Selasa, 17 Maret 2009

PELUANG DAYAH GARAP PENDIDIKAN USIA DINI

Dalam kultur masyarakat Aceh, lembaga pendidikan Islam tradisional kita kenal dengan dayah sebagai wujud dari kenyataan meudagang, serta rangkang dan meunasah sebagai aplikasi pendidikan sejak usia dini di kampung masing-masing. Meudagang adalah aktivitas belajar yang membumi di Aceh, baik pada masa dulu maupun masa sekarang –walaupun dari beberapa diskusi keagamaan, disebutkan kecenderungan menurun jumlah orang yang menuntut ilmu agama.
Sedangkan kata dayah, berasal dari bahasa Arab, yaitu “zawiyah”. Istilah ”zawiyah”, secara literal bermakna sebuah sudut, yang berawal dari sudut masjid Madinah yang pertama kali digunakan oleh Rasulullah saw untuk berdakwah pada masa awal pengembangan Islam.
Sementara rangkang adalah istilah terhadap sebuah bangunan semacam balai tempat beberapa santri belajar pada seorang guru (teungku). Rangkang kedudukannya lebih rendah daripada meunasah yang lazimnya berada pada tingkat gampong.
Pada masa kesultanan Aceh tempo dulu, dayah dibagi menjadi tiga tingkatan pengajaran, yaitu: rangkang (untuk kelas pemula/junior), bale (untuk kelas menengah), dan dayah manyang (setingkat universitas). Tetapi hanya di tempat-tempat tertentu saja yang terdapat tiga tingkatan sekaligus, mulai dari junior sampai dayah manyang. Sebelum santri belajar di dayah, mereka disyaratkan mampu membaca al-Qur’an, Kemampuan membaca al-Qur’an tersebut mereka dapatkan dari rumah atau seorang teungku di meunasah. Dan ini hanya didapatkan oleh sebagian anak-anak saja, tergantung kepada kepedulian orang tua terhadap pendidikan anaknya.
Hampir semua dayah di Aceh hanya menggarap peserta didik (santri) usia menengah. Para santri umumnya berusia belasan hingga puluhan tahun. Biasanya pula para orang tua menitipkan anak-anak mereka di dayah setelah sang anak menamatkan sekolah dasar atau menengah. Inilah yang disebut meudagang.
Beberapa dayah di Aceh sudah mendirikan sekolah yang mengikuti kurikulum nasional di dalamnya, seperti sekolah dasar (SD), sekolah menengah (SMP dan SMU), hingga Perguruan Tinggi. Santri menggunakan separuh waktu untuk belajar di bale dengan mengikuti pola dan ”kurikulum” dayah dan separuh waktu lagi digunakan untuk mendapatkan beberapa pelajaran formal yang ada dalam berbagai tingkatan pendidikan tersebut di atas.
TK di Dayah
Ada suatu hal yang mungkin menarik untuk ditawarkan dalam tulisan ini, yakni tentang keberadaan Taman Kanak-Kanak di dayah. Tawaran pikiran ini, lahir bukan semata sebagai pikiran. Penulis sendiri selama ini sudah mulai terlibat dalam pendidikan anak usia dini di salah satu dayah.
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam konteks tingkatan pendidikan agama tradisional, anak-anak usia di bawah sepuluh tahun belum tersentuh pendidikan dayah. Anak-anak usia dini itu umumnya mendapatkan pendidikan agama pada rumah-rumah teungku atau bale seumeubeut (balai pengajian). Beberapa daerah ada yang langsung ditangani di meunasah. Sementara dalam pendidikan formal, sekarang ini makin mudah didapatkan TK yang sudah ada hampir di setiap pelosok.
Di sinilah tawaran pikiran, bahwa penting bagi dayah juga memikirkan lahirnya peluang untuk ikutserta dalam mendidik anak-anak usia dini. Hal ini memang belum dilakukan oleh dayah-dayah di Aceh.
Untuk pemerataan pendidikan agama di usia prasekolah dan usia sekolah sebagai persiapan memasuki jenjang pendidikan di lembaga dayah, maka sangat efektif bila di lembaga pendidikan Islam (dayah) tersebut dibuka jenjang pendidikan (pengajaran) mulai dari TK sampai perguruan tinggi (dayah manyang). Karena menurut saya, lingkungan dayah memiliki kemampuan untuk membentuk watak, sikap, dan kepribadian anak usia pra-sekolah dan usia sekolah yang bernuansa islami.
Saya pikir tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa menanamkan akhlakul karimah dan pendidikan agama pada anak usia dini bagaikan mengukir di atas batu, sedangkan mengajarkan agama kepada orang dewasa bagaikan mengukir di atas air.
Sejalan dengan ungkapan tersebut, maka dalam mendidik anak perlu pembiasaan ber-akhlakul karimah dan segala aktivitas pembelajaran dikemas dalam bentuk permainan yang menyenangkan sesuai dengan kondisi anak usia bermain. Hal ini dilakukan dengan cara membiasakan anak-anak dalam berinteraksi dengan orang lain. Seperti adab dalam bersilaturrahmi (bersalaman atau berjabat tangan dengan orang lain), tutur kata yang sopan, dan lain-lain. Meraka juga bermain dengan berbagai alat peragaan, yang bertujuan untuk mengembangkan wawasan, keberanian, kemampuan, minat, bekerja sama, kepercayaan diri, dan sebagainya.
Dengan demikian, terbentuklah moral dan tertanam nilai-nilai agama yang kuat kepada masyarakat sejak usia dini sampai dewasa, sesuai dengan fungsi sebuah lembaga pendidikan agama (dayah), yaitu untuk menangkal pengaruh agama lain dan budaya asing, juga sebagai sekolah bagi masyarakat yang masih terus dijalankan sebagai lembaga nonprovit (tidak meraup untung).
Tawaran pemikiran ini sendiri didasari oleh asumsi penulis bahwa keberadaan TK di lingkungan dayah memiliki beberapa kelebihan, yaitu: Pertama, lingkungan dayah adalah lingkungan yang terpelihara dari segala bentuk imbas dan pengaruh teknologi yang berimplikasi negatif. Kedua, para pengajar di dayah, secara keilmuan agama (walau masih kurang secara metodologi), adalah orang- orang yang berlatar belakang ilmu agama yang bagus. Ketiga, pelaksanaannya akan terbantu oleh keberadaan santri di dayah yang dapat mempraktekkan langsung ilmu yang telah dimiliki, sekaligus sebagai pengabdiannya kepada masyarakat. Keempat, terjalin ukhuwah islamiyah yang lebih kuat antar santri dengan masyarakat sekitarnya.
Selain itu, lembaga dayah yang juga bisa disebut sebagai agen pembangunan, dituntut untuk mampu mengabdi kepada masyarakat. Pengabdian tersebut, terutama dalam hal menghasilkan pemimpin masyarakat yang mapan dalam bidang ilmu pengetahuan agama, dan memainkan peranan penting dalam membina komunitasnya dalam bidang keyakinan dan praktek agama.
Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini lembaga dayah selalu mendapat kritikan dari para intelektual karena dianggap hanya mampu menghasilkan lulusan yang menguasai ilmu agama saja.
Berdasarkan kritikan tersebut, sudah sepatutnya lembaga pendidikan agama tradisional (dayah salafiyah) menciptakan jenjang pendidikan di lingkungannya. Mulai dari jenjang TK hingga perguruan tinggi. Dengan demikian diharapkan menghasilkan lulusannya yang mempunyai keahlian lain sebagai tambahan pendidikan agama, sesuai dengan tuntutan pembangunan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang.
Penulis ingin menyampaikan bahwa Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (LPI MUDI) Mesjid Raya Samalanga, sejak 4 tahun lalu sudah mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al- ‘Aziziyah. Kampus itu sendiri tak hanya untuk santri semata. Namun setidaknya, kehadiran kampus tersebut akan membantu terutama dalam proses metodologis bagi santri dalam belajar ilmunya secara lebih mendalam.
Satu hal lagi yang penting, bahwa dayah ini pula, sejak setahun terakhir sudah mendirikan Taman Kanak- Kanak (TK) Al-‘Aziziyah, Samalanga. Melihat animo masyarak begitu tinggi terhadap pendidikan anak usia dini dikelola di lingkungan dayah, maka di tahun ajaran 2008 – 2009 dayah MUDI Mesjid Raya kembali membuka Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT). Hal ini tentu akan membawa semangat dan implikasi positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan masa depan. Insyaallah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar