pendidikan di lembaga dayah, maka sangat efektif bila di lembaga pendidikan Islam (dayah) tersebut dibuka jenjang pendidikan (pengajaran) mulai dari TK sampai perguruan tinggi (dayah manyang). Karena menurut saya, lingkungan dayah memiliki kemampuan untuk membentuk watak, sikap, dan kepribadian anak usia pra-sekolah dan usia sekolah yang bernuansa islami.
Saya pikir tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa menanamkan akhlakul karimah dan pendidikan agama pada anak usia dini bagaikan mengukir di atas batu, sedangkan mengajarkan agama kepada orang dewasa bagaikan mengukir di atas air.
Sejalan dengan ungkapan tersebut, maka dalam mendidik anak perlu pembiasaan ber-akhlakul karimah dan segala aktivitas pembelajaran dikemas dalam bentuk permainan yang menyenangkan sesuai dengan kondisi anak usia bermain. Hal ini dilakukan dengan cara membiasakan anak-anak dalam berinteraksi dengan orang lain. Seperti adab dalam bersilaturrahmi (bersalaman atau berjabat tangan dengan orang lain), tutur kata yang sopan, dan lain-lain. Meraka juga bermain dengan berbagai alat peragaan, yang bertujuan untuk mengembangkan wawasan, keberanian, kemampuan, minat, bekerja sama, kepercayaan diri, dan sebagainya.
Dengan demikian, terbentuklah moral dan tertanam nilai-nilai agama yang kuat kepada masyarakat sejak usia dini sampai dewasa, sesuai dengan fungsi sebuah lembaga pendidikan agama (dayah), yaitu untuk menangkal pengaruh agama lain dan budaya asing, juga sebagai sekolah bagi masyarakat yang masih terus dijalankan sebagai lembaga nonprovit (tidak meraup untung).
Tawaran pemikiran ini sendiri didasari oleh asumsi penulis bahwa keberadaan TK di lingkungan dayah memiliki beberapa kelebihan, yaitu: Pertama, lingkungan dayah adalah lingkungan yang terpelihara dari segala bentuk imbas dan pengaruh teknologi yang berimplikasi negatif. Kedua, para pengajar di dayah, secara keilmuan agama (walau masih kurang secara metodologi), adalah orang- orang yang berlatar belakang ilmu agama yang bagus. Ketiga, pelaksanaannya akan terbantu oleh keberadaan santri di dayah yang dapat mempraktekkan langsung ilmu yang telah dimiliki, sekaligus sebagai pengabdiannya kepada masyarakat. Keempat, terjalin ukhuwah islamiyah yang lebih kuat antar santri dengan masyarakat sekitarnya.
Selain itu, lembaga dayah yang juga bisa disebut sebagai agen pembangunan, dituntut untuk mampu mengabdi kepada masyarakat. Pengabdian tersebut, terutama dalam hal menghasilkan pemimpin masyarakat yang mapan dalam bidang ilmu pengetahuan agama, dan memainkan peranan penting dalam membina komunitasnya dalam bidang keyakinan dan praktek agama.
Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini lembaga dayah selalu mendapat kritikan dari para intelektual karena dianggap hanya mampu menghasilkan lulusan yang menguasai ilmu agama saja.
Berdasarkan kritikan tersebut, sudah sepatutnya lembaga pendidikan agama tradisional (dayah salafiyah) menciptakan jenjang pendidikan di lingkungannya. Mulai dari jenjang TK hingga perguruan tinggi. Dengan demikian diharapkan menghasilkan lulusannya yang mempunyai keahlian lain sebagai tambahan pendidikan agama, sesuai dengan tuntutan pembangunan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang.
Penulis ingin menyampaikan bahwa Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (LPI MUDI) Mesjid Raya Samalanga, sejak 4 tahun lalu sudah mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al- ‘Aziziyah. Kampus itu sendiri tak hanya untuk santri semata. Namun setidaknya, kehadiran kampus tersebut akan membantu terutama dalam proses metodologis bagi santri dalam belajar ilmunya secara lebih mendalam.
Satu hal lagi yang penting, bahwa dayah ini pula, sejak setahun terakhir sudah mendirikan Taman Kanak- Kanak (TK) Al-‘Aziziyah, Samalanga. Melihat animo masyarak begitu tinggi terhadap pendidikan anak usia dini dikelola di lingkungan dayah, maka di tahun ajaran 2008 – 2009 dayah MUDI Mesjid Raya kembali membuka Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT). Hal ini tentu akan membawa semangat dan implikasi positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan masa depan. Insyaallah!

Pendidikan Dini Usia Pada Anak adalah Dasar bagi Kehidupan!

Pernahkah anda bertanya-tanya betapa pentingnya tahun-tahun awal kehidupan bagi hidup seorang anak, atau dalam hal ini bagi setiap individu? Sebagaimana seseorang telah mengamatinya dengan sungguh-sungguh bahwa “Beberapa tahun di awal kehidupan seorang anak akan berpengaruh seumur hidupnya!” Warisan budaya Asia kita juga memandang bahwa lima tahun pertama kehidupan seorang anak sebagai tahun-tahun pembentukan sebagaimana pada usia ini anak menyerap nilai-nilai dan mengembangkan kebiasaan yang akan melekat pada diri mereka selama masa kehidupannya. Ada bukti bahwa “pengalaman yang berdasar pada perkembangan otak pada tahun-tahun awal akan membentuk sistem syaraf dan pola biologis yang akan mempengaruhi kesehatan, cara belajar dan bersikap sepanjang hidupnya.” [Mustard, 2007]. Bukti lain yang berkembang saat ini bahwa tahun awal kehidupan ada beberapa segmen yang dianggap sebagai “masa kritis” perkembangan kognitif spesifik, sosial dan kemampuan psiko-motorik, yang secara signifikan memberi kesuksesan dalam kehidupan. Lebih spesifik pada periode ini penting bagi perkembangan bahasa dan ketrampilan sosial, juga ketrampilan dan pola pikir simbolis yang berhubungan dengan kemampuan untuk membuat pemikiran yang relatif, yang keseluruhannya sangat penting dalam masa belajar di sekolah dan bagi kehidupan.

Jika selama ‘periode kritis’ ini seorang anak tidak mendapat stimulasi yang berharga dan meningkatkan lingkungan fisik dan psiko-sosialnya, kesempatan berkembang untuk otak anak dengan potensi sepenuhnya sangatlah dan seringkali menurun. Penelitian memperlihatkan persentase anak-anak yang sangat besar dalam konteks kemiskinan, khususnya di negara berkembang dikatakan “beresiko” kaitannya dengan kesempatan hidup mereka. “Untuk anak yang lebih miskin di banyak negara pada masa usia sekolah, mereka sangat tidak diuntungkan dalam meningkatkan kemampuan sosial dan kognitif mereka” [WDR, 2006]. Secara logis apa yang terjadi adalah sangat penting untuk memperhatikan di tahun awal kehidupan seorang anak, menjamin lingkungan yang memungkinkan baginya dan berarti, memberi fondasi dalam kehidupan. Ini bukan hanya hak setiap anak, tapi akan berakibat jangka panjang pada kualitas kemampuan seseorang untuk negaranya, khususnya di wilayah kami, aset utama di tahun-tahun mendatang adalah ‘kekuatan kaum mudanya’.

Bagaimana kita memastikan bahwa setiap anak mendapatkan dasar yang tepat dalam kehidupannya? Investasi terbaik yang dapat kita wujudkan untuk anak dalam tahun awal ini adalah dengan menyediakan anak sebuah program Perlindungan dan Pendidikan Dini pada Anak [ECCE] yang berkualitas baik. Sebuah penelitian menunjuk bahwa program ECCE memberi keuntungan bagi kehidupan anak, khususnya dalam bentuk kualitas hidup, dalam kehidupan keluarga dan penyesuaian diri dalam masyarakat. Sementara anak dari strata sosial-ekonomi yang lebih tinggi seringkali ditinggalkan dengan pengasuh yang dibayar namun tidak terlatih, dalam strata sosial-ekonomi yang lebih rendah tanggungjawab pengasuhan anak diberikan sepenuhnya kepada saudara perempuan yang lebih tua, dengan demikian membuat mereka seringkali putus sekolah dan terampas baik masa kanak-kanaknya maupun haknya atas pendidikan dasar.

Apa ECCE yang berkualitas baik itu? Sebuah program ECCE yang baik adalah salah satu hal yang mendukung kebutuhan anak usia muda secara holistik dalam bentuk kesehatan, nutrisi dan pendidikan. Sementara kebutuhan nutrisi anak dipioritaskan pada tiga tahun pertama hidupnya yang merupakan masa penting dimana seorang anak lebih beresiko kekurangan nutrisi, sedangkan usia 3 sd 6 tahun membutuhkan sebuah program pengembangan pendidikan anak dini usia [ECE] yang tepat. Di banyak negara saat ini tahapan pendidikan diperpanjang sampai anak usia 8 tahun, karena hal ini diyakini bahwa kebutuhan perkembangan mental dan karakteristik anak dari usia 6-8 tahun lebih kurang sama dengan tahapan awal seorang anak dibanding dengan tahapan pada tingkat pendidikan dasar. Metodelogi kebutuhan belajar-mengajar harus berbasis aktifitas dan permainan, seperti halnya ECCE. Usia 6-8 tahun sebaiknya dilihat sebagai masa peralihan, masa sebaiknya dilalui dengan tepat karena seorang anak di masa ini mulai untuk menempatkan diri sesuai dengan tuntutan pendidikan dasar formal yang lebih tinggi.

Sebuah program ECCE dalam pengembangan mental yang tepat sangatlah penting untuk menyediakan sebuah dasar untuk seorang dalam pengembangan secara keseluruhan. Ini termasuk kegiatan fisik dan perkembangan motorik, perkembangan bahasa, perkembangan sosial dan emosi, perkembangan kognitif dan perkembangan untuk mengapresiasi keindahan dan kreatifitas dalam diri anak-anak. Hal ini dipercaya oleh semua pendidik bahwa “bermain” adalah media terbaik dalam pengajaran pada tahap ini, karena bermain datang dengan sendirinya pada anak dan menjadi kunci untuk menciptakan dan mempertahankan ketertarikan dasar dalam belajar. Hal ini juga cara terbaik untuk melaksanakan program ECCE dalam bahasa ibu mereka yang telah mereka pelajari dan mulai digunakan, sehingga mereka dapat mempelajari dan memproses pengetahuan baru lebih mudah. Kegiatan bermain ini termasuk bercerita, bersajak, permainan bahasa, permainan pengenalan angka, musik dan gerakan, kreatifitas seni dan prakarya, bermain berbagai macam boneka, aktifitas perkembangan motorik kasar dan halus, kegiatan drama yang memungkinkan anak-anak bereksplorasi, beruji-coba, bertanya, mengemukakan alasan dan memecahkan masalah kecil. Program ini perlu memiliki sebuah keseimbangan yang baik dari permainan bebas dan yang diarahkan, permainan di dalam dan luar ruangan, kegiatan kelompok besar dan kecil, individual, kelompok yang serius dan meriah. Bagi anak usia 5-6 tahun perlu kesiapan aktifitas sekolah yang spesifik yang mengarah pada konsep pra-menulis, pra-membaca dan pra-ketrampilan tentang angka. Program berpusat pada anak yang tepat perlu menjadi sebuah program yang direncanakan sesuai kebutuhan perkembangan dasar anak, karakteristik dan ketertarikan dan difokuskan pada pengembangan beberapa ketrampilan dasar anak juga kompetensi yang akan mempersiapkan anak kepada dunia sekolah dan juga kehidupan. Beberapa di antaranya ada didaftar untuk bahan referensi yang mudah di halaman tengah. Para guru juga dapat membuat sebagai bahan tempel dan meletakkannya di kelas sehingga mereka senantiasa mengingat apa yang sedang mereka capai, seringkali ada resiko kegiatan yang dilakukan guru di kelas hanya semata sebagai kegiatan dan kehilangan fokusnya!

Sayangnya, di sekeliling kita program pengembangan mental yang tepat ECE hanya tersedia bagi sejumlah kecil anak. Sementara kebanyakan anak yang berasal dari kelompok miskin tidak mendapatkan ECCE yang baik atau kalau pun ada memiliki kualitas yang sangat minim, ada sejumlah besar anak yang mengikuti kelas bermain di sekolah swasta yang berkembang sangat pesat. Dengan kurangnya regulasi atau sistem pendahuluan, sekolah ini seringkali dikelola oleh guru yang tidak terlatih dalam ECE. Sebagai akibatnya, sekolah ini memperkenalkan pada anak tentang pelajaran literasi dan pengenalan angka dengan cara formal di mana bagi anak belum siap secara umur dan pengalaman.

Hal ini menimbulkan tekanan akademis pada anak yang dapat mempengaruhi perkembangan mereka. Walaupun anak-anak dapat mengikuti tentang apa yang diajarkan, meskipun dalam pengawasan, melalui belajar menghafal, ada penelitian menunjukkan bahwa hal ini dapat membahayakan bagi perkembangan kepribadian mereka. Pertama, ketika mereka diharapkan belajar diluar kemampuan mereka, kemungkinan untuk gagal lebih tinggi daripada sebaliknya. Hal ini dapat berakibat apa yang dikenal sebagai bentuk sindrom “belajar kebodohan” yang berarti sang anak mungkin kenyataannya tidaklah bodoh namun karena tingkat pengharapan yang tidak masuk akal ini, ia mulai percaya bahwa sesungguhnya dia adalah seorang yang bodoh dan hal ini mempengaruhi tingkat percaya diri sang anak dalam kehidupannya. Kerugian kedua adalah menciptakan fondasi akademik awal yang lemah terhadap keseluruhan pendidikan di masa depan yang dijalankan. Juga seorang yang belajar di bawah tekanan hanya pembelajaran menghafal akan mengarah pada ketidakseimbangan karena ketrampilan kognitif dan bahasa dengan demikian tidak berkembang ke arah yang seharusnya dapat mereka capai. Paling penting, hal ini dilihat bahwa tekanan awal ini menimbulkan apa yang dikenal sebagai sebuah “hipotesa watak yang rusak”! Ini berarti bahwa anak belajar ketrampilan yang dibuat untuk mereka, namun karena tekanan untuk belajar yang tidak semestinya, mereka kehilangan watak atau ketertarikan dalam menggunakan ketrampilan ini seperti kita pernah dengar banyak guru dan orangtua mengeluh bahwa anak mereka telah belajar membaca, tapi mereka tidak tertarik dalam membaca buku bacaan selain buku teks mereka! Sangatlah penting baik orangtua dan guru untuk mengingat hal ini bisa disebabkan karena program pembelajaran yang menyimpang kedalam sebuah program pengembangan yang tidak selayaknya dan menjadi alat perlawanan produktif bagi anak! Untuk itu penting bagi kita para pendidik untuk mendukung dan berbagi informasi secara luas tentang program ECCE yang berkualitas baik, dengan demikian dengan proses sederhana tuntutan dan kebutuhan kita dapat mengkontrol tuntutan program ECCE yang berkualitas baik yang merupakan hak bagi setiap anak!


Pendidikan bagi Anak Usia Dini, Bukan Sekedar Pilihan

Jakarta (ANTARA News) - Waktu menunjukkan tepat pukul 12.00 siang, beberapa ibu muda bergegas meninggalkan ruangan kerjanya menuju ruang bercat warna warni di lantai dasar Gedung E Depdiknas yang menjadi lokasi Tempat Penitipan Anak (TPA) "Mekar Asih".

Meski pintu kaca menuju ruang bermain terkunci namun ibu-ibu muda tersebut masih dapat mengintip aktivitas anak-anak mereka dari kejauhan yang sebagian tengah menyusun permainan balok sementara lainnya asyik menggambar.

Rita (35 th) adalah salah satu dari puluhan pegawai Depdiknas yang menitipkan pengasuhan anak perempuannya yang berusia 4,5 tahun di TPA Mekar Asih. Rita mengaku khawatir bila menyerahkan masalah pengasuhan anak kepada pembantu atau pengasuh anak di rumah.

"Beruntung di tempat saya bekerja tersedia TPA yang didirikan ibu-ibu Dharma Wanita dan kini dibina oleh Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), artinya anak saya tidak hanya sekedar bermain tetapi juga mendapat bimbingan dari para pengasuh yang paham betul tentang pendidikan pra sekolah," katanya.

Di tempat ini sedikitnya para orangtua akan merasa tenang bekerja tanpa harus memikirkan si buyung di rumah tanpa pengawasan orang tua. Apalagi bila TPA tesebut didirikan atas dasar kepedulian sosial sehingga tidak sekadar unsur komersil yang ditonjolkan tetapi lebih mementingkan misi sosialnya.

Sementara bagi Mira (29 th) karyawan sebuah perusahaan multi nasional di kawasan Jenderal Gatot Subroto Jaksel, kehadiran TPA di kantornya menjadi "dewa penolong" di saat pengasuh anaknya tiba-tiba minta pulang kampung.

"Saya ingat waktu itu betapa bingung memikirkan siapa yang akan menjaga Keisha (3th) sementara saya dan suami harus bekerja. Untung perusahaan saya adalah perusahaan asing yang memperhatikan kebutuhan-kebutuhan di luar tugas pekerjaan dan salah satunya dengan menyediakan TPA," katanya.

Mira kini malah memilih untuk mempercayakan pengasuhan anaknya di TPA yang berada di lingkungan kantornya. Setiap pagi sebelum masuk kerja, Mira mengantar Keisha ke TPA dan sore pukul 16.00 menjemputnya untuk diajak pulang ke rumah.

"Kalau kemarin tidak ditinggal pengasuh anak mungkin saya dan suami tidak pernah mengenal langsung TPA dan mungkin tetap kurang peduli terhadap pendidikan di usia Keisha," katanya.

Rita dan Mira memang hanya sedikit saja dari mayoritas wanita bekerja yang menyadari akan keterbatasan mereka untuk memberikan pendidikan pra sekolah pada anak-anak mereka.

TPA mungkin tidak sepopuler pendidikan pra sekolah lain yang kini tumbuh subur menjadi bisnis komersil dengan berbagai tawaran menggiurkan mulai dari yang sederhana kemampuan calistung, komputer hingga bahasa Inggris.

Namun sesungguhnya yang terpenting dan ingin dicapai dari tumbuhnya kesadaran orang tua untuk membawa anaknya mengikuti pendidikan pra sekolah, yakni anak memiliki kesempatan mengembangkan kemampuan di masa-masa yang disebut sebagai usia emas (golden age).

Kesadaran

Tempat Penitipan Anak selayaknya memang menjadi bagian dari perencanaan pengembangan pusat pelayanan publik, seperti pasar, perkantoran, pusat perbelanjaan, bahkan kini Depdiknas merintis penyelenggaraan TPA di rumah-rumah ibadah.

Ketua Himpunan Pendidik Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi), Dr Damanhuri mengaku prihatin karena sebagian besar masyarakat Indonesia baik di kota besar maupun di pelosok daerah belum menyadari pentingnya pendidikan bagi anak usia dini.

Hal itu dibuktikan dengan rendahnya jumlah anak usia dini yang mendapat pelayanan pendidikan, terutama anak di bawah usia lima tahun.

"Tidak semua anak usia pra sekolah mendapat pendidikan yang layak di usianya karena berbagai faktor di antaranya menyangkut kondisi perekonomian yang lemah sehingga waktu orang tua lebih banyak tersita untuk mencari nafkah atau kesibukan bekerja pasangan suami istri. Ini membuat orang tua menganggap pendidikan pra sekolah tidak begitu penting," katanya.

Selain itu, menyangkut kualitas asuhan. Karena terimpit berbagai persoalan hidup, banyak ibu yang tidak memperhatikan pola pengasuhan ideal kepada anak-anaknya, misalnya, dalam pemberian buku-buku bacaan, katanya.

Ironisnya, rendahnya kesadaran untuk memasukan anak usia pra sekolah ke lembaga pendidikan anak usia dini justru terjadi pada pasangan bekerja di kota-kota yang umumnya berpendidikan cukup tinggi.

"Kalau mereka tidak mempercayakan pendidikan usia dini anak pada lembaga yang tersedia apakah TPA atau lainnya, maka orang tua itu wajib mengambil alih pendidikan pra sekolah di rumah atau dalam lingkungan keluarga," katanya.

Di negara-negara lain, PAUD menjadi bagian dari prioritas pemerintah sehingga implikasinya terhadap ketersediaan alokasi anggaran.

"Di Indonesia prioritas pendidikan dimulai dari pendidikan dasar sembilan tahun dan seterusnya, sementara pendidikan pra sekolah justru masih sekedar subtitusi," katanya.

Ironisnya, pemerintah sadar atau tidak justru di usia dini berbagai kemampuan anak mulai berkembang dan kalau "input-nya" tidak digarap secara baik, maka output-nya pun bisa dilihat kemudian," katanya.

Menurut data terbaru tentang jumlah anak usia dini di Indonesia pada tahun 2005 yang lalu lebih dari 100 juta jiwa. Tetapi yang dapat terlayani seperti pada Kelompok Bermain, Taman Bermain pemerintah maupun oleh masyarakat umum hanya sekitar 60 persen.

Pemerintah menargetkan tahun 2007 jumlah anak usia dini yang mendapat layanan PAUD usia 0-6 tahun sebanyak 28,4 juta orang dan usia 2-4 tahun sebanyak 12,1 juta anak.

Sedangkan untuk tahun 2008 ditargetkan jumlah anak yang mendapat layanan PAUD usia 0-6 tahun sebanyak 28,5 juta jiwa dan usia 2-4 tahun sebanyak 12,2 juta anak.

PAUD untuk Semua

Dari berbagai penelitian terbukti bahwa usia dini (0-6 tahun) merupakan periode atau masa keemasan (the golden age) yang sangat menentukan tahap perkembangan anak selanjutnya.

Disebutkan bahwa kecerdasan anak 50 persen dicapai pada usia 0-4 tahun, sebanyak 80 persen pada usia delapan tahun dan 100 persen pada usia 18 tahun.

Pada masa emas, seorang anak mampu menyerap ide dan ilmu/pelajaran jauh lebih kuat daripada orang dewasa, sehingga memberikan pendidikan kepada anak di usia tersebut sangat penting untuk tumbuh kembangnya.

Penelitian itu juga menyebutkan, kecepatan pertumbuhan otak anak sangat tinggi hingga mencapai 50 persen dari keseluruhan perkembangan otak anak selama hidupnya sehingga pada usia emas merupakan waktu yang sangat tepat untuk menggali segala potensi kecerdasan anak sebanyak-banyaknya.

Namun sayangnya, pemahaman masyarakat akan pentingnya pendidikan anak usia dini masih terbilang rendah.

Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas, Ace Suryadi mengakui saat ini penyelenggaraan PAUD belum menjadi prioritas pemerintah sehingga penyelenggaran PAUD masih menjadi inisiatif swasta dan masyarakat .

"Karena belum menjadi prioritas, maka masih banyak anak usia dini yang berada di pedesaan serta mereka yang berasal dari keluarga miskin tidak memiliki kesempatan memperoleh pendidikan yang layak sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar 9 tahun," katanya.

Karena itu, Depdiknas tengah merintis program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) berbasis keluarga atau home schooling PAUD untuk memperluas akses pendidikan pra sekolah bagi anak usia 0-6 tahun khususnya bagi kelompok tidak mampu sebelum memasuki pendidikan dasar.

"Konsep dasar dirintisnya PAUD berbasis keluarga adalah karena banyak orang tua yang belum memperoleh kesempatan untuk mengirimkan anaknya ke PAUD, seperti taman penitipan anak, Taman Kanak-kanak dan sejenisnya karena keterbatasan ekonomi," katanya.

Program ini akan membina orang tua dan keluarga untuk terlibat langsung mengembangkan fungsi jasmani dan rohani anak berkembang secara baik, " kata DR Ace Suryadi .

Ia mengatakan, program PAUD berbasis keluarga bertujuan untuk menanamkan konsep pendidikan bagi anak pra sekolah dengan cara-cara benar seperti tanpa kekerasan, tanpa ancaman, tanpa harus ditakut-takuti sehingga tanpa memandang status dan latar belakang keluarganya, maka anak-anak memiliki kesempatan untuk tumbuh kembang secara baik dan siap memasuki pendidikan lanjutan.

PAUD nonformal secara mandiri telah diselenggarakan oleh masyarakat. Bahkan bisa dikatakan 90 persen PAUD dalam bentuk taman penitipan anak /TPA, kelompok bermain diselenggarakan masyarakat baik dari kelompok agama, maupun organisasi perempuan , katanya.

"Untuk menjangkau masyarakat secara lebih luas, maka rintisan PAUD informal berbasis keluarga telah dirintis dengan membuat pedoman umum yang berisi prinsip-prinsip mendidik anak dengan baik dan benar bekerja sama dengan perguruan tinggi ," katanya.

Memasuki tahun ke 5 pencanangan PAUD belum terlihat hasil maksimal, karena di berbagai daerah masih jalan di tempat.

Banyaknya anak usia dini belum terlayani dengan baik. Hal ini memang merupakan satu tantangan besar bagi pemerintah, karena mereka merupakan aset yang bernilai tinggi bagi bangsa.(*)

Pendidikan dasar dan pendidikan menengah

Saya tengah menulis disertasi tentang pendidikan menengah di Indonesia. Pada bab 2 saya mencoba membuat studi komparasi antara pengertian, perkembangan/perubahan pendidikan menengah selama masa penjajahan Belanda, Jepang, masa kemerdekaan, Repelita, dan reformasi. Objek kebijakan yang saya kaji adalah UU Sisdiknas dari tahun 1950, 1989 dan 2003, beserta PP, Permen, Kepmen lain yang terkait.

Untuk menganalisa topik itu saya secara umum menggunakan referensi dari dua buku utama yaitu 50 tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995 karangan Bapak H.A. R Tilaar (1995) dan buku 50 tahun Pendidikan di Indonesia yang dibuat pada jaman Mendikbud Wardiman Djoyodiningrat (1996). Selain itu beberapa literatur supplement dari jurnal.

Kedua buku menguraikan secara rinci sejarah pendidikan di Indonesia. Definisi tentang pendidikan dasar dan pendidikan menengah juga disebutkan dengan jelas dalam UU no 4 tahun 50, tetapi wording menjadi unclear dalam UU no 2 tahun 1989 dan UU no 20 tahun 2003.

Sayangnya saya tidak bisa mengakses online karya-karya di IKIP/UP di Indonesia, sehingga saya tidak mendapatkan apakah sudah ada yang menganalisa perubahan ini dengan detil. Saya minta tolong kepada Pak Dedi Dwitagama, karena saya tahu beliau punya relasi yang luas di dunia pendidikan.

Untuk membandingkan ketiga UU secara komprehensive, saya menggunakan metode/aspek/dimensi yang digunakan R Murray Thomas dalam sebuah papernya ketika menganalisa maturity UU no 20/1989.

Jika menyoroti pengertian pendidikan dasar dalam UU 50 yang disebut dengan pendidikan rendah, definisinya sangat jelas, bahwa level ini adalah level untuk menumbuhkan minat, mengasah kemampuan pikir, olah tubuh dan naluri. Sedangkan pendidikan menengah adalah pendidikan yang lebih mengarah kepada persiapan kerja dan lanjut ke PT. Berikut ini uraiannya,

Pendidikan dan pengadjaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani kanak-kanak, memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat dan kesukaannya masing-masing, dan memberikan dasar-dasar pengetahuannnya, kecakapan dan ketangkasan, baik lahir maupun bathin.

Pendidikan dan pengadjaran menengah (umum dan vak) bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengajaran jang diberikan di sekolah rendah untuk mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing kesanggupan murid sebagai anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat dan/atau mempersiapkannya bagi pendidikan dan pengadjaran tinggi.

Definisi ini menjadi disederhanakan dalam UU no 2/1989.

Seperti berikut ini :

Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah.

  1. Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.

Adapun UU no 20 tahun 2003 menyebutkan seperti ini :

(1)Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
(2) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

(1)Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.
(3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah Menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

UU 1989 dan 2003 memang dilengkapi dengan ayat bahwa hal-hal yang belum jelas akan dirincikan dalam PP, namun PP terakhir tentang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah yang saya ketahui adalah PP no 28 tahun 1990 tentang pendidikan dasar, dan saya belum menemukan PP tentang pendidikan menengah.

Tapi dari pendefinisian yang termaktub dalam UU di atas, secara objektif kita dapat mengatakan bahwa definisi UU 50 lebih rasional dan lebih menyentuh esensi pendidikan, yaitu pendidikan tiga dimensi, tubuh, jiwa, dan otak. Bakat dan kesukaan sebagai sebuah hal yang mulai diabaikan saat ini karena semua anak harus digiring menuju arena kompetisi, tidak disebutkan dengan jelas pembinaannya dalam UU selanjutnya. UU 1989 dan 2003 memberikan beban lebih kepada anak yang belajar di level pendidikan dasar untuk siap menjadi anggota masyarakat, yang sama sekali tidak disebutkan dalam UU 1950.

Pendidikan menengah pda ketiga UU tidak mengalami perubahan yang berarti dalam pemaknaan. Tetapi terjadi perubahan dalam kategori sekolah pada jenjang pendidikan. Yaitu, dalam UU 1950, pendidikan dasar adalah SD. Sedangkan dalam UU 1989 dan 2003 pendidikan dasar adalah SD dan SMP serta sekolah yang sederajat. Pendidikan menengah adalah SMA, yang semula pada UU 1950, terdiri dari SMP dan SMA.

Perubahan itu barangkali terjadi karena program wajib belajar 9 tahun. Program wajar dalam UU terbaru disebutkan sebagai program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Penggolongan baru ini menimbulkan beberapa pertanyaan : apakah pendidikan di level SMP dapat dikatakan sebagai materi pendidikan dasar ? Jika ya, maka mengapa penamaan sebagai sekolah menengah masih dipakai ? Jika ini dimaksudkan untuk mensukseskan wajib belajar, maka seharusnya SD dan SMP digabungkan, sehingga masalah yang muncul dalam transisi SD ke SMP dapat teratasi (penelitian McClean, 2002 tentang kondisi di Eropa). Konsekuensi lain dalam penggabungan adalah perlu dilakukan perubahan dalam proses penerimaan siswa setelah lulus SD. Yaitu, tidak perlu ada rayonisasi atau seleksi sekolah, tetapi harus dibuat lokalisasi SD dan SMP. Sebagai contoh siswa SD di kecamatan/kelurahan A hanya boleh mendaftar di SMP kecamatan/kelurahan A, dengan tanpa dipungut uang masuk dan SPP.

Proses lokalisasi akan menghemat pengeluaran penduduk untuk biaya pendidikan dan menjamin semua anak lulusan pendidikan formal, non formal dan informal level SD dapat diterima di SMP di lokasinya.

Saya masih belum menemukan alasan yang tepat tentang perubahan penggolongan pendidikan dasar dan menengah selain alasan penyuksesan program wajar, barangkali di antara pembaca ada yang punya analisa lain ?